A.
Pendahuluan
Hukum Islam dan politik adalah dua sisi
yang tidak bisa dipisahkan dalam suatu masyarakat Islam. Hukum Islam tanpa
dukungan politik sulit digali dan diterapkan. Politik yang mengabaikan hukum
Islam akan mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat. Semakin baik hubungan
Islam dan politik semakin besar peluang hukum Islam diaktualisasikan, dan
semakin renggang hubungan Islam dan politik, semakin kecil peluang hukum Islam
diterapkan (Halim, 2002 xiii-xiv).
Qardlowi (1998: 53) melihat politik ini
dengan mengerjakan sesuatu yang mendatangkan kemaslahatan baginya. Politik
adalah aksi dari para politikus, sehingga dikatakan “dia memolitisasi binatang
untuk kendaraan jika dia berdiri di atasnya dan menundukannya. Saat umat Islam
kuat secara politik, dengan city state Madinah,(Syadzali, 1990: 9-16) hukum Islam dan poltik merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan, meski tanpa menyebut secara tegas hukum Islam
sebagai pedoman negara. Negara Madinah dengan piagam madinah-nya (Sukarja,
1995: 47-57) malah tidak disebut sebagai negara Islam. Namun, konstitusi Negara
tersebut, sanggup mengakomodasi seluruh kepentingan masyarakat yang majemuk.
Konteks Indonesia, dalam UUD 1945 pasal
1 ayat (3) secara tegas mengatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum,
ketentuan ini merupakan pernyataan betapa hukum akan sangat menentukan dalam
pelaksanaan kenegaraan. Selain itu ketentuan ini juga mengandung pengertian
segala sesuatu di negeri ini mesti berdasarkan hukum—Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. UUD 1945 merupakan konstitusi
Negara Indonesia, ini merupakan konsekuensi logis bahwa Indonesia adalah neraga
hukum (rechtstaat) yang salah satu
cirinya negara harus mempunyai regulasi (UU) yang mengatur disegala bidang—termasuk dalam bidang Perbankan syariah.
Positifisasi hukum syariah dibidang Perbankan
Syariah telah dimulai sejak ada Undang-Undang No.7 Tahun 1992 yang diamandemen
Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang Perbankan dan Undang-Undang No.21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syari’ah. Lahirnya UU. No. 21 Tahun 2008 tengtang bank
syariah di Indonesia berjalan begitu panjang samapi lahirnya UU tersebut—yang sebenarnya
proses transformasi melalui adaptasi dan harmonisasi fiqh muamalah ke dalam
peraturan perbankan syariah—terjadi antara tahun 1992-2008. Dalam paper ini
penulis akan menkaji pertama, Bagaimana
latar belakang politik lahirnya UU Perbankan Syari’ah dan kedua, bagaimana keadaan politik hukum di Indonesia sehingga
melahirkan UU. No. 21 Tahun 2008.
B.
Politik Hukum (Ekonomi) Islam
Pembahasan mengenai politik hukum
sesungguhnya ingin menjelaskan bagaimana kedudukan
politik terhadap
hukum dan sebaliknya. Walupun
hingga saat
ini para ahli masih berbeda pendapat mengenai kedudukan tersebut. Ada
yang berpendapat bahwa
kedudukan
politik terhadap
hukum berada dalam
posisi
interplay (saling memengaruhi).
Namun,
di
samping itu ada pula
yang berpendapat
bahwa
posisi hubungan antara
politik
dan hukum adalah
terpisah sama sekali. Hans Kelsen, misalnya,
menegaskan keterpisahan tersebut dengan menyebutkan hukum
sebagai unsur yang
bersifat otonom. Dengan ajaran hukum murninya, Kelsen—sebagaimana dikutip oleh Satjipto Rahardjo—menegaskan, “
alles ausscheiden mochte,
was nicht zu dem
exakt als
Recht bestimmten Gegenstande
gehort” (semua hal yang tidak berhubungan
dengan hukum harus
di keluarkan) (Rahardjo, 2009: 7).
Hukum
adalah entitas yang sangat kompleks, meliputi kenyataan kemasyarakatan yang
majemuk yang mempunyai aspek, dimensi dan fase. Hukum berakar dan terbentuk
dalam proses interaksi berbagai aspek kemasyarakatan, meliputi aspek politik,
ekonomi, sosial keagamaan dan lainnya. Hukum dibentuk dan membentuk tatanan masyarakat,
bentuknya ditentukan oleh masyarakat dengan berbagai sifatnya, namun sekaligus
ikut menentukan sifat masyarakat itu sendiri (Sidarta, 1999: 116).
Politik
hukum dimaksudkan di sini adalah sebagai kebijaksanaan hukum legal policy yang
akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh suatu negara. Oleh karena itu
ruang lingkup politik hukum mencakup; pertama, pembangunan hukum yang
berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap meteri-materi hukum agar sesuai
dengan kebutuhan. Kedua, implementasi ketentuan hukum yang telah ada termasuk
penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum (Mahfudz MD, 9).
Pembangunan
hukum di sini dimaksudkan segala usaha yang dilakukan oleh kelompok sosial dalam
suatu masyarakat yang berkenaan dengan bagaimana hukum dibentuk,
dikonseptualisasikan, diimplementasikan, dilembagakan dalam suatu proses
politik. Sedangkan kebijaksanaan lebih menunjukkan kepada tindakan formal yang
diambil oleh pemegang kekuasaan politik (Nusantara, 1986: 155).
Dalam
hal relasi hukum dan politik, arbi sanit mengatakan bahwa politik mempunyai
hubungan tolak tarik dengan hukum, perkembangan hukum senantiasa dipengaruhi
oleh perkembangan peranan politik, hukum merupakan produk dari proses politik. Perkembangn
hukum dapat dilihat dari dua dimensi yaitu dimensi struktur hukum dan fungsi
hukum. Jika dikorelasikan dengan perkembangan proses politik maka struktur
hukum dapat berkembang dalam segala bentuk dan konfigurasi politik dan sistem
pemerintahan. Sedangkan fungsi hukum hanya dapat berkembang secara baik pada
saat peluang yang leluasa bagi partisipasi politik massa, sehingga peran
politik didominasi oleh elit kekuasaan, maka fungsi hukum berkembang secara
lamban (Sanit, 1986: 39-85). Sehingga entitas hukum tidak lagi dilihat sebagai suatu
yang otonom dan independen, melainkan dipahami secara fungsional dan dilihat
senantiasa berada dalam kaitan interdependenci dengan bidang-bidang lainnya
(Rahardjo, 1983: 16) khususnya dalam bidang politik.
Memang,
bisa saja terjadi persinggungan atas bidang atau aspek hukum lainnya, namun
dalam makalah ini dibatasi dengan apa yang dikatakan oleh
Daniel S. Lev, bahwa untuk memahami hukum di tengah-tengan transformasi politik
harus diamati dari bawah dan dilihat peran sosial politik apa yang diberikan
orang kepadanya (Lev, 1972: 2). Dalam kesimpulan J. N. D Anderson (1976: 42) dan
John L. Eposito (1982: 94-102) mengatakan bahwa metode yang umumnya dikembangkan
oleh pembaharu Islam dalam menangani isu-isu hukum masih bertumpu pada prinsip takhayyur
dan talfiq. Akan tetapi terlepas benar atau tidaknya kesimpulan
kedua tokoh tersebut perlu diteliti bagaimana kecenderungan hukum
dinegara-negara muslim masa kini.
Sistem
hukum di duinia Islam dewasa ini, secara garis besar dibagi menjadi tiga
kelompok; 1) sistem yang masih mengakui syari’ah sebagai hukum asasi dan
kurang lebihnya masih manerapkan secara utuh. Miasalnya; Arab Saudi dan Nigeria
Utara. 2) Sistem yang meninggalkan syari’ah
dan menggantikannya dengan hukum yang sama sekali sekuler, misalnya, Turki.
dan 3) sistem yang mengompromikan dua sistem tersebut, seperti; Mesir, Sudan,
Libanon, Syuriah, Yordan, Irak, Tunisia dan maroko. (J.N.D Anderson, 1975:
82-83).
Kasus di
Indonesia Sistem hukum yang mewarnai hukum nasional di Indonesia dipengaruhi
oleh tiga sistem hukum, yaitu sistem hukum barat, sistem hukum adat dan sistem
hukum Islam, yang masing-masing menjadi subsistem hukum dalam sistem hukum
indonesia. Dari ketiganya secara objektif dinilai bahwa kedepan hukum islam
lebih berpeluang memberi masukan bagi pembentukan hukum nasional karena
mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Ada beberapa pertimbangan yang
menjadikan hukum Islam layak menjadi rujukan dalam pembentukan hukum Nasional (Muchsin,
6-10)
1. Undang-undang
yang sudah ada saat ini; UU perkawinan UU peradilan agama, UU pengelolaan
zakat, dan beberapa UU lainnya yang langsung maupun tidak langsung memuat hukum
Islam seperti UU Nomeor 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang diakui
keberadaanya bank syari’ah dengan prinsip syari’ahnya, atau UU no. 3 taun 2006
tentang Peradilan agama yang semakin luas kewenangannya, dan UU nomeor 21 tahun
2008 tentang perbankan syari’ah.
2. Jumlah
penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
3. Kesadaran
umat Islam untuk menjalan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari
Dalam
perspektif sejarah, pembaharuan hukum Islam menurut Noel J. Coulson, menempatkan diri dalam empat bentuk:
1.
Dikodifikasikannya (pengelompokan sejenis ke
dalam kitab Undang-undang) hukum Islam menjadi perundang-undangan hukum Negara,
yang disebut sebagai doktrin siyasah.
2.
Tidak terikatnya umat Islam pada satu madzhab
hukum tertentu, yang disebut doktrin eklektik yaitu pendapat mana paling
dominan dimasyarakat.
3.
Perkembangan hukum dalam mengantisipasi
perkembangan peristiwa hukum yang baru timbul, yang disebut doktrin tatbiq.
4.
Penerapan hukum dari yang lama kepada yang baru
yang disebut doktrin tajdid. (N.J. Coulson, 1994: 149-158)
Dari hal
tersebut tampaknya Coulson mengartikan perubahan sama dengan pembaharuan.
Friedmen dalam soerjono Soekanto kedua istilah tersebut merupakan dua konsep
yang berbeda. Perubahan hukum tidak mengubah ketentuan formal, sedangkan
pembaharuan hukum mengubah ketentuan formal. Konsep pembaharuan hukum Islam ialah
pembaharuan Hukum Islam ijtihadi, mengembangkan hukum yang ditetapkan
Allah dan Rosul. Dan penuangan nilai-nilai hukum Islam ke dalam sistem hukum
nasioanal melalui penggalian dari sumbernya (al-Qura’n dan al-Hadis).
(Abdullah, 1996: 214).
Perubahan
dan pembaharuan menurut Coulson, bentuk 2 dan 3 sudah dimulai sejak dikodifikasikannya
hukum fiqh ke dalam undang-undang Negara oleh Sultan Turki Usmani (Majallah)
dan secara berturut-turut diikuti oleh Suriah, Mesir, dan lain-lain. Pembaharuan
untuk bentuk 4 coulson atau pembaharuan Friedman dalam arti yang diubah adalah hukum
fiqh yang dihasilkan oleh ijtihad madzhab, baru dimulai sejak munculnya gerakan
pembaharuan di penghujung abad XIX Masehi dan nuansanya semakin meningkat pada
abad XX, untuk menjawab tantangan dan perkembangan sosial yang semakin gencar sebagai
akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern.
Dengan
diundangkannya Undang-undang nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syari’ah,
sepanjang menyangkut regulasi (pengaturan) perbankan syariah dengan beberapa
peraturan pelaksanaannya dapat dipandang sebagai pembaharuan hukum (ekonomi)
Islam di indonesia dalam teori Coulson termasuk dalam bentuk 1, 2 dan 3. Ketentuan regulasi
produk-produk perbankan syariah didalamnya dapat dipandang sebagai hukum yang
berfungsi sebagai sosial engineering karena baik al-Qur’an maupun hadis tidak
menyertakan secara eksplisit. Sedangkan sanksi pidana merupakan ketentuan hukum
yang berfungsi sebagai social control. Sedangkan Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah (KHES) untuk pegangan para hakim Pengadilan Agama Indonesia merupakan pembaharuan
bentuk 2 (doktrin eklektik) dan bentuk 4 (doktrin tatbiq).
C.
Latar Belakang Politik Berdirinya Perbankan
Syariah
Sejak
digagasnya sebuah bank Islam yang bersih dari sitem riba (usury-interest)
pada tingkat international, yaitu pada konverensi Negara-negara Islam sedunia, 21-27 April 1969, ternyata
perkembangan bank Islam diberbagai negara cukup menggembirakan. Di indonesia
sendiri atas prakarsa MUI bersama kalangan pengusaha umat Islam sejak 1992 telah
beroperasi sebuah bank syariah yang bernama Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang
mengacu pada PP no 72 tentang Bank Bagi hasil. Respon pemerintah yang lebih
atasa perkembangan bank syariah ditanah air semakin bisa kita rasakan dengan di
sahkannya UU RI No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1992
tentang perbankan (Yafie, 2007, ix-x).
Hal itu
menunjukkan, pemberlakuan hukum Islam di bidang muamalat dapat dikatakan telah
mempunyai kedudukan tersendiri. Sebelum berlakunya UU tentang perbankan tahun
1992, ketentuan hukum Islam dibidang perbankan belum diakui kerangka sistem hukum
Nasional. (Supriyadi, 2008: 401). Latar belakang politik menyangkut sikap dan
hubungan antara pemerintah dan umat Islam pada masa dan pasca Orde baru, terutama
menjelang dan saat kelahiran perbankan syariah dan penerapan peraturannya. Masa
orde baru, hubungan antara umat Islam dan pemerintah mengalami tiga dekade.
Pertama, hubungan
antagonistik (1966-1981); pada tahun ini muncullah harapan umat Islam untuk kembali
memainkan perannya seperti pada demokrasi parlementer (1950 s/d 1959), karena
secara de facto mereka turut serta dalam menumbangkan pemerintah orde
lama dan naiknya pemerintahan orde baru. Harapan itu tidak menjadi kenyataan karena
dekade ini terjadi benturan antara harapan orang Islam dengan strategi pembangunan
orde baru, yaitu marjinalisasi peranan partai-partai politik dan menabukan
ideologi lain selain pancasila, terutama yang bersifat keagamaan (Hakim, 2011).
Beberapa
aspirasi kalangan Islam saat itu tidak ada yang dipenuhi oleh pemerintah, bagi
pemerintah, keinginan mereka tidak sejalan
dengan agenda dan strategi pembangunan pemerintahan orde baru yang menekankan
pada pembangunan ekonomi, sementara stabilitas politik diarahkan untuk mengawal
dibidang ekonomi. Format politik orde baru antara tahun 1968-1980an, memelihara
koalisi yang sangat baik antara pemerintah dengan kekuaatan abangan, kecuali
kalangan Soekarnois, dan kalangan Kristen/Katolik. Sementara Islam dalam posisi
pinggiran, bahkan menjadi kekuatan diluar sistem. Dengan demikian, peran agama
dalam politik menjadi termarjinalkan (Gaffar, 132).
Hal
tersebut dikarenakan beberapa faktor; pertama, arah kebijakan pemerintah
Soeharto dalam rangka menata sistem politik Indonesia, cenderung tidak
demokratis. Kedua, kecenderungan kuat rezim Soeharto untuk memonopoli tafsir
ideologi negara (pancasila) sebagai kebenaran tunggal dan menggunakan untuk
membungkam suara kritis lawan politiknya maupun suara kritis warga masyarakat.
(Hasan, 2010: 134-135).
Kebijakan
tersebut, berimplikasi terjadinya ketegangan anatara umat Islam dan pemerintah
Orde baru pada dekade ini, disamping penolakan pemerintah terhadap aspirasi
umat Islam, diantaranya adalah; 1) draft rencana GBHN yang akan dibahas dalam
sidang umum MPR Tahun 1973. Draft ini antara lain memuat pergantian pelajar
agama dengan pendidikan Moral Pancasila. 2) masuknya aliran kepercayaan kedalam
GBHN sebagai bagian agama resmi yang kedudukannya setingkat dengan Islam,
Kristen, Katholik, Hindu, Budha yang disahkan tahun 1978; 3) menghambat
pendirian bank Islam. 4) rancangan Undang-undang yang diajukan tahun 1973; 5).
Pembangunan yang bersifat pragmatik yang hanya mementingkan aspek material dan
mengesampingkan aspek moral agama. 6) ketentuan pakaian sekolah yang
dikeluarkan oleh menteri kependidikan dan kebudayaan Daoed Yoesoef tahun 1978 tentang
larangan mengenakan jilbab disekolahan menengah. 7) keluarga berencana. Ketujuh
Kebijakan ini disinyalir oleh kalangan Islam sebagai upaya rezim orde baru untuk
mengahapus Islam dari bumi Indonesia sehingga mereka memberikan perlawanan.
Indikasi ini bertambah dengan semakin menguatnya ekonomi golongan cina,
leluasanya kristenisasi, dan dipersulitnya gerakan dakwah oleh umat Islam. Timbul kekhawatiran Pemerintah bahwa perbankan
syariah berkaitan dengan pembantukan Negara Islam. Karena isu negara Islam pada
waktu iru menjadi problem serius dikalangan bangsa ini. hal ini yang menjadi
kekhawatiran pemerintah, karena jika dilihat dari sejarah, perbankan syariah
ini muncul akibat gerakan neo-revivalis (gerakan yang menggunakan Islam sebagai
way of life dan tidak mengiginkan penafsiran al-Qur’an dan Hadis). (Umroh,
2009: 108).
Kedua, hubungan
resiprokal kritis (1982-1985); umat Islam dan pemerintah berusaha saling
mempercayai dan menghilangkan kesan saling mencurigai seperti yang terjadi
sebelumnya. Pemerintah memulai dengan political test menyampaikan
gagasan asas tunggal pancasila bagi organisasi politik dan semua ormas yang ada
di Indonesia. Gagasan disodorkan oleh presiden soeharto dalam pidato kenegaraan
di depan sidang pleno DPR tanggal 16 Agustus 1982. Dalam pidatonya presiden
menyatakan: “.....jumlah dan struktur partai politik seperti yang telah
ditegaskan dalam Undang-undang tentang partai politik dan golongan karya kiranya
sudah memadai, terbukti dari hasil dua kali pemilihan umum yang diikuti oleh
ketiga kontestan. Yang perlu dibulatkan dan ditegaskan adalah asas yang dianut
oleh setiap partai politik dan golongan karya. Semua kekuatan politik—terutama
yang masih menggunakan asas lain selain pancasila—seharusnya menegaskan bahwa
satu-satunya asas yang
digunakan adalah Pancasila....”
Berbeda
dengan presiden yang mengajukan pertimbangan politik kenegaraan, menteri agama
Munawir Sjadzali menyodorkan dalil naqli dan aqli dalam mendukung asas tunggal.
Menurutnya, seperti di informasikan oleh Abdul Aziz Thaba, penerimaan asas
pancasila sebagai satu-satunya asas politik tidak bertentangan dengan ajaran
Islam. Asas tunggal diundangkannya dalam bentuk lima paket Undang-undang politik
tahun 1985.
Selama
proses sosialisasi sampai diundangkannya tahun 1985 gagasan asas tunggal
direspon reaktif oleh kalangan orsospol politik, ormas dan kelompok individual.
Reaksi dikalangan Islam terlihat dalam tiga bentuk, 1) menerima tanpa reserve.
2) menerima dengan terpaksa, karena terpaksa
sambil menunggu keluarnya UU keormasan, dan 3) menolak. Kelompok pertama
diantaranya adalah partai persatuan pembangunan (PPP), Perti, dan Dewan Mesjid
Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) (Lihat Hasan, 2010: 133). Kelompok kedua
diantaranya adalah Muhamadiyah dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Kelompok ketiga
adalah Pelajar Islam Indonesia (PII) dan para tokoh Islam seperti Deliar Noer,
Syafrudin Prawiranegara, dan Yusuf Abdullah Puar. Klimaks penolakan adalah meletusnya
peristiwa Tanjung priok dibawah pimpinan Amir Biki tahun 1984.
Mencermati
hubungan anatara umat Islam dengan pemerintahan orde baru sampai tahun 1985,
pendirian bank syari’ah masih belum memungkinkan meskipun gagasan pendirian bank
syariah tersebut telah muncul pada tahun 1970-an. Karena gerakan ini dianggap
sama saja dengan mereka-mereka yang memperjuangkan tegaknya syariat Islam di
bidang politik dan hukum di tanah air pada waktu itu (Hamid, 2008: 66).
Dari
situ dapat dilihat bahwa pendirian bank syariah
tersebut menghadapi banyak persoalan; pertama, alasan peraturan. Operasi
bank syariah bebas bunga dan menggunakan prinsip bagi hasil belum memiliki
payung hukum dan karena itu bertentangan dengan peraturan perbankan yang
berlaku yakni UU no. 14 Tahun 1967. Kedua, aspek politik, artinya bahwa konsep
perbankan syari’ah secara politis berkonotasi ideologis. Ia merupakan bagian dan
atau berkaitan dengan konsep negara Islam, oleh karena itu tidak dikehendaki oleh
pemerintah. Ketiga, aspek permodalan. Ini menyangkut siapa yang bersedia
menaruh modal di bank tersebut sementara pendirian bank baru dari Timur tengah
masih dicegah berkaitan dengan kebijakan pemerintah tentang pembatasan bank
asing yang ingin membuka kantornya di Indonesia.
Ketiga, hubungan
akomodatif Hukum Islam dengan Politik
indonesia (1985 s/d orde baru). Memasuki tahun 1986 sampai berakhirnya
pemerintahanOrde baru hubungan antara umat Islam dengan umat Islam mulai
membaik, apalagi setelah semua ormas Islam menerima asas tunggal pansila. Kesan
adanya fobia pemerintah terhadap gerakan Islam politik seperti yang terjadi
pada dekade sebelumnya tampak mencair. Malahan dalam beberapa kebijakan yang
ditetapkan oleh pemerintah memerlihatkan kesan bahwa pemerintah tengah mencoba
bersifat akomodatif terhadap berbagai aspirasi umat Islam. Yang juga tidak
kalah penting adalah perilaku elite politik yang menampakkan perilaku yang Islami
(Hakim, 2011: 56).
Memasuki
tahun 1990-an perubahan mulai terasa perubahan sikap pemerintah kepada Islam
menjadi lebih akomodatif. Kebijakan pemerintah yang berindikasi kepada
adanya sifat akomodatif inilah yang
dimanfaat oleh Hal itu membuat para tokoh kalangan ahli ekonomi seperti
Karnaen, Dawam Raharjo, A.M Saefudin dan M. Amin Aziz. Lebih serius untuk
medirikan bank Syariah dengan melalui serangkaian diskusi dan seminar., yang
akhirnya didirikannya Bank Syari’ah pertama, yaitu PT. Bank Muamalat Indonesia
tahun 1991, yang disusul dengan lahirnya UU. No.10
tahun 1992 yang didalamnya terdapat ketentuan diperbolehkannya bank beroperasi
dengan system bagi hasil. (Karim, 2006: xxiv). Dari perubahan ini, amat cepat
hanya berselang beberapa tahun telah merubah sikap pemerintah yang anta-gonistik kerah akomodatif.
Kebijakan ini tidak lepas dari dimensi politik. Ini dapat dilihat dari
keterlibatan Presiden Soeharto, BJ Habibie selaku menristek dan ketua ICMI,
serta para menteri yang duduk dalam kabinet.
Hal
yang tamapak jelas adalah dengan lahirnya Bank
syariah, Sejarah mencatat dorongan yang kuat dari Majelis Ulama Indonesia (MUI)
dan Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) di akhir Orde Baru telah
membuka pintu lebar-lebar bagi perkembangan ekonomi dan perbankan berbasis
syariah di tanah air. Kita menyaksikan lahirnya baitul maal wat tamwil, yang digagas dan dikembangkan oleh ICMI,
lahirnya Bank Muamalat Indonesia, dan berbagai lembaga keuangan syariah
termasuk asuransi syariah, telah menjadi pemicu perkembangan ekonomi syariah di
negeri kita (www.setneg.go.id).
Yang sebernarnya jika di analisa secara cepat tidak memungkinkan mendirikan
sebuah Bank yang berbau Islam, terlebih pada era-era sebelumnya dikatakan bahwa
dengan menghadirkan Bank Syariah berdampak ideologis bagi Negara.
Namun
demikian kehadiran Bank Syariah tidak semudah membalikan telapak tangan,
hubungan pemerintah dengan dunia Islam amat berpengaruh terhadap lahirnya bank
syariah di era orde baru. Masalah masa lalu dan pancasila sebagai suatu
ediologi nagara menjadi salah satu perdebatan penting. Disamping konsep bank
syariah dari segi politis juga dianggap berkonoasi ideologis, merupakan
bagaian atau berkaitan dengan Negara Islam, oleh karena itu tidak dikhendaki
pemerintah “Orde Baru”.(Amin, 2009: 76-78).
D.
Pergulatan Politik; Terbentuk-nya UU No. 21
Tahun 2008
Pemberlakuan Hukum Islam dibidang muamalat khususnya perbankan
syariah mempunyai arti tersendiri bagi umat Islam Indonesia. Sebelum berlakunya
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan, ketentuan hukum Islam di
bidang muamalat belum dapat dikatakan diakui dalam tata hukum nasional. Namun
sejak lahirnya UU No.7 tahun 1992 yang diikuti dengan PP No.72 tahun 1992
tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, dan kemudian lahir Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 yang merupakan amandemen atas UU No.7 tahun 1992 tentang
Perbankan dan diperkuat dengan beberapa peraturan dari Bank Indonesia, maka
dapat dikatakan penerapan hukum Islam dibidang muamalat di Indonesia secara
yuridis formal telah diakui eksistensinya.
Adanya hubungan yang cukup baik antara umat Islam
dengan Negara dan juga telah diterimanya asas tunggal Pancasila dalam kehidupan
berorganisasi dan Politik, maka yang semula politik hukum Indonesia pada masa
awal orde baru kurang responsip bahkan memarginalkan hukum Islam, sedikit demi
sedikit atau pelan tetapi pasti hukum Islam diberi tempat dalam tata hukum
nasional, dimulai dengan lahirnya UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, UU
No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan khususnya perbankan syariah juga diberikan
landasan hukum yang kuat yaitu UU No.7 tahun 1992 dan kemudian diubah dengan UU
No.10 tahun 1998 dan di undangkannya UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan
syariah. (http.shvoong.com). Interaksi antara hukum nasional dan hukum Islam
telah menjadikan positvisasi UU No. 21 Tahun 2008 menarik untuk didalami.
Setelah sekian lama adanya dominasi hukum barat sebagai sumber-sumber hukum
nasional, kini kita ditantang untuk melihat hukum Islam sebagai salah satu
sumber hukum utama dalam menciptakan salah satu hukum yang sangat penting yaitu
hukum perbankan dan keuangan syariah.
Pada
lembar pertama surat yang ditandatangani oleh ketua komisi XI DPR RI,
H.M. Paska Suzeta pada tanggal 13
September 2005 dengan nomor surat TU 00/59/KOM.XI/1/2005 yang ditukjukan
kapada wakil ketua DPR RI disebutkan bahwa dasar pengajuan RUU usulan inisiatif komisi
XI DPR RI Tentang Perbankan Syariah sebagai berikut: (dokumen DPR komisi XI
2004-2009)
1.
Bahwa RUU Perbankan Syariah merupakan RUU yang
menjadi prioritas nomor 14 dari DPR RI tahun sidang 2004-2005.
2.
Bahwa Perbankan Syariah terbukti memiliki peran
yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berkeadilan,
ksetabilan Dunia Perbankan Nasional.
3.
Bahwa Perabankan yang mempunyai pinsip-prinsip
syariah harus mendapatkan pengawasan yang lebih khususs sesuai dengan peraturan
PerUU agar tidak menimbulkan keragu-raguan masyarakat dalam operasionalnya.
4.
Bahwa untuk memberikan landasan hokum yang kuat
kepada seluruh pihak yang terkait dengan perbankan syariah diperlukan UU PS.
Sebagaimana layaknya RUU yang lain, kata Ghofur
sebelum resmi disahkn menjadi undang-undang, norma-norma hokum yang terkandung
di dalamnya disusun dalam bentuk naskah rancangan undang-undang. Draft
undang-undang terebut kata ghofur, dapat dibedakan menjadi tiga macam, (1)
rancangan yang bersifat akademik (academic
draft), (2) rancangan yang bersifat politis, yang dapat disebut sebagai naskah
politik, (3) rancangan yang sudah bernilai yuridis yang dinamakan naskah
yuridis.
Dalam RUU tersebut kata Ghofur (277) dijelaskan
mengenai beberapa alasan yang dijadikan pertimbangan pengajuan RUU tersebut. Pertama, kebutuhan masyarakat Indonesia
akan jasa-jasa perbankan Syariah semakin meningkat. Kedua, kegiatan usaha bank Syariah secara hakiki berbeda dengan
kegiatan usaha bank konvensional. Ketiga,
bahwa pengaturan bank syariah di dalam UU No. 7 Tahun 1992 tentang
perbankan, sebagaimana Undang-Undang No. 10 tahun 1998 belum spesifik, oleh
karena itu bagi bank syariah dan perbankan syariah perlu dibuat
ketentuan-ketentuan khusus dalam suatu undang-undang tersendri.keempat, behwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam pertimbangan pertama, kedua, dan ketiga perlu
membentuk undang-undang perbankan syariah.
Adapun
penggagas RUU-PS adalah Departemen Keuangan yang mendapat dukungan dari
Departemen Agama dan Masyarakat Ekonomi Islam. Untuk mempermudah pemahaman
dalam menyikapi Anggota Komisi XI DPR RI, maka kami membagi sikap anggota
Komisi XI dalam tiga macam kelompok sebagai berikut: pertama, adalah mereka kumpulan
orang-orang yang berjuang dalam menegakkan panji-panji Ekonomi Islam di
Indonesia dengan diwujudkan dalam bentuk komitmen dan konsistensi perjuangan
mereka melalui keterlibatan aktif selama persidangan pembahasan RUU-PS mereka
adalah Harry Azhar Aziz dari Golkar, Nursanita Nasution dari PKS, Ana Muawanah
dari PKB, Yunus Yosfiah dari PPP, Drajat Hari Wibowo dari PAN.
Kedua, mereka
yang ikut dalam rapat tapi tidak ikut dalam penandatanganan lembaran usulan
inisiatif namun ketika rapat mereka hanya diam mereka adalah Awal Kusumah,
Melchias El Mekong, Bobby Suhardiman, Herman Wiydananda, Hamda Yandhu, Ahmad
Hafid Zawawi dan Nurlif dari Golkar. H. MS. Latif, Andi Rahmat, Lutfi Hasan,
dan Rama Pratama dari PKS. Ari Wijanarko, Yusuf Faisal, Bachruddin dan Ali Maskur Musa dari
PKB. I Gusti Agung, Rai Wijaya, Olly Dondokambey dan M. Sirait dari PDIP. M
Yasin Kara dari PAN. Habil Marati, Uray Faisal dan Sofian Usman dari PPP. Fera
Febriayanti, Tri Yulianto, Saidi Butar Butar, Albert Yaputra, syarif Hasan dan
Irgan Tanjung dari Demokrat. Diah dari PBR. Yusril Ihza Mahendra, Inya Ray,
Ardi dan Anton Mashur dari BPD.
Ketiga, adalah
mereka orang-orang yang tidak mendukung rancangan Perbankan Syariah yaitu Retna
Rosmanita Situmorang dan Walman Siahaan dari PDS. Hal ini dapat kita lihat pada
argument dari PDS. PDS menilai, bahwa “ Berdasarkan keyakinan kami NKRI
adalah Negara berdasarkan Pancasila bukan berdasarkan Negara agama yang terdiri
dari lebih 500 etnis”. (Rahmat, www.Blogpribadi) Namun meskipun menolak membahas RUU PS, Retna
tetap minta untuk ikut menjadi anggota panitia kerja. “ Saya sudah minta izin
pak ketua” ujar Retna ketika ditanyai oleh ketua Komisi apakah akan tetap
ikut (Hafez. WordPress.com).
Sepanjang
bulan Mei sampai dengan bulan Juli 2006, telah dilakukan sebanyak empat kali
persidangan, sedang pertama digelar pada hari selasa tangga l 9 Mei 2006 yang
diadakan dengan pihak DSN MUI dan Masyarakat Ekonomi Syariah Indonesia, maka
tercatat dari 52 orang
Anggota Komisi XI hanya 7 orang atau 13,46% yang berkomentar yaitu: Harry Azhar
Aziz Golkar, M Yasin Kara, Drajat Hari Wibowo dan Marwoto Mintiharjono
dari PAN, Nursanita Nasution dari PKS, Ana Muawanah dari PKB, Yunus Yosfiah
dari PPP, Ismayatun dari PDIP.
Pada
rapat selanjutnya yang diadakan pada tanggal 15 Mei 2006 dengan menghadirkan
Deputi Gubernur BI, tercatat hanya 9 orang bersuara atau 17,3% yaitu: Harry
Azhar Aziz dari Golkar, M Yasin Kara dari PAN, Nursanita Nasution dari PKS, Ana
Muawanah dan Amin Said dari PKB, Yunus Yosfiah dari PPP, Ismayatun dari PDIP,
Walman Siahaan dari PDS, Fera Febrianti dari Demokrat.
Pada
rapat dengar-dengar pendapat ke tiga dengan pihak ASBISINDO, Rabu tanggal 17
Mei 2006 tercatat hanya 8 oarng yang bersuara atau 15,3% yaitu: Harry Azhar
Aziz dari Golkar, M Yasin Kara dari PAN, Andi Rahmat dan Nur Sanita
Nasution dari PKS, Ari Wijanarko dari PKB, Yunus Yosfiah dan Habil Marati
dari PPP, Dudhie Makmun dari PDIP.
Pada
rapat keempat 11 Juli 2006 dengan menghadirkan para pakar Ekonomi Islam
tercatat hanya 9 orang yang bersuara atau 17,3% yaitu Harry Azhar Aziz dari
Golkar, M Yasin Kara dari PAN, Nursanita Nasution dari PKS, Ana Muawanah dari
PKB, Yunus Yosfiah dari PPP, Ismayatun dan I Gusti Agung dari PDIP, Retna
Rosmanita Situmorang dari PDS.
Dari
rekaman empat kali persidangan berlangsung ada sebanyak 18 orang atau 34,6%
anggota Komisi XI yang berkomentar dan bertanya memberikan usulan serta
tanggapan, dari 18 orang yang melakukan komentar hanya 8 orang atau 15,3% ,
mereka adalah Harry Azhar Aziz dari Golkar, M Yasin Kara dan Drajat Hari Wibowo
dari PAN, Nursanita Nasution dari PKS, Ana Muawanah dari PKB, Yunus Yosfiah
dari PPP, Igusti Agung dari PDIP, Retna Rosmanita Situ Morang dari PDS. (Dok.
Komisi XI DPR RI Periode 2004-2009).
Memasuki tahun 2008, siding yang bertempat di ruang
rapat komisi XI DPR RI Gedung Nusantara I lt 1, yang di pimpin oleh H. Endin
Aj. Soefihara, MMA selaku ketua rapat dan Dra. Tanti Sumartini, M.Si selaku
sekretaris rapat. Agendanya adalah pembahasan DIM pemerintah atas RUU Usul
inisiatif DPR RI tentang perbankan Syariah. Rapat ini dihadiri oleh 17 dari 30
anggota, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Dep. Keuangan, Dirjen Bimas Islam, Dep.
Agama, dirjen Perundang-undangan Dep. Hokum dan HAM. Rapat panja ini
selanjutnya diadakan secara berturut-turut. Rapat panja ke-3 pada hari Jum’at
22 Februari 2008 pukul 16.00 bertempat di ruang rapat Columbus Hotel Gran melia
Jl. H.R Rasuna Said Kuningan Jakarta. Rapat Panja ke-4 di selenggarakan pada
hari sebtu 1 Maret 2008 keduanya juga bertempat di ruang Rapat Columbus.
Berikutnya, pada hari jum’at, 28 Maret 2008 pkl 19.30
diadakan rapat panja ke-6 bertempat di ruang Rapat Ebony Hotel Aryaduta Lippo
Karawaci Tangerang. Dalam rapat panja ini hadir 17 dari 30 orang anggota.,
sabtu. 29 Maret 2008 pkl 10.00 di tempat yang sama diadakan rapat panja ke-7.
Pada hari sabtu, 5 April 2008 diadakan RDP/Panja RUU Perbankan Syariah di ruang
rapat Hotel Sangrila Jakarta. Acaranya adalah pembahasan DIM RUU Inisiatif
tentang perbankan Syariah dan Pembentukan Timus (Tim Perumus) dan Timsin (Tim
Sinkronisasi).
Senin, 20 Mei 2008 pkul 14.00 diadakan Rapat panja RUU
tentang Perbankan Syariah ke-8 di ruang rapat komsi XI, gedung DPR RI Nusantara
1 Lt. 1. Dalam rapat tersebut hadir kepala badan kebijakan fiskal Dep.
Keuangan, Dirjen Bimas Islam Dep. Agama, Dirjen Perundang-undangan, Dep. Hokum
dan HAM, dan deputi Gubernur BI. Selanjutnya pada hari senin, 26 Mei 2006 jam
14.33-6.59 WIB diadakan Rapat Panja ke-9. Agenda acaranya adalah Laporan Timus
dan Timsin kepada panjaPerbankan Syariah dan beberapa agenda lainnya.
Beberapa panja ini, akhirnya menghasilkan draft final
RUU Perbankan Syariah yang terdiri dari XI Bab dan 70 pasal. Draft ini kemudian
disampaikan pada Badan Musyawarah DPR RI pada tanggal 5 Juni 2008 dalam bentuk
laporan komisi XI DPR RI mengenai Perkembangan Pembahasan RUU Usul DPR RI
tentang Perbankan Syariah.
Proses
pengesahan UU ini dari RUU menjadi UU seperti yang tergambar dalam sidang paripurna
DPR di Gedung DPR/MPR RI Jakarta selasa 17 juni 2008 cukup alot. Yaitu, salah
satu fraksi Partai Damai Sejahtera (PDS) melalui juru bicaranya Retna Rosmanita,
menolak RUU perbankan Syarih untuk disahkan menjadi UU. Retna meminta agar
penolakan ini agar dimasukkan sebagai minderheids nota. Ia mengatakan
RUU perbankan syariah tidak sesuai dengan hukum dasar pancasila dan UUD 1945 terutama pasal 21
ayat 1. Menurutnya hak yang berkaitan dengan perbankan telah diatur dalm UU no
7/1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan undang-undang no 10/1998.
Kerena itu tidak perlu lagi ada UU khusus yang mengatur kegiatan perbankan
syariah.
Penolakan
fraksi PDS mendapat respon dari Drajat wibowo anggota DPR fraksi Partai Amanat
Nasional PAN). Wibowo mempertanyakan
penolakan tersebut, sebab perbankan syariah justru berkembang pesat di
Negara-negara maju. Menurutnya UU perbankan syariah bisa mencapai 5% sampai 10%
dari dari total share dari perbankan yang ada di Indonesia. Sidang paripurna
DPR, malalui sebagian fraksi kecuali PDS akhirnya mensahkan RUU perbankan
Syariah menjadi UU Perbankan Syariah (Hakim, 2011: 106)
Pengesahan
dan pengundangan UU. No, 21 tahun 2008 tidak serta merta mencabut keabsahan
segala ketentuan mengenai perbankan syariah yang diatur dalam UU no 7 tahun
1992 tentang perbankan (Lembaran Negara RI Tahun 1992 no. 31, tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10
tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1998 Nomor 182, tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790) beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya.
Karena kedua UU yang disebut terakhir masih dinyatakan berlaku sepanjang tidak
bertentangan UU yang disebut pertama (UU No. 21 Tahun 2008 tentang PBS, Pasal
69).
UU No.
21 tahun 2008 adalah hukum tertulis. Ia merupakan produk politik bidang hukum
ekonomi perbankan Syari’ah. Ia membuat norma yang menentukan arah perkembangan
ekonomi perbankan syari’ah di Indonesia, kini dan kedepan. Norma tersebut
ditransformasikan melalui proses adaptasi dan harmonisasi dari, salah satunya
hukum Islam yaitu fiqh mu’amalah. proses ini lahir dari politicall will
dari pemerintah di bidang hukum. Yaitu mewujudkan demokrasi ekonomi,
kesejahteraan keadilan dan pemerataan ekonomi masyarakat. Oleh karena itu
kelahiran bank syariah dan penetapan undang-undangnya berhubungan langsung
dengan politik hukum.
Kebijakan
negara mendirikan bank syariah dan menerbitkan UU NO. 21 Tahun 2008 merupakan
jawaban atas raelita yang berkembang dalam masyarakat tenteng ekonomi dan norma
pengaturannya, baik yang berskala nasional maupun international terkait dengan
keterpurukan lembaga perbankan dunia yang menganut sistem bunga dan kebijakan
OKI di bidang ekonomi. Oleh karena itu Indonesia sebagai negara anggota OKI
terkait dengan kebijakan itu (Hakim, 2011: 57).
Secara umum dialektika pembentukan UU No. 21 Tahun
2008 menggambarkan komuikasi antara beberapa elemen yang terlibat, baik langsung
maupun tidak langsung bagi terbentuknya UU Perbankan Syariah ini. Secara
formal, ada dua institusi yang terlibat dalam proses pembentukan UU ini yaitu
DPR dan pemerintah. Namun harus diakui bahwa peranan lembaga non-DPR dan
pemerintah seperti BI, ICMI, ASBISINDO, MUI juga tidak dapat diabaikan.,
(Ghofur, 12-313).
Dalam realitasnya, pembentukan UU No. 21 Tahun 2008
tentang Perbakan Syariah, secara sosiologis, memiliki dua dimensi. Pertama, terhadap hokum yang telah
menjadi keyakinan masyarakat sebagian besar rakyat Indonesia yang mendambakan
terwujudnya lembaga perbankan yang bebas dari (riba). (Ghofur, 380). Kedua, pembentukan
UU No. 21 tahun 2008, tidak bisa terlepas dari “tuntutan” sosial ekonomi baik di
tingkat nasional maupun global. Artinya, kehadiran bank syariah ini tidak hanya
sebagai alternative, tetapi sudah menjadi kebutuhan masyarakat dalam menata
perekonomian dan mengatasi krisis ekonomi yang menggurita di mana-mana.
Secara politik hukum, menurut Abdul Ghofur, ada beberapa alasan rasional yang mengharuskan
ditetapkannya UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan Syariah, yakni; (1)
Industri perbankan Syariah memiliki dampak yang positif bagi stabilitas
perekonomian makro Indonesia, (2) Industri keuangan Syariah memiliki
ketahanan/resistensi yang cukup tinggi terhadap goncangan krisis keuangan, (3)
di perlukannya peran aktif pemerintah sebagai regulator dan supervisior
sehingga tercipta efisiensi, transparansi dan berkeadilan.
Oleh sebab itu, lanjut Ghofur, legislasi UU No. 21
Tahun 2008 tentang perbankan Syariah merupakan konsekuensi dari adanya
kesesuaian antara perubahan hokum dengan perkembangan masyarakat dan sekaligus
fungsi hokum untuk mengubah masyarakat, yang dalam bahasa Roscou Pound “law is as tool of social engineering”.
Legislasi UU No. 21 tahun 2008, secarara fundamental,
setidaknya bertumpu pada tiga hal. Pertama,
dasar pijakan politik hokum UU Perbankan Syariah. Dasar ini melibatkan sisi
ideology, constitutional dan normative. Dari sisi ideology legislasi UU
Perbankan Syariah ini dilandasi oleh sila-sila yang terdapat dalam pancasila,
khususnya sila pertama dan sila kelima. Dari sisi constitutional, legislasi UU
perbankan syariah didasarkan atas ketentuan dalam pembukaan dan batang tubuh
UUD 1945, stidaknya pada pasal 29 dan pasal 33. Dari sisi normative, legislasi
UU Perbankan Syariah merujuk kepada ketentuan hokum yang terdapat dalam
prinsip-prinsip syariah dan hokum Islam. Kedua,
terbentuknya UU perbankan Syariah, secara fiosofis, pada dasarnya merupakan
upaya untuk mendukung tujuan bangsa Indonesia yakni membentuk masyarakat yang
adil dan makmur berdasarkan pancasila. Adanya beberapa ketentuan yang terdapat
dalam UU perbankan Syariah yang menekankan bebas riba dan di butuhkannya
akad-akad pengganti bunga, merupakan salah satu langkah untuk mewujudkan
perekonoian yang berbasis pada sektor riil. Upaya mewujudkan ekonomi yang
berbasis pada sekto riil ini merupakan salah satu upaya untuk menghindarkan diri
dari terjadinya bubble economic yang
dapat menyebabkan krisis ekonomi. Ketiga,
legislasi perbankan yariah merupakan
respon dinamika masyarakat. Satu sisi, legislasi UU perbankan syariah ini
merupakan bentuk respon terhadap “sesuatu” yang menjadi keyakinan masyarakat
muslim Indonesia, yakni diharamkannya “riba” atau “bunga”.
E.
Penutup
Perubahan
dan perkembangan hukum Islam tidak bisa dilepaskan dari faktor-fakter politik,
ekonomi, sosial, sejarah dan budaya. Kelima faktor ini meupakan faktor eksternal
paling penting bagi perubahan-perubahan hukum Islam, dan tidak berlebihan jika menempatkan
faktor politik sebagai faktor yang fundamental. Proses terbentuknya perbankan
syariah sarat dengan peranan politik yang pada masa tersebut pemerintah sangat
akomodatif terhadap aspirasi hukum Islam sehingga dapat menguntungkan bagi
pihak-pihak umat Islam untuk memanfaatkan peluang yang kemudian dirikannya
perbankan yang mempunyai basic ke-Islaman.
Lahirnya
UU No. 21 Tahun 2008 sesungguhnya hanya beberapa persen saja yang tidak
menyetujui kelahirannya. Akan tetapi pada akhirnya hal tersebut dapat lahir juga
dengan perbagai argumen yang matang. Penerapan hukum
Islam dalam kegiatan perbankan/keuangan atau kegiatan ekonomi lainnya yang
modern bukanlah pekerjaan yang sederhana. Dalam konteks seperti di atas, studi
mengenai hukum perbankan syariah atau hukum keuangan syariah menjadi suatu studi yang menarik dan menantang untuk dunia hukum di Indonesia
dimana hukum positif (hukum yang berlaku) di negara Indonesia berbeda dengan
yang berlaku dengan hukum agama (Islam). Pemberlakuan
hukum agama (Islam) harus melalui proses yang disebut sebagai proses “positivisasi” hukum Islam.
Dalam hal ini, hukum syariah diterima oleh negara dalam peraturan
perundang-undangan positif yang berlaku secara nasional.
Ringkasnya, perkembangan perbankan syariah banyak ditentukan oleh dinamika internal umat
serta hubungan yang harmonis antara umat Islam dan Negara. Iklim politik yang
kondusif (yang tidak memusuhi) memungkinkan berkembannya perbankan
syariah. Selain itu demokkrasi menyediakan arena bagi artikulasi politik Islam
secara konstitusional. Pada akhirnya, politik dalam bidang Ekonomi Syariah
ditentukan oleh proses integrasi/nasionalisasi gagasan social politik Islam
kedalam system dan konfigurasi social politik nasional.
Daftar Pustaka
Anderson, J.N.D, 1976, Law Reform in The
Muslim Word, London: University of London the Athlon Press.,
------------, 1975, Islamic Law in the
Modern World, New York: New York University Press.,
Amin, A. Ridwan, 2009, Menata Perbankan Syariah di Indonesia,
Jakarta : UIN Press.,
Esposito, John L, 1982, Women in Muslim
Family Law, Syracus: Syarcus University Press.,
Ghofur, Abdul, 2013, Pergumulan Politik UU. No. 21 Tahun 2008, Tentang
Perbankan Syariah., Disertasi, Pascasarjana IAIN Walisongo-Semarang.,
Hasan, Zubairi, 2009, Undang-Undang Perbankan Syariah, Jakarta: Rajawali Press.,
Hakim, Atang Abdul, 2011, Fiqh perbankan
Syariah;Transformasi Fiqh Muamalah ke dalam Peraturan perundang-undangan, Bandung:
PT. Rafika Aditama.,
Hamid, M. Arfin, 2008, Membumikan Ekonomi Syariah di
Indonesia, Jakarta: eLSAS.,
Halim, Abdul, 2002, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di
Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet II.,
Hasan, M. Nur, 2010, Ijtihad Politik NU, Yogyakarta:
manhaj.,
Karim, Adiwarman A. 2006, Bank
Islam Analisis fiqh dan Keungan, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.,
Lev, Daniel S, 1972, Islamic Courts in Indonesia, Berkeley:
University of Kalifornia Press.,
Mahfudz, MD, tt, Politik Hukum Nasional, Jakarta:
LP3ES.,
Munawir
Syadzali, 1990, Islam dan Tata Negara: Ajaran , Sejarah dan
Pemikiran, Jakarta: UI Press.,
Nusantara, Abdul hakim garuda, dalam Artidjo
Alkosar, 1986, Pembangunan hukum dalam perspektif hukum Nasional, Jakarta:
Rajawali Press.,
Sanit, Arbi, 1986, Politik Sebagai
Sumberdaya Hukum, dalam Artidjo Alkosar, Yogyakarta: LBH.,
Satjipto Rahardjo, 2009, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya,
Yogyakarta: Genta Publishing,
cet II.,
------------, 1983, Hukum dan Perubahan Sosial; Suatu Tinjauan
Teoritis Pengalaman-Pengalaman di indonesia, Bandung: Alumni.,
Sidarta, Bernat Arief, 1999, Refleksi
Tentang ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju.,
Sukarja, Ahamad, 1995, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945,
Jakarta: UI Press.,
Supriyadi, Dedi, 2007, Sejarah Hukum Islam; dari
Kawasan Jazirah Arab sampai Indonesia, Bandung: Pustaka Setia.,
UUD
1945. UUD 1945.
Internet:
http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=3422&Itemid=26. Diakses, 28/09/2013.,
Noor Azmah Hidayati Politik
akomodasionis Orde Baru Terhadap (Umat) Islam :Telaah Historis Kelahiran Perbankan Syariah, (PDF Internet)
http://id.shvoong.com/social-sciences/economics/1991250-perbankan-syariah-dalam-perspektif-politik. diakses rabu, 23/09/2013.,
Hafez. WordPress.com, Musang Itu Telah Menanggalkan Bulu Dombanya,
artikel ini diakses 28/09/2013.,