Pesantren dan juga perguruan tinggi Islam (IAIN/UIN) mampu disusupi hingga pemikiran liberal menjadi arus utama. Tentu bukan pekerjaan sulap menyulap, namun konsistensi kaum perongrong kemurnian akidah kaum muslimin yang berlangsung sejak tahun 70-an sampai sekarang menuai keberhasilannya, dengan tolok ukur dari banyaknya masyarakat muslim yang setuju dengan ide-ide sekulerisme, pluralisme agama dan liberalisme.
Untuk
itu diperlukan suatu proses liberalisasi. Proses itu dikenakan terhadap
‘ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan Islam’ yang ada sekarang ini…” Untuk itu, menurut Nurcholish, ada tiga proses yang harus
dilakukan dan saling kait-mengait: 1)sekulerisasi; 2)kebebasan intelektual; dan
3) gagasan mengenai kemajuan dan “sikap terbuka” (dikutip Dr. Adian Husaini, 2008).,
Entah mengapa, aneh tapi nyata adanya.
Kampus yang diharapkan mampu untuk membendung pemikiran-pemikiran sesat itu,
malah menjadi pejuangnya. Dan tidak main-main, para pendukung itu adalah tokoh
dengan gelar doktor dan juga profesor. Contohnya yang dapat saya sebut seperti
Prof. Dr. Harun Nasution, Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, Prof. Dr. Nurcholish
Madjid, Dr. Luthfi Assyaukanie, Dr. Abd Moqsith, Prof. Musdah Mulia dan masih
banyak lagi yang lainnya..
Turunan-turunan dari pemikiran liberal
ini semakin mengkhawatirkan. Di antara pegiat “Islam Progresif”, atau “Islam Liberal”, nama Sumanto Al Qurtuby memang sudah bukan asing
lagi. Alumnus Fakultas Syariah IAIN Semarang ini terkenal dengan ide-ide
liberalnya yang sangat berani. Di sebuah Jurnal yang terbit di Fakultas Syariah
IAIN Semarang, Justisia, ia pernah mengusulkan
agar sejumlah ayat al-Quran diamandemen. Belakangan, kaum liberal di Indonesia, semakin terbuka melontarkan wacana perlunya
proses ”Desakralisasi al-Quran”.Meskipun sudah terbiasa membaca berbagai
pendapat liberal dan progresif yang aneh-aneh, tetapi saya tetap terbelalak dan
nyaris tak percaya, ada sebuah tulisan yang secara terbuka mendukung praktik
seks bebas, asal dilakukan suka sama suka, tanpa paksaan.
Tulisan
Sumanto itu berjudul ”Agama, Seks,
dan Moral”, yang dimuat dalam sebuah buku berjudul Jihad Melawan Ekstrimis Agama, Membangkitkan
Islam Progresif (2009). Kita perlu “berterimakasih” kepada Sumanto
yang secara jujur dan terbuka melontarkan ide liberal dan progresif, sehingga
lebih mudah dipahami. Sebab, selama ini banyak yang mengemas ide ”Islam
progresif” dan ”Islam liberal” dengan berbagai kemasan indah dan menawan,
sehingga berhasil menyesatkan banyak orang.
***
Untuk lebih
jelas menyimak persepsi ”Islam Progresif” tentang seks bebas ini, ada baiknya
kita kutip agak panjang artikel dari penulis yang dalam buku ini memperkenalkan
dirinya sebagai kandidat doktor bidang antropologi politik dan agama di Boston University (sekarang sudah resmi Phd). Kutipan ini
ada di halaman 182-184:
“Apa yang diwartakan oleh agama (Islam,
Kristen dan lainnya) hanyalah satu sisi saja dari sekian banyak persepsi
tentang seks itu atau katakanlah sex among others. Bahkan jika kita
kaji lebih jauh, ajaran Kristen atau Islam yang begitu ”konservatif” terhadap
tafsir teks sebetulnya hanyalah reaksi saja atas peradaban Yunani (Hellenisme)
yang memandang seks secara wajar dan natural. Kita tahu peradaban Yunani telah
merasuk ke wilayah Eropa (lewat Romawi) dan juga Timur Tengah di Abad
Pertengahan yang kemudian menimbulkan sejumlah ketegangan kebudayaan. Oleh
karena itu tidak selayaknya jika persepsi agama ini kemudian dijadikan sebagai
parameter untuk menilai, mengevaluasi dan bahkan menghakimi pandangan di luar
agama tentang seks.
Apa yang kita saksikan dewasa ini adalah
sebuah pemandangan keangkuhan oleh kaum beragama (dan lembaga agama) terhadap
fenomena seksualitas yang vulgar sebagai haram, maksiat, tidak bermoral dan
seterusnya. Padahal moralitas atau halal-haram bukanlah sesuatu yang given dari Tuhan, melainkan hasil
kesepakatan atau konsensus dari ”tangan-tangan gaib” (invisible
hand, istilah Adam Smith) kekuasaan, baik
kekuasaan politik maupun otoritas agama. Teks-teks keagamaan dalam banyak hal
juga merupakan hasil ”perselingkuhan” antara ulama/pendeta dengan pemimpin
politik dalam rangka menciptakan stabilitas.
Saya rasa Tuhan tidak mempunyai urusan dengan
seksualitas. Jangankan masalah seksual, persoalan agama atau keyakinan saja
yang sangat fundamental, Tuhan—seperti secara eksplisit tertuang dalam
Alqur’an—telah membebaskan manusia untuk memilih: menjadi mukmin atau kafir.
Maka, jika masalah keyakinan saja Tuhan tidak perduli, apalagi masalah seks?
Jika kita mengandaikan Tuhan akan mengutuk sebuah praktek ”seks bebas” atau
praktek seks yang tidak mengikuti aturan resmi seperti tercantum dalam diktum
keagamaan, maka sesungguhnya kita tanpa sadar telah merendahkan martabat Tuhan
itu sendiri. Jika agama masih mengurusi seksualitas dan alat kelamin, itu
menunjukkan rendahnya kualitas agama itu.
Demikian juga jika kita masih meributkan soal
kelamin—seperti yang dilakukan MUI yang ngotot memperjuangkan UU Pornografi dan
Pornoaksi—itu juga sebagai pertanda rendahnya kualitas keimanan kita sekaligus
rapuhnya fondasi spiritual kita. Sebaliknya, jika roh dan spiritualitas kita
tangguh, maka apalah artinya segumpal daging bernama vagina dan penis itu.
Apalah bedanya vagina dan penis itu dengan kuping, ketiak, hidung, tangan dan
organ tubuh yang lain. Agama semestinya ”mengakomodasi” bukan ”mengeksekusi”
fakta keberagaman ekspresi seksualitas masyarakat. Ingatlah bahwa dosa bukan
karena ”daging yang kotor” tetapi lantaran otak dan ruh kita yang penuh noda. Paul
Evdokimov dalam The Struggle with God
telah menuturkan kata-kata yang indah dan menarik: ”Sin never comes from below; from the flesh, but from above, from
the spirit. The first fall occurred in the world of angels pure spirit…”
Bahkan lebih jauh, ide tentang dosa
sebetulnya adalah hal-hal yang terkait dengan sosial-kemanusiaan bukan
ritual-ketuhanan. Dalam konteks ini maka hubungan seks baru dikatakan “berdosa”
jika dilakukan dengan pemaksaan dan menyakiti (baik fisik atau non fisik) atas
pasangan kita. Seks jenis inilah yang kemudian disebut “pemerkosaan”. Kata ini
tidak hanya mengacu pada hubungan seks di luar rumah tangga tetapi juga di
dalam rumah tangga itu sendiri. Seseorang (baik laki-laki maupun perempuan)
dikatakan “memperkosa” (baik dalam rumah tangga yang sudah diikat oleh
akad-nikah maupun bukan) jika ia ketika melakukan perbuatan seks ada pihak yang
tertekan, tertindas (karena mungkin diintimidasi) sehingga menimbulkan perasaan
tidak nyaman. Inilah tafsir pemerkosaan. Dalam konteks ini pula saya menolak
sejumlah teks keislaman (apapun bentuknya) yang berisi kutukan dan laknat Tuhan
kepada perempuan/istri jika tidak mau melayani birahi seks suami. Sungguh teks
demikian bukan hanya bias gender tetapi sangat tidak demokratis, dan karena itu
berlawanan dengan spirit keislaman dan nilai-nilai universal Islam.
Lalu bagaimana hukum hubungan seks yang
dilakukan atas dasar suka sama suka, “demokratis”, tidak ada pihak yang
“disubordinasi” dan “diintimidasi”? Atau bagaimana hukum orang yang melakukan
hubungan seks dengan pelacur (maaf kalau kata ini kurang sopan), dengan escort
lady, call girl dan sejenisnya? Atau hukum seorang perempuan, tante-tante,
janda-janda atau wanita kesepian yang menyewa seorang gigolo untuk melampiaskan
nafsu seks? Jika seorang dosen atau penulis boleh “menjual” otaknya untuk
mendapatkan honor, atau seorang dai atau pengkhotbah yang “menjual” mulut untuk
mencari nafkah, atau penyanyi dangdut yang “menjual” pantat dan pinggul untuk
mendapatkan uang, atau seorang penjahit atau pengrajin yang “menjual” tangan
untuk menghidupi keluarga, apakah tidak boleh seorang laki-laki atau perempuan
yang “menjual” alat kelaminnya untuk menghidupi anak-istri/suami mereka?
Ada sebuah kisah dalam sejarah keislaman yang
layak kita jadikan bahan renungan: ada seorang pelacur kawakan yang sudah letih
mencari pengampunan kemudian menyusuri padang pasir yang tandus. Ia hanya
berbekal sebotol air dan sepotong roti. Tapi di tengah perjalanan ia melihat
seekor anjing yang sedang kelaparan dan kehausan. Karena perasaan iba pada
anjing tadi, si pelacur kemudian memberikan air dan roti itu padanya. Berita
ini sampai kepada Nabi Muhammad yang mulia. Dengan bijak beliau mengatakan
bahwa si pelacur tadi kelak akan masuk surga!
Kisah ini menunjukkan bahwa Islam lebih
mementingkan rasa sosial-kemanusiaan ketimbang urusan perkelaminan…”
Demikianlah
gagasan “Islam-progresif” dalam soal kebebasan seksual yang diungkapkan
Sumanto. Memang, sekarang, istilah “Islam progresif” sedang digandrungi
kalangan Perguruan Tinggi Islam. Pada Juli 2009, di UIN Jakarta diadakan
Konferensi ‘Debating Progressive Islam: A
Global Perspective’. Tentu banyak tafsir dan penjelasan tentang
makna “Islam Progresif”. Salah satunya adalah versi Sumanto.
Islam
progresif biasanya dimaksudkan sebagai “Islam yang maju”, sesuai dengan asal
kata dalam bahasa Latin “progredior”.
Sebagaimana banyak pemikir yang mengaku progresif, mereka menempatkan Islam
sebagai “evolving religion”,
yakni agama yang selalu berkembang mengikuti zaman. Dalam perspektif ini, Islam
juga dipandang sebagai agama budaya. Karena itulah, tidak mengherankan, jika
mereka memandang tidak ada satu ajaran Islam yang bersifat tetap. Semua harus
tunduk dengan realitas zaman. Agama ditundukkan oleh akal. Salah satu yang
banyak dijadikan dasar pijakan adalah aspek “kemaslahatan” dan sifat Islam
sebagai “rahmatan lil-alamin”. Dengan alasan inilah, berbagai kemunkaran dan
kejahatan bisa disahkan. Tentang keabsahan praktik homoseksual, misalnya,
ditulis dalam buku ini:
“Agama,
apalagi Islam, yang mengusung jargon “rahmatan lil
alamin” — rahmat bagi sekalian alam ini harus memberi ruang kepada
umat gay, lesbi, atau waria untuk diposisikan secara equal dengan lainnya.
Tuhan, saya yakin tidak hanya milik laki-laki dan perempuan saja, tetapi juga
“mereka” yang terpinggirkan di lorong-lorong sepi kebudayaan.” (hal. 176).
Karena
berpijak pada realiatas dan sejarah sebagai penentu kebenaran—juga syahwat atau
hawa nafsu—maka teks-teks wahyu, sunnah Rasulullah saw, dan tafsir wahyu yang
otoritatif dikesampingkan. Cara berpikir seperti ini juga sangat paradoks.
Dengan berdalih sikap kritis kepada tafsir al-Quran dari para ulama yang
otoritatif, banyak kaum yang mengaku liberal dan progresif pada akhirnya tidak
mampu bersikap kritis sama sekali pada sejumlah ilmuwan Barat. Mereka sangat
ta’dzim dalam mengutip pendapat-pendapat ilmuwan non-Muslim. Ketika
menyimpulkan bahwa dosa bukan karena ”daging yang kotor” tetapi lantaran otak
dan ruh yang penuh noda, dikutiplah pendapat Paul Evdokimov dengan penuh hormat
dan ta’jub, bahwa si Evdokimov “telah menuturkan kata-kata yang indah dan
menarik.”
***
Luar
biasa…Keblingernya!! Bagaimana seorang alumnus IAIN Fakultas Syari’ah kemudian
mengkampanyekan hal seperti ini?
Di lain
kisah, orang liberal ini juga begitu gencar mempromosikan bahwa kebebasan
adalah hak yang patut dilindungi dan diperjuangkan. Berbekal pemahaman
“liberal” ala Barat, maka tolok ukurnya menjadi kebebasan yang kebablasan.
Penikahan sesama jenis, pernikahan beda agama, Ahmadiyah, hingga tafsir Al
Qur’an dengan metode hermeunetika (cara menafsirkan kitab bible). Kaum liberal
juga tak lagi menghormati keilmuan dan akhlak dari para ulama, sehingga
menempatkan mereka sama saja dengan para ilmuan yang bejat, bahkan seseorang
yang tidak punya ilmu pengetahuan apa-apa pun mereka angkat derajatnya menyamai
para ulama untuk memutuskan perkara agama..
Kita sudah sering membuktikan, sikap sok
kritis yang diusung oleh kaum yang menamakan diri liberal dan progresif ini
biasanya hanya kritis terdapat pendapat para ulama yang dianggapnya tidak
sesuai dengan hawa nafsunya. Dan Allah sudah mengingatkan dalam al-Quran bahwa,
jika seorang manusia sudah menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya, maka akan
tertutuplah hati, telinga dan matanya untuk menerima kebenaran. (QS 45:23).
Orang bisa memiliki kepandaian yang tinggi, tetapi ilmunya tidak bermanfaat,
bahkan bisa merusak.
Karena
itulah, untuk menjaga agar ilmu tidak merusak, para ulama selalu menekankan
pentingnya masalah adab dalam urusan keilmuan. Dalam kitabnya yang berjudul Adabul ‘Alim wal-Muta’allim, pendiri
NU, Kyai Haji Hasyim Asy’ari mengutip pendapat Ibn al-Mubarak yang menyatakan: “Nahnu iaa qalilin minal adabi ahwaja minnaa
ilaa katsirin mina ’ilmi.” (Kami lebih membutuhkan adab, meskipun
sedikit, daripada banyaknya ilmu pengetahuan).
Demikian
pendapat KH Hasyim Asy’ari. Orang yang beradab tahu meletakkan dirinya sendiri
di hadapan Allah, Rasulullah saw, para ulama pewaris Nabi, dan juga tahu
bagaimana menempatkan ilmu. Karena itulah, al-Quran menekankan pentingnya ada
klasifikasi sumber informasi diantara manusia. Jika sumber informasi berasal
dari orang fasiq (orang jahat, seperti pelaku dosa besar), maka jangan
dipercaya begitu saja ucapannya. Ada unsur akhlak yang harus dimasukkan dalam
menilai kriteria sumber informasi yang patut dipercaya. (QS 49:6). Seorang yang
tidak beradab (biadab) dalam keilmuan sudah tidak dapat lagi membedakan mana
sumber ilmu yang shahih dan mana yang bathil.
Soal zina,
misalnya. Sebagai Muslim, tentu kita yakin benar bahwa zina itu tindakan haram
dan biadab. Keyakinan itu berdasarkan kepada penjelasan yang sangat tegas dalam
ayat-ayat al-Quran, banyak hadits Rasulullah saw, pendapat para sahabat Nabi,
dan para ulama Islam terkemuka. Dalam soal zina ini, kita lebih percaya kepada
pendapat para ulama ketimbang pendapat Karl Marx, Paul Evdokimov, Bill Clinton,
atau Ernest Hemingway. Sebagai manusia beradab kita bisa membedakan, mana
sumber informasi yang layak dipakai dan mana yang tidak. Sebab, Allah sendiri membedakan
jenis-jenis manusia. Orang mukmin disebut “khairul
barriyyah” (sebaik-baik makhluk) dan orang kafir disebut “syarrul barriyyah”
(sejelek-jeleknya makhluk) (QS 98). Meskipun sering mengkampanyekan “kesetaraan
semua pemeluk agama”, tetapi faktanya, kaum yang menamakan diri mereka sebagai
pengikut “Islam liberal”, “Islam pluralis” atau “Islam progresif” juga tetap
menggunakan identitas Islam. Tidak ada yang mau menyebut dirinya
“kafir-liberal” atau “kafir-progresif”.
Sebenarnya,
jika kita menelaah pemikiran liberal, dukungan terhadap praktik seks bebas
bukanlah hal yang aneh. Ini adalah akibat logis dari sebuah konsep dekonstruksi
aqidah dan dekonstruksi kitab suci. Jika seorang sudah tidak percaya bahwa
Allah adalah satu-satunya Tuhan dan Nabi Muhammad saw adalah utusannya,
kemudian dia pun tidak percaya kepada otoritas ulama-ulama Islam yang
mu’tabarah—seperti Imam al-Syafii—maka yang dia jadikan sebagai standar
pengukur kebenaran adalah akalnya sendiri atau hawa nafsunya sendiri. Kita
paham, masyarakat Barat saat ini tidak memandang praktik seks bebas sebagai
suatu kejahatan. Homoseksual juga dipandang sebagai hal yang normal.
Sebaliknya, bagi mereka, praktik poligami dikutuk.
Nilai-nilai
masyarakat Barat yang sekular – tidak berpijak pada ajaran agama — inilah yang
sejatinya dianut juga oleh kaum yang mengaku liberal atau progresif ini. Bagi
mereka, seperti tergambar dalam pendapat Sumanto ini, urusan seks dipandang
sekedar urusan syahwat biologis semata, sebagaimana layaknya praktik seksual
para babi, kambing, monyet, ayam, dan sebagaimana. Seks dianggap seperti soal
buang hajat besar atau kecil, kapan mereka mau, maka mereka akan salurkan
begitu saja. Yang penting ada kerelaan; suka sama suka. Tapi, bagi kita yang
Muslim, dan juga pemeluk agama lain, jelas soal seksual dipandang sebagai hal
yang sakral. Karena itulah, agama-agama yang hidup di Indonesia, sangat
menghormati lembaga perkawinan.
Dalam
pandangan Islam, jelas ada perbedaan nilai dan posisi antara penis dengan pipi,
meskipun keduanya sama-sama daging. Bagi seorang Muslim, yang menjadikan
“penis” dan “pipi” berbeda adalah nilai-nilai yang diajarkan oleh Islam.
Sebelum zaman Islam, banyak suku bangsa yang masih memandang sama kedudukan
daging wanita dengan daging kambing, sehingga mereka menjadikan ritual korban
dengan menyembelih wanita dan kemudian meminum darahnya. Seorang Muslim
memandang penting perbedaan antara “daging manusia” dengan “daging ayam”.
Daging ayam halal hukumnya untuk dimakan. Jenazah manusia harus dihormati.
Jangankan dimakan dagingnya, jenazah manusia harus dihormati dan diperlakukan
dengan baik. Jika kaum liberal melakukan dekonstruksi dalam aqidah dan
nilai-nilai moral, maka akibatnya, pornografi atau seks bebas pun kemudian
didukung. Sebab, dalam pikiran liberal, tidak ada aturan yang pasti, mana
bagian tubuh yang boleh dibuka dan mana yang harus ditutup. Yang menjadi
standar baik buruk adalah ”kepantasan umum”. Kalau memang bertelanjang atau
beradegan porno sesuai dengan tuntutan skenario dan dilakukan ”pada tempatnya”,
maka itu dianggap sebagai hal yang baik.
Kepastian
akan kebenaran dan nilai itulah yang membedakan antara Muslim dengan kaum
liberal. Orang Muslim yakin dengan kebenaran imannya, dan yakin ada kepastian
dalam soal halal dan haram. Hukum tentang haramnya babi sudah jelas dan tetap
haram sampai kiamat. Begitu juga dengan haramnya zina, dan haramnya perkawinan
sesama jenis (homo dan lesbi). Tapi, dalam perspektif liberal dan progresif,
seperti dipaparkan oleh buku ini, larangan agama terhadap perkawinan sesama
jenis ini pun dianggapnya sudah tidak berlaku. Tentang perlunya legalisasi
perkawinan sesama jenis, ditulis dalam buku ini:
“Dan harap
diingat, konsep perkawinan dalam suatu ikatan ”sakral” bukan melulu untuk
mereproduksi keturunan melainkan juga untuk mewujudkan keluarga sakinah
(ketenteraman/kebahagiaan). Maka, dalam bingkai untuk mewujudkan keluarga
sakinah ini seorang gay atau lesbian harus menikahi sesama jenis. Justru
melapetaka yang terjadi jika kaum gay-lesbian dipaksa kawin dengan lain jenis.
Untuk mewujudkan gagasan perkawinan sejenis ini, maka paling tidak ada dua hal
yang harus ditempuh: pembongkaran di tingkat wacana keagamaan, yakni teks-teks
skriptural (dalam konteks Islam: teks tafsir dan fiqih khususnya) yang masih
terkesan diskriminatif dan kemudian pembongkaran di tingkat struktur normatif
masyarakat yang masih bias dalam memandang pola relasi antar-manusia.” (halaman
175).
Berulangkali
kita menyerukan kepada kaum yang mengaku liberal, progresif dan sejenisnya,
agar mengimbangi sikap kritis dengan adab. Ada adab kepada al-Quran, adab
kepada para Nabi, adab kepada ulama pewaris Nabi. Sayangnya, buku yang memuat
pendapat yang merusak—seperti dukungan terhadap praktik seks bebas ini—justru
dipuji-puji dan didukung oleh orang yang seharusnya justru bersikap kritis dan
mendidik masyarakat dengan akhlak yang mulia. Di sampul buku bagian belakang,
dicantumkan sejumlah pujian. Djohan Effendi, pendiri Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), menyebut buku
ini: “sangat inspiratif untuk
melakukan refleksi atas perjalanan umat Islam selama ini. Pendapatan dan sikap
kritis yang ia lakukan merupakan sumbangan yang sangat berarti untuk mendorong
pemikiran progresif di kalangan generasi baru umat Islam yang menginginkan
kemajuan bersama dengan orang dan umat lain.”
Pada
dasarnya secara fundamental, Islam mengakui kebebasan, namun Kebebasan dalam
Islam, adalah kebebasan yang tidak menabrak pada norma agama. Bukan kebebasan
tanpa aturan dan seenaknya manusia sendiri dalam menafsirkan. Jika masih mau
disebut sebagai manusia yang beragama, maka harus mematuhi rambu-rambu agama
tersebut. Kecuali jika kita memang menginginkan menjadi seseorang yang tidak
beragama, dan tidak terikat pada aturan agama, maka pilihan ada di tangan kita
sendiri.
Kelemahan
yang paling fatal menurut saya dalam pemikiran sumanto, ia tidak menggunakan
metodologi yang jelas, al-Qurtuby Manafsirkan dengan serampangan, parsial ad hock sebagaimana dalam bukunya
tersebut (jihad melawan ekstrimisme Agama: membangkitkan Islam progresif),
sehingga semua itu menjadi sangat berpotensi untuk mendatangkan kritik dari
berbagai kalangan, apa lagi melihat mainstream
yang telah mapan dan lebih-lebih sudah mendarah daging., sebagaimana
pemikiran “Mbah” Ulil Absor Abdallah yang di kritik oleh Mertuanya sendiri—KH
Mustofa Bisri dalam Koran beberapa tahun lalu—karena metodologi yang bisa di
bilang kurang jelas., seperti itulah yang terdapat dalam tulisan sumanto.
Walaupun
pemikiran Sumanto sangat progresif, Tapi saya yakin Sumanto al-Qurtuby setiap
pagi dan sore selalu kirim Fatihah kepada Syeh Hasyim Asy’ari (Allah Yarham).,[]
Wallahu ‘alam