Artikel

Tubuh Perempuan Menjadi Fokus Perhatian



Dari situs Rahima, Pusat Pendidikan dan Informasi Islam dan Hak-hak Perempuan, seorang penulis membagikan cerita tentang temannya yang meninggal karena pendarahan saat melahirkan anak keenam. Katanya, ia dilarang sang suami memakai kontrasepsi karena setiap anak membawa rezekinya sendiri. Baru belakangan diketahui, alasan sesungguhnya adalah karena ia belum memberikan anak laki-laki—sebagai penerus generasi—kepada suami dan keluarganya.

Kematian ibu melahirkan terus terjadi. Namun, upaya menghentikannya selalu menjadi subyek kontroversi karena menyangkut kesehatan reproduksi, yang tak bisa tidak berkaitan dengan soal seksualitas, kata Maria Hartiningsih.

***

Tubuh perempuan adalah tapak kehidupan, begitu dikatakan sosiolog dari Universitas Indonesia, Tamrin Amal Tomagola. Dinamika masyarakat, sekaligus jejak peradaban, dapat dibaca dari tubuh perempuan karena tubuh itu merekam perlakuan pihak lain—orangtua, suami, siapa pun, juga masyarakat, bahkan negara—terhadap dirinya.

Tubuh dan seksualitas perempuan senantiasa merupakan medan kontestasi paling kritis dan wilayah pertempuran paling keras dari berbagai kepentingan. Diktum kaum feminis, the personal is political, juga terkait upaya-upaya menggunakan tubuh perempuan sebagai semacam ”tanda” untuk menunjukkan kuasa ideologi.

Tubuh perempuan juga menjadi wilayah pertarungan makna kalau terlihat dari peraturan yang mengatur cara perempuan berpakaian maupun peraturan yang mengharuskan perempuan beranak banyak, atau sebaliknya, yang memaksa perempuan tidak melahirkan lebih dari satu anak (seperti di China). Atau, yang terjadi di Indonesia semasa Orde Baru. Tubuh perempuan juga menjadi fokus perhatian ketika terjadi perdebatan tentang pertumbuhan penduduk dan pembangunan.

Hak seksual dan hak reproduksi adalah subyek perdebatan dalam sejumlah konferensi internasional. Perdebatan itu menyangkut isu moral versus hak asasi manusia. Kontroversi dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan juga diwarnai hal itu meski hak seksual tak sekali pun disebut dalam pasal-pasalnya.

***

Istilah hak-hak seksual pertama kali muncul dalam agenda internasional semasa persiapan Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) Kairo. Namun, istilah itu tak dapat diterima dalam konsensus final dokumen ICPD dan harus ”dilunakkan” menjadi hak-hak reproduksi.

Meski demikian, istilah hak- hak seksual tetap tercantum dalam dokumen ICPD tahun 1994. Perdebatan serupa muncul kembali dalam Konferensi IV tentang Perempuan dan Pembangunan di Beijing setahun kemudian.

Terlepas dari pertentangan tersebut, Aliansi Global Perempuan dari berbagai agama dan kebudayaan berhasil memasukkan hak-hak seksual ke dalam Pasal 96 Beijing Platform for Action: Hak asasi perempuan termasuk hak perempuan mengontrol dan memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab hal-hal yang terkait dengan seksualitasnya, termasuk kesehatan seksual dan reproduksi, bebas koersi, diskriminasi dan kekerasan.

Vatikan dan negara-negara Katolik, dan Organisasi Negara-negara Islam (OIC) serta negara-negara Katolik, didukung beberapa negara di Afrika dan Amerika Latin menolak hak-hak seksual dalam Dokumen Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Para pemimpinnya menolak tegas setiap referensi terkait dengan hak-hak seksual, ketubuhan, dan reproduksi. AS di bawah Presiden Bush berada di baris terdepan untuk perspektif yang sama, khususnya dalam isu aborsi, pendidikan seks, dan mempromosikan keselibatan sebagai cara terbaik untuk melindungi diri terhadap virus HIV.

Mengurangi angka kematian ibu melahirkan, penjarangan kelahiran dan penggunaan kontrasepsi, disertai pendidikan terusmenerus bagi perempuan untuk mengenali tubuhnya sendiri, bukanlah isu tunggal. Persoalan itu rumit dan terkait dengan berbagai isu, yang berujung pada posisi perempuan di masyarakat; suatu tapak peradaban yang terus bergerak. Wallahu ‘alam