Said
Aqil Siradj, adalah ulama' sekaligus akademisi yang saya kagumi, meskipun saya secara langsng belum pernah "tabarukan" dengan beliau, namun saya sangat mengidolakan keilmuannya, sang "reformis Spiritual" demikian saya menyebut beliau. meskipun banyak orang menilai kyai Said liberal dan bahkan lebih, tapi itu merupakan tuduhan yang tidak mendasar. bagi saya pemikiran beliau sangat menyegarkan baik dalam karya beliau maupun ceramah-ceramah beliau. Kyai Said lahir di Kempek, Palimanan, Cirebon, pada tanggal 3 Juli 1953. Putra kedua dari 5 bersaudara: Ja'far,
Musthafa, Ahsin dan Niamillah. Kedua
orang tuanya, KH Aqil Siradj Hj.
Afifah adalah seorang
pengasuh disegani dan masih keturunan Sunan Gunung Jati.
Berawal
ketika nyantri di Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, Said Aqil mengenal
Nurhayati, gadis yang ternyata tetangga desanya di Cirebon. Perkenalannya ini
hingga membawa keduanya ke pelaminan pada tanggal 13 Juli 1977. Setelah keduanya
menikah, Said Aqil meneruskan studi ke
Universitas Umm al-Qura, Makkah, Saudi Arabia hingga tahun 1994. Keempat putra-putrinya lahir di Makkah:
Muhammad; Nisrin, Rihab dan Agil.
Pendidikannya
diawali `ngaji' di pesantren ayahnya yang masih mengacu pola tradisional sambil Sekolah Rakyat (SD).
Setelah itu Said Aqil kecil meneruskan studi ke Pesantren Lirboyo Kediri Jawa
Timur. Di pesantren inilah Said Aqil belajar serius ilmu-ilmu agama di bawah bimbingan
KH Mahrus Ali yang masih terbilang familinya. Belajar di pesantren adalah
pilihan tunggal, karena sang ayah tidak mengizinkan Said Aqil meneruskan studi
ke sekolah-sekolah umum.
Di
Lirboyo, Said Aqil berhasil menyelesaikan studinya hingga tingkat Madrasah
Aliyah (SMU). Menginjak bangku universitas, Said Aqil mencoba kuliah di
Universitas Tribakti Lirboyo. Hanya saja Said Aqil Merasa tidak puas. Ia memutuskan
keluar dari Universitas Tribakti dan pindah ke IAIN Sunan Kalijaga sambil
nyantri di Pondok Pesantren Krapyak Jogjakarta. Di kota pelajar ini, Said Aqil
bertemu dengan Masdar F. Mas'udi dan beberapa aktivis lainnya.
Bagi
Said Aqil, Kota Jogjakarta ternyata tidak ubahnya Lirboyo. Rasa tidak puas yang
menggelayutinya memaksa dia hengkang dari kota gudeg tersebut dan memutuskan
untuk belajar ke Timur Tengah.
Pilihannya jatuh kepada Universitas Umm al-Qura Mekkah Saudi Arabia. Perihal mengapa pilihannya jatuh
kepada kota suci Makkah, Said Aqil berkomentar: "Universitas Umm al-Qura
nyaris sama dengan Universitas Al-Azhar Mesir, karena dosen-dosennya mayoritas
dari al-Azhar." Maka pada 1980 ia pun berangkat ke Makkah dengan di temani
sang isteri, Nurhayati.
Memasuki
tahun 1982 Said Aqil berhasil menyelesaikan studi S-1 jurusan Ushuluddin; S-2
jurusan perbandingan agama pada 1987; dan S-3 jurusan tasawuf filsafat pada
1994. "Saya bias sukses menyelesaikan studi di Umm al-Qura berkat isteri
saya, rasanya tenang."
Santri “kutu buku”
Pada
tahun 1980-an, belajar di Saudi Arabia tergolong mengasikkan. Mahasiswa Saudi
Arabia benar-benar mendapatkan perhatian Pemerintah setempat. Jika dibandingkan
dengan negara-negara Timur Tengah lainnya, bea siswa yang dikucurkan Pemerintah
Saudi Arabia tergolong besar. Bayangkan saja, mahasiswa mendapatkan santunan dengan
rincian: 900 real/dua bulan untuk beasiswa, 12.000 real/tahun untuk sewa rumah, 3000 real/tahun untuk
literature, 1500 real/tahun untuk beli pakaian, beaya pendidikan dan kesehatan
anak gratis.
Hanya
saja, tingkat intelektualitas masyarakat Saudi Arabia yang masih rendah sedikit
banyak mempengaruhi suasana belajar. Kondisi inilah tantangan besar Said Aqil,
di samping juga keberaniannya untuk membawa sang isteri ke tanah suci mendampinginya
sejak awal-awal masa kuliah.
Namun
hambatan itu dapat ia atasi dengan baik. Dengan kesabarannya, studi di Umm
al-Qura berhasil ia lalui. Setelah beberapa tahun berada di Makkah, Said Aqil
berhasil menyelesaikan S2-nya dengan tesis di bidang perbandingan agama. Saat
itu Said Aqil mengupas tentang kitab Perjanjian Lama dan Surat-Surat Sri Paus Johannes.
Pada saat bersamaan, seniornya, Said Aqil Husein al-Munawwar berhasil
menggondol gelar doktoralnya.
Memasuki
tahun ke-14 tepatnya tahun 1994, Said Aqil Siradj berhasil menyelesaikan studi
S-3 dengan disertasi berjudul, "Shilatullah bil-Kauni fi al-Tashawwuf
al-Falsafi," (Relasi Allah dan Alam: Perspektif Tasawuf). Said Aqil berhasil
mempertahankan disertasinya dengan nilai cum laude. Pada sebuah kesempatan Nurcholis
Madjid pernah bercerita, "Said Aqil ini putra Kiai yang cerdas”. Dia
pernah cerita kepada saya bahwa ia akan
menulis disertasi mengkritik Imam Ghazali.
Sebenarnya
ini bertentangan dengan hatinya, tapi karena kondisi Saudi Arabia yang begitu
ketat faham Wahabinya, terpaksa itu harus dilakukan. Ketika itu dia juga
bilang, "Cak Nur, nanti setelah disertasi saya jadi, sayalah orang pertama yang akan
mengkritiknya. Sayangnya Said Aqil tidak jadi menulis tentang al-Ghazali."
Tutur Nur Kholis majid.,
Empat
belas tahun belajar di Timur Tengah telah mengantarkan sosok Said Aqil sebagai salah satu intelektual
muslim Indonesia. Penguasaannya yang luas atas doktrin agama-agama dunia di
samping keilmuannya di bidang tasawuf menjadikannya sebagai tokoh lintas agama.
Capaian ini pernah dikomentari Dr. Hidayat Nur Wahid, "Said Aqil termasuk
mahasiswa kutu buku. Semasa di Makkah, ia lebih sering ditemukan di
tempat-tempat ilmiah dan sulit menemukannya di forum-forum
gerakan/organisasi." Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) pun apabila berkunjung
ke Saudi Arabia, lebih suka tinggal di kediaman Said Aqil daripada berada di
hotel.
Setelah
gelar doktoralnya dipastikan berada di tangan, Said Aqil memutuskan pulang ke Indonesia.
Gus Dur yang telah lama mengenalnya mengajak Said Aqil untuk beraktifitas di
Nahdlatul Ulama. Tahun pertama beraktifitas, forum Muktamar Cipasung
memercayainya sebagai Wakil Katib `Aam PBNU, sebuah jabatan yang terbilang
cukup tinggi bagi aktivis pendatang
baru. Saat itu Gus Dur `mempromosikan' Said
Aqil dengan kata-kata kekaguman, "Dia doktor muda NU yang berfungsi
sebagai kamus berjalan dengan disertasi lebih dari 1000 referensi."
Gebrakan
awal Said Aqil adalah menggulirkan wacana perlunya umat Islam Indonesia
melakukan rekonstruksi pemahaman ahlussunnah
wal-jamaah. Bagi Said Aqil, hal itu dipandang perlu mengingat selama ini umat
Islam Indonesia masih belum mampu mencairkan sekat-sekat pemahamannya akan
Islam. Lebih unik lagi, kritik ahlussunnah yang dilakukan Said Aqil dengan
pendekatan sejarah Islam ternyata membawa trend tersendiri di kalangan santri.
Booming Said Aqil di pertengahan tahun 1990-an berhasil memaksa komunitas
pesantren untuk belajar sejarah Islam. Padahal selama berabad-abad, pesantren
di Indonesia didominasi oleh kajian fiqh dan grammer Arab.
Berkiprah di NU: Membangun Tradisi Kritis
Said
Aqil Siradj tergolong salah seorang intelektual muda NU yang concern di bidang
wacana keislaman. Kedatangannya dari Timur Tengah semakin menambah deretan anak muda NU
yang selama ini berkutat di gerakan kultural. Kritik tajam Said Aqil Siradj
bahkan sempat menuai reaksi keras dari komunitas kiai pesantren. Tak pelak,
Said Aqil Siradj pernah `diadili' puluhan kiai dalam forum halaqah (Lokakarya).
Tidak
lama kemudian, Said Aqil juga mendapatkan surat teguran dari kiai-kiai Jawa
Timur. Berbagai label juga sempat menghiasi lembar namanya; `agen Syiah',
`kafir', “agen
Yahudi”,
`neo Mu'tazilah' dan lainnya. Bahkan muncul juga usulan agar Universitas Umm
al-Qura mencopot gelar doktoralnya. Menanggapi semua itu, Said Aqil dengan
enteng pernah berkomentar, “Apapun
gelar yang diberikan, saya tidak peduli. Jangankan gelar doktoral, gelar haji
pun jika mau dicopot akan saya berikan.”
Belum
tuntas wacana Ahlussunnah wal Jamaah dikupas, Said Aqil Siradj kembali
menggulirkan pandangan kontroversial. Kali ini ia menarik teori ukhuwah
insaniyah ke tataran aplikatif. Said Aqil Siradj mendatangi undangan Gereja Katolik
Aloysius Gonzaga Surabaya untuk memberikan khotbah sebelum acara misa.
Keberanian ini tentu saja menuai reaksi beragam. Said Aqil Siradj pun sempat
dituduh sebagai tokoh NU yang mencampur-adukkan ajaran agama-agama. Terlepas dari
kontroversi yang ada, Said Aqil telah memberikan konstribusi yang cukup besar
bagi dunia keilmuan di Indonesia, khususnya di kalangan Islam pesantren.
Ia dikenal
sebagai Tokoh Islam Moderat. Sikap dan pandangannya yang moderat, toleran dan akomodatif
membuat Said Aqil dikenal oleh hampir semua kalangan dan kelompok. Aktifitasnya
pun semakin padat seiring dengan kepercayaan segenap elemen masyarakat kepadanya.
Tercatat beberapa kelompok masyarakat yang membutuhkan pikirannya, di
antaranya: Anggota KOMNAS HAM Penasehat Angkatan Muda Kristen republic Indonesia,
Pendiri Gerakan Keadilan dan Persatuan Bangsa (GKPB), Tim Gabungan Pencari
Fakta Peristiwa 12 Mei, Pendiri Gerakan Anti Diskriminasi (GANDI), Dewan
Penasehat ICRP, Anggota MPR RI F-UG (dari NU), Panitia Pembangunan Gereja
Jagakarsa Jakarta Selatan, dan lain-lain.
Keliling Indonesia: Menebar gairah
berpikir
Sudah
menjadi rahasia umum bahwa kualitas keilmuan Said Aqil Siradj cukup teruji.
Intensitas aktifitas keilmuannya juga tinggi.
Dalam seminggu, hampir dipastikan 34 hari waktunya dihabiskan untuk keluar masuk
kota-kota di seluruh Indonesia. Berbagai forum ilmiah didatangi; mulai dari
forum pengajian di desa terpencil hingga seminar di hotel-hotel berbintang.
Semangat `turun' ke pelosok-pelosok negeri ini didasari oleh obsesi kuatnya
untuk membawa masyarakat Islam ke altar `kesadaran intelektual'.
Di
tengah kesibukannya yang tinggi, Said Aqil masih meluangkan waktunya untuk
berinteraksi dengan para mahasiswa. Said Aqil tercatat sebagai Direktur Pascasarjana
UNISMA Malang, dosen pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah,
dan dosen terbang di beberapa Perguruan Tinggi di Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Karya-Karya
Ilmiah Said Aqil sering menjadi bahan inspirasi bagi anak-anak muda NU dalam menorehkan gagasan-gagasannya.
Beberapa buah pikirannya juga sering dijadikan rujukan mereka, tak terkecuali
metodologi berpikirnya. Hanya saja kesibukannya yang tinggi sangat menyita waktunya
hingga berimplikasi pada minimnya waktu yang tersedia untuk mencuatkan
gagasan-gagasannya dalam bentuk tulisan atau sebuah buku. Said Aqil Siradj
lebih sering mencuatkan gagasan-gagasannya secara langsung. Forum-forum
seminar, wawancara dengan kuli tinta dan media elektronik sering ia optimalkan
untuk mengenalkan dan menyosialisasikan pemikirannya.
Strategi
`akrab dengan media' memang cukup efektif untuk pribumisasi gagasan. Meski
demikian akan semakin lengkap ketika hal itu diikuti dengan penjabaran gagasan
lewat sebuah tulisan yang utuh. Bagaimanapun juga, buku adalah sarana ekspresi
yang sangat efektif dan menjanjikan kepuasan tersendiri. Hal ini juga disadari
Said Aqil. Waktu senggangnya sering ia
gunakan untuk mereview `kegelisahan pikirnya' dengan menuangkan ke dalam bentuk
tulisan.
Said
Aqil Siradj sering mengisi rubrik opini beberapa media cetak nasional. Dia juga
`mengakrabi' anak-anak muda untuk diajak bersama-sama mengenalkan
pandangan-pandangan `tasawuf sosial'-nya. Maka ia buatlah Jurnal Khas Tasawuf,
di samping juga pelatihan tasawuf untuk remaja.
Sedangkan
dalam bentuk buku, pemikirannya telah tertuang ke dalam beberapa buku,
"Ahlussunnah wal-Jamaah dalam Lintas Sejarah", (Lakpesdam
Yogjakarta), "Islam Kebangsaan, Fiqh Demokratik Kaum Santri"
(kumpulan tulisan), "Kiai Menggugat" (pemikiran bentuk wawancara).
Sedangkan disertaasinya yang berjudul "Shilatullah
bil-kauni fi al-Tashawwuf al-Falsafi".[]