PERUBAHAN HUKUM DI TENGAH PERGUMULAN
PERUBAHAN
MASYARAKAT
(Perspektif
Teoritis)
A. Pendahuluan
Perubahan sosial dalam
masyarakat adalah suatu produk dengan berbagai faktor, dan dalam banyak hal,
hubungan antar faktor-faktor tersebut. Selain faktor hukum, ada beberapa
mekanisme perubahan lainnya,
seperti faktor-faktor teknologi, ideologi, kompetisi, konflik, ekonomi, dan
politik, serta masalah struktural (structural strains). Semua
mekanisme tersebut dalam kebanyakan hal saling berhubungan. Hal itu juga
terjadi dalam perubahan hukum : adalah sangat sulit, bahkan tidak mungkin,
untuk menggambarkan hubungan sebab-dan-akibat (cause-and-effect relationship).
Sebagai makhluk sosial, manusia dalam kehidupan sosialnya tidak akan pernah
terlepas dari adanya kebutuhan dalam menunjang kelangsungan kehidupan
mereka, oleh sebab itulah manusia yang satu dengan manusia yang lainnya akan
saling memiliki kepentingannya masing-masing dalam memenuhi kebutuhan mereka.
Namun karena manusia identik dengan sifat egois (mementingkan diri sendiri) dan
angkuh yang menyebabkannya seringkali merugikan orang lain ketika menjalankan
dan mengejar kepentingan mereka, jadi tidak mustahil akan sering terjadi
konflik di antara manusia dalam melaksanakan dan mengejar kepentingannya
tersebut, disinilah muncul yang biasa disebutkan dengan masalah. Dari needs dan
problem itu, kemudian hukum hadir untuk meminimalisir konflik yang terjadi
dalam kehidupan sosial manusia, agar manusia merasa aman dalam menjalankan dan
mengejar kepentingannya masing-masing (Mertokusumo,
2005: 3)
Hukum juga sering diartikan sebagai teks yang tertera di dalam
Undang-Undang, sebagai aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, dan Hakim), dalam
kajian tentang budaya hukum (Legal Culture), terlihat bahwa hukum itu
disitu difungsikan sebagai motor keadilan, kemudian dalam berbagai kajian
lainnya terkadang hukum disebut sebagai institusi sosial, dan juga sebagai alat
rekayasa sosial, bahkan sebagian orang menyatakan hukum itu sebagai mitos dari
kenyataan. Perbedaan yang demikian tidak menjadi suatu permasalahan dalam
mendefenisikan serta memfungsikan hukum tersebut. Namun ada hal yang menarik
dalam kajian sosiologi hukum, yaitu ketika melihat prilaku manusia sebagai
hukum. Sebagaimana dipaparkan oleh Satjipto Rahardjo (2009: 20), maka akan
diperlukan kesediaan untuk mengubah konsep kita mengenai hukum, dimana hukum
itu tidak hanya diartikan sebagai peraturan (rule), tetapi juga prilaku
(behavior).
Lawrence M. Friedman, sebagaimana di kutip oleh Saifullah, (2007: 26) yang
menyatakan bahwa sistem hukum itu terdiri atas struktur hukum (berupa
lembaga hukum), substansi hukum (beruba perundang-undangan), dan kultur
hukum atau budaya hukum. Dimana ketiga komponen itulah yang
mendukung berjalannya sistem hukum di suatu Negara. Tapi tidak dapat dipungkiri
bahwa secara realitas sosial, keberadaan sistem hukum yang terdapat dalam
masyarakat itu akan mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat pengaruh dari
modernisasi atau globalisasi, baik itu secara evolusi maupun revolusi. Dan bisa
juga karena disebabkan oleh beberapa faktor lainnya yang mempengaruhi hukum.
Demikian halnya dengan manusia dalam kehidupan bermasyarakat (sosial), tentunya
bisa mengalami perubahan-perubahan seperti yang terjadi pada hukum itu sendiri.
Lantas bagaimana jika hukum dan masyarakat itu mengalami perubahan. apakah hukum itu yang menyebabkan
perubahan masyarakat, atau sebaliknya. dan
bagaimana peran social control dan social enginerring dalam perkembangan masayarakat
tersebut.
B. Perubahan Sosial Sebagai
Dasar Perubahan Hukum
Perubahan hukum menurut R. Otje Salman (1989: 82) pada hakikatnya dimulai
dari adanya kesenjangan antara keadaan-keadaan yang terjadi di dalam masyarakat
dengan pengaturannya oleh hukum. Tuntutan bagi terjadinya perubahan hukum
timbul manakala kesenjangan tersebut sudah tidak dapat diterima lagi, sehingga
kebutuhan akan perubahan semakin mendesak. Sedangkan Satjipto Rahardjo memandang perubahan
hukum sebagai suatu hal yang sangat penting, antara lain karena hukum pada saat
sekarang ini umumnya memakai bentuk tertulis. Memang dengan bentuk ini
kepastian hukum lebih terjamin, namun ongkos yang harus dibayarnya pun cukup
mahal, yaitu berupa kesulitan untuk melakukan adaptasi yang cukup cepat
terhadap perubahan yang terjadi disekelilingnya (Rahardjo, 2000: 191).
Perubahan hukum dapat dimulai oleh perubahan gradual (bertahap)
dalam nilai-nilai dan sikap-sikap masyakarat. Masyarakat akan berpikir
bahwa kemiskinan adalah hal yang buruk dan hukum harus dibuat untuk
menguranginya dengan satu atau berbagai cara. Masyarakat dapat menghujat
penggunaan hukum karena lebih lanjut telah menambah praktek-praktek
diskriminasi rasial di dalam pemilihan suara, perumahan, lapangan kerja,
pendidikan, dan semacamnya, dan akan mendukung perubahan-perubahan yang
melarang penggunaan hukum untuk maksud-maksud ini. Masyarakat akan
berpikir bahwa pebisnis tidak akan begitu bebas untuk menjual semua jenis
makanan ke pasar tanpa adanya inspeksi pemerintah yang memadai, atau terbang
dengan pesawat yang belum memenuhi standar keselamatan pemerintah, atau
mempertontonkan apa saja di televisi semau yang punya stasiun televisi.
Sehingga hukum harus diundangkan semestinya, dan lembaga-lembaga regulatori
harus berfungsi seperti seharusnya. Dan masyarakat akan berpikir bahwa
praktek aborsi adalah tidak jahat, atau praktek kontrasepsi adalah diinginkan,
atau bahwa perceraian adalah tidak amoral. Oleh sebab itulah hukum dalam
beberapa kejadian tersebut harus mengalami perubahan, atau harus direvisi
kembali sesuai dengan standar yang dibutuhkan oleh masyarakat itu sendiri.
Perubahan-perubahan dalam kondisi social, teknologi, pengetahuan,
nilai-nilai, dan sikap, oleh karena itu, dapat mengarah kepada perubahan
hukum. Dalam hal ini, hukum bersifat reaktif dan mengikuti perubahan
sosial. Namun perlu dicatat, bahwa perubahan hukum adalah salah satu dari
banyak respons terhadap perubahan sosial. Namun perubahan hukum sangatlah
penting, karena hukum merepresentasikan kewenangan negara dan kekuasaan
pemberian sanksinya (http://mjrsusi. wordpress.com).
Dari situlah kemudian dapat dipahami bahwa perubahan hukum merupakan suatu
konsekwensi yang terjadi pada sistem hukum, sehingga menurut sebagian kalangan
menyatakan bahwa hidup matinya hukum itu bergantung pada perubahan sosial yang
terjadi. Jadi perubahan hukum itu berfungsi menjembatani keinginan-keinginan
manusia agar tidak timbul prilaku yang anarkis, destruktif, kondisi chaos, dan
selainnya. Oleh sebab itulah perubahan hukum yang terjadi akan berujung pada
pengaturan secara tertulis (sebagai suatu dokumen yang sah menurut hukum
modern), sehingga siapapun harus tunduk pada apapun yang telah diatur dalam
perubahan hukum tersebut (Saefullah, 2007: 27).
Sebagaimana telah disinggung
oleh Max Weber, perkembangan hokum meteriil dan hokum acara mengikuti tahap-tahap
perkembangan tertentu, mulai dari bentuk sederhana yang didasarkan pada
charisma, sampai kepada tahap termaju dimana hokum disusun secara sistematis
dan dijalankan oleh orang yang telah menjalankan pendidikan dan latihan
dibidang hokum. Tahap-tahap perkembangan hokum yang kemudian oleh Max Weber disebut
merupakan lebih banyak bentuk-bentuk hokum yang dicita-citakan dan menonjolkan
kekuatan social manakah yang berpengaruh kepada pembentukan hokum kepada
tahap-tahap yang bersangkutan (Soekanto, 2009: 102-103).
Hal ini yang sama dapat pula
ditafsirkan terhadap teori Max Weber terhadap tipe-tipe ideal dari system hokum
yaitu yang irasional dan rasional. Dengan adanya birokrasi dimasyarakat
industri yang modern maka, system hokum yang formal dan rasional timbul. Dari dalam hokum tersebut maka diambillah
suatu teori dasar yang berhubungan dengan perubahan social dan perubahan hokum.
hukum modern sarat dengan bentuk-bentuk formal, dengan prosedur-prosedur dan
birokrasi penyelenggaraan hokum, materi hokum dirumuskan secara terukur dan
formal dan menciptakan pula konsep-konsep baru serta konstruksi khusus juga
tidak setiap orang ,menjadi operator hokum, melainkan mereka yang memiliki
kualifikasi khusus dan menjalani inisiasi formal tertentu. Hakim harus
berijazah sarjana hukum, advokat harus mempunyai lisensi kerja, dan setruanya
(Rahardjo, 2007: 13)
Akibat hokum berubah menjadi
institusi artifisial dan makin menjauh dari rakyat atau masyarakat. Bagi
masyarakat umum, hokum lalu menjadi dunia yang esoteric yang hanya bisa
dimasukui oleh orang-orang yang telah menjalani inisiasi atau pendidikan
khusus. Sejak ketertiban diwakili oleh hokum yang terstruktur, dan
diadministrasi secara rasional itu, maka tidak lagi seseorang tidak dapat
bergerak secara aman dan selamat dari masyarakat, kecuali memperoleh panduan
dari pawing-pawang hokum seperti advokat. Orang tidak lagi bisa memperjuangkan
kebenaran, hak-haknya dan sebagainya kecuali disalurkan kedalam jalur hokum
modern itu (Rahardjo, 2007: 13).
Seyogyanya hukum harus dapat mengayomi masyarakat, hukum harus dapat
dijadikan penjaga ketertiban, ketentraman, dan pedoman tingkah laku dalam
kehidupan masyarakat. Kemudian hukum harus dapat dijadikan pembaru dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus terbentuk dengan berorientasi
kepada masa depan (for word looking), bukan ke masa lampau (back word
looking), oleh sebab itulah hukum harus dapat dijadikan pendorong dan
pelopor untuk mengubah kehidupan masyarakat kepada yang lebih baik dan lebih
bermanfaat.
Fuady (2011: 52) yang jika
dilihat dari perkembangan hokum dibandingkan dengan perkembangan masyarakat,
hokum dapat dibedakan sebagai berikut;
1 . Hokum social engineering
2 . Hokum progressive
3 . Hukum Slow Motion
4 . Hokum Stagnan
Gerakan dari empat model hokum
tersebutberfungsi dan berkembang secara berbeda-beda, dengan konsekuensi yang
berbeda-beda pula sebagaimana dalam table berikut;
Konsekuensi
dari perkembangan hukum
Jenis Hukum
|
Perkembangan Masyarakat
|
Perkembangan Hukum
|
Konsekuensi
|
Hokum social enginerring
|
maju
|
Lebih maju
|
Rekayasa masyarakat
|
Hokum progresif
|
maju
|
Maju
|
Pembangunan
|
Hokum Slow Motion
|
Maju
|
Kurang maju
|
Mempertahankan pola/stabilitas
|
Hokum Stagnan
|
Maju
|
Tidak maju
|
Anarki/gejolak/roformasi
|
Hokum stagnan
|
Sangat maju
|
Sangat tidak maju
|
Revolusi social
|
Hokum Stagnan
|
Tidak maju
|
Tidak maju
|
Masyarakat terasing/uncivilized
|
Perubahan hokum dan perubahan masyarakat, ada dua
macam perubahan hokum yaitu;
1. Perubahan hokum yang bersifat ratifikasi.
Dalam hal ini sebenarnya masyarakat sudah terlebih dahulu berubah dan sudah
mempraktikkan perubahan dimaksud kemudian diubahlah hokum untuk disesuaikan
dengan perubahan yang sudah terlebih dahulu terjadi dalam mayarakat. Akan
tetapi perlu diketahui bahwa dalam hal ini tidak serta-merta terjadi perubahan
hokum jika terjadi perubahan dalam masyarakat. Yang lebih sering ialah hokum
sulit merespons perubahan yang terjadi dimasyarakat. Sebab hakikinya hokum itu
super konservatif, dan kalaupun berkembang dia berkembang mengikuti iramanya
sendiri, berputar diorbitnya sendiri dengan logikanya sendirir dijalan yang
sunyi. Perubahan masyarakat yang menyebabkan perubahan hokum ini sering terjadi
perubahan dalam bentuk perubahan undang-undang yang ada. Tetapi sekali-kali
juga perubahan dalam yurisprudensi yang bersifat menggebrak”. Misalnya
yurisprudensi belanda tahun 1919 yang mengubah paradigm pranata perbuatan hokum.
2. Perubahan hokum yang bersifat proaktif. Dalam
hal ini masyarakat belum mempraktikkan perubahan tersebut, tetapi sudah ada
ide-ide yang berkembang terhadap perubahn dimaksud. Kemudian sebelum masyarakat
mempraktikkan perubahan ynag dimaksud, hokum sudah terlebih dahulu diubah,
sehingga dapat mempercepat praktik perubahan masyarakat tersebut. dalam hal
ini, berlakulah ungkapan “hokum sebagai sarana rekayasa masyarakat” (law as
a tool social enginerring) (Fuadi, 2011: 52-55).
Teori yang lain yang,menghubungkan
hokum dengan perubahan social adalah pendapat Hazairin sebagaimana dikutip
Seokanto (2009: 110) tentang hokum adat. Didalam pidato pengukuhannya sebagai
guru besar pada tahun 1952 beliau berpendapat bahwa baik secara langsung maupun
tidak langsung, seluruh lapangan hokum mempunyai hubungan dengan kesusilaan.
Oleh karena itu, maka didalam system hokum yang sempurna, taka da tempat bagi
sesuatu yang tidak selaras atau bertentangan dengan kesusilaan. Khususnya dalam
hokum adat, ada hubungan langsung antara hokum dengan kesusilaan yang akhirnya
meningkat menjadi hubungan antara hokum dengan adat. Adat merupakan endapan
kesusilaan didalam masyarakat yaitu kaidah-kaidah adat merupakan kaidah-kaidah
kesusilaan yang sebenarnya telah mendapat pengakuan secara umum dalam
masyarakat tersebut.
Oleh Hazairin dikatakan, bahwa
kaidah-kaidah hokum merupakan kaidah-kaidah yang tidak hanya didasarkan pada
kebebasan pribadi, akan tetapi secara serentak mengekang pula kebebasan tersebut
dengan suatu gerakan maupun ancaman paksaan yang merupakan ancaman hokum atau
penguat hokum. Dengan penjelsan tersebut Hazairin menghilangkan batas tegas
disuatu pihak dengan kesusilaan dipihak lain. Sebaliknya, kaidah-kaidah
kesusilaan dan adat dibiarkan pemeliharaannya kepada kebebasan pribadi yang
dibatasi dengan ancaman serta dijuruskan kepada suatu ancaman paksaan, yaitu
hukuman yang merupakan penguat hokum. Kemudian tentang isi hokum adat disesuaikan
dengan paham masyarakat baik dalam arti adat sopan santun maupun dalam arti
hokum.
C. Dinamika
Pekembangan masyarakat
dan keadaan hukumnya
Soerjono Soekanto
(2011: 101) menyatakan bahwa Perubahan Sosial adalah perubahan pada
lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang memengaruhi
sistem sosialnya, termasuk
di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap, pola-pola perilaku di antara kelompok-kelompok masyarakat. Dia juga
menjelaskan bahwa perubahan dapat mengenai nilai-nilai sosial, kaidah-kaidah
sosial, pola-pola perilaku, organisasi, susunan lembaga-lembaga kemasyarakatan,
lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan
lain sebagainya.
Terkait dengan perubahan hukum ini ada dua pandangan yang saling tarik menarik,
dan keduanya saling memiliki alasan pembenarnya masing-masing, yaitu: Pandangan
tradisional dan pandangan modern (Manan, 2009: 7).
1. Pandangan
Tradisional
Dalam pandangan ini, hukum difungsikan dalam fungsi pengabdian (dienende
funtie), dimana hukum itu berkembang mengikuti kejadian-kejadian yang
terjadi dalam suatu tempat, dan selalu berada dibelakang pristiwa yang terjadi
(het recht hinkt achter de feiten aan). Jadi perubahan hukum itu
terjadinya belakangan.
2. Pandangan
Modern
Pandangan ini berbeda dengan tradisional, karena dalam pandangan ini hukum
diusahakan agar dapat menampung segala perkembangan baru, oleh sebab itu hukum
harus selalu berada bersamaan dengan pristiwa yang terjadi. Jadi jelas bahwa
dalam pandangan ini hukum berperan sebagai alat untuk rekayasa sosial (law a
tool of social
egineering).
Masyarakat sendiri
terdiri dari beberapa ciri, yakni ciri masyarakat tradisional, transisi,
dan moderen yang diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, yakni masyarakat
tradisional, masyarakat transisi, dan masyarakat modern, dimana uraian ini
antara lain diarahkan kepada aspek politik, sosial budaya, demografis, dan
aspek kelembagaan.
Salah satu ahli
yang banyak berjasa dalam teori perubahan model administrasi di negara sedang berkembang,
adalah Fred W. Riggs. Ide-ide dasar Riggs, banyak yang di adaptasi dalam
mendeskripsikan perubahan sifat dan prilaku masyarakat menurut tiga klasifikasi
tersebut. Terutama pada karakteristik masyarakat transisi (masyarakat
prismatik) merupakan kajian yang sangat relevan dengan masyarakat kita,
mengingat posisi masyarakat Indonesia sekarang berada dalam masa transisi yang
berarti segala keunggulan dan kelemahannya bermanfaat diketahui untuk
selanjutnya dilakukan perbaikan (intervensi) di periode mendatang.
Misalnya, dilihat
dari aspek politik, maka karakteristik masyarakat tradisional cenderung
memiliki kesadaran politik yang rendah, di samping itu antara satu golongan
yang lainnya cenderung saling mencurigai. Keadaan seperti ini berlaku terbalik
pada masyarakat modern, di mana partisipasi dalam aspek politik cenderung
tinggi dan sportivitas antara satu golongan/partai dengan yang lainnya relatif
berjalan baik. Sementara itu, pada masyarakat transisi berada di antara dua
kutub ini, dimana ciri-cirinya lebih banyak diwarnai oleh warna yang
formalistis. Artinya, secara formal telah ada aturan dalam pelaksanaan suatu
aktivitas, seperti dalam Pemilu, namun yang lazim terjadi pada masyarakat
transisi adalah aturan itu lebih bersifat formalitas dibanding dipraktekkan
atau ditegakkan di lapangan.
Perubahan dan
interaksi sosial adalah merupakan gejala perubahan dari suatu keadaan sosial
tertentu ke keadaan sosial lain. Teori siklus menjelaskan, bahwa perubahan
sosial bersifat siklus. Pandangan teori siklus sebenarnya telah dianut oleh
bangsa Yunani, Romawi dan Cina Kuno jauh sebelum ilmu sosial modern lahir.
Mereka membayangkan perjalanan hidup manusia yang pada dasarnya terperangkap
dalam lingkaran sejarah yang tidak menentu. Menurut orang Cina, alam semesta dibayangkan
berada dalam perubahan yang berkepanjangan. Namun perubahan itu mengikuti
ayunan abadi gerakan melingkarnya perubahan itu sendiri.
Masyarakat
mempunyai sifat yang dinamis, ia selalu ingin berkembang dan berubah. Irama
perubahan tersebut ada yang lambat, ada yang sedang, ada yang cepat karena
dipacu oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pertumbuhan
ekonomi. Akibatnya pola-pola interaksi yang terjadi antara kelompok-kelompok
masyarakat pun semakin kompleks.Gejala sosial sendiri tidak terlepas dari unsur
sosial yakni struktur sosial dan proses sosial. Hal ini dimaksud karena dalam
suatu struktur sosial otomatis terdiri dari beberapa bagian yang secara
sistimatis mempengaruhi suatu gejalah sosial. Bagian yang dimaksud adalah
kebudayaan, lembaga sosial, kekuasaan, kelompok sosial dan lapisan sosial.
Bagian-bagian dari
struktur sosial tersebut jika berdinamika akan membentuk suatu proses sosial.
Proses sosial itu sendiri terdiri dari :
a. Interaksi sosial
Interaksi social berarti suatu kehidupan bersama
yang menunjukkan dinamikanya, tanpa itu masyarakat akan kurang atau bahkan
tidak mengalami perkembangan. Interaksi social merupakan hubungan-hubungan social
yang dinamis, yang menyangkut hubungan orang perorangan, antara kelompok-kelompok
manusia. Kalau interaksi social berjalan dengan baik, masyarakat dapat hidup
dengantenang. Mereka dapat memperoleh hubungan dengan baik melalui interaksi
antar sesamanya, baik dalam bentuk komunikasi melalui interaksi maupun dalam
bentuk bekerja sama. Oleh karena itu hubungan masyarakat dalam bentuk apapun dapat
diselesaikan dengan interaksi, baik interaksi masyarakat bawahan mapun sampai
pada kalangan masyarakat paling atas.
b. Reaksi atau perubahan sosial.
Perubahan-perubahan social merupakan suatu
variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima yang disebabkan baik karena perubahan-perubahan
kondisi geografis, kebudayaan materiil, komposisi penduduk, ideology maupun
adanya difusi maupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat tertentu. Perubahan-perubahan
social adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan disalam
suatu masyarakat yang mempengaruhi system sosialnya, termasuk didalamnya
nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola peri kelakukan diantara kelompok-kelompok
dimasyarakat.(Ali, 2006: 17-18)
c. Permasalahan sosial (sangat berat, amat
berat, berat, tidak berat).
Dengan demikian, terjadinya suatu interaksi sosial dengan sendirinya hukum melakukan atau melaksanakan fungsinya sebagai pengendalian sosial. fungsi hukum dibedakan menjadi beberapa kategori berdasarkan proses sosial yakni :
1. Fungsi hukum sebagai pengatur apabila
dalam proses interaksi sosial tersebut interaksi dilakukan dengan nurani
(kodrati), organis (terorgisir) dan mekanis atau dilakukan berdasarkan
keinginan hati.
2. Fungsi hukum sebagai pengawas apabila
terjadi reaksi (perubahan sosial). Perubahan sosial yang menjadikan hukum
mengawasi adalah perubahan sosial terarah, maju, mengambang, dan mundur.
3. Fungsi hukum sebagai penyelesaian masalah.
Peranan hukum dalam menyelesaikan masalah apabila terjadi permasalahan sosial.
Permasalahan sosial terbagi atas beberapa kategori yakni, permasalahaqn sosial
sangat berat, amat berat, berat, dan tidak berat.
Dari fungsi hukum
dalam menyelesaikan masalah, apabila terjadi permasalahan sosial. Permasalahan
sosial tidak terlepas dari perubahan sosial, karena permasalahan sosial akan
timbul dengan sendirinya berdasarkan pola atau kategori perubahan sosial.
Perubahan sosial terarah maka permasalahan sosialnya tidak berat. Perubahan
sosial maju maka permasalahan sosialnya berat. Perubahan sosial mengambang maka
permasalahan sosialnya amat berat. Sedangkan perubahan sosial mundur maka yang
terjadi permasalahan sosialnya menjadi sangat berat. Dengan demikian hukum
berdampingan dengan masyarakat, karena terjadinya suatu interaksi sosial hukum
berperan sebagai pengatur masyarakat.
D. Aspek-aspek Perubahan Social yang Berhubungan
dengan Perubahan Hukum
Secara historis, perubahan
sosial terlalu sangat lambat untuk menjadi kebiasaan sebagai sumber utama dari
hukum. Hukum dapat merespons perubahan sosial setelah puluhan tahun atau
setelah berabad-abad. Bahkan di masa awal revolusi industri,
perubahan-perubahan yang terjadi karena ditemukannya mesin uap atau
ditemukannya listrik hanya secara gradual telah mempengaruhi respons hukum yang
sah selama satu generasi. “Namun saat ini tempo dari perubahan sosial
telah sedemikian cepat pada suatu titik dimana asumsi-asumsi yang ada pada saat
ini tidak akan sah lagi bahkan dalam beberapa tahun ke depan” (Friedman, 1972:
13).
Hubungan antara hukum dengan perubahan sosial menurut Hobel memerlukan alat
dan alatnya adalah kita
temukan dalam bentuk konsep yang menjelaskan secara fungsional tempat hukum
dalam masyarakat, pekerjaan itu adalah: pertama, Merumuskan perubahan yang boleh
dan tidak boleh. kedua, Mengalokasikan dan menegaskan siapa-siapa
yang boleh menggunakan kekuasaan dan atas siapa yang kekuasaan itu serta
bagaimana prosedurnya. ketiga, Mempertahankan adopsi masyarakat dengan
mengatur kembali hubungan-hubungan ketika terjadi perubahan (Rahardjo, 1986: 27)
Saifullah (2007: 31-34) menyatakan bahwa Perubahan hukum dengan perubahan
sosial merupakan dua hal yang tidak dapat dipisah satu sama lain. Kaitan
perubahan hukum dengan perubahan sosial akan melahirkan dua paradigma, yaitu:
1. Paradigma hukum
penyesuai kebutuhan
Paradigma ini hukum berfungsi sebagai pelayan kebutuhan masyarakat, agar
hukum tidak ketinggalan karna lajunya perkembangan masyarakat. Ciri-ciri
paradigm ini, perubahan cendrung diikuti oleh sistem lain, perubahan social
lebih cepat dibanding hukum, penyesuain yang cepat dari huku ke keadaan baru,
hukum berfungsi sebagai pengabdian, hukum mengikuti peristiwa bukan sebaliknya,
seperti kejahatan teknologi canggih. Paradigma ini yang paling sering terjadi,
ini menunjukkan bahwa masyarakat membutuhkan hukum setelah adanya konflik,
sengketa, dll.
2. Paradigm
hukum antisipasi masa depan
Paradigma yang kedua ini memfungsikan hukum sebagai yang dapat menciptakan
perubahan atau setidak-tidaknya sebagai pemicu perubahan masyarakat. Ciri dari
paradigma yang kedua ini adalah, law is a tool social engineering, law as a
tool of direct social change, berorientasi ke masa depan (forward
looking), ius constituendum, hukum berperan aktif, dan tidak hanya
menciptakan ketertiban akan tetapi menciptakan dan mendorong perubahan dan
perkembangan tersebut. Seperti adanya UU tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan
Raya.
Perubahan telah menyapu
melalui negara-negara industri maju dengan gelombang-gelombang dankecepatan
yang amat sangat tinggi serta berdampak yang amat sangat tidak terduga”.
Dalam arti, orang dalam masyarakat modern terperangkap ke dalam gelombang (maelstrom)
perubahan soaial, hidup dalam serangkaian revolusi yang kontras dan saling
terkait dalam demografi, urbanisasi, birokratisasi, industrialisasi, sains,
transportasi, pertanian, komunikasi, riset biomedis, pendidikan, dan hak asasi
manusia. Setiap revolusi ini telah membawa perubahan yang spektakuler
dalam serangkaian akibat, dan telah mentransformasi nilai-nilai masyarakat,
sikap, perilaku, dan institusi.
Banyak pakar sosiologi dan
pakar hukum menyatakan bahwa teknologi adalah salah satu dari kekuatan pengubah
besar (great moving forces) untuk perubahan hukum (Miller, 1979: 10).
Hukum telah dipengaruhi oleh teknologi dalam sekurangnya tiga cara, “Yang
paling jelasadalah kontribusi teknologi kepada perbaikan teknik hukum dengan
memberikan instrumen yang harus digunakan dalam menerapkan hukum (misalnya,
melalui sidik jari atau penguji kebohongan). Yang kedua, yang tidak kurang
signifikan adalah, efek teknologi dalam proses formulasi dan penerapan hukum
sebagai akibat dan perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh teknologi dalam
iklim sosial dan intelektual dimana proses hukum dieksekusi (misalnya, dengar
pendapat melalui televisi). Yang terakhir, teknologi mempengaruhi substansi
dari hukum dengan menghasilkan masalah baru dan persyaratan baru yang harus
diurus oleh hukum” (Stoner, seperti dikutip oleh Miller, 1979:14).
Gambaran dari perubahan teknologi yang mengarah kepada perubahan hukum telah
sangat banyak ditemui.
Perubahan hukum dapat dimulai
oleh perubahan gradual dalam nilai-nilai dan sikap-sikap masyakarat.
Masyarakat akan berpikir bahwa kemiskinan adalah hal yang buruk dan hukum harus
dibuat untuk menguranginya dengan satu atau berbagai cara. Masyarakat
dapat menghujat penggunaan hukum karena lebih lanjut telah menambah
praktek-praktek diskriminasi rasial di dalam pemilihan suara (sebelum 1963,
masyarakat kulit hitam dan keturunan Spanyol tidak boleh memilih di Amerika
Serikat penerjemah), perumahan, lapangan kerja, pendidikan, dan semacamnya, dan
akan mendukung perubahan-perubahan yang melarang penggunaan hukum untuk
maksud-maksud ini. Masyarakat akan berpikir bahwa pebisnis tidak akan
begitu bebas untuk menjual semua jenis makanan ke pasar tanpa adanya inspeksi
pemerintah yang memadai, atau terbang dengan pesawat yang belum memenuhi
standar keselamatan pemerintah, atau mempertontonkan apa saja di televisi semau
yang punya stasiun televisi. Sehingga hukum harus diundangkan semestinya,
dan lembaga-lembaga regulatori harus berfungsi seperti seharusnya. Dan
masyarakat akan berpikir bahwa praktek aborsi adalah tidak jahat, atau praktek
kontrasepsi adalah diinginkan, atau bahwa perceraian adalah tidak amoral. Oleh
karena itu, hukum dalam topik-topik ini harus ditinjau kembali atau direvisi.
Perubahan-perubahan dalam
kondisi social, teknologi, pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap, oleh karena
itu, dapat mengarah kepada perubahan hukum. Dalam hal ini, hukum bersifat
reaktif dan mengikuti perubahan sosial. Namun perlu dicatat, bahwa
perubahan hukum adalah salah satu dari banyak respons terhadap perubahan
sosial. Namun perubahan hukum sangatlah penting, karena hukum
merepresentasikan kewenangan negara dan kekuasaan pemberian sanksinya.
Hukum baru sebagai respons terhadap masalah sosial atau masalah teknologi baru
mungkin dapat memperbesar masalah tersebut atau mungkin dapat menyelesaikan
masalah dan membantu menyelesaikan masalah tersebut. Seringkali, respons
hukum terhadap perubahan sosial, yang sudah pasti melalui suatu tenggang waktu
(time lag), akan menyebabkan perubahan sosial baru. Sebagai
contoh, hukum yang dibuat sebagai respons terhadap adanya polusi udara dan air
yang dikarenakan perubahan teknologi akan berakibat adanya pengangguran di
area-area tertentu, dimana perusahaan yang menyebabkan polusi tidak mau atau
tidak bisa untuk memasang alat pencegah polusi. Pada gilirannya,
pengangguran dapat berakibat ke perpindahan penduduk (relocation), dapat
mempengaruhi tingkat kriminalitas di dalam masyarakat, atau dapat berakibat
adanya tekanan penekan dari pihak yang terkena. Korelasi dan reaksi
berantai ini dapat diperluas lagi menjadi tak terhingga. Oleh karena itu,
hukum dapat dipandang sebagai faktor reaktif (yang menolak) dan proaktif (yang
setuju) dalam perubahan sosial.
E. Dua kerja Hukum dalam Hubungan dengan Perubahan Social;
Sarana
Social Control dan Social Engineering
Melihat hubungan antara perubahan
hukum dengan perubahan social, tentunya tidak akan terlepas dari dua pandangan
yang pada bahasan sebelumnya saling bertolak belakang, yaitu pandangan
tradisional yang menyatakan bahwa hukum itu akan mengalami
perubahan setelah terjadi perubahan sosial, dan pandangan modern yang
menyatakan bahwa perubahan hukum itulah yang terjadi terlebih dahulu dari
perubahan sosial, dimana dalam pandangan modern, hukum difungsikan sebagai alat
rekayasa sosial (law a tool of social
egineering). Dalam pandangan ini juga dinyatakan bahwa perubahan
masyarakat terjadi bila seorang mendapat kepercayaan, dari masyarakat sebagai
peminpin lembaga-lembaga kemasyarakatan. Pelopor perubahan meminpin masyarakat
dalam mengubah sistem sosial di dalam melaksanakan perubahan sosial tersebut.
Selain itu hukum juga berfungsi sebagai kontrol sosial di masyarakat, sehingga
hukum dianggap memilki fungsi untuk menetapkan tingkah laku yang baik dan tidak
baik atau prilaku yang menyimpang dari hukum, dan sanksi hukum terhadap orang
yang mempunyai prilaku yang tidak baik tersebut (Ali,
2006: 27).
Masalah mengenaihubungan hukum dan perubahan social jelas merupakan sebuah
persoalan sentral dalam teori yang sudah dipelajari, tetapi dalam masyarakat barat
kontemporer (dan banyak masyarakat yang mewakilinya saat ini)persoalannya kini
mendapatkan bentuk barunya. Roger Cotterrell mengatakan hukum sekarang dikenal
sebagai agen kekuasaan; sebuah instrument pemerintah. Karena pemerintah
tersentralisasi pada Negara, hokum secara ekslusif terlihat seperti hokum yang
dibuat Negara seperti norma-norma. Dalam pandangan praktisi hokum dan pandangan
khalayak luas, hokum kemudian dipandang sebagai terpisah dari masyarakat yang
diaturnya. Kini menjadi mungkin untuk membicarakan tentang hokum yang bertindak
atas nama masyarakat. Sehingga hokum menjadi di pandang sebagai sebuah agen
independen control social dan tuntunan social (Cottorrell, 2004: 63-64).
Social control biasanya diartikan sebagai suatu
proses, baik yang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik mengajak atau
bahkan memeksa warga masyarakat agar mematuhi system kaidah dan nilai yang
berlaku. Perwujudan dari social control tersebut mungkin berupa pemidanaan
kompensasi, maupun konsiliasi. Setiap kelompok masyarakat selalu memiliki
problem sebagai akibat adanya perbedaan akan adanya yang ideal dan yang actual,
antara yang standar dan yang praktis antara yang seharusnya dan yang diharapkan
untuk dilakukan dan yang dalam kenyataan dilakukan.(Ali, 2006: 22-23)
Sementara masyarakat berjuang kearah
kebebasan, orang-orang terkenal yang menempatkan diri mereka dikepalanya ini
dipenuhi dengan semangat. Mereka hanya berfikir tentang menundukkan manusia pada
tirani filantropis dari penemuan-penemuan social mereka sendiri. Seperti
Rousseau, mereka berhasrat untuk memaksa umat dengan patuh menanggung belenggu kesejahteraan
public yang telah mereka impikan dalam imajinasi mereka sendiri. Setelah rezim
lama tersebut dihancurkan masyarakat tunduk pada tatanan-tatanan artifisial yang
lain, yang selalu bermula dari titik yang sama; kemahakuasaan hokum (Frederic
Bastiat, 1998: 51-52).
Lebih lanjut Bastiat juga mengutip sebuah
puisi yang bertajuk hokum dari Saint Just; “Si pembuat hokum memerintah masa depan.
Ia-lah yang menginginkan kebaikan umat manusia, ia membentuk manusia
sebagaimana ia inginkan”. Dan juga puisi Robespierre “Fungsi pemerintah
adalah mengarahkan kekuatan fisik dan moral bangsa kearah tujuan yang menjadi
alasan keberadaan bangsa tersebut” (Bastiat, 52).
Fungsi hokum dalam kelompok dimaksud di
atas adalah menerapkan mekanisme social control yang akan membersihkan
masyarakat dari sampah-sampah masyarakat yang tidak dikehendaki sehingga suatu
ukum mempunyai fungsi untuk mempertahankan eksistensi kelompok. Suatu kelompok
masyarakat pada suatu tempat akan hencur, bercerai-berai atau punah bukanlah
disebabkan hokum gagal difungsikan untuk melaksanakan tugasnya, melainkan tugas
hokum harus dijalankan untuk menjadi social control dan social enginerring di
dalam kehidupan masyarakat. Sebab tugas dan fungsi hokum tidak murupakan tugas
dan tujuan itu sendiri, melainkan instrument yang tidak dapat digantikan
mencapai keseimbangan dalam aktivitas yang dilakukan oleh manusia (Ali, 2006:
23-24).
Selain sebagai control social hokum juga
sebagai pelopor perubahan memimpin masyarakat dalam mengubah system social dan
didalam melaksanakan hal itu langsung tersangkut dalam tekanan-tekanan untuk
perubahan bahkan mungkin menyebabkan perubhan-perubahan pada lembaga
kemasyarakatan lainnya. Suatu perubahan social yang dikehendaki atau
direncanakan, selalu berada didalam pengendalian serta pengawasan pelopor perubahan
tersebut. cara untuk mempengaruhi masyarakat dengan system yang teratur dan direncanakan
terlebih dahulu dinamakan socialengineering (Seokanto, 2009: 122).
Pengakuan (recognition) peranan
hukum sebagai suatu instrumen dari perubahan sosial telah semakin menguat di masyarakat
kontemporer. “Hukum melalui respons legislatif dan administratif terhadap
kondisi-kondisi sosial dan ide-ide baru, selain melalui interpretasi kembali
dari konstitusi, statuta atau preseden secara meningkat tidak hanya
mengartikulasikan/mengambil peranan penting tetapi juga menentukan arah dari perubahan-perubahan
sosial besar” (Friedman, 1972: 513). Sehingga, “Perubahan sosial yang
dicoba, melalui hukum, adalah suatu jejak (trait) dasar dari dunia
modern” (Friedman, 1975: 277).
Dari hal tersebut dapat dimungkinkan dalam
mendorong terjadinya perubahan social,hokum mempunyai dua pengaruh yaitu
pengaruh langsung dan tidak langsung. Sebagaimana yang banyak dikutip Yeheskel
Dror (1959) dalam Cottereell membedakan antara penggunaan hukum secara
langsungdan tak langsung dalam mendorong perubahan.
Pertama pengaruh hokum secara tidak
langsung misalnya suatu peraturan yang menentukan sistem pendidikan tertentu bagi
warga Negara mempunyai pengaruh secara tidak langsung yang sangat penting bagi
terjadinya perubahan social. Karena hokum terentang dalam masyarakat dimana
sebagian orang memiliki pengetahuan dan sebagian yang lain tidak. Dimana
sebagian warga perlu belajar dan sebagian yang lain bisa mengajar (Bastiat, 1998:
28).
Seperti di Indonesia sejak kemerdekaan
pada tahun 1945, semua sekolah Dasar (SD) harus menggunakan bahsa Indonesia
sebagai bahasa pengantar. Contoh lain adalah tentang jumlah universitas dan
mahasiswa di Indonesia. Sebelum UU No. 22/1961 ditetapkan, terdapat 14
universitas Negeri dengan 65.000 mahasiswa. Terlepas dari sisi baik beruknya,
sejak undang-undang tersebut ditetapkan, jumlah universitas negeri naik 34 buah
dengan 158000 mahasiswa. Contoh ini untuk membuktikan bahwa suatu keputusan
hokum dapat memper banyak jumlah lembaga-lembaga pendidikan dan selanjutnya lembaga-lembaga
tersebut merupakan alat sosialisasi, akulturasi perubahan, mobilitas atau gerak
social, dan pendidikan bagi golongan elit potensiil.
Kedua hukum yang mempunyai pengaruh yang
langsung terhadap lembaga-lembaga kemasyarakatan yang artinya adalah bahwa
terdapat hubungan langsung antara hokum dan perubahan-perubahan social. Suatu
kaidah hokum yang menetapkan bahwa janda dan anak-anak tanpa memperhatikan jenisnya
dapat menjadi ahli waris mempunyai pengaruh langsung terhadap terjadinya perubahan-perubahan
social, sebab tujuan utamanya adalah untuk mengubah pola perikelakuan dan
hubungan antara warga masyarakat. Kaidah-kaidah hokum tersebut ditetapkan dalam
ketetapan MPRS No. II/1960 yang mencoba membentuk suatu system hokum waris yang
seragam di Indonesia (Seokanto, 2009: 124).
Menurut Zaenudddin Ali (2006: 39) untuk
mengubah masyarakat Setidaknya ada empat factor yang perlu diperhatikan dalam
hal penggunaan hokum sebagai alat pengubah masyarakat;
1. Mempelajari
efek social yang nyata dari lembaga-lembaga serta ajaran-ajaran hokum.
2. Melakukan
studi sosiologis dalam mempersiapkan peraturan perundang-undangan serta dampak
dari undang-undang yang ditimbulkan tersebut.
3. Melaksanakan
studi tentang pengaturan perundang-undangan yang efektif.
4. Memperhatikan
sejarah hokum tentang bagaimana suatu hokum itu muncul dan bagaimana diterapkan
dalam masyarakat.
F. Penutup
Perubahan sosial terjadi dengan seketika walaupun
dengan laju yang berbeda-beda pada masyarakat kontemporer, dan hal itu
mempengaruhi kehidupan individu-individu dalam berbagai cara. Perubahan
di dalam masyarakat adalah suatu produk dari berbagai faktor dan dalam banyak
kasus adanya keterkaitan atau faktor-faktor tersebut. Selain hukum, ada
sejumlah mekanisme tentang perubahan sosial. Semua mekanisme ini saling
terkait, dan kita harus hati-hati untuk tidak memberikan bobot yang sama kepada
salah satu dari “penyebab”
ini.
Hukum adalah peubah/variabel bebas dan
peubah tak bebas di dalam perubahan sosial. Hubungan antara hukum dan
perubahan masih kontroversial. Beberapa orang berpendapat bahwa hukum
adalah reaktor/akibat dari perubahan sosial, sedangkan orang-orang lainnya
berargumen bahwa hukum adalah inisiator/sebab dari perubahan sosial. Dalam
banyak bidang kehidupan, seperti pendidikan, hubungan rasial, perumahan,
transportasi, penggunaan energi, dan perlindungan lingkungan, hukum telah
digadang-gadang sebagai instrumen perubahan. Hukum mempengaruhi perubahan
sosial secara langsung maupun tidak langsung. Hukum mendefinisikan kembali
aturan normatif, memperluas hak-hak formal, dan digunakan untuk maksud-maksud
perencanaan.
Terlihat jelas bahwa disatu sisi dapat
dikatakan bahwa hukum itulah yang berfungsi sebagai kontrol sosial, dan alat
rekayasa sosial yang berperan untuk melakukan perubahan sosial. Tapi di sisi
lain, perubahan sosial juga bisa dinyatakan sebagai langkah utama yang
menentukan terjadinya perubahan hukum, dimana hukum itu difungsikan sebagai gejala sosial, yang
apabila terjadi perubahan sosial maka akan terjadi pula perubahan hukum
menyertainnya untuk memenuhi kebutuhan manusia (masyarakat).
**********
Ali, Zainuddin, 2006, Sosiologi Hukum, Jakarta:
Sinar Grafika. Cet I.
Bastiat, Frederic,
1998, The Law, Freedom Institute.
Cotterrell, Roger, 2004,
The Sosiologi of Law; an Introduction, London: Buttersworths.
Friedman, 1975, The
Legal Sistem; A social Science Perspective, New York: Russell Sage
Foundation.
________,1972, Law
State and Society, London: Croom Helm.
Fuady, Munir, 2011, Teori-teori
dalam Sosiologi Hukum, Jakarta: Prenada Media Group.
Manan, Abdul, 2009. Aspek-Aspek Pengubah Hukum, jakarta:
Kencana, Cet-3.
Mertokusumo, Sudikno, 2005. Mengenal Hukum, Yogyakarta:
Liberty, Cet-2.
Miller, D, 1979, Social Justice, Oxford: Oxford
University Press.
Rahardjo, Satjipto, 2009, Hukum dan Prilaku, Jakarta:
PT Kompas Media Nusantara,
______________, 2007, Biarkan Huum Mengalir;
Catatan Kritis Pergulatan Hukum dan Manusia, Jakarta: PT. Kompas Media Nuasantara.
______________, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: Citra
Aditiya Bakti,
______________, 1986, “Hukum dalam Persfektif Sejarah
dan Perubahan Sosial”, dalam Artidjo Alkostar dan M. Sholeh Amir (editor), Pembangunan
Hukum dalam Perfektif Politik Hukum Nasional, Jakarta: PT. Rajawali,
Saifullah, 2007, Refleksi Sosiologi Hukum, T.tp: PT Refika Aditama,
Salman, Otje, 1989, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Bandung:
Alumni.
Soekanto, Soerjono, 2009, Pokok-pokok Sosiologi Hukum,
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Artikel, “Hukum dan Perubahan Sosial”, Diakses
pada 11/05/2013, dari: http://mjrsusi.wordpress.com hukum-dan-perubahan-sosial.