Dalam wacana
pemikiran Arab kontemporer misalnya istilah tafkir itu
bertukar kata dengan takfir. Jika tafkir berarti
pemikiran, maka takfir artinya pengkafiran. Nashr Hamir Abu Zaid adalah
satu contoh orang yang selalu berfikir yang kemudian dikafirkan karena
pemikirannya itu. Ia menulis buku dengan titel Al-tafkir fi Zaman al-Takfir
(Pemikiran pada Zaman Pengkafiran).
Menurut Zaid, zaman pengkafiran terhadap orang yang
menggerakkan pemikiran demikian kuat. Pengkafiran merupakan sebuah fenomena
belakangan, persisnya tahun 1930-an yang terjadi setelah gagalnya era liberal.
Hourani membagi tiga zaman. Pertama, awal abad 19 sampai tahun 1920-an, Kedua,
dari tahun 1920-an sampai tahun 1930-an. Ketiga, dari tahun 1930-an
sampai tahun 1940-an. Memasuki tahun 1940-an muncul berbagai isu politik yang
melanda dunia Arab, terciptanya negara Israel, banyaknya tuntutan kemerdekaan.
Di situ terjadi distraksi pemikiran Islam yang bernuansa liberal dan sejak saat
itulah fenomena pengkafiran itu mulai marak dan puncaknya adalah dua puluh
tahun belakangan. Begitu
banyak kasus pengkafiran di dunia Arab dan sudah banyak memakan korban.
Ada dua hal yang harus dibedakan, antara pemikiran
Islam dan aksi Islam. Kita di sini berbicara mengenai aspek yang berkaitan
dengan pemikiran yaitu berkaitan dengan perkembangan intelektual dan kita
tidak membicarakan tentang aksi umat Islam. Memang pemikiran islam tidak bisa dipisahkan dengan aksi
umat Islam. Kita sengaja membatasi pada perkembangan pemikiran atau
perkembangan intelektual di kalangan Islam, sementara pembicaraan mengenai
perkembangan aksi umat Islam dalam bentuk organisasi, dalam bentuk gerakan, tidak terlalu ditonjolkan dalam tulisan ini.
Kalau kita
lihat kilas balik ke belakang, saya kira pemikiran Islam di Indonesia mempunyai
tradisi yang cukup beragam. Di satu pihak, ada tradisi yang diinspirasikan oleh
pemikiran dari Barat. Mereka ini adalah orang orang yang dididik di dalam
pendidikan Barat, dalam pendidikan modern. Di pihak lain, ada tradisi pemikiran
Islam yang berkembang di dalam tradisi luar Barat dalam bentuk pesantren
atau tradisi yang terkait dengan sejarah intelektual di Timur Tengah. Di dalam
sejarah pemikiran Islam di Indonesia, ada debat antara orang orang tamatan
Barat dan yang disebut tamatan Timur Tengah. Meskipun polarisasi tidak seseru
yang dibayangkan, tetapi tetap ada perbedaan atau semacam gab di antara
mereka. Ada asumsi, orang orang belajar Islam di Barat
dianggap kurang valid. Pengetahuan Islam di Barat bukan pengetahuan Islam yang
sesungguhnya karena diajar oleh kaum orientalis dan seterusnya. Kemudian, orang
orang yang di Timur Tengah merasa unggul karena mereka belajar di pusat
pengetahuan Islam yang lebih murni.
Sejarah pemikiran Islam di Indonesia selain mengalami
pola semacam itu, juga ada suatu perkembangan yang menarik. Tonggak pemikiran
di Indonesia dimulai salah satunya dengan pembaharuan Cak Nur (panggilan akrab
Nurcholish Madjid), meskipun gerakan yang dimulai Cak Nur sebetulnya
akar-akarnya sudah lama. Kalau kita lihat ke belakang, pemikiran Islam liberal
misalnya sudah memiliki akar yang cukup panjang pada intelektual Islam didikan
Barat pada tahun 30-an, seperti Agus Salim. Walau dia tidak pernah sekolah di
Barat, dia sangat akrab dengan buku-buku Barat. Seperti juga orang-orang yang tergabung dalam Young
Islamitten Bond. Kemudian juga kaum intelektual Muslim tahun 1930-an yang
inspirasi pemikiran Islamnya diambil dari orang orang Ahmadiyah.
Sangat
menarik, pada tahun 1930-an para intelektuil Islam itu lebih banyak membaca
buku Islam yang dikarang Ahmadiyah yang ditulis dengan bahasa Belanda. Dan
memang tradisi pemikiran yang diajukan atau dikenalkan oleh kalangan Ahmadiyah
jauh lebih rasional ketimbang pemikiran Islam yang berkembang di pesantren
misalnya. Pada tahun 1930, kita melihat buku yang dikarang Maulana Muhammad
Ali, salah satu penerjemah Alqur`an dalam bahasa Inggris pertama oleh
seorang Muslim, dengan judul The Religion of Islam. Buku ini
pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan bahasa Indonesia. Buku ini
sangat terkenal di kalangan intelektual pada saat itu. Buku ini memberikan
eksposisi ataupun penjelasan tentang Islam secara rasional, dan lebih tepat
jika dibaca oleh kalangan terdidik pada zaman itu.
Jadi, akar pemikiran Islam liberal sudah ada pada
zaman itu. Cak Nur kemudian menandai suatu periode baru ketika dia mengenalkan
gerakan pembaharuan Islam yang cukup kontroversial. Tentu di sini ada dua tokoh penting
selain Cak Nur, yaitu Gus Dur. Kalau boleh kita bilang, Cak Nur adalah seorang
yang meletakkan landasan tradisi pemikiran Islam liberal di luar pesantren,
maka Gus Dur Gus Dur telah membuka dataran pemikiran baru di kalangan
pesantren. Saya kira ini dua ikon besar yang susah diulang kembali. Peran
mereka sangat signifikan dan saya kira hampir semua sarjana Islam belakangan
jika mau membahas tentang pemikiran Islam Indonesia, umumnya merujuk pada dua
tokoh ini. Tentu di sekitar mereka ada tokoh satelit. Tapi, saya pikir dua
tokoh ini yang paling penting.
Namun,
menurut saya, ada satu karakter penting di dalam dua pikiran dua tokoh ini. Apa
yang membedakan antara generasi saya dan yang lain lain dengan generasi
Cak Nur dan Gus Dur? Salah satu karakter penting, bahwa pada saat Cak Nur dan
Gus Dur muncul sebagai pemikir, ruang publik belum bebas seperti yang kita
nikmati sekarang ini. Ketika Cak Nur melontarkan kritik terhadap
fundamentalisme Islam sebetulnya kalangan fundamentalis tidak menikmati ruang
publik yang sama, yang bebas seperti Cak Nur.
Saiful
Mujani pernah menulis pada tahun 1980an di majalah Prisma. Saiful
mengatakan tentang ketidak-seimbangan ruang publik tersebut. Cak Nur menikmati
ruang publik yang disediakan oleh Orde Baru. Sebab, Orde Baru ketika itu secara
implisit memberikan endorsement pada pemikiran yang toleran, moderat
seperti Cak Nur. Sementara lawan-lawanya, yang disebut Cak Nur dengan kalangan
fundamentalis, tidak menikmati ruang yang sama. Oleh karena itu, ada situasi
yang tidak setara antara Cak Nur dan Gus Dur di satu pihak dengan kalangan
fundamentalis di pihak lain. Gus Dur dan Cak Nur menikmati ruang publik yang
disediakan Orde Baru. Ruang publik tidak diperbolekhkan dimasuki kalangan
fundamentalis. Mereka ditekan dan dipinggirkan.
Nah, generasi saya sekarang ini berbeda.
Kita menghadapi ruang publik yang berbeda. kalangan fundamentalis yang dulunya
dilarang masuk ke ruang publik itu, sekarang bebas menikmati ruang publik.
Orang-orang Hizbut Tahrir, FPI, MMI, dll mempunyai status legal yang sama
dengan Jaringan Islam Liberal. Bahkan, dalam beberapa hal, mereka menikmati
keuntungan yang lebih baik ketimbang kami. Saya tidak bisa membayangkan
orang-orang Hizbut Tahrir dan MMI bisa berdiri pada tahun 1970-an, 1980-an.
Jadi saya kira ada ruang publik yang berbeda atau karakter yang berbeda antara
peride saya dengan periode Cak Nur. Sekarang rung publiknya jauh lebih terbuka,
lebih egaliter, demokratis. Semua kelompok diberi kesempatan untuk berbicara.
Oleh karena itu, tantangan yang dialami generasi
pasca-Cak Nur jauh lebih menantang. Saya tidak mengatakan jauh lebih berat,
karena Cak Nur dan Gus Dur menghadapi tantangannya sendiri dan tentu juga
berat. Tetapi, menurut saya ruang publik
sekarang ini lebih menantang ketimbang periode Cak Nur dan Gus Dur. Kita
menghadapi bukan saja kelompok kelompok yang bawah tanah tetapi juga
kelompok-kelompok lain yang semuanya legal. Isu-isunya makin mangalami
ramifisasi atau pencabangan kepada hal-hal yang lebih kecil. Kalau boleh saya
memakai suatu periodesasi yang agak longgar, maka generasi Cak Nur dan Gus Dur
berada dalam periode nation building. Mereka menghadapi isu-isu isu
besar yang bersifat ideologis. Misalnya, persoalan besar yang menjadi perhatian
umat Islam pada zaman Cak Nur adalah apakah Islam bisa menjadi dasar suatu
partai; apakah Islam bisa menjadi ideologi yang setara dengan ideologi
sosialisme dan yang lain lain. Itu masalah yang dihadapi Cak Nur. Masalah besar
yang kemudian direspon oleh Gus Dur adalah masalah hubungan Islam dengan
ideologi negara. Menurut saya kontribusi penting pada zaman itu adalah ketika
mereka berhasil memberikan suatu argumen teologis keagamaan yang bisa
memungkinkan orang Islam menerima Pancasila.
Generasi
pasca-Gus Dur dan Cak Nur itu lain. Sekarang, isu yang kita hadapi bukan isu
besar yang bersifat ideologis. Yang kita hadapi adalah isu yang jauh lebih
kecil, yang bersifat mikroskopik. Persoalan ideologi Islam tidak ada lagi atau
kurang menjadi perhatian umat Islam. Isu tentang hubungan antara negara dan
agama tidak menjadi isu yang serius seperti pada generasi Gus Dur. Isu yang
menjadi debat di kalangan umat Islam adalah lebih detil, misalnya tentang
formalisasi syariat Islam, sebuah isu yang menurut saya benar-benar baru,
karena tidak pernah dihadapi oleh generasi Muhammad Natsir tahun 50-an, dan
generasi Cak Nur dan Gus Dur pada tahun 1970-an.
Formalisasi
syariat Islam adalah isu khas yang kita hadapi sekarang ini. Isu penting yang
berkaitan dengan itu misalnya adalah Counter Legal Draft yang disusun
oleh sejumlah team di Departemen Agama. Isu tentang detail-detail hukum
keluarga. Oleh karena isu-isu yang berkembang terkait dengan detail-detail agama,
maka mau tidak mau para pemikir Islam liberal diharuskan untuk berbicara pada
lefel yang spesifik. Poin inilah yang bisa menjelaskan kemunculan teman-teman
seperti di Jaringan Islam Liberal, Abdul Moqsith Ghazali.
Saudara Moqsith ini orang tamatan pesantren dan orang seperti dia itu cukup
banyak di belakangnya. Dia mencoba berhadapan dengan isu-isu detail seperti isu
hukum keluarga itu, Kompilasi Hukum islam itu. Moqsith terpaksa harus masuk
dalam isu-isu yang kecil dan harus merumuskan suatu kaidah atau ushul fikih
baru. Jadi, perkembangan pemikiran Islam terakhir ini mulai menyentuh aspek
yang berkaitan dengan metodologi ushul fiqh yang pada generasi Cak Nur dan Gus
Dur tidak pernah disentuh. Memang Gus Dur atau Cak Nur sering mengunakan kaidah
fiqh, tetapi ushul fiqh sebagai suatu tradisi legal teori yang menjadi landasan
hukum Islam tidak pernah disentuh sama sekali. Baru
sekarang ini orang mulai bicara tentang perlunya memperbaharui Ushul Fiqh.
Saya kira, kalau saya boleh berbangga bahwa sumbangan
penting yang diberikan oleh generasi saya sekarang ini adalah
tentang “pentingnya merumuskan suatu ushul fiqh baru”. Ini isunya sangat
detail sekali, saya tidak bisa membicarakan secara detail disini tetapi
buktinya bahwa ushul fiqh inilah yang menjadi batu sandungan kenapa hukum Islam
yang selama ini beredar di kalangan umat Islam dianggap sakral dan dianggap
sebagai sesuatu yang kedudukannya permanen dan harus dilaksanakan dalam
segala zaman.
Abu Bakar Ba’asyir melalui grupnya MMI pernah
mengajukan usulan tentang syariat Islam. Amat mengagetkan, sebab hampir semua
pasal yang dicantumkan diambil secara mentah dari literatur fiqh lama, tanpa
melalui penelaahan ulang. Itulah yang menjelaskan kenapa misalnya kalau kita
lihat usulan hukum kriminal yang dibuat oleh MMI itu persis seperti usulan yang
dibuat Malaysia. Hal semacam ini tidak pernah dihadapi oleh generrasi Gus Dur. Nah,
bagaimana kita berhadapan dengan itu? Kalau kita mau menghadapi kelompok
kelompok semacam ini, maka tidak bisa tidak kkita harus menghadapi masalah ini
dengan cara yang mereka gunakan. Artinya kita harus berani melayani mereka di
level yang sama yaitu pada level hukum Islam klasik itu sendiri. Dan ini
berarti kita harus berani menelaah ushul fiqh lama. [] wallahu ‘alam