Sosok tokoh ulama yang kharismatik, lembut, sabar
serta telaten. Beliau menyebarkan agama dengan cara menggelar pengajian kitab
kuning untuk masyarakat Benda dan sekitarnya. Beliau meletakkan pondasi utama
dengan menekankan praktek mu’amalah dan ibadah (Ilmu yang Amaliyah). Beliau adalah KH
Kholil Bin Ma’hali.,
Dalam konteks sejarah, sebagai seorang yang tumbuh di
lingkungan cinta ilmu (agama) pendiri PP alhikmah tersebut tidak luput dari
pengembaraan intelektualnya., dalam tulisan ini tidak tidak akan memotret
bagaimana sang murobbi (guru besar) pertama PP alhikmah Benda tersebut dari
sisi biografi, tapi lebih menonjolkan tempat belajar Sang Kyai. Siapa sangka
tempat ngaji sang Kiai di pondok pesantren
tertua nomer wahid di Jawa Tengah.,
Mengetahui hal tesebut, dalam benak saya terselimutu
berbagai pertanyaan, dari mana Sang Kiai memperoleh informasi, bahwa di sana
(dondong) ada pesantren? Sedang desa Benda adalah ds sangat pelosok sekali,
apalagi dulu tahun 1900-an,. Apakah ada Jaringan Ulama’ yang pada saat itu
sudah terjalin dengan apik?
Sang ahli bait, jarang yang bercerita tentang jaringan
ulama’ yang mengantarkan sang Kiai sampai ke Dondong semarang tersebut—dulu
belum masuk Semarang, masih ikut di kadipaten Kendal, sampai wilayah
ngalian—namun setelah pemekarang wilayah, mangkang masuk dalam kota Semarang.,
teladan setelah beliau pulang saja yang banyak di ceritakan, itupun hanya
bersifat parsial.,
***
Tempat nyantri sang Kiai, adalah pesantren tertua di Jawa
Tengah terdapat di Kota Semarang. Pesantren itu ada di Kampung Dondong
Kelurahan Wonosari Kecamatan Ngaliyan Semarang. Karena ada di Kampung Dondong,
pesantren itu bernama Pesantren Dondong sebelum beralih nama menjadi Yayasan
Luhur.
Salah satu sumber mencatat, pesantren tempat Kiai Kholil
nyantri didirikan pada tahun 1609 M oleh Kiai Syafii Pijoro Negoro. Sementara
sumber lain mencatat pesantren itu dibangun lebih muda yakni pada tahun 1612 M.
Pada bagian pintu bangunan yang berjejer memanjang berlantai
dua terdapat tulisan pondok pesantren “luhur” Dondong, Wonosari, Ngaliyan. Sekarang
pengasuhnya bernama Tobagus Mansyur. Pria yang akrab disapa Gus Toba ini
merupakan generasi ketujuh dari keturunan pendiri Pesantren Dondong Kiai Syafi’i
Pijoro Negoro bin Kiai Guru Muhammad Sulaiman Singonegoro.
Gus (panggilan untuk keturunan kiai) ini dengan sangat
rendah hati menceritakan sejarah Pesantren Dondong. Sebelum ia bercerita, pria
berkulit putih terlebih dahulu menjelaskan kondisi terkini pesantren. Sekitar
sepuluh tahun terakhir, pesantren ini mengalami kemunduran karena berbagai
faktor.
Daerah Kelurahan Wonosari belakangan kerap diterpa banjir
bandang hingga mencapai dua meter. Banjir ini diakibatkan daerah atas Kecamatan
Ngaliyan banyak dibangun pabrik dan perumahan sehingga volume air di Kali
Beringin menjadi sangat besar dan deras.
Setiap kali hujan datang, daerah ini pasti diterjang banjir.
Puncaknya pada november 2010, banjir bandang terjadi sehingga beberapa bangunan
inti pesantren roboh. Gus Toba menyebut ada tiga korban balita yang meninggal
dunia akibat rumah mereka diterjang banjir.
“Sejak itu, pesantren mengalami kemunduran. Ada beberapa
bangunan inti yang roboh karena banjir dan juga kamar-kamar santri terendam
air. Akibatnya santri banyak yang boyongan. Kantor pesantren yang menyimpan
banyak arsip juga tak luput dari tejangan banjir,” tuturnya lirih.
Karena banjir yang terus-terusan melanda, arsip-arsip yang
merekam jejak sejarah pesantren itu ikut hanyut terbawa air dan sebagian rusak.
Karena itu, untuk mengetahui sejarah berdirinya pesantren ini secara detail tak
bisa dijumpai di pesantren ini. Selain dua lokal runtuh, pada tahun 2012 satu
lokal bangunan tua itu kebakaran. ”Bangunan yang baru sekarang ini, itu
dibangun pada masa Kiai Ma’mun. Kalau bangunan tuanya sudah roboh,” ujarnya.
“Semua arsip-arsip hilang, mungkin terbawa air dan mungkin
sebagian rusak. Kejadian itu semasa saya masih mesantren dulu. Mungkin kalau
tulisan-tulisan atau arsip tentang pesantren ini lebih ada di perpustakaan.
Dulu katanya sih ada arsip tulisannya di Kemenag. Tapi saya juga tulisannya
belum pernah membacanya,” tutur alumnus Pesantren Tegalrejo Magelang ini.
Meskipun demikian Gus Toba menceritakan sejarah pesantren
ini sepanjang yang ia tahu dari cerita-cerita orang tuanya. Sebagai generasi
ketujuh, ia bercerita sembari mengutip apa yang sesepuh-sesepuh ceritakan
padanya. Secara berurutan ia menyebutkan kiai-kiai generasi penerus Kiai
Syafi’i selaku pendiri dan bubak tanah Mangkang.
Kiai Syafii, menurut ceritanya adalah pejuang Mataram,
komandan pasukan Sultan Agung, yang menyerang Vereenigde Oostindische
Compagnie (VOC) atau Perserikatan Perusahaan Hindia Timur di Batavia, pada
1629. Dalam perjalanannya, Kiai Syafii singgah dan kemudian bermukim di tempat
yang sekarang bernama Kampung Dondong.
“Pada awalnya, beliau mendirikan semacam padepokan, belum
berwujud pesantren seperti sekarang. Lambat laun, semakin banyak santri yang
datang hingga akhirnya berkembang menjadi pesantren,” ujarnya. Konon, Kiai
Syafii berasal dari daerah Klaten atau Yogyakarta.
Pada catatan keluarga, dia disebut sebagai keturunan Ki
Ageng Gribig. Tidak ada catatan pasti mengenai tahun lahir dan wafat tokoh
besar itu. Haul atau peringatan kematian Kiai Zamqolun diperingati setiap 7
Syawal.
Musala yang menjadi markas para pejuang dari Badan Keamanan
Rakyat/Tentara Keamanan Rakyat (BKR/TKR), dan dikenal dengan nama Markas Medan
Barat, kondisinya memang sudah memprihatinkan.
***
Diceritakannya, sepeninggal Kiai Syafii yang wafat pada 1711
M, pengurus pesantren digantikan menantunya Kiai Abu Darda dari Jekulo Undaan
Kudus. Abu Darda merupakan suami dari Nyai Rogoniah binti Kiai Syafi’i. “Menurut
cerita-cerita sih Mbah Abu Darda itu masih keturunan Sunan Kudus,” ujarnya.
Namun, Gus Toba enggan membahas banyak soal silsilah pendiri
pesantren lebih ke atas. Bukan karena tak mengharagai jasa-jasanya. Namun
dengan sangat rendah hati ia menjelaskan bahwa keluarganya tak ingin terbuai
dengan ketokohan sesepuh-sesepuhnya.
“Biarlah para pendiri ini dikenal hanya sebagai pejuang agam
dan bangsa ini. Kami tak begitu mengetahui silsilah lebih ke atas. Karena
takutnya nanti keturunan-keturunannya sombong sehingga lupa diri. Kami takutnya
itu, keturunan tak bisa mengendalikan diri,” tutur pria yang enggan diambil
gambar ini.
Setelah Kiai Abu Darda wafat pada 1315 H, pengasuh
digantikan menantunya Kiai Abdullah Buiqin bin Umar dari penanggulan Santren
Kendal. Abdullah Buiqin merupakan suami dari Nyai Natijah binti Kiai Abu Darda.
Sepeninggal Kiai Abdullah Buiqin yang wafat pada 1340 H
Pesantren Dondong Kiai Asy’ari bin Basuki yang merupakan suami Nyai Masruhah
cucu dari Nyai Aisyah binti Kiai Abdu Darda. Kiai Asy’ari kemudian wafat pada
1374 H, selanjutnya digantikan oleh kiai Masqom bin Kiai Ahmad bin Kiai
Abdullah Buiqin.
Selanjutnya, Kiai Masqan wafat pada tahun 1402 H dan
digantikan adiknya Kiai Akhfadzul Athfal yang wafat pada Pada tahun 1411. Pasca
itu pengasuh pesantren digantikan menantunya, yakni Kiai Ma’mun Abdul Aziz dari
Ngebruk Mangkang. Kiai Ma’mun adalah suami dari Nyai Dalimatun binti Kiai
Akhfadzul Athfal.
Silsilah di atas diambil dari skripsi mahasiswa Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang Nurudin. Penelitian itu diambil dari wawancara
dengan Abdullah Umar Athfal, pada 7 Juni 2005. Selain itu ada silsilah
kiai-kiai yang mengampu pesantren yang dalam versi lain.
Sepeninggal Kiai Abu Darda, Pesantren Dondong kemudian
diasuh Kiai Abdullah Tulkin yang merupakan cucu Kiai Syafii. Secara berurutan
setelah Kiai Abdullah Tulkin kemudian diasuh Kiai Ahmad Ardabili (cicit), Kiai
Masqon (canggah), dan KH Ahfadul Alfal.
Sekarang, pesantren itu diasuh oleh KH Abdullah Umar, KH
Faisol Sanusi, Tubagus Mansur (Gus Toba). Gus Toba ini merupakan keturunan
generasi ketujuh dari pendiri pesantren Dondong Kiai Syafii.
Silsilah ini diambil dari tulisan media Suara Medeka
Senin 8 Oktober 2007 yang ditulis Achiar MP. Achiar memperoleh data dari
wawancara dengan Zamqolun (46), salah seorang pengurus Yayasan Pesantren Luhur
Dondong.
Perkembangan terakhir Pesantren Dondong yang masih tersisa
hanya ada sembilan santri mukim. Sementara santri kalong (pulang pergi) hanya
ada 20 orang. Meskipun demikian, Gus Toba masih berharap bangunan bisa
diperbaiki untuk menarik para santri yang akan mengaji.
Gus Toba untuk mengetahui sedikit di antara kiai yang pernah
menjadi santri di Pondok Dondong mengaku banyak diceritakan oleh Kiai Hadlor
Ikhas, Mangkang. Kiai Hadlor pernah bercerita kepadanya saat mengantar Gus
Sholah, Putra Kiai Masruri Brebes berziarah ke makam Kiai Syafii.
“Kalau versinya Kiai Hadlor, Mbahnya Kiai Masruri (maksudnya
KH. Kholil Ma’hali) pernah nyantri disini. Saya diceritakan itu pada waktu Gus
Sholah ziarah ke makam. Selain itu, menurut cerita Kiai Sholeh Darat juga
pernah belajar bersama Kiai Syafii. Entah hubungannya kiai atau sodara, kami
belum tahu,” ujarnya.
Sementara para alumnus yang pernah nyantri di pesantren itu
adalah Mbahnya Kiai Hadlor Ikhsan (pengasuh PP. al-Ishlah Mangkang Kulon). Kiai
Mas’ud, (pengasuh pesantren Darul Amanah Sukorejo) alumni sekitar tahun 1970an.
Ada juga Kiai Zamhari (pengasuh pesantren Darunnajah Bogor).