Monday, December 23, 2013

Argumen Nikah Sesama Jenis


Menggugat Otoriterianisme Hukum Agama terhadap Pernikahan Sejenis[1]


A.    Pendahuluan
Islam hadir dengan misi rahmatan lil ‘alamin memberikan rahmat bagi seluruh alam dengan tidak mendiskriminasikan umatnya karena perbedaan kelamin, suku, warna kulit, bentuk tubuh, usia, pandangan politik, etnis, ras, agama, orientasi seksual, dan perbedaan-perbedaan lainnya. Para mufassir (ahli tafsir) tidak ada yang memiliki pemahaman yang berbeda tentang misi Islam, tetapi problem muncul ketika para mufassir memahami ayat-ayat lain dalam Al-Quran dan hadis-hadis yang disabdakan oleh Rasulullah Saw. Sebut saja yang berkaitan dengan orientasi seksual terhadap sesama jenis dan segala aspek kehidupannya. Dalam persoalan inilah “Islam menjadi bencana bagi kaum Pecinta Sesama Jenis”.

Dimana para “elit” mayoritas memahami ayat-ayat tersebut dengan perspektif bias heteronormativitas, sehingga kaum homoseksual[2] berada pada kelompok yang dianggap menyimpang, dan memiliki konflik dalam beragama. Sedangkan, fenomena “bangkitnya kaum Luth”, dalam beberapa dekade terakhir berkembang sangat signifikan[3]. Sehingga memicu banyak kalngan untuk mengkajinya,  pandangan para peneliti sosial dan medis misalnya menemukan bahwa hubungan sejenis terjadi karena lingkungan keluarga dan masyarakat serta factor genetika. Kemudian dalam pandangan “elit” agama mengatakan hubunungan sejenis merupakan suatu perbuatan yang sangat tercela karena bertentangan dengan kodrat[4] dan kenormalan manusia.
 
a.      Fokus Kajian
Dengan latar belakang diatas, penulis merancang studi ini untuk memetakan dan mengkritisi pertanyaan, pertama, Bagaimanakah jika antara orang-orang sesama jenis ini (antar gay dan lisbian), melakukan hubungan seksual dan berkeinginan mengabadikan hubungannya itu atas dasar cinta kasih sayangnya membentuk keluarga melalui perkawinan? Kedua, Apakah hubungan mereka tersebut dengan membentuk keluarga dengan melakukan perkawinan secara sah, apakah hukum agama tetap melarangnya? Ketiga, Bagaimana dengan nasib kaum minoritas yang mempunyai hasrat birahi seksualitas dan lebih terpuaskan karena berhubungan hanya dengan sesama jenis? Hal demikian menjadi terkesan diskriminasi jika hukum agama sampai membendung kecenderungan tersebut. Padahal naluri menyukai sesama jenis adalah fitrah yang tidak bisa di ubah—seperti halnya paradigma yang sudah menggurita bahwa hubungan biologis itu  harus di salurkan dengan lawan jenis (laki-laki dangan perempuan)—karena secara potensial dan tidak dapat di nafi’kan bahwa manusia lebih mempunyai kepuasaan secara biologis yang berbeda.

b.      Definisi Operasional
Untuk keperluan studi ini, kami membuat definisi operasional mengenai diskriminasi terhadap kaum minoritas, Otoritarianisme (hukum) Agama dan pernikahan sesama Jenis:
Diskriminasi terhadap kaum minoritas yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah pembedaan, pelecehan, penistaan terhadap kaum pecinta hubungan Homoseksual, yang dilakukan orang (masyarakat) yang menganut pemutlakan atau absolutism pemahaman Agama. ia bersikap membeda-bedakan atau memisahkan antara sesama manusia kelompok yang orientasi seksualnya lebih cenderung menyukai kaum sesame jenisnya (minoritas).  Bersikap tidak toleran kepada kaum minoritas, yang berbeda orientasi seksualnya.
Otoritarianisme Agama yang dimaksudkan disini adalah  orientasi Agama yang tidak menunjukkan sikap toleran terhadap pelaku homoseksual semua karakter ini di tunjukkan secara terbuka maupun tersembunyi, oleh para “elit” agama tidak lagi berbicara tentang hukum Tuhan melainkan berbicara  atas nama Tuhan atau bahkan menjadi corong dan sebagai “panglima” Tuhan itu sendiri dalam menghukumi pernikahan homoseksual.
Pernikahan sesama Jenis yang dimaksudkan adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan sama jenisnya, dengan cara dan tata cara sebagaimana aqad pernikahan pada umumnya (laki-laki dengan perempuan). Dalam kajian ini, pasangan sejenis itu sendiri terdiri dari gay dan lesbian yaitu hubungan seksual yang dilakukan laki-laki dengan laki-laki, yang lazim disebut hubungan secara sodomi, pelakunya yang umum dikenal (gay). Begitu juga hubungan perkawinan seksual yang dilakukan oleh perempuan dengan perempuan, melalui oralseks, pelakunya lazim disebut lisbian.  
B.     Homoseksual Dalam Cengkaraman Budaya Diskriminatif               
Berbicara mengenai seks tentu berbicara mengenai kehidupan manusia seutuhnya[5]. Seksualitas sudah berlangsung secara turun temurun dan mempunyai umur panjang sepanjang peradaban manusia itu sendiri. Munculnya seks tidak lepas dari kehendak hasrat biologisnya. Karena manusia yang disebut dalam al-Qur’an sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling Indah (ahsani Takwim) pun jua sebagai makhluk Tuhan yang paling aneh. Manusia adalah misteri bagi dirinya sendiri dan orang lain.
            Ia tidak sepenuhnya bergerak dengan pikirannya tetapi juga bertindak dan berpikir dengan naluri libido dan bahkan akal sehat sering dikalahkan oleh gairah dan hasrat dan libido tersebut. Secara eksistensial manusia bergerak, memburu, memperebutkan dan mempertaruhkan diri untuk kenikmatan-kenikmatan dan hasrat-hasrat (hubb Syahawat). Maka dari itu menjadi kebutuhan fitrah bagi manusia—secara normal maupun abnormal berupa menyukai hubunngan sesama jenis—akan pemenuhan hasrat seksualitas.   
Dan mungkin sudah menjadi bagian dari rencana tuhan (sunnah Tullah) bahwa seksualitas manusia yang menggembu-gembu harus dikendalikan oleh tatanan normatif yang berupa etika agama. Sebagai moralitas agama menjadi semacam pengendali bagi tindakan seksualitas yang tanpa batas. Sedangkan manusia adalah pelintas batas (termasuk dalam urusan seksualitas). Naumun kenyataannya agama harus tertatih-tatih dalam menghadapi gelagak seksualitas yang semakin menemukan wilayah otonomnya[6].
               Di Era-globalisasi sekarang ini, salah satu hal yang menuai digdaya adalah seksualitas. Buktinya di negara, negara barat yang memiliki kebebasan seksualitas tinggi (Homoseks dan Lesbian) berbagai bentuk relasi kuasa seksualitas tampak mengedepan. Bahkan di beberapa negara bagian Amerika, perkawinan sejenis sudah diperbolehkan berdasarkan Undang-undang[7]. Agama hampir-hampir tidak berkutik menghadapi derasnya perilaku seksualitas. Jika pada masa lalu agama begitu “digdaya” dalam berhadapan dengan institusi seksualitas melalui perkawinan maka hal itu sudah tidak berlaku lagi masa kini.
            Agama dan seksualitas memiliki relasi yang unik. Begitu pentingnya seksualitas dalam kehidupan beragama maka tidak ada satu agama-pun di dunia ini yang tidak membahasnya. Dengan mementingkan kejelasan tata aturan silsislah dan kejelasan status asal usul (geneologis) dalam ajaran agama-agama semitik (Yahudi, Nasrani dan Islam), sek diritualisasi sedemikian rupa sehingga menjadi justifikasi atas rujukan “kesantunan, moralitas dan kebenaran”. Bahkan dianggap sebagai justifikasi atas sumber dari segala sumber moralitas. Seksualitas juga dianggap sebagai sumber kenikmatan (sex as recreational), dinafi’kan dari dirinya sendiri sekedar untuk memenuhi tuntutan kesantunan dan moralitas[8].
            Bagaimana dengan Homoseksualitas? Islam secara eksplisit melarang semua aktivitas seks sesama jenis dan syariat Islam sering kali menjatuhkan hukuman berat terhadap perbuatan itu. Hal itu tentu saja tidak berbeda dengan Injil dan doktrin Kristen tradisional. Jadi homoseksualitas dianggap tabu. Namun kenyataan sosial bahkan historis mengatakan sebaliknya, dan ekspresi seks sesama jenis telah sedikit benyak menjadi aspek yang dikenal dalam masyarakat muslim selama berabad-abad. Keterbukaan yang sama juga tercermin dalam fleksibilitas yang biasa terdapat homoseksualitas yang terdapat di pesantren-pesantren Indonesia[9]. Bagaimanapun Homoseksualitas lazim terjadi dalam komunitas homososial, misalnya penjara, dan asrama juga tak terkecuali. Meskipun resminya dikutuk, pada praktiknya homoseksualitas terlembagakan dalam pesantren-pesantren ortodoks. Bahkan ada sebutannya yaitu “mairil atau “Sempetan”.
Dalam konteks penyimpangan sosial, homoseksualitas dikatakan menyimpang karena fenomena tersebut tidak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku dalam banyak kelompok masyarakat. Homoseksual dianggap sebagai sebuah media yang tidak wajar demi mendapatkan kepuasan seksual. Dalam kehidupan sosial, ada beberapa pandangan mengenai homoseksualitas. Agama dan Sebagian masyarakat membolehkan perkawinan[10] homoseksual meskipun lebih banyak masyarakat yang mengutuk perilaku homoseksual.
Dalam kaitannya sebagai bentuk perilaku menyimpang, secara sosiologis maupun umum gay dapat diartikan sebagai perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dalam sudut pandang masyarakat luas maupun masyarakat tempat pelaku penyimpangan berada. Jika ditinjau dari sudut pandang etimologis, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia menerjemahkan perilaku menyimpang sebagi tingkah laku, perbuatan, atau tanggapan seseorang terhadap lingkungan yang tidak sesuai dengan norma-norma dan hukum yang ada dalam masyarakat.
Pada Hari Senin, 13 Juni 2005, pukul 08.30 WIB, dalam acara Good Morning, Trans TV melakukan kampanye legalisasi perkawinan sesama jenis. Ketika itu ditampilkan sosok wanita lesbi bernama Agustin, yang mengaku sudah 13 tahun hidup bersama pasangannya yang juga seorang wanita.
Agustin, yang mengaku menyukai sesama wanita sejak umur 12 tahun,  ditampilkan sebagai sosok yang “tertindas”, diusir oleh keluarganya, pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, gara-gara dirinya seorang lesbi. Kini ia bekerja di LSM Koalisi Perempuan Indonesia. 
Ketika ditanya, mengapa dia berani membuka dirinya, sebagai seorang lesbi, Agustin menyatakan, bahwa dia sudah capek berbohong. Dia ingin jujur dan mengimbau masyarakat bisa memahami dan menerimanya. Praktik hubungan seksual dan perkawinan sesama jenis, katanya, adalah sesuatu yang baik. Seorang psikolog yang juga seorang wanita (tidak dijelaskan apakah dia lesbi atau tidak) juga menjelaskan bahwa homoseksual dan lesbian bukan praktik yang abnormal, tetapi merupakan orientasi dan praktik seksual yang normal[11].  
Dari situ, penilaian masyarakat yang mengecam homoseksual diberikan dalam beberapa bentuk. Dari sudut pandang agama, homoseksualitas dianggap sebagai pen-dosa. Dari sudut pandang hukum, dilihat sebagai pen-jahat. Dari sudut pandang medis terkadang masih dianggap sebagai pen-yakit. Dan dari sudut pandang opini publik, dianggap sebagai penyimpangan sosial. Sementara itu, kelompok masyarakat yang memiliki pandangan berlawanan dengan persepsi di atas, menganggap homoseksualitas sebagai suatu gaya hidup.


C.       Otoritarianisme Agama Terhadap Kaum Homoseksual
Tindakan diskriminatif  terhadap kelompok Homoseksual selain ada dalam pelbagai budaya-budaya dunia, juga ditemukan dalam semua tradisi agama-agama, bukan hanya Islam. Ini terjadi, dalam pandangan Andi, ketika tindakan diskriminatif dilakukan atas nama kekelan tradisi atau agama, ia akan menarik banyak orang untuk ikut serta di dalamnya. Demikian, karena agama atau tradisi kerap kali dijadikan ukuran menilai benar-salah, dan ini sangat berbahaya jika telah masuk ke dalam ranah tindakan diskriminasi.
Perkawinan sesama jenis telah mulai mengemuka, setelah kejadian itu terjadi di luar negeri dan rentetannya kemudian dengan akan dilakukannya rencana konggres kaum Gay. di Surabaya yang dihadiri dari anggota organisasi Gay dari negeri luar (Eropah). Dimuka telah disinggung bahwa ketertarikan dua orang manusia yang berlainan jenis, tidak hanya bertujuan bersetubuh, tetapi juga ingin membentuk keluarga (rumah tangga). Harus diakui faktor bersetubuh atau berhubungan seksual merupakan faktor pendorong yang penting untuk berkeluarga. Juga harus diakui faktor hubungan seksual tidaklah merupakan syarat mutlak membentuk keluarga dengan perkawinan, buktinya manusia yang sudah lanjut usiapun (manula) menurut hukum tidak dilarang kawin.
Pernyataan tersebut di atas, terkesan bebas dan demokratis serta penuh penghargaan terhadap HAM untuk melangsungkan suatu perkawinan yang dilandasi atas hubungan seksual. Kini menjadi suatu kajian tersendiri bagi hubungan seksual yang dilakukan secara menyimpang atau tidak umum dilakukan oleh kebanyakan orang (yaitu hubungan kelamin laki-laki dengan kelamin perempuan), melainkan hubungan seksual yang dilakukan laki-laki dengan laki-laki, yang lazim disebut hubungan secara sodomi, pelakunya yang umum dikenal homoseksual. Begitu juga hubungan seksual yang menyimpang karena dilakukan oleh perempuan dengan perempuan, melalui oralsek, pelakunya lazim disebut lisbian. Fenomena tersebut merupakan bagian dari konteks dinamika masyarakat oleh Ibnu Khaldun yang kemudian melahirkan teori konflik kelompok dan hokum sosial konflik masyarakat. Masyarakat selalu mengalami perubahan sosial baik pada nilai dan strukturalnya baik secara revolusioner ataupun evolusioner.
Perubahan-perubahan tersebut dipengaruhi oleh gerakan-gerakan sosial dari individu dan kelompok sosial yang menjadi bagian dari masyarakat. Gerakan sosial dalam sejarah masyarakat dunia bisa muncul dalam bermacam-macam bentuk kepentingan, seperti mengubah struktur hubungan sosial, mengubah pandangan hidup[12]. Dalam ilmu sosiologi, khususnya sosiologi konflik dilahirkan oleh perubahan-perubahan sosial dan dinamika gerakan sosial dari masa klasik sampai masa kontemporer. Dengan demikian ilmu sosiologi menjadi bagian dari gerakan sosial itu sendiri, maka seorang sosiolog dalam sejarahnya adalah reformis.
Miriam, si lesbian, telah dicap sebagai “perusak dunia” oleh polisi agama di kampong halamannya. Aku menayangkan rekaman liputan langsung yang diselundupkan dari Iran untuk membuktikan apa yang akan terjadi pada Miriam jika dia tetap tinggal dan tertangkap. Rekaman menunjukkan, dua perempuan dibungkus menjadi satu dengan kain putih, diturunkan ke dalam tanah yang baru saja digali. Sekelompok lelaki dewasa dan anak lelaki mengelilingi dua perempuan itu dan mulai melemparkan batu-batu sekepalan tangan ke kepala mereka. Kebanyakan batu-batu itu mengenai tonjolan di kain dan mental, meninggalkan muncratan berwarna merah darah. Miriam menjelaskan bahwa sesuai hukum, setiap pelempar batu seharusnya memeluk Al-Quran di tangannya untuk mengurangi tenaga lemparan mereka. Ketentuan itu tidak selalu dilaksanakan.
Adnan, si gay muslim, setuju untuk tampil di depan kamera. Dia percaya bahwa Al-Quran melarang homoseksualitas, tapi dia telah berdamai dengan hukum itu. Lagi pula, Adnan tidak berniat membawa pulang kekasihnya ke semua kaum muslim. Ia hanya membawanya pulang ke ibunya saja di Pakistan. Validasi agama, meskipun terasa indah ketika dipegang teguh, sesungguhnya dari segi apa pun tidaklah diperlukan di London yang liberal, tempat dia dan kekasihnya tinggal. Episode tersebut berakhir dengan munculnya seorang penasihat pada Pusat Kebudayaan Islam London yang berkomentar tentang pentingnya kerendah hatian dalam menyikapi para gay dan lesbian. Walaupun tampaknya Islam tidak menoleransi homoseksualitas, namun dia berkata, “segala sesuatu mungkin saja terjadi” dengan kuasa Allah[13].
Dalam perspektif Hukum Agama (Islam) kasus perkawinan yang dilakukan pada kasus di atas tersebut adalah tindakan dosa yang hanya dilakukan oleh kaum lelaki dari kaum Nabi Luth AS[14]. Ibnu Katsir berkata, “Allah swt mengutus Nabi Luth AS kepada penduduk kampung Sodom dan sekitarnya, guna menyeru kepada mereka untuk beribadah kepada Allah swt, berbuat amar ma’ruf nahi munkar, serta hal-hal yang haram dan keji, yang dosa tersebut tidak pernah dilakukan oleh seorang pun dari anak cucu Adam sebelumnya, yaitu mendatangi leleki (untuk melampiaskan nafsu birahi), bukan kepada wanita. Perkawinan seperti ini  pertama kali dilakukan oleh penduduk Sodom. Amru bin Dinar memberikan argumentasi tentang firman Allah, “(Dosa) yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu…..” Beliau berkata, “Belum pernah ada lelaki yang menjantani sesamanya sebelum kaum Nabi Luth as”.
Sedangkan komentar yang dilontarkan oleh Walid bin Abdul Malik adalah, “Sekiranya Allah tidak menceritakan berita tentang kaum Nabi Luth kepada kita, maka  kita tidak akan tahu bahwa ada lelaki “menaiki” sesama lelaki. Nabi Luth sendiri mengomentari kejadian tersebut yang terekam dalam (surat Al-A’raf ayat 80-81)[15]. Apakah kalian telah berlaku adil kepada wanita, padahal mereka diciptakan oleh Tuhan untuk kaum laki-laki? Kalian telah keterlaluan dan bodoh sebab telah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Oleh karena itu, pada ayat lain Nabi Luth berkata, “inilah putri-putrikui, jika kalian hendak berbuat (secara yang halal)”.[16]
            Jika Allah swt tidak menceritakan hal itu, maka kita tidak akan pernah mengetahuinya. Perkawianan sejenis adalah dosa yang sangat besar. Imam Adz Dzahabi pernah menukil dosa-dosa besar menurut ijma’, ternyata perkawinan sesame jenis merupakan dosa besar yang diharamkan oleh Allah[17]. Baghawi berkata, “Para ulama berbeda pendapat mengenai hukuman untuk tindak kawin sesame jenis. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa pelakunya harus dijatuhi hukum yang setimpal dengan hukukman zina, yakni jika pelakunya telah menikah (muhshan) maka ia harus dirajam, namun jika belum menikah maka hanya didera (dicambuk) seratus kali. Demikian pula pendapat Sa’id bin Musayyab, Atha’ bin Abu Rabah, Hasan Qatadah dan Ibrahim Nakha’i. Ada pula pendapat dari Ats-Tsauri dan Auza’I, yang merupakan terkuat dalam madzhab Syafi’i. Pendapat ini juga dipegang oleh Abu Yusuf dan Muhammad.
Syafi’i berpendapat dengan pemhamannya mengatakan bahwa, ia (pelaku) layak didera seratus kali cambukan dan diasingkan satu tahun, tanpa diterminasi antara pelaku laki-laki dan wanita, sudah menikah (muhshan) atau masih bujang, karena konteks kedudukan dubur dalam hukum sangat lemah, yakni tidak termasuk dalam kategori hal yang dianggap sebagai perangkat pernikahan. Oleh sebab itu, pelaku nikah sesame jenis tidak layak dijatuhi hukuman layaknya hukuman yang diberikan kepada para pezina yang muhshan.
Ada yang berpendapat bahwa pelaku kawin sesame jenis harus dirajam, baik yang sudah menikah maupun yang masih bujang. Pendapat ini sebagaimana dinilai oleh Sa’id bin Jubair dan Mujahid dari Ibnu Abbas[18]. Pendapat ini juga disepakati oleh Asy-Sya’bi. Namun menurut Az-Zuhri pendapat ini hanya dianut oleh Malik, Ahmad dan Ishaq. Bahkan, Hammad meriwayatkan sebuah pendapat dari Ibrahim An-Nakha’i, yang mengatakan, “Andai ada orang yang harus dirajam dua kali, maka itu adalah pelaku homoseksual.” Syafi’i mengatakan bahwa palaku homoseksual harus dijatuhi hukuman mati, baik palaku (subjek) maupun yang diperlakukan, sebagaimana yang tersurat dalam hadits.
Abu Hanifah menilai, pelakunya harus diberi pelajaran (ta’zir), bukan dijatuhi hukuman. Diriwayatkan oleh jabir dan Abu Hurairah dari Nabi saw mengenai hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku kawin sesame jenis, bahwa pelakunya harus dibunuh, baik subjek maupun objeknya[19]. Seolah-olah sudah menjadi pandangan secara umum dan sudah menjadi kesepakan seluruh Ulama atas keharaman perbuatan kawin sesame jenis (homoseksual dan lesbian). Mereka akan mendapatkan balasan yang sangat keras di dunia maupun di akhirat. Namun para ulama berbeda pendapat (ikhtilaf) dalam pelaksanaan hukuman bagi pelakunya. Perbedaan tersebut oleh Sayyid Sabiq di klarifikasikan sebagai berikut:
  1. Sebagian ulama menetapkan hukuman bagi pelakunya adalah sebagaimana pelaku zina. Jika palakunya masih bujang (ghoiru muhshan) maka didera atau cambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun, jika pelakunya sudah berkeluarga (muhshan) maka pelakunya dirajam.
  2. Sebagian ulama menetapkan hukuman bagi palakunya adalah harus diberi pelajaran (ta’zir), bukan dijatuhi hukuman bunuh.
  3. Sebagian ulama lain menetapkan hukuman bagi pelakunya adalah di bunuh secara mutlak.[20]
D.     Argumen Kaum Minoritas:
Menggugat Otoritarianisme Agama Menuju “Fiqh” Humanis
Persoalan otoritarianisme dalam penetapan makana kurang mendapat perhatian para sarjana. Beberapa sarjana cenderung mensejajarkan interpretasi teks yang bersifat spekulatif atau tidak masuk akal dengan otoritarianisme epistemologis. Sedangkan beberapa sarjana lain menganggap upaya membatasi ketidak tetapan makna tekstual atau membatasi ketergantungan terhadap maksud pengarang sebagai sumber makna sebagai bentuk otoritarianisme[21].
sehingga, umat Islam menikmati iklim kebebasan yang relatif longgar. Berpendapat, berkumpul, berdialog dan berdiskusi, masih menjadi buah manis reformasi. Kini, seakan ada consensus—paling tidak di kalangan elit Agama—bahwa iklim kebebasan mesti dikawal agar tak terjatuh ke jurang despotisme, diktatorisme dan otoritarianisme lagi. Kebebasan dan demokrasi, mestinya di situ tersisip harapan akan keadilan yang lebih berasa.
Ayat yang berkaitan dengan pelarangan homoseksual para sarjana muslim (kontemporer), menafsirkan bahwa ayat tersebut tidak ada kepentingan apapun mengatur tentang hubungan manusia khususnya dalam sebuah pernikahan. Entah itu gay ataupun lesbian.  karena “Hanya orang primitif saja yang melihat perkwinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan. Jika dulu Tuhan mengutus Luth untuk menumpas kaum homo karena mungkin bisa menggagalkan proyek Tuhan dalam menciptakan manusia (karena waktu itu manusia masih sedikit)?
Anak-anak fakultas syariah, misalnya M Kholidul Adib Ach yang menulis artikel berjudul “Agama Peduli Homoseksual: Membebaskan Kaum Homoseksual dari Penindasan Agama”, berpendapat begini: “Pengharaman nikah sejenis adalah bentuk kebodohan umat Islam generasi sekarang karena ia hanya memahami doktrin agamanya secara given, taken for granted, tanpa ada pembacaan ulang secara kritis atas doktrin tersebut.” Menurut pemimpin redaksi Jurnal Justisia ini,  pembacaan yang dilakukan umat sekarang atas kisah kaum Luth hanya sebatas permukaan dan tidak membaca “narasi yang tak tampak”. Katanya, “Boleh jadi cerita kaum Luth ini, kalaupun benar adanya, jangan-jangan malah cuma mitos, terdapat kepentingan politik Luth terhadap seseorang yang kebetulan homoseks[22].
 
a.        Homoseksual Sejatinya Juga Manusia
Esensi ajaran agama adalah memanusiakan manusia, menghormati manusia dan memuliakannya. Tidak peduli apa pun ras, suku, warna kulit, jenis kelamin, status sosial dan orientasi seksualnya. Bahkan, tidak peduli apa pun agamanya.  Pada 17 mei 1990 organisasi kesehatan dunia (WHO) telah memutuskan bahwa homoseksualitas tidak tergolong suatu penyakit atau gangguan jiwa, namun diskriminasi terhadap kelompok minoritas ini masih kerap terjadi di beberapa negara (lebih-lebih Islam). Dalam bentuknya yang paling ekstrim, diskriminasi terhadap minoritas homoseksual diwujudkan dalam aksi-aksi kekerasan terhadap mereka. Dalam konteks Indonesia diskriminasi itu misalnya, terlihat dari perda-perda yang mencantumkan homoseksual dalam kategori perbuatan cabul dan pelacuran. Tidak kurang, dalam UU Pornografi yang belum lama disahkan itu, dikatakan bahwa homoseksual sebagai penyimpangan seks. Padahal “fatwa” dari WHO tersebut sudah tercantum pula dalam kitab PPDGJ milik Depkes RI (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis dan Gangguan Jiwa) edisi III tahun 1993. Ini berarti materi UU tersebut tidak merujuk kepada kitab pedoman kesehatan tersebut.
Saya kira hal tersebut dipengaruhi ketiadaan pendidikan seks dan pendidikan tentang identitas gender dari pemerintah untuk warganegaranya, dan tidak tersedianya informasi yang benar, membentuk pemahaman yang keliru dalam masyarakat dalam melihat dan memperlakukan kaum homoseksual. Dari persoalan ini, mereka kerap dinilai negatif oleh masyarakat. Mereka dilihat sebagai pendosa, penyebar penyakit atau bahkan pembunuh.
  Perbedaan secara orientasi seksual, bukanlah dasar yang bisa menghalalkan kita untuk melakuan diskriminasi. Perlu ditegaskan ulang, diskriminasi terhadap kaum Homoseksual, bukan hanya terjadi di Indonesia secara khusus, atau dunia Islam secara umum, tapi juga terjadi di dunia Barat sendiri yang sekarang ini mulai belajar membuka diri terhadap minoritas yang memiliki orientasi seksual berbeda. Atas dasar fakta ini, seharusnya hokum Islam mengajak masyarakat Indonesia untuk melihat secara terbuka sejarah peradaban dunia, di mana kekerasan dan diskriminasi terhadap mereka yang berbeda bukanlah soal “Timur-Barat” saja, tapi lebih jauh soal kelapangan jiwa dan pola pikir komunitas tersebut untuk menerima mereka yang berbeda. Pandangan sinis terhadap kaum Homoseksual, membuat banyak orang mempertanyakan sisi positif kaum Homoseksual, juga memandang miris kepada setiap usaha advokasi yang ditujukan kepada mereka.
Sekalipun berbeda (kepuasan seksual),  tapi kaum Homoseksual sejatinya juga manusia yang memiliki perasaan yang sama dengan mereka yang normal. Mereka bukannya tidak mau berusaha menjadi sama dengan orang lain. Bagi kaum Homosek, keadaan bukanlah sebuah pilihan, tapi lebih merupakan ketetapan yang ditakdirkan kepada mereka. Karena itu, advokasi kepada kaum Homoseksual sejatinya adalah advokasi kepada kemanusiaan itu sendiri.  
Takdir homoseksual bisa saja diterima oleh siapa saja, termasuk mereka yang ada dalam anggota keluarga kita. Membela Homoseksualitas, dengan begitu berarti membela keluarga kita sendiri, membela sesama manusia yang memiliki harkat dan martabat yang sama dihadapan Tuhan. “Islam mengajarkan bahwa seorang Homoseks  sebagaimana manusia lainnya sangat berpotensi menjadi orang yang salah atau taqwa selama dia menjunjung tinggi nilai-nilai agama, yaitu tidak menduakan Tuhan (syirik), meyakini kerasulan Muhammad Saw serta menjalankan ibadah yang diperintahkan. Dia tidak menyakiti pasangannya dan berbuat baik kepada sesama manusia, baik kepada sesama makhluk dan peduli pada lingkungannya. Seorang Homoseks yang bertaqwa akan mulia di sisi Allah, saya yakin ini.”
b.        Skala Keadilan Illahi Dipertimbangkan kembali
Al-Qur’an melukiskan dengan indah kebahagiaan di surga, dengan sungai yang dialiri susu dan madu, serta bidadari 72 bidadari-bidadari cantik yang siap mengabulkan kemauan kita, termasuk seksual? Bahkan dalam wacana Islam, surga kadang-kadang disebut “orgasme Abadi” untuk dua jenis kelamin, karena roh tidak memiliki gender.[23] Jika merujuk kepada tujuan pernikahan,[24] anggapan bahwa homoseksualitas adalah sebuah anomali sejatinya lahir dari pemikiran tentang keharusan adanya pro-creation purpose dalam sebuah hubungan seksual (hubungan seksual untuk mendapat keturunan). Dalam hal ini, Islam hendaknya harus memiliki pandangan yang lebih maju tentang adanya tujuan lain hubungan seksual selain untuk mendapat keturunan, yakni untuk mendapat kesenangan (rekreasi). Seandainya pandangan ini diterima, tentulah dukungan terhadap pernikahan Homoseksual tidak akan lagi menjadi suatu kesulitan.
Karena, memperlakukan seseorang atau pihak lain sesuai dengan haknya. Yang menjadi hak setiap orang yakni diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya, sama derajatnya, dan sama hak dan kewajibannya dalam menentukan pilihannya. Inilah yang kemudian disebut dengan hakikat Keadilan.[25]
Tindakan diskriminatif terhadap kelompok Homoseksual selain ada dalam pelbagai budaya-budaya dunia, juga ditemukan dalam semua tradisi agama-agama, bukan hanya Islam. Ini terjadi, ketika tindakan diskriminatif dilakukan atas nama kekelan tradisi atau agama, ia akan menarik banyak orang untuk ikut serta di dalamnya. Demikian, karena agama atau tradisi kerap kali dijadikan ukuran menilai benar-salah, dan ini sangat berbahaya jika telah masuk ke dalam ranah tindakan diskriminasi. Sebagai contoh kasus yang terjadi pada Miriam (lesbian) dan Adnan (gay) keduanya adalah seorang Muslim yang dikucilkan karena tindakannya. Padahal banyak juga yan memang tindakan tersebut murni atas dasar (an taradin) seperti dua gay muslim asal Prancis yakni Ludovic Muhammad Zahid dan Qiyam al-Din menikah di Afrika Selatan sesuai syariah Islam. Penghulunya Ustadz Jamal asal Mauritania juga kaum homoseksual. Ibu Kota Johanesburg memang telah mensahkan pernikahan sesama jenis.
Keputusannya memilih sesama lelaki sebagai pasangan hidupnya. Dia juga mengaku bertambah rajin shalat dan berdoa. Zahid dan suaminya juga berencana membangun masjid khusus gay di Prancis. Keputusan Zahid dan Qiyam untuk tetap menjadi gay bukan tanpa alasan. Menyukai lelaki diakui mereka datang dari dalam diri yang sulit untuk ditolak. Sejak kecil mereka telah menyukai sesama jenisnya. “Kami percaya Allah SWT Maha Pengasih, Pengampun, dan Maha Penyayang. Dia menyayangi semua hambaNya tanpa kecuali. Termasuk kaum gay” ujar Zahid[26]. Rupanya kearifan Tuhan lah membuat mereka terus meyakini jalan dipilihnya benar. Karena sebenarnya Allah tak pernah berhenti mempertontonkan kreativitas penciptaannya hingga saat ini dan selanjutnya sesaat kemudian.
Adapun faktor penyebab tejadinya homoseksualitas bisa bermacam-macam, seperti karena kekurangan hormon lelaki selama masa pertumbuhan,karena mendapat pengalaman homoseksual yang menyenangkan pada masa pertama kali berhubungan[27]. Jika kita lihat dari dimensi Biologis, homoseksualitas bisa juga dimungkinkan karena adanya kelebihan kromosom seks dari ibu. Upaya ilmuwan menguak tabir homoseksual pernah dilakukan. Pada tahun 1991, ilmuwan dari California melaporkan hasil CT scaning (penyinaran) terhadap otak pria gay dan pria normal. Yang ternyata berbeda. Kemudian tahun 1993, ilmuwan dari National Institut of Health (N.I.H) di Maryland Amerika menemukan adanya unsur DNA pada kromosom X yang menentukan orientasi seksual seseorang[28].
Kenapa agama melarang padahal itu semua adalah sebuah Anugrah dari Ilahi juga? Tidak fair jika demikian, padahal salah satu keadilan yang dimiliki Allah adalah Keadilan takwini (berkaitan dengan penciptaan). Tuhan memberikan nikmat kepada seluruh eksistensi sesuai dengan kapasitas, potensi, dan kapabilitasnya  serta tak satupun potensi (isti’dad) terlarang menerima rahmat dan nikmat Tuhan tersebut. Dengan kata lain, Tuhan Yang Maha Tinggi memberikan nikmatnya kepada seluruh makhluk berdasarkan potensi, kapasitas dan kapabiltas makhluk tersebut, dan seluruh makhluk mencapai kesempurnaan sesuai dengan standar potensi, kapasitas dan kapabiltas mereka sendiri.
Maka jika banyak “elit” agama me-larang homoseksual dengan menggunakan teks suci sebagai senjatanya, keadilan “Illahi” tentang pelarangan homoseksual juga perlu dipertimbangkan kembali, untuk menuju kesempurnaan Islam, sehingga harus merubah orientasi fiqh yang selama ini dipahami hanya bernuansa “hitam-putih” an sich, menuju fiqh pembebasan yang lebih humanis. Pasalnya jika orientasi pernikahan hanya melestarikan keturunan, bagaimana dengan pasangan suami Istri yang sampai akhir hayatnya tidak juga mendapatkan keturunan? Bukan-kah hal demikian juga dapat mengadopsi anak? Sama halnya dengan perkawinan antar homoseksul atau antar lisbian, yang tidak bisa melairkan anak, bukankah mereka juga bisa mengadopsi anak. Apabila di dalam masyarakat, hubungan seksual yang normal tidak boleh melakukan seksual bebas (hubungan sek tanpa kawin), sepatutnyalah para homo dan lisbian,  jika diterima kodratnya seyogyanya juga demikian karenanya perlu diatur hubungan pembentukan keluarganya dengan peraturan perkawinan[29].
Sesungguhnya, yang dilarang dalam teks-teks suci tersebut lebih tertuju kepada perilaku seksualnya, bukan pada orientasi seksualnya. Mengapa? Sebab, menjadi homoseksual (gay dan lesbi), dan biseksual adalah kodrati, sesuatu yang “given” atau dalam bahasa fikih disebut sunnatullah. Sementara perilaku seksual bersifat konstruksi manusia. Jika hubungan sejenis atau homo, baik gay atau lesbi sungguh-sungguh menjamin kepada pencapaian-pencapaian tujuan dasar tadi maka hubungan demikian dapat diterima.
Selain itu, dalam dimensi hukum Islam, faktor tunggal yang menjadi sebab (illat) diharamkannya homo dan lesbi pada zaman Nabi Muhammad saw, terlebih zaman Nabi Luth as adalah karena sedikitnya populasi umat manusia pada saat itu. Sehingga, Untuk menjamin kesinambungan umat manusia sebagai khalifah di muka bumi, perkawinan pria dan wanita mutlak diperlukan. Karenanya, pengharaman homo dan lesbi merupakan solusi sosial bagi problem tingkat populasi pertumbuhan umat mausia yang sangat rendah.
Namun saat ini, ketika populasi ummat manusia membeludak, bahkan telah menimbulkan problem sosial yang sangat serius dari beragam sektor kehidupan, bahwa   ‘illat dari haramnya perkawinan sesama jenis sudah tidak ada. dan sudah maklum, bahwa, “alhukmu yaduru ma’a illatihi”. Sehingga pengharaman homoseksual harus di evaluasi kembali dan dikaji ulang. Dan mereka mengambil kesimpulan, di zaman sekarang  Homo dan Lesbi menjadi solusi sosial bagi problem ledakan pertumbuhan penduduk dunia, dan problem-problem sosial lainnya terkait penyediaan sandang, pangan, papan dan lapangan kerja. Wallahu ‘alam.


      E.     Penutup

Pelarangan Homoseksual yang sangat ketat dalam pandangan agama maupun budaya sangat mencekam para kaum minoritas, harapan al-Qur’an antara kebebasan dan keadilan seakan sirna. Dan dialektika keduanya kemudian berujung petaka: kebebasan lenyap, keadilan tak kunjung berwujud. Baik kebebasan maupun keadilan sama-sama menjadi arang dan abu, tak ada yang dimenangkan. bagai hilangnya kebebasan dan keadilan muslim dewasa ini, bak kondisi buntungnya dua betis (faqd al-saqain).
Ajaran Agama sebagai sebuah langkah untuk mewujudkan kesetabilan sosial, banyak diperdaya oleh otoritas “elit” agama yang mengaku berbicara Tuhan yang sebenarnya (tidak) banyak mempunyai misi kemanusia, kebangkitan kembali kaum Luth mengingatkan kapada kita bahwa sebenarnya Homoseksual bukan merupakan suatu penyakit atupun kelainan yang di-idap oleh manusia. Akan tetapi itu merupakan sebuah anugrah tuhan kepada Makhluknya, toh “Roh” tidak memiliki gender!
Di Era transformasi global dimana tekhnologi dan perkembangan manusia secara kuantitas begitu pesat, sehingga memaksa bumi ini dihuni dengan berdesak-desakan, dari situ solusi sosial yang menurut penulis solutif adalah dengan cara nikah sejenis. Sesuai dengan asas secara fundamental dalam sebuah pernikahan adalah orientasi seksual, bukan karena keinginan mempunyai keturunan.
 
 
***********
     


Daftar Pustaka

Anis, Ibrahim, at all, al-Mu’jam al-wasith, Juz II,.
Adz-Dzahabi, Al Kabair, Bairut: Dar Kutub Al Ilmiyah,.
Nur Syam, 2012, Agama Pelacur, Dramaturgi Transendental, Yogyakarta: Lkis bekerja sama dengan IAIN Press.
Faiz, Ahmad, 2001, Cita Keluarga Islam, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.,
Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual, Semarang: eLSA, 2005.
Irsyad Mandji, Beriman tanpa Rasa Takut., 2008, 30-31. PDF
Khalled M. Aboe el-Fadl,  2003, Speaking in God’s Name: Islamic Law Autority and Women, Oxford: Oneworld Publications,.
Katsir, Ibnu, tth,  Tafsir Al Qur’an Al ‘Adzim, Istambul: Dar Dakwah, jilid II,
Moertihko. Transeksual dan Waria. Surya Murti publishing. Solo.
Sabiq, Sayyid, 2003, Fiqhu Sunnah, Al-Qahirah: Dar al-fath lii’lam al ‘arabi, cet. pertama, juz 2.,
Otto soekanto CR, Psikologi Seks; menyikap problem psiko sosial dan psiko seksual selebriti, Yogyakarta: AR-ruzz Media, thn 2008.
Kususma, Julia Surya, 2012, Agama, Seks dan Kekuasaan, Jakarta: Komunitas Bambu.,
Siswanto, Agus, Penyebab Seorang Pria Menjadi Homoseksual, dalam http://gus7. wordpress.com. diakses, 20/11/2013.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretaris Jendral MPR RI, 2013
Trans TV, Kampanye dan Promosi Homoseksual dalam http://sunni.abatasa.co.id diakses, 06/12/2013.
Suryadharma AliPerkawinan Sesama Jenis di Indonesia, Mungkinkah? Dalam http://hukum.kompasiana.com/2012/04/11/perkawinan-sesama-jenis-di-indonesia-mungkinkah-453666.html. 06/12/2013
Rawls, John, 1997, A Theory of Justice,  Cambridge, Massachuset: Harvard University Press.,
Zayd, Nasr Hamid Abu, 2003, Naqd al-Khitab ad-Diniy, terj. Khoiron Nahdiyyin, Kritik Wacana Agama, Yogyakarta: Lkis,.



[1]   Materi Diskusi Pascasarjana IAIN Walisongo-Semarang, 21/12/2013
[2] Homoseksual disini terdiri dari: pertama, gay yaitu laki-laki yang menyukai laki-laki. Kedua, lesbian, yaitu wanita yang menyukai wanita. Adapun pola hubungan seksnya antara lain: fellatio, cunnillingus dan anal.
[3] Banyak orang muslim yang menikah antar sesame jenis seperti yang dikatakan Menteri Agama, Suryadharma Ali di Bandung, Selasa 10 April 2012.  Saat ini ada keinginan untuk mengubah Undang-Undang Perkawinan, baik oleh Komnas Perempuan atau lembaga-lembaga lain, termasuk oleh para kaum gay, homoseksual, maupun lesbian” Menurut Suryadharma, selama ini  UU Perkawinan dianggap hanya  mengatur tentang pernikahan antara laki-laki dan perempuan dan sebaliknya. “Mereka menganggap itu diskriminatif karena hanya mewadahi pernikahan bagi laki-laki dan perempuan” kata Suryadharma. “Itu yang ingin mereka perjuangkan.. Lihat: http://hukum.kompasiana.com. Diakses, 27/11/2013.
[4] Tertulis dalam kamus ‘al-Mu’jam al-wasith, kata al-qudrat berarti ath-thaqah (kekuatan), al-kuwwatu ‘ala asy-syai’i wa al-tamakun minhu (kekuatan untuk mengendalikan sesuatu), dan al-ghina’ wa ats-tsara (harta kekayaan). Dari ketiga makna tersebut (al-qudrah), ungkapan “kodrat” menjadi perempuan ataupun laki-laki boleh dikatakan tidak tepat. Oleh karena itu tidak ada batasan dalam menjalankan suatu hubungan homoseksual karena makna kudrat sendiri tidak tepat. kata kodrat atau dalam bahasa arab al-qadru ukuran, batasan, dan kehormatan. Lihat: Ibrahim Anis, et all, al-Mu’jam al-wasith, Juz II,. Hlm. 718.     
[5] Nazar Nurdin, Lokalisasi dalam perspektif Hukum Sipil: catatan pelegalan seks di Indonesia, dalam Religiusitas Pramuria, Journal Justisia, Edisi 29 Tahun XXIII/2012. Hlm. 42
[7] Suatu saat nanti ada pasangan sesama jenis yang melangsungkan pernikahan di luar negeri yang melegalkan perkawinan tersebut (sebut saja Argentina, Meksiko atau Negara-negara yang telah melegalkan perkawinan sesama jenis), lalu kembali ke Negara (Muslim) Indonesia?  Mari kita tengok, ketika UU Perkawinan tidak mengatur tentang perkawinan beda agama. Salah satu cara yang digunakan untuk melegalkan perkawinan tersebut adalah dengan jalan melakukan perkawinan di luar negeri -selain dengan cara memperoleh penetapan pengadilan. Dan memang, setelah di Indonesia pun akhirnya perkawinan tersebut di anggap sebagai perkawinan yang sah. Sebagai contoh: perkawinan antara Titi Kamal dengan Cristian Sugiono. Bukan tidak mungkin cara seperti ini akan ditempuh atau dijadikan rujukan oleh pasangan sesama jenis. Saat ini bisa jadi tidak mungkin! Tapi, siapa yang bisa menjamin 5, 10 atau 20 tahun kedepan masyarakat Indonesia masih sama seperti sekarang -yang katanya kental dengan budaya ketimurannya dan sangat religious. Ini era globalisasi. Seperti yang sudah didegung-dengungkan masyarakat, bahwa ini jaman dunia tanpa batas. Peradaban pun bisa berubah begitu cepat. Dan, tak ada jaminan semua orang dapat memproteksi dirinya dengan baik -mengambil yang bagus dan mengabaikan yang buruk. Bahkan Negara pun tak bisa menjamin bahwa warganya akan selalu mendapatkan informasi yang bermutu. Maka, tak menutup kemungkinan suatu saat nanti perkawinan sesama jenis bisa menjadi trend di sini. (www.Kompas.com).
[8] Otto soekanto CR, Psikologi Seks; menyikap problem psiko sosial dan psiko seksual selebriti, Yogyakarta: AR-ruzz Media, thn 2008. Hlm. 22.,
[9] Julia Surya Kususma, Agama, Seks dan Kekuasaan, Jakarta: Komunitas Bambu, thn 2012, hlm. 408-409
[10] Menurut Profesor Musdah, definisi perkawinan adalah: “Akad yang sangat kuat (mitsaaqan ghaliidzan) yang dilakukan secara sadar oleh dua orang untuk membentuk keluarga yang pelaksanaannya didasarkan pada kerelaan dan kesepakatan kedua belah pihak”. Definisi semacam ini biasa kita dengar. Tetapi, bedanya, menurut Musdah Mulia, pasangan dalam perkawinan tidak harus berlainan jenis kelaminnya. Boleh saja sesama jenis. Lebih lanjut ayat-ayat Al-Qur’an soal hidup berpasangan (Ar-Rum, 21; Az-Zariyat 49 dan Yasin 36) di sana tidak dijelaskan soal jenis kelamin biologis, yang ada hanyalah soal gender (jenis kelamin sosial). Artinya, berpasangan itu tidak mesti dalam konteks hetero, melainkan bisa homo, dan bisa lesbian. Maha Suci Allah yang menciptakan manusia dengan orientasi seksual yang beragam.
[11] Trans TV, Kampanye dan Promosi Homoseksual dalam http://sunni.abatasa.co.id diakses, 06/12/2013.

[12] Nasr Hamed Abu-Zeid menyatakan bahwa realitas sosial adalah dasar dan tidak mungkin diabaikan. Dari realitas sosial lahirlah teks. Dari bahasa dan kebudayaan teks terbangunlah sistem. Realitas adalah yang pertama, kedua dan yang terakhir. Mengabaikan realitas karena mempertimbangkan teks yang beku tanpa perubahan atas pemaknaannya akan menjadikan teks sebagai sebuah legenda. Lihat: Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab ad-Diniy, terj. Khoiron Nahdiyyin, Kritik Wacana Agama, Yogyakarta: Lkis, 2003,.
[13] Lihat: Irsyad Mandji, Beriman tanpa Rasa Takut., 2008, 30-31. PDF
[14] Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: ’Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?’ Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas”. (QS. Al-A’raf:80-81).
[15] Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?’ Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.
[16] Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Adzim, (Istambul: Dar Dakwah), jilid II, hal.230
[18] Yakni atsar dari Ibnu Abbas RA. Lihat: sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud (4463, 4/157).
[19] Hadits Tirmidzi: 1456, Abu Daud;3869, Ibnu Majah: 2561, dan Ahmad: 2496
[22] Lebih lanjut Telusuri buku: Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual, Semarang: Lembaga Studi Sosial dan Agama/eLSA 2005.
[23] Julia suryakusuma, Op.cit., 407-407
[24]Nilai asasi yang ingin diraih dari perkawinan adalah ketenangan, ketentraman, dan kasih sayang. Bila ketenangan dan ketentraman mewarnai suasana rumah tangga, maka ia akan menghasilkan manusia unggulan dan terjamin mutu. Lihat:  Ahmad Faiz, Cita Keluarga Islam, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001, hlm. 26. Hal ini senada dalam Islam, menurut penulis terdapat lima nilai fundamental dalam perkawinan yaitu keduanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan (min anfusikum) atau dalam bahasa jawanya sak awak, ketenangan jiwa (litaskunu ilaiha), cinta kasih (mawaddah) yang lebih berorientasi pada pemenuhan nafsu biologis, kasih sayang (rahmah) yang lebih berorientasi pada sifat-sifat kemanusiaan sampai akhir hayatnya, dan arti pentingnya berfikir (yatafakkarun) secara realistis dalam menghadapi problematika kehidupan berumah tangga tidak mengedepankan emosional. Dan salah satu tujuan dari pernikahan adalah menyalurkan naluri seksual dengan sah (termasuk) homoseksual.
[25] Rawls dalam pandangan-pandangannya keadilan sebagai fairnes adalah satu upaya mewujudkan semangat egalitarian pada struktur masyarakat. Tentu egalitarianisme itu tidak boleh dimengerti dalam arti secara radikal. Rawls berpendapat soal sikap adil, yaitu bahwa pembagian nilai-nilai sosial yang primer (primary social good) disebut adil jika pembagiannya dilakukan secara merata, kecuali jika pembagian yang tidak merata merupakan keuntungan bagi setiap orang. Nilai-nilai sosial yang primer yang dimaksud adalah kebutuhan dasar yang sangat kita butuhkan untuk bisa hidup pantas sebagai manusia dan warga masyarakat. Kebutuhan dasar itu antara lain hak-hak dasar, kebebasan, kesejahteraan, dan kesempurnaan. Artinya bahwa dalam suatu masyarakat tidak ada  tempat terhadap diskriminasi dalam bentuk apapun. Ketika dikatakan bahwa seseorang berbuat adil, yang dimaksud adalah bahwa orang itu memandang semua individu secara sama, setara, tanpa melakukan pembedaan dan pengutamaan apalagi terhadap jenis kelamin. menurut Rawl ada tiga prinsip keadilan yaitu: (1) kebebasan yang sama yang sebesar-besarnya, (2) perbedaan, (3) persamaan yang adil atas kesempatan. Lihat: John Rawls, A Theory of Justice,  Cambridge, Massachuset: Harvard University Press, 1997, hlm. 61.
[28] Kromosom normal pada seorang laki-laki berjumlah 46 buah (23 pasang), 22 pasang kromosom otosom dan sepasang kromosom seks (XY), sedangkan laki-laki yang memiliki kecenderungan homoseksualitas secara hormonal memiliki jumlah kromosom 47 buah, yang terdiri dari 44 buah (22 pasang) otosom dan 3 buah kromosom seks (XXY) hal ini dikarenakan kromosom dari ibu (XX) tidak terjadi pembelahan, sehingga individu laki-laki ini memiliki ciri-ciri kewanitaan. Anastasi (dalam bukunya pengantar psikologi), secara biologis menjelaskan homoseksual ini terjadi jika bayi laki-laki selama dalam kandungan mensekresi hormon testosteron kurang dari jumlah normalnya, atau jika bayi perempuan (yang kelak menjadi lesbian) mensekresi hormon testosteron (juga) yang melebihi kadar normalnya. Nah jika kita lihat dari dimensi Psikologis, banyak lagi faktor yang berpengaruh. Mulai dari aliran Psikoanalisa yang mengungkap dimensi masa lalu, dimana anak pada tahap falik (usia 3-5 th) kurang mendapatkan figur yang baik dari orang tua dengan jenis kelamin yang sama. Jika ini terjadi pada laki-laki (untuk perempuan tinggal membalik saja), dalam situasi kehidupan awal seorang anak, figur ibu terlalu dominan dalam keluarga (bisa jadi karena ayah lemah, perceraian sehingga anak laki-laki tinggal dengan ibunya, atau ayah meninggal) sehingga identifikasi anak laki-laki ini cenderung ke arah perempuan. Termasuk pengasuhan oleh ayah terhadap anak laki-lakinya menjadi kurang efektif. Lihat: Agus Siswanto, Penyebab Seorang Pria Menjadi Homoseksual, dalam http://gus7. wordpress.com. diakses, 20/11/2013.
[29] Pernyataan seperti ini juga dapat dipayungi oleh ketentuan kaidah dasar negara yang diatur dalam Pasal 28 I (5) yang berbunyi “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”. Ketentuan-ketentuan hak asasi manusia dalam UUDNRI Tahun 1945 yang berkorelasi dengan pengaturan hubungan seksual yang menyimpang untuk waktu-waktu yang akan datang haruslah diupayakan menerima bagi kalangan agama dan masyarakat adat, baru kemudian negara memberikan legalitasnya dan bentuk hukum.