Tuesday, August 26, 2014

Islam: Antara Pemikiran dan Aksi

Dalam wacana pemikiran Arab kontemporer misalnya istilah tafkir itu bertukar kata dengan takfir. Jika tafkir berarti pemikiran, maka takfir artinya pengkafiran. Nashr Hamir Abu Zaid adalah satu contoh orang yang selalu berfikir yang kemudian dikafirkan karena pemikirannya itu. Ia menulis buku dengan titel Al-tafkir fi Zaman al-Takfir (Pemikiran pada Zaman Pengkafiran).
Menurut Zaid, zaman pengkafiran terhadap orang yang menggerakkan pemikiran demikian kuat. Pengkafiran merupakan sebuah fenomena belakangan, persisnya tahun 1930-an yang terjadi setelah gagalnya era liberal. Hourani membagi tiga zaman. Pertama, awal abad 19 sampai tahun 1920-an, Kedua, dari tahun 1920-an sampai tahun 1930-an. Ketiga, dari tahun 1930-an sampai tahun 1940-an. Memasuki tahun 1940-an muncul berbagai isu politik yang melanda dunia Arab, terciptanya negara Israel, banyaknya tuntutan kemerdekaan. Di situ terjadi distraksi pemikiran Islam yang bernuansa liberal dan sejak saat itulah fenomena pengkafiran itu mulai marak dan puncaknya adalah dua puluh tahun belakangan. Begitu banyak kasus pengkafiran di dunia Arab dan sudah banyak memakan korban.
Ada dua hal yang harus dibedakan, antara pemikiran Islam dan aksi Islam. Kita di sini berbicara mengenai aspek yang berkaitan dengan pemikiran yaitu berkaitan dengan  perkembangan intelektual dan kita tidak membicarakan tentang aksi umat Islam. Memang pemikiran islam tidak bisa dipisahkan dengan aksi umat Islam. Kita sengaja membatasi pada perkembangan pemikiran atau perkembangan intelektual di kalangan Islam, sementara pembicaraan mengenai perkembangan aksi umat Islam dalam bentuk organisasi, dalam bentuk gerakan, tidak terlalu ditonjolkan dalam tulisan ini.
Kalau kita lihat kilas balik ke belakang, saya kira pemikiran Islam di Indonesia mempunyai tradisi yang cukup beragam. Di satu pihak, ada tradisi yang diinspirasikan oleh pemikiran dari Barat. Mereka ini adalah orang orang yang dididik  di dalam pendidikan Barat, dalam pendidikan modern. Di pihak lain, ada tradisi pemikiran Islam  yang berkembang di dalam tradisi luar Barat dalam bentuk pesantren atau tradisi yang terkait dengan sejarah intelektual di Timur Tengah. Di dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia, ada debat antara orang orang tamatan Barat dan yang disebut tamatan Timur Tengah. Meskipun polarisasi tidak seseru yang dibayangkan, tetapi tetap ada perbedaan atau semacam gab di antara mereka. Ada asumsi, orang orang belajar Islam di Barat dianggap kurang valid. Pengetahuan Islam di Barat bukan pengetahuan Islam yang sesungguhnya karena diajar oleh kaum orientalis dan seterusnya. Kemudian, orang orang yang di Timur Tengah merasa unggul karena mereka belajar di pusat pengetahuan Islam yang lebih murni.
Sejarah pemikiran Islam di Indonesia selain mengalami pola semacam itu, juga ada suatu perkembangan yang menarik. Tonggak pemikiran di Indonesia dimulai salah satunya dengan pembaharuan Cak Nur (panggilan akrab Nurcholish Madjid), meskipun gerakan yang dimulai Cak Nur sebetulnya akar-akarnya sudah lama. Kalau kita lihat ke belakang, pemikiran Islam liberal misalnya sudah memiliki akar yang cukup panjang pada intelektual Islam didikan Barat pada tahun 30-an, seperti Agus Salim. Walau dia tidak pernah sekolah di Barat, dia sangat akrab dengan buku-buku Barat. Seperti juga orang-orang yang tergabung dalam Young Islamitten Bond. Kemudian juga kaum intelektual Muslim tahun 1930-an yang inspirasi pemikiran Islamnya diambil dari orang orang Ahmadiyah.
Sangat menarik, pada tahun 1930-an para intelektuil Islam itu lebih banyak membaca buku Islam yang dikarang Ahmadiyah yang ditulis dengan bahasa Belanda. Dan memang tradisi pemikiran yang diajukan atau dikenalkan oleh kalangan Ahmadiyah jauh lebih rasional ketimbang pemikiran Islam yang berkembang di pesantren misalnya. Pada tahun 1930, kita melihat buku yang dikarang Maulana Muhammad Ali, salah satu penerjemah Alqur`an  dalam bahasa Inggris pertama oleh seorang Muslim, dengan judul The Religion of Islam. Buku ini pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan bahasa Indonesia. Buku ini sangat terkenal di kalangan intelektual pada saat itu. Buku ini memberikan eksposisi ataupun penjelasan tentang Islam secara rasional, dan lebih tepat jika dibaca oleh kalangan terdidik pada zaman itu.
Jadi, akar pemikiran Islam liberal sudah ada pada zaman itu. Cak Nur kemudian menandai suatu periode baru ketika dia mengenalkan gerakan pembaharuan Islam yang cukup kontroversial. Tentu di sini ada dua tokoh penting selain Cak Nur, yaitu Gus Dur. Kalau boleh kita bilang, Cak Nur adalah seorang yang meletakkan landasan tradisi pemikiran Islam liberal di luar pesantren, maka Gus Dur Gus Dur telah membuka dataran pemikiran baru di kalangan pesantren. Saya kira ini dua ikon besar yang susah diulang kembali. Peran mereka sangat signifikan dan saya kira hampir semua sarjana Islam belakangan jika mau membahas tentang pemikiran Islam Indonesia, umumnya merujuk pada dua tokoh ini. Tentu di sekitar mereka ada tokoh satelit. Tapi, saya pikir dua tokoh ini yang paling penting.
Namun, menurut saya, ada satu karakter penting di dalam dua pikiran dua tokoh ini. Apa yang membedakan antara generasi saya dan yang lain lain dengan generasi Cak Nur dan Gus Dur? Salah satu karakter penting, bahwa pada saat Cak Nur dan Gus Dur muncul sebagai pemikir, ruang publik belum bebas seperti yang kita nikmati sekarang ini. Ketika Cak Nur melontarkan kritik terhadap fundamentalisme Islam sebetulnya kalangan fundamentalis tidak menikmati ruang publik yang sama, yang bebas seperti Cak Nur.
Saiful Mujani pernah menulis pada tahun 1980an di majalah Prisma. Saiful  mengatakan tentang ketidak-seimbangan ruang publik tersebut. Cak Nur menikmati ruang publik yang disediakan oleh Orde Baru. Sebab, Orde Baru ketika itu secara implisit memberikan endorsement pada pemikiran yang toleran, moderat seperti Cak Nur. Sementara lawan-lawanya, yang disebut Cak Nur dengan kalangan fundamentalis, tidak menikmati ruang yang sama. Oleh karena itu, ada situasi yang tidak setara antara Cak Nur dan Gus Dur di satu pihak dengan kalangan fundamentalis di pihak lain. Gus Dur dan Cak Nur menikmati ruang publik yang disediakan Orde Baru. Ruang publik tidak diperbolekhkan dimasuki kalangan fundamentalis. Mereka ditekan dan dipinggirkan.
Nah, generasi saya sekarang ini berbeda. Kita menghadapi ruang publik yang berbeda. kalangan fundamentalis yang dulunya dilarang masuk ke ruang publik itu, sekarang bebas menikmati ruang publik. Orang-orang Hizbut Tahrir, FPI, MMI, dll mempunyai status legal yang sama dengan Jaringan Islam Liberal. Bahkan, dalam beberapa hal, mereka menikmati keuntungan yang lebih baik ketimbang kami. Saya tidak bisa membayangkan orang-orang Hizbut Tahrir dan MMI bisa berdiri pada tahun 1970-an, 1980-an. Jadi saya kira ada ruang publik yang berbeda atau karakter yang berbeda antara peride saya dengan periode Cak Nur. Sekarang rung publiknya jauh lebih terbuka, lebih egaliter, demokratis. Semua kelompok diberi kesempatan untuk berbicara.
Oleh karena itu, tantangan yang dialami generasi pasca-Cak Nur jauh lebih menantang. Saya tidak mengatakan jauh lebih berat, karena Cak Nur dan Gus Dur menghadapi tantangannya sendiri dan tentu juga berat. Tetapi, menurut saya ruang publik sekarang ini lebih menantang ketimbang periode Cak Nur dan Gus Dur. Kita menghadapi bukan saja kelompok kelompok yang bawah tanah tetapi juga kelompok-kelompok lain yang semuanya legal. Isu-isunya makin mangalami ramifisasi atau pencabangan kepada hal-hal yang lebih kecil. Kalau boleh saya memakai suatu periodesasi yang agak longgar, maka generasi Cak Nur dan Gus Dur berada dalam periode nation building. Mereka menghadapi isu-isu isu besar yang bersifat ideologis. Misalnya, persoalan besar yang menjadi perhatian umat Islam pada zaman Cak Nur adalah apakah Islam bisa menjadi dasar suatu partai; apakah Islam bisa menjadi ideologi yang setara dengan ideologi sosialisme dan yang lain lain. Itu masalah yang dihadapi Cak Nur. Masalah besar yang kemudian direspon oleh Gus Dur adalah masalah hubungan Islam dengan ideologi negara. Menurut saya kontribusi penting pada zaman itu adalah ketika mereka berhasil memberikan suatu argumen teologis keagamaan yang bisa memungkinkan orang Islam menerima Pancasila.
Generasi pasca-Gus Dur dan Cak Nur itu lain. Sekarang, isu yang kita hadapi bukan isu besar yang bersifat ideologis. Yang kita hadapi adalah isu yang jauh lebih kecil, yang bersifat mikroskopik. Persoalan ideologi Islam tidak ada lagi atau kurang menjadi perhatian umat Islam. Isu tentang hubungan antara negara dan agama tidak menjadi isu yang serius seperti pada generasi Gus Dur. Isu yang menjadi debat di kalangan umat Islam adalah lebih detil, misalnya tentang formalisasi syariat Islam, sebuah isu yang menurut saya benar-benar baru, karena tidak pernah dihadapi oleh generasi Muhammad Natsir tahun 50-an, dan generasi Cak Nur dan Gus Dur pada tahun 1970-an.
Formalisasi syariat Islam adalah isu khas yang kita hadapi sekarang ini. Isu penting yang berkaitan dengan itu misalnya adalah Counter Legal Draft yang disusun oleh sejumlah team di Departemen Agama. Isu tentang detail-detail hukum keluarga. Oleh karena isu-isu yang berkembang terkait dengan detail-detail agama, maka mau tidak mau para pemikir Islam liberal diharuskan untuk berbicara pada lefel yang spesifik. Poin inilah yang bisa menjelaskan kemunculan teman-teman seperti di Jaringan Islam Liberal, Abdul Moqsith Ghazali. Saudara Moqsith ini orang tamatan pesantren dan orang seperti dia itu cukup banyak di belakangnya. Dia mencoba berhadapan dengan isu-isu detail seperti isu hukum keluarga itu, Kompilasi Hukum islam itu. Moqsith terpaksa harus masuk dalam isu-isu yang kecil dan harus merumuskan suatu kaidah atau ushul fikih baru. Jadi, perkembangan pemikiran Islam terakhir ini mulai menyentuh aspek yang berkaitan dengan metodologi ushul fiqh yang pada generasi Cak Nur dan Gus Dur tidak pernah disentuh. Memang Gus Dur atau Cak Nur sering mengunakan kaidah fiqh, tetapi ushul fiqh sebagai suatu tradisi legal teori yang menjadi landasan hukum Islam tidak pernah disentuh sama sekali. Baru sekarang ini orang mulai bicara tentang perlunya memperbaharui Ushul Fiqh.
Saya kira, kalau saya boleh berbangga bahwa sumbangan penting yang diberikan oleh generasi saya sekarang ini adalah tentang  pentingnya merumuskan suatu ushul fiqh baru”. Ini isunya sangat detail sekali, saya tidak bisa membicarakan secara detail disini tetapi buktinya bahwa ushul fiqh inilah yang menjadi batu sandungan kenapa hukum Islam yang selama ini beredar di kalangan umat Islam dianggap sakral dan dianggap sebagai sesuatu yang kedudukannya  permanen dan harus dilaksanakan dalam segala zaman.
Abu Bakar Ba’asyir melalui grupnya MMI pernah mengajukan usulan tentang syariat Islam. Amat mengagetkan, sebab hampir semua pasal yang dicantumkan diambil secara mentah dari literatur fiqh lama, tanpa melalui penelaahan ulang. Itulah yang menjelaskan kenapa misalnya kalau kita lihat usulan hukum kriminal yang dibuat oleh MMI itu persis seperti usulan yang dibuat Malaysia. Hal semacam ini tidak pernah dihadapi oleh generrasi Gus Dur. Nah, bagaimana kita berhadapan dengan itu? Kalau kita mau menghadapi kelompok kelompok semacam ini, maka tidak bisa tidak kkita harus menghadapi masalah ini dengan cara yang mereka gunakan. Artinya kita harus berani melayani mereka di level yang sama yaitu pada level hukum Islam klasik itu sendiri. Dan ini berarti kita harus berani menelaah ushul fiqh lama. [] wallahu ‘alam