A. Pendahuluan
Islam hadir dengan misi rahmatan lil
‘alamin memberikan rahmat bagi seluruh alam dengan tidak mendiskriminasikan
umatnya karena perbedaan kelamin, suku, warna kulit, bentuk tubuh, usia,
pandangan politik, etnis, ras, agama, orientasi seksual, dan perbedaan-perbedaan
lainnya. Para mufassir (ahli tafsir) tidak ada yang memiliki pemahaman
yang berbeda tentang misi Islam, tetapi problem muncul ketika para mufassir
memahami ayat-ayat lain dalam Al-Quran dan hadis-hadis yang disabdakan oleh
Rasulullah Saw. Sebut saja yang berkaitan dengan orientasi seksual terhadap
sesama jenis dan segala aspek kehidupannya. Dalam persoalan inilah “Islam
menjadi bencana bagi kaum Pecinta Sesama Jenis”.
Dimana para “elit” mayoritas memahami ayat-ayat tersebut dengan perspektif bias
heteronormativitas, sehingga kaum homoseksual[2] berada pada kelompok yang dianggap menyimpang, dan
memiliki konflik dalam beragama. Sedangkan,
fenomena “bangkitnya kaum Luth”, dalam beberapa dekade terakhir berkembang sangat
signifikan[3]. Sehingga memicu banyak kalngan untuk mengkajinya, pandangan para peneliti sosial dan medis misalnya menemukan bahwa hubungan sejenis
terjadi karena lingkungan keluarga dan masyarakat serta factor genetika. Kemudian dalam pandangan “elit” agama mengatakan hubunungan sejenis
merupakan suatu perbuatan yang sangat tercela karena bertentangan dengan kodrat[4] dan
kenormalan manusia.
a. Fokus Kajian
Dengan latar belakang
diatas, penulis merancang studi ini untuk memetakan dan mengkritisi pertanyaan, pertama, Bagaimanakah jika antara orang-orang sesama jenis ini (antar gay dan lisbian), melakukan hubungan seksual dan
berkeinginan mengabadikan hubungannya itu atas dasar cinta kasih sayangnya
membentuk keluarga melalui perkawinan? Kedua, Apakah hubungan mereka tersebut dengan membentuk keluarga dengan
melakukan perkawinan secara sah, apakah hukum agama tetap melarangnya? Ketiga, Bagaimana dengan nasib kaum minoritas
yang mempunyai hasrat birahi seksualitas dan lebih terpuaskan karena
berhubungan hanya dengan sesama jenis? Hal demikian menjadi terkesan
diskriminasi jika hukum agama sampai membendung kecenderungan tersebut. Padahal
naluri menyukai sesama jenis adalah fitrah yang tidak bisa di ubah—seperti
halnya paradigma yang sudah menggurita bahwa hubungan biologis itu harus di salurkan dengan lawan jenis
(laki-laki dangan perempuan)—karena secara potensial dan tidak dapat di
nafi’kan bahwa manusia lebih mempunyai kepuasaan secara biologis yang berbeda.
b.
Definisi Operasional
Untuk keperluan studi ini, kami membuat definisi operasional
mengenai diskriminasi terhadap kaum minoritas, Otoritarianisme (hukum) Agama
dan pernikahan sesama Jenis:
Diskriminasi terhadap kaum minoritas yang
dimaksudkan dalam kajian ini adalah pembedaan, pelecehan, penistaan terhadap kaum
pecinta hubungan Homoseksual, yang dilakukan orang (masyarakat) yang menganut pemutlakan atau
absolutism pemahaman Agama. ia
bersikap membeda-bedakan atau memisahkan antara
sesama manusia kelompok yang
orientasi seksualnya lebih cenderung menyukai kaum sesame jenisnya
(minoritas). Bersikap tidak toleran
kepada kaum minoritas, yang berbeda orientasi seksualnya.
Otoritarianisme Agama yang dimaksudkan disini adalah orientasi Agama yang tidak menunjukkan sikap
toleran terhadap pelaku homoseksual semua karakter ini di tunjukkan secara
terbuka maupun tersembunyi, oleh para
“elit”
agama tidak lagi berbicara tentang hukum Tuhan melainkan berbicara “atas
nama Tuhan”
atau bahkan menjadi “corong”
dan sebagai “panglima” Tuhan itu sendiri dalam menghukumi pernikahan homoseksual.
Pernikahan sesama Jenis yang dimaksudkan adalah
pernikahan yang dilakukan oleh pasangan sama jenisnya, dengan cara dan tata
cara sebagaimana aqad pernikahan pada
umumnya (laki-laki dengan perempuan). Dalam kajian ini, pasangan sejenis itu
sendiri terdiri dari gay dan lesbian yaitu hubungan seksual yang dilakukan laki-laki dengan
laki-laki, yang lazim disebut hubungan secara sodomi, pelakunya yang
umum dikenal (gay). Begitu juga hubungan perkawinan seksual yang dilakukan oleh
perempuan dengan perempuan, melalui oralseks, pelakunya lazim disebut lisbian.
B.
Homoseksual Dalam Cengkaraman Budaya
Diskriminatif
Berbicara mengenai seks
tentu berbicara mengenai kehidupan manusia seutuhnya[5].
Seksualitas sudah berlangsung secara turun temurun dan mempunyai umur panjang
sepanjang peradaban manusia itu sendiri. Munculnya seks tidak lepas dari
kehendak hasrat biologisnya. Karena manusia yang disebut dalam al-Qur’an sebagai
makhluk ciptaan Tuhan yang paling Indah (ahsani Takwim) pun jua sebagai
makhluk Tuhan yang paling aneh. Manusia adalah misteri bagi dirinya sendiri dan
orang lain.
Ia tidak sepenuhnya bergerak dengan
pikirannya tetapi juga bertindak dan berpikir dengan naluri libido dan bahkan
akal sehat sering dikalahkan oleh gairah dan hasrat dan libido tersebut. Secara
eksistensial manusia bergerak, memburu, memperebutkan dan mempertaruhkan diri untuk
kenikmatan-kenikmatan dan hasrat-hasrat (hubb Syahawat). Maka dari itu
menjadi kebutuhan fitrah bagi manusia—secara normal maupun abnormal berupa
menyukai hubunngan sesama jenis—akan
pemenuhan hasrat seksualitas.
Dan mungkin sudah
menjadi bagian dari rencana tuhan (sunnah Tullah) bahwa seksualitas
manusia yang menggembu-gembu harus dikendalikan oleh tatanan normatif yang
berupa etika agama. Sebagai moralitas agama menjadi semacam pengendali bagi
tindakan seksualitas yang tanpa batas. Sedangkan manusia adalah pelintas batas
(termasuk dalam urusan seksualitas). Naumun kenyataannya agama harus
tertatih-tatih dalam menghadapi gelagak seksualitas yang semakin menemukan
wilayah otonomnya[6].
Di Era-globalisasi sekarang ini, salah satu hal yang menuai digdaya
adalah seksualitas. Buktinya di negara, negara barat yang memiliki kebebasan
seksualitas tinggi (Homoseks dan Lesbian) berbagai bentuk relasi kuasa seksualitas
tampak mengedepan. Bahkan di beberapa negara bagian Amerika, perkawinan sejenis
sudah diperbolehkan berdasarkan Undang-undang[7].
Agama hampir-hampir tidak berkutik menghadapi derasnya perilaku seksualitas.
Jika pada masa lalu agama begitu “digdaya” dalam berhadapan dengan institusi
seksualitas melalui perkawinan maka hal itu sudah tidak berlaku lagi masa kini.
Agama dan seksualitas memiliki
relasi yang unik. Begitu pentingnya seksualitas dalam kehidupan beragama maka tidak
ada satu agama-pun di dunia ini yang tidak membahasnya. Dengan mementingkan
kejelasan tata aturan silsislah dan kejelasan status asal usul (geneologis) dalam
ajaran agama-agama semitik (Yahudi, Nasrani dan Islam), sek diritualisasi sedemikian
rupa sehingga menjadi justifikasi atas rujukan “kesantunan, moralitas dan
kebenaran”. Bahkan dianggap sebagai justifikasi atas sumber dari segala sumber
moralitas. Seksualitas juga dianggap sebagai sumber kenikmatan (sex as
recreational), dinafi’kan dari dirinya sendiri sekedar untuk memenuhi
tuntutan kesantunan dan moralitas[8].
Bagaimana dengan Homoseksualitas? Islam
secara eksplisit melarang semua aktivitas seks sesama jenis dan syariat Islam
sering kali menjatuhkan hukuman berat terhadap perbuatan itu. Hal itu tentu
saja tidak berbeda dengan Injil dan doktrin Kristen tradisional. Jadi
homoseksualitas dianggap tabu. Namun kenyataan sosial bahkan historis mengatakan
sebaliknya, dan ekspresi seks sesama jenis telah sedikit benyak menjadi aspek
yang dikenal dalam masyarakat muslim selama berabad-abad. Keterbukaan yang sama
juga tercermin dalam fleksibilitas yang biasa terdapat homoseksualitas yang
terdapat di pesantren-pesantren Indonesia[9].
Bagaimanapun Homoseksualitas lazim terjadi dalam komunitas homososial, misalnya
penjara, dan asrama juga tak terkecuali. Meskipun resminya dikutuk, pada
praktiknya homoseksualitas terlembagakan dalam pesantren-pesantren ortodoks. Bahkan
ada sebutannya yaitu “mairil” atau
“Sempetan”.
Dalam konteks
penyimpangan sosial, homoseksualitas dikatakan menyimpang karena fenomena
tersebut tidak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku dalam banyak kelompok
masyarakat. Homoseksual dianggap sebagai sebuah media yang tidak wajar demi
mendapatkan kepuasan seksual. Dalam kehidupan sosial, ada beberapa pandangan
mengenai homoseksualitas. Agama dan Sebagian masyarakat membolehkan perkawinan[10]
homoseksual meskipun lebih banyak masyarakat yang mengutuk perilaku
homoseksual.
Dalam kaitannya sebagai
bentuk perilaku menyimpang, secara sosiologis maupun umum gay dapat
diartikan sebagai perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan
dalam sudut pandang masyarakat luas maupun masyarakat tempat pelaku
penyimpangan berada. Jika ditinjau dari sudut pandang etimologis, Kamus Lengkap
Bahasa Indonesia menerjemahkan perilaku menyimpang sebagi tingkah laku,
perbuatan, atau tanggapan seseorang terhadap lingkungan yang tidak sesuai
dengan norma-norma dan hukum yang ada dalam masyarakat.
Pada Hari Senin, 13
Juni 2005, pukul 08.30 WIB, dalam acara Good Morning, Trans TV melakukan
kampanye legalisasi perkawinan sesama jenis. Ketika itu ditampilkan sosok
wanita lesbi bernama Agustin, yang mengaku sudah 13 tahun hidup bersama
pasangannya yang juga seorang wanita.
Agustin, yang mengaku
menyukai sesama wanita sejak umur 12 tahun, ditampilkan sebagai sosok
yang “tertindas”, diusir oleh keluarganya, pindah dari satu pekerjaan ke
pekerjaan lain, gara-gara dirinya seorang lesbi. Kini ia bekerja di LSM Koalisi
Perempuan Indonesia.
Ketika ditanya, mengapa
dia berani membuka dirinya, sebagai seorang lesbi, Agustin menyatakan, bahwa
dia sudah capek berbohong. Dia ingin jujur dan mengimbau masyarakat bisa
memahami dan menerimanya. Praktik hubungan seksual dan perkawinan sesama jenis,
katanya, adalah sesuatu yang baik. Seorang psikolog yang juga seorang wanita
(tidak dijelaskan apakah dia lesbi atau tidak) juga menjelaskan bahwa
homoseksual dan lesbian bukan praktik yang abnormal, tetapi merupakan orientasi
dan praktik seksual yang normal[11].
Dari situ, penilaian
masyarakat yang mengecam homoseksual diberikan dalam beberapa bentuk. Dari
sudut pandang agama, homoseksualitas dianggap sebagai pen-dosa. Dari sudut
pandang hukum, dilihat sebagai pen-jahat. Dari sudut pandang medis terkadang
masih dianggap sebagai pen-yakit. Dan dari sudut pandang opini publik, dianggap
sebagai penyimpangan sosial. Sementara itu, kelompok masyarakat yang memiliki
pandangan berlawanan dengan persepsi di atas, menganggap homoseksualitas
sebagai suatu gaya hidup.
C. Otoritarianisme
Agama Terhadap Kaum Homoseksual
Tindakan diskriminatif terhadap kelompok Homoseksual selain ada dalam
pelbagai budaya-budaya dunia, juga ditemukan dalam semua tradisi agama-agama,
bukan hanya Islam. Ini terjadi, dalam pandangan Andi, ketika tindakan
diskriminatif dilakukan atas nama kekelan tradisi atau agama, ia akan menarik
banyak orang untuk ikut serta di dalamnya. Demikian, karena agama atau tradisi
kerap kali dijadikan ukuran menilai benar-salah, dan ini sangat berbahaya jika
telah masuk ke dalam ranah tindakan diskriminasi.
Perkawinan sesama jenis telah mulai mengemuka, setelah kejadian itu
terjadi di luar negeri dan rentetannya kemudian dengan akan dilakukannya
rencana konggres kaum Gay. di Surabaya yang dihadiri dari anggota organisasi
Gay dari negeri luar (Eropah). Dimuka telah disinggung bahwa ketertarikan dua
orang manusia yang berlainan jenis, tidak hanya bertujuan bersetubuh, tetapi
juga ingin membentuk keluarga (rumah tangga). Harus diakui faktor bersetubuh
atau berhubungan seksual merupakan faktor pendorong yang penting untuk
berkeluarga. Juga harus diakui faktor hubungan seksual tidaklah merupakan
syarat mutlak membentuk keluarga dengan perkawinan, buktinya manusia yang sudah
lanjut usiapun (manula) menurut hukum tidak dilarang kawin.
Pernyataan tersebut di atas, terkesan bebas dan demokratis serta penuh
penghargaan terhadap HAM untuk melangsungkan suatu perkawinan yang dilandasi
atas hubungan seksual. Kini menjadi suatu kajian tersendiri bagi hubungan
seksual yang dilakukan secara menyimpang atau tidak umum dilakukan oleh
kebanyakan orang (yaitu hubungan kelamin laki-laki dengan kelamin perempuan),
melainkan hubungan seksual yang dilakukan laki-laki dengan laki-laki, yang
lazim disebut hubungan secara sodomi, pelakunya yang umum dikenal homoseksual.
Begitu juga hubungan seksual yang menyimpang karena dilakukan oleh perempuan
dengan perempuan, melalui oralsek, pelakunya lazim disebut lisbian. Fenomena
tersebut merupakan bagian dari konteks dinamika masyarakat oleh Ibnu Khaldun
yang kemudian melahirkan teori konflik kelompok dan hokum sosial konflik
masyarakat. Masyarakat selalu mengalami perubahan sosial baik pada nilai dan
strukturalnya baik secara revolusioner ataupun evolusioner.
Perubahan-perubahan tersebut dipengaruhi oleh gerakan-gerakan sosial dari
individu dan kelompok sosial yang menjadi bagian dari masyarakat. Gerakan
sosial dalam sejarah masyarakat dunia bisa muncul dalam bermacam-macam bentuk
kepentingan, seperti mengubah struktur hubungan sosial, mengubah pandangan
hidup[12]. Dalam ilmu sosiologi, khususnya sosiologi konflik
dilahirkan oleh perubahan-perubahan sosial dan dinamika gerakan sosial dari
masa klasik sampai masa kontemporer. Dengan demikian ilmu sosiologi menjadi bagian
dari gerakan sosial itu sendiri, maka seorang sosiolog dalam sejarahnya adalah
reformis.
Miriam, si lesbian, telah dicap sebagai “perusak dunia” oleh polisi agama
di kampong halamannya. Aku menayangkan rekaman liputan langsung yang
diselundupkan dari Iran untuk membuktikan apa yang akan terjadi pada Miriam
jika dia tetap tinggal dan tertangkap. Rekaman menunjukkan, dua perempuan
dibungkus menjadi satu dengan kain putih, diturunkan ke dalam tanah yang baru
saja digali. Sekelompok lelaki dewasa dan anak lelaki mengelilingi dua
perempuan itu dan mulai melemparkan batu-batu sekepalan tangan ke kepala
mereka. Kebanyakan batu-batu itu mengenai tonjolan di kain dan mental,
meninggalkan muncratan berwarna merah darah. Miriam menjelaskan bahwa sesuai
hukum, setiap pelempar batu seharusnya memeluk Al-Quran di tangannya untuk
mengurangi tenaga lemparan mereka. Ketentuan itu tidak selalu dilaksanakan.
Adnan, si gay muslim, setuju untuk tampil di depan kamera. Dia percaya
bahwa Al-Quran melarang homoseksualitas, tapi dia telah berdamai dengan hukum
itu. Lagi pula, Adnan tidak berniat membawa pulang kekasihnya ke semua kaum
muslim. Ia hanya membawanya pulang ke ibunya saja di Pakistan. Validasi agama,
meskipun terasa indah ketika dipegang teguh, sesungguhnya dari segi apa pun
tidaklah diperlukan di London yang liberal, tempat dia dan kekasihnya tinggal.
Episode tersebut berakhir dengan munculnya seorang penasihat pada Pusat
Kebudayaan Islam London yang berkomentar tentang pentingnya kerendah hatian
dalam menyikapi para gay dan lesbian. Walaupun tampaknya Islam tidak
menoleransi homoseksualitas, namun dia berkata, “segala sesuatu mungkin saja
terjadi” dengan kuasa Allah[13].
Dalam perspektif Hukum
Agama (Islam) kasus perkawinan
yang dilakukan
pada kasus di atas tersebut adalah
tindakan dosa yang hanya dilakukan oleh kaum lelaki dari kaum Nabi Luth AS[14].
Ibnu Katsir berkata, “Allah swt mengutus Nabi Luth AS kepada penduduk kampung
Sodom dan sekitarnya, guna menyeru kepada mereka untuk beribadah kepada Allah
swt, berbuat amar ma’ruf nahi munkar, serta hal-hal yang haram dan
keji, yang dosa tersebut tidak pernah dilakukan oleh seorang pun dari anak cucu
Adam sebelumnya, yaitu mendatangi leleki (untuk melampiaskan nafsu birahi),
bukan kepada wanita. Perkawinan seperti ini pertama kali dilakukan oleh
penduduk Sodom. Amru bin Dinar memberikan argumentasi tentang firman
Allah, “(Dosa) yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia
ini) sebelummu…..” Beliau berkata, “Belum pernah ada lelaki yang menjantani
sesamanya sebelum kaum Nabi Luth as”.
Sedangkan komentar yang dilontarkan oleh Walid bin
Abdul Malik adalah, “Sekiranya Allah tidak menceritakan berita tentang kaum
Nabi Luth kepada kita, maka kita tidak akan tahu bahwa ada lelaki
“menaiki” sesama lelaki. Nabi Luth sendiri mengomentari kejadian tersebut yang
terekam dalam (surat Al-A’raf ayat 80-81)[15]. Apakah kalian telah berlaku adil kepada wanita, padahal mereka
diciptakan oleh Tuhan untuk kaum laki-laki? Kalian telah keterlaluan dan bodoh
sebab telah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Oleh karena itu, pada ayat
lain Nabi Luth berkata, “inilah putri-putrikui, jika kalian hendak berbuat
(secara yang halal)”.[16]
Jika Allah swt tidak menceritakan hal itu, maka kita tidak akan pernah
mengetahuinya. Perkawianan sejenis adalah dosa yang sangat besar. Imam Adz
Dzahabi pernah menukil dosa-dosa besar menurut ijma’, ternyata perkawinan
sesame jenis merupakan dosa besar yang diharamkan oleh Allah[17]. Baghawi berkata, “Para ulama berbeda pendapat mengenai hukuman untuk
tindak kawin sesame jenis. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa
pelakunya harus dijatuhi hukum yang setimpal dengan hukukman zina, yakni jika
pelakunya telah menikah (muhshan) maka ia harus dirajam, namun jika
belum menikah maka hanya didera (dicambuk) seratus kali. Demikian pula pendapat
Sa’id bin Musayyab, Atha’ bin Abu Rabah, Hasan Qatadah dan Ibrahim Nakha’i. Ada
pula pendapat dari Ats-Tsauri dan Auza’I, yang merupakan terkuat dalam madzhab
Syafi’i. Pendapat ini juga dipegang oleh Abu Yusuf dan Muhammad.
Syafi’i berpendapat dengan pemhamannya mengatakan
bahwa, ia (pelaku) layak didera seratus kali cambukan dan diasingkan satu
tahun, tanpa diterminasi antara pelaku laki-laki dan wanita, sudah menikah (muhshan)
atau masih bujang, karena konteks kedudukan dubur dalam hukum sangat lemah,
yakni tidak termasuk dalam kategori hal yang dianggap sebagai perangkat
pernikahan. Oleh sebab itu, pelaku nikah sesame jenis tidak layak dijatuhi
hukuman layaknya hukuman yang diberikan kepada para pezina yang muhshan.
Ada yang berpendapat bahwa pelaku kawin sesame jenis
harus dirajam, baik yang sudah menikah maupun yang masih bujang. Pendapat ini
sebagaimana dinilai oleh Sa’id bin Jubair dan Mujahid dari Ibnu Abbas[18]. Pendapat ini juga disepakati oleh Asy-Sya’bi. Namun menurut Az-Zuhri
pendapat ini hanya dianut oleh Malik, Ahmad dan Ishaq. Bahkan, Hammad
meriwayatkan sebuah pendapat dari Ibrahim An-Nakha’i, yang mengatakan, “Andai
ada orang yang harus dirajam dua kali, maka itu adalah pelaku homoseksual.” Syafi’i
mengatakan bahwa palaku homoseksual harus dijatuhi hukuman mati, baik palaku
(subjek) maupun yang diperlakukan, sebagaimana yang tersurat dalam hadits.
Abu Hanifah menilai, pelakunya harus diberi pelajaran
(ta’zir), bukan dijatuhi hukuman. Diriwayatkan oleh jabir dan Abu
Hurairah dari Nabi saw mengenai hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku kawin
sesame jenis, bahwa pelakunya harus dibunuh, baik subjek maupun objeknya[19]. Seolah-olah sudah menjadi pandangan secara umum dan sudah menjadi
kesepakan seluruh Ulama atas keharaman perbuatan kawin sesame jenis (homoseksual
dan lesbian). Mereka akan mendapatkan balasan yang sangat keras di dunia maupun
di akhirat. Namun para ulama berbeda pendapat (ikhtilaf) dalam pelaksanaan hukuman bagi pelakunya. Perbedaan
tersebut oleh Sayyid Sabiq di klarifikasikan sebagai berikut:
- Sebagian ulama menetapkan hukuman bagi pelakunya adalah sebagaimana pelaku zina. Jika palakunya masih bujang (ghoiru muhshan) maka didera atau cambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun, jika pelakunya sudah berkeluarga (muhshan) maka pelakunya dirajam.
- Sebagian ulama menetapkan hukuman bagi palakunya adalah harus diberi pelajaran (ta’zir), bukan dijatuhi hukuman bunuh.
- Sebagian ulama lain menetapkan hukuman bagi pelakunya adalah di bunuh secara mutlak.[20]
D. Argumen Kaum Minoritas:
Menggugat Otoritarianisme Agama Menuju “Fiqh” Humanis
Persoalan otoritarianisme dalam penetapan makana kurang mendapat perhatian para sarjana. Beberapa sarjana cenderung mensejajarkan interpretasi teks yang bersifat spekulatif atau tidak masuk akal dengan otoritarianisme epistemologis. Sedangkan beberapa sarjana lain menganggap upaya membatasi ketidak tetapan makna tekstual atau membatasi ketergantungan terhadap maksud pengarang sebagai sumber makna sebagai bentuk otoritarianisme[21].
sehingga, umat Islam menikmati iklim kebebasan yang relatif longgar. Berpendapat, berkumpul, berdialog dan berdiskusi, masih menjadi buah manis reformasi. Kini, seakan ada consensus—paling tidak di kalangan elit Agama—bahwa iklim kebebasan mesti dikawal agar tak terjatuh ke jurang despotisme, diktatorisme dan otoritarianisme lagi. Kebebasan dan demokrasi, mestinya di situ tersisip harapan akan keadilan yang lebih berasa.
Ayat yang berkaitan dengan pelarangan homoseksual para sarjana muslim (kontemporer), menafsirkan bahwa ayat tersebut tidak ada kepentingan apapun mengatur tentang hubungan manusia khususnya dalam sebuah pernikahan. Entah itu gay ataupun lesbian. karena “Hanya orang primitif saja yang melihat perkwinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan. Jika dulu Tuhan mengutus Luth untuk menumpas kaum homo karena mungkin bisa menggagalkan proyek Tuhan dalam menciptakan manusia (karena waktu itu manusia masih sedikit)?
Anak-anak fakultas syariah, misalnya M Kholidul Adib Ach yang menulis artikel berjudul “Agama Peduli Homoseksual: Membebaskan Kaum Homoseksual dari Penindasan Agama”, berpendapat begini: “Pengharaman nikah sejenis adalah bentuk kebodohan umat Islam generasi sekarang karena ia hanya memahami doktrin agamanya secara given, taken for granted, tanpa ada pembacaan ulang secara kritis atas doktrin tersebut.” Menurut pemimpin redaksi Jurnal Justisia ini, pembacaan yang dilakukan umat sekarang atas kisah kaum Luth hanya sebatas permukaan dan tidak membaca “narasi yang tak tampak”. Katanya, “Boleh jadi cerita kaum Luth ini, kalaupun benar adanya, jangan-jangan malah cuma mitos, terdapat kepentingan politik Luth terhadap seseorang yang kebetulan homoseks[22].
a.
Homoseksual
Sejatinya Juga Manusia
Esensi ajaran agama adalah memanusiakan manusia, menghormati
manusia dan memuliakannya. Tidak peduli apa pun ras, suku, warna kulit, jenis
kelamin, status sosial dan orientasi seksualnya. Bahkan, tidak peduli apa pun
agamanya. Pada 17 mei
1990 organisasi kesehatan dunia (WHO) telah memutuskan bahwa homoseksualitas
tidak tergolong suatu penyakit atau gangguan jiwa, namun diskriminasi terhadap
kelompok minoritas ini masih kerap terjadi di beberapa negara (lebih-lebih
Islam). Dalam bentuknya yang paling ekstrim, diskriminasi terhadap minoritas
homoseksual diwujudkan dalam aksi-aksi kekerasan terhadap mereka. Dalam konteks
Indonesia diskriminasi itu misalnya, terlihat dari perda-perda yang
mencantumkan homoseksual dalam kategori perbuatan cabul dan pelacuran. Tidak
kurang, dalam UU Pornografi yang belum lama disahkan itu, dikatakan bahwa
homoseksual sebagai penyimpangan seks. Padahal “fatwa” dari WHO tersebut sudah
tercantum pula dalam kitab PPDGJ milik Depkes RI (Pedoman Penggolongan dan
Diagnosis dan Gangguan Jiwa) edisi III tahun 1993. Ini berarti materi UU
tersebut tidak merujuk kepada kitab pedoman kesehatan tersebut.
Saya kira hal tersebut dipengaruhi ketiadaan
pendidikan seks dan pendidikan tentang identitas gender dari pemerintah untuk
warganegaranya, dan tidak tersedianya informasi yang benar, membentuk pemahaman
yang keliru dalam masyarakat dalam melihat dan memperlakukan kaum homoseksual.
Dari persoalan ini, mereka kerap dinilai negatif oleh masyarakat. Mereka
dilihat sebagai pendosa, penyebar penyakit atau bahkan pembunuh.
Perbedaan secara orientasi seksual, bukanlah dasar yang bisa
menghalalkan kita untuk melakuan diskriminasi. Perlu ditegaskan ulang,
diskriminasi terhadap kaum Homoseksual, bukan hanya terjadi di Indonesia secara
khusus, atau dunia Islam secara umum, tapi juga terjadi di dunia Barat sendiri
yang sekarang ini mulai belajar membuka diri terhadap minoritas yang memiliki
orientasi seksual berbeda. Atas dasar fakta ini, seharusnya hokum Islam
mengajak masyarakat Indonesia untuk melihat secara terbuka sejarah peradaban
dunia, di mana kekerasan dan diskriminasi terhadap mereka yang berbeda bukanlah
soal “Timur-Barat” saja, tapi lebih jauh soal kelapangan jiwa dan pola pikir
komunitas tersebut untuk menerima mereka yang berbeda. Pandangan sinis terhadap
kaum Homoseksual, membuat banyak orang mempertanyakan sisi positif kaum
Homoseksual, juga memandang miris kepada setiap usaha advokasi yang ditujukan
kepada mereka.
Sekalipun berbeda (kepuasan seksual),
tapi kaum Homoseksual sejatinya juga
manusia yang memiliki perasaan yang sama dengan mereka yang normal. Mereka
bukannya tidak mau berusaha menjadi sama dengan orang lain. Bagi kaum Homosek, keadaan
bukanlah sebuah pilihan, tapi lebih merupakan ketetapan yang ditakdirkan kepada
mereka. Karena itu, advokasi kepada kaum Homoseksual sejatinya adalah advokasi
kepada kemanusiaan itu sendiri.
Takdir homoseksual
bisa saja diterima oleh siapa saja, termasuk mereka yang ada dalam anggota
keluarga kita. Membela Homoseksualitas, dengan begitu berarti membela keluarga
kita sendiri, membela sesama manusia yang memiliki harkat dan martabat yang
sama dihadapan Tuhan. “Islam mengajarkan bahwa seorang Homoseks sebagaimana
manusia lainnya sangat berpotensi menjadi orang yang salah atau taqwa selama
dia menjunjung tinggi nilai-nilai agama, yaitu tidak menduakan Tuhan (syirik),
meyakini kerasulan Muhammad Saw serta menjalankan ibadah yang diperintahkan.
Dia tidak menyakiti pasangannya dan berbuat baik kepada sesama manusia, baik
kepada sesama makhluk dan peduli pada lingkungannya. Seorang Homoseks yang bertaqwa akan mulia di sisi
Allah, saya yakin ini.”
b.
Skala
Keadilan Illahi Dipertimbangkan kembali
Al-Qur’an melukiskan dengan indah kebahagiaan
di surga, dengan sungai yang dialiri susu dan madu, serta bidadari 72
bidadari-bidadari cantik yang siap mengabulkan kemauan kita, termasuk seksual? Bahkan
dalam wacana Islam, surga kadang-kadang disebut “orgasme Abadi” untuk dua jenis kelamin, karena roh tidak memiliki
gender.[23] Jika merujuk
kepada tujuan pernikahan,[24] anggapan
bahwa homoseksualitas adalah sebuah anomali sejatinya lahir dari pemikiran
tentang keharusan adanya pro-creation
purpose dalam sebuah hubungan seksual (hubungan seksual untuk mendapat
keturunan). Dalam hal ini, Islam hendaknya harus memiliki pandangan yang lebih
maju tentang adanya tujuan lain hubungan seksual selain untuk mendapat
keturunan, yakni untuk mendapat kesenangan (rekreasi). Seandainya pandangan ini
diterima, tentulah dukungan terhadap pernikahan Homoseksual tidak akan lagi
menjadi suatu kesulitan.
Karena, memperlakukan seseorang atau
pihak lain sesuai dengan haknya. Yang menjadi hak setiap orang yakni diakui dan
diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya, sama derajatnya, dan sama
hak dan kewajibannya dalam menentukan pilihannya. Inilah yang kemudian disebut
dengan hakikat Keadilan.[25]
Tindakan diskriminatif terhadap
kelompok Homoseksual selain ada dalam pelbagai budaya-budaya dunia, juga
ditemukan dalam semua tradisi agama-agama, bukan hanya Islam. Ini terjadi,
ketika tindakan diskriminatif dilakukan atas nama kekelan tradisi atau agama,
ia akan menarik banyak orang untuk ikut serta di dalamnya. Demikian, karena
agama atau tradisi kerap kali dijadikan ukuran menilai benar-salah, dan ini
sangat berbahaya jika telah masuk ke dalam ranah tindakan diskriminasi. Sebagai
contoh kasus yang terjadi pada Miriam (lesbian) dan Adnan (gay) keduanya adalah
seorang Muslim yang dikucilkan karena tindakannya. Padahal banyak juga yan
memang tindakan tersebut murni atas dasar (an
taradin) seperti dua
gay muslim asal Prancis yakni Ludovic Muhammad Zahid dan Qiyam al-Din menikah
di Afrika Selatan sesuai syariah Islam. Penghulunya Ustadz Jamal asal
Mauritania juga kaum homoseksual. Ibu Kota Johanesburg memang telah mensahkan pernikahan
sesama jenis.
Keputusannya
memilih sesama lelaki sebagai pasangan hidupnya. Dia juga mengaku bertambah rajin shalat dan berdoa. Zahid dan
suaminya juga berencana membangun masjid khusus gay di Prancis. Keputusan Zahid dan Qiyam untuk tetap menjadi gay bukan tanpa alasan.
Menyukai lelaki diakui mereka datang dari dalam diri yang sulit untuk ditolak.
Sejak kecil mereka telah menyukai sesama jenisnya. “Kami percaya Allah SWT Maha
Pengasih, Pengampun, dan Maha Penyayang. Dia menyayangi semua hambaNya tanpa
kecuali. Termasuk kaum gay” ujar Zahid[26]. Rupanya kearifan Tuhan lah membuat mereka terus
meyakini jalan dipilihnya benar. Karena sebenarnya Allah
tak pernah berhenti mempertontonkan kreativitas penciptaannya hingga saat ini
dan selanjutnya sesaat kemudian.
Adapun faktor penyebab tejadinya
homoseksualitas bisa bermacam-macam, seperti karena kekurangan hormon lelaki
selama masa pertumbuhan,karena mendapat pengalaman homoseksual yang
menyenangkan pada masa pertama kali berhubungan[27]. Jika kita lihat dari dimensi Biologis,
homoseksualitas bisa juga dimungkinkan karena adanya kelebihan kromosom seks
dari ibu. Upaya ilmuwan menguak tabir homoseksual pernah dilakukan.
Pada tahun 1991, ilmuwan dari California melaporkan hasil CT scaning
(penyinaran) terhadap otak pria gay dan pria normal. Yang ternyata berbeda.
Kemudian tahun 1993, ilmuwan dari National Institut of Health (N.I.H) di
Maryland Amerika menemukan adanya unsur DNA pada kromosom X yang menentukan orientasi seksual
seseorang[28].
Kenapa agama melarang padahal itu semua adalah sebuah
Anugrah dari Ilahi juga? Tidak fair
jika demikian, padahal salah satu keadilan yang dimiliki Allah adalah Keadilan
takwini (berkaitan dengan
penciptaan). Tuhan memberikan nikmat kepada seluruh eksistensi sesuai dengan
kapasitas, potensi, dan kapabilitasnya serta tak satupun potensi (isti’dad) terlarang menerima rahmat dan
nikmat Tuhan tersebut. Dengan kata lain, Tuhan Yang Maha Tinggi memberikan
nikmatnya kepada seluruh makhluk berdasarkan potensi, kapasitas dan kapabiltas
makhluk tersebut, dan seluruh makhluk mencapai kesempurnaan sesuai dengan
standar potensi, kapasitas dan kapabiltas mereka sendiri.
Maka jika banyak “elit” agama me-larang homoseksual dengan menggunakan
teks suci sebagai senjatanya, keadilan “Illahi” tentang pelarangan homoseksual juga
perlu dipertimbangkan kembali, untuk menuju kesempurnaan Islam, sehingga harus
merubah orientasi fiqh yang selama ini dipahami hanya bernuansa “hitam-putih” an sich, menuju fiqh pembebasan yang lebih
humanis. Pasalnya jika orientasi pernikahan hanya melestarikan keturunan, bagaimana
dengan pasangan suami Istri yang sampai akhir hayatnya tidak juga mendapatkan
keturunan? Bukan-kah hal demikian juga dapat mengadopsi anak? Sama halnya
dengan perkawinan antar homoseksul atau antar lisbian, yang tidak bisa
melairkan anak, bukankah mereka juga bisa mengadopsi anak. Apabila di dalam
masyarakat, hubungan seksual yang normal tidak boleh melakukan seksual bebas
(hubungan sek tanpa kawin), sepatutnyalah para homo dan lisbian, jika diterima kodratnya seyogyanya juga
demikian karenanya perlu diatur hubungan pembentukan keluarganya dengan
peraturan perkawinan[29].
Sesungguhnya, yang dilarang dalam teks-teks suci tersebut
lebih tertuju kepada perilaku seksualnya, bukan pada orientasi seksualnya.
Mengapa? Sebab, menjadi homoseksual (gay dan lesbi), dan biseksual adalah
kodrati, sesuatu yang “given” atau dalam bahasa fikih disebut sunnatullah.
Sementara perilaku seksual bersifat konstruksi manusia. Jika hubungan sejenis
atau homo, baik gay atau lesbi sungguh-sungguh menjamin kepada
pencapaian-pencapaian tujuan dasar tadi maka hubungan demikian dapat diterima.
Selain itu, dalam dimensi hukum Islam, faktor
tunggal yang menjadi sebab (illat) diharamkannya homo dan lesbi pada
zaman Nabi Muhammad saw, terlebih zaman Nabi Luth as adalah karena sedikitnya
populasi umat manusia pada saat itu. Sehingga, Untuk menjamin kesinambungan
umat manusia sebagai khalifah di muka bumi, perkawinan pria dan wanita mutlak
diperlukan. Karenanya, pengharaman homo dan lesbi merupakan solusi sosial bagi
problem tingkat populasi pertumbuhan umat mausia yang sangat
rendah.
Namun saat ini, ketika
populasi ummat manusia membeludak, bahkan telah menimbulkan problem sosial yang
sangat serius dari beragam sektor kehidupan, bahwa ‘illat dari
haramnya perkawinan sesama jenis sudah tidak ada. dan sudah maklum, bahwa, “alhukmu yaduru ma’a illatihi”. Sehingga
pengharaman homoseksual harus di evaluasi kembali dan dikaji ulang. Dan mereka mengambil
kesimpulan, di zaman sekarang Homo dan Lesbi menjadi solusi sosial bagi
problem ledakan pertumbuhan penduduk dunia, dan problem-problem sosial lainnya
terkait penyediaan sandang, pangan, papan dan lapangan kerja. Wallahu ‘alam.
E. Penutup
Pelarangan Homoseksual yang sangat ketat dalam pandangan agama maupun budaya sangat mencekam para kaum minoritas, harapan al-Qur’an antara kebebasan dan keadilan seakan sirna. Dan dialektika keduanya kemudian berujung petaka: kebebasan lenyap, keadilan tak kunjung berwujud. Baik kebebasan maupun keadilan sama-sama menjadi arang dan abu, tak ada yang dimenangkan. bagai hilangnya kebebasan dan keadilan muslim dewasa ini, bak kondisi buntungnya dua betis (faqd al-saqain).
Ajaran Agama sebagai sebuah langkah untuk mewujudkan kesetabilan sosial, banyak diperdaya oleh otoritas “elit” agama yang mengaku berbicara Tuhan yang sebenarnya (tidak) banyak mempunyai misi kemanusia, kebangkitan kembali kaum Luth mengingatkan kapada kita bahwa sebenarnya Homoseksual bukan merupakan suatu penyakit atupun kelainan yang di-idap oleh manusia. Akan tetapi itu merupakan sebuah anugrah tuhan kepada Makhluknya, toh “Roh” tidak memiliki gender!
Di Era transformasi global dimana tekhnologi dan perkembangan manusia secara kuantitas begitu pesat, sehingga memaksa bumi ini dihuni dengan berdesak-desakan, dari situ solusi sosial yang menurut penulis solutif adalah dengan cara nikah sejenis. Sesuai dengan asas secara fundamental dalam sebuah pernikahan adalah orientasi seksual, bukan karena keinginan mempunyai keturunan.
***********
Daftar Pustaka
Anis, Ibrahim, at all, al-Mu’jam
al-wasith, Juz II,.
Adz-Dzahabi,
Al Kabair, Bairut: Dar Kutub Al Ilmiyah,.
Nur Syam, 2012, Agama
Pelacur, Dramaturgi Transendental, Yogyakarta: Lkis bekerja sama dengan IAIN
Press.
Faiz, Ahmad, 2001, Cita Keluarga Islam, Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta.,
Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan
Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual, Semarang:
eLSA, 2005.
Irsyad Mandji, Beriman tanpa Rasa Takut.,
2008, 30-31. PDF
Khalled M. Aboe el-Fadl, 2003, Speaking in God’s Name: Islamic Law
Autority and Women, Oxford: Oneworld Publications,.
Katsir, Ibnu, tth,
Tafsir Al Qur’an Al ‘Adzim, Istambul: Dar Dakwah, jilid II,
Moertihko.
Transeksual dan Waria. Surya Murti
publishing. Solo.
Sabiq, Sayyid,
2003, Fiqhu Sunnah, Al-Qahirah: Dar al-fath lii’lam al ‘arabi, cet. pertama,
juz 2.,
Otto
soekanto CR, Psikologi Seks; menyikap problem psiko sosial dan psiko seksual
selebriti, Yogyakarta: AR-ruzz Media, thn 2008.
Kususma, Julia Surya, 2012, Agama, Seks dan Kekuasaan, Jakarta:
Komunitas Bambu.,
Siswanto, Agus,
Penyebab Seorang Pria Menjadi Homoseksual, dalam http://gus7.
wordpress.com. diakses, 20/11/2013.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Jakarta: Sekretaris Jendral MPR RI, 2013
Suryadharma AliPerkawinan
Sesama Jenis di Indonesia, Mungkinkah? Dalam http://hukum.kompasiana.com/2012/04/11/perkawinan-sesama-jenis-di-indonesia-mungkinkah-453666.html. 06/12/2013
Rawls, John, 1997, A Theory of Justice, Cambridge, Massachuset: Harvard
University Press.,
Zayd, Nasr Hamid Abu, 2003, Naqd al-Khitab ad-Diniy, terj. Khoiron Nahdiyyin, Kritik Wacana
Agama, Yogyakarta: Lkis,.
[2] Homoseksual
disini terdiri dari: pertama,
gay yaitu laki-laki yang menyukai laki-laki. Kedua, lesbian, yaitu wanita yang menyukai wanita. Adapun pola
hubungan seksnya antara lain: fellatio, cunnillingus dan anal.
[3] Banyak orang muslim yang menikah antar sesame jenis seperti
yang dikatakan Menteri Agama, Suryadharma
Ali di Bandung, Selasa 10 April 2012. “Saat
ini ada keinginan untuk mengubah
Undang-Undang Perkawinan, baik oleh Komnas Perempuan atau lembaga-lembaga lain,
termasuk oleh para kaum gay, homoseksual, maupun lesbian” Menurut Suryadharma,
selama ini UU Perkawinan dianggap hanya mengatur tentang pernikahan
antara laki-laki dan perempuan dan sebaliknya. “Mereka menganggap itu
diskriminatif karena hanya mewadahi pernikahan bagi laki-laki dan perempuan”
kata Suryadharma. “Itu yang ingin mereka perjuangkan.“. Lihat: http://hukum.kompasiana.com. Diakses,
27/11/2013.
[4] Tertulis dalam
kamus ‘al-Mu’jam al-wasith, kata al-qudrat berarti ath-thaqah (kekuatan),
al-kuwwatu ‘ala asy-syai’i wa al-tamakun minhu (kekuatan untuk
mengendalikan sesuatu), dan al-ghina’ wa ats-tsara (harta kekayaan).
Dari ketiga makna tersebut (al-qudrah), ungkapan “kodrat” menjadi
perempuan ataupun laki-laki boleh dikatakan tidak tepat. Oleh karena itu tidak
ada batasan dalam menjalankan suatu hubungan homoseksual karena makna kudrat
sendiri tidak tepat. kata kodrat atau dalam bahasa arab al-qadru ukuran,
batasan, dan kehormatan. Lihat: Ibrahim Anis, et all,
al-Mu’jam al-wasith, Juz II,. Hlm. 718.
[5] Nazar Nurdin, Lokalisasi dalam perspektif Hukum Sipil: catatan
pelegalan seks di Indonesia, dalam Religiusitas Pramuria, Journal
Justisia, Edisi 29 Tahun XXIII/2012. Hlm. 42
[7] Suatu
saat nanti ada pasangan sesama jenis yang melangsungkan pernikahan di luar
negeri yang melegalkan
perkawinan tersebut (sebut saja Argentina, Meksiko atau
Negara-negara yang telah melegalkan perkawinan sesama jenis), lalu kembali ke Negara (Muslim) Indonesia?
Mari kita
tengok, ketika UU Perkawinan tidak mengatur tentang perkawinan beda agama.
Salah satu cara yang digunakan untuk melegalkan perkawinan tersebut adalah
dengan jalan melakukan perkawinan di luar negeri -selain dengan cara memperoleh
penetapan pengadilan. Dan memang, setelah di Indonesia pun akhirnya perkawinan
tersebut di anggap sebagai perkawinan yang sah. Sebagai contoh: perkawinan
antara Titi Kamal dengan Cristian Sugiono. Bukan tidak mungkin cara seperti ini
akan ditempuh atau dijadikan rujukan oleh pasangan sesama jenis. Saat ini
bisa jadi tidak mungkin! Tapi, siapa yang bisa menjamin 5, 10 atau 20 tahun
kedepan masyarakat Indonesia masih sama seperti sekarang -yang katanya kental
dengan budaya ketimurannya dan sangat religious. Ini era globalisasi. Seperti
yang sudah didegung-dengungkan masyarakat, bahwa ini jaman dunia tanpa batas.
Peradaban pun bisa berubah begitu cepat. Dan, tak ada jaminan semua orang dapat
memproteksi dirinya dengan baik -mengambil yang bagus dan mengabaikan yang
buruk. Bahkan Negara pun tak bisa menjamin bahwa warganya akan selalu
mendapatkan informasi yang bermutu. Maka, tak menutup kemungkinan suatu saat
nanti perkawinan sesama jenis bisa menjadi trend di sini. (www.Kompas.com).
[8] Otto soekanto
CR, Psikologi Seks; menyikap problem psiko sosial dan psiko seksual
selebriti, Yogyakarta: AR-ruzz Media, thn 2008. Hlm. 22.,
[9] Julia Surya
Kususma, Agama, Seks dan Kekuasaan, Jakarta: Komunitas Bambu, thn 2012,
hlm. 408-409
[10] Menurut
Profesor Musdah, definisi perkawinan adalah: “Akad yang sangat kuat (mitsaaqan
ghaliidzan) yang dilakukan secara sadar oleh dua orang untuk membentuk
keluarga yang pelaksanaannya didasarkan pada kerelaan dan kesepakatan kedua
belah pihak”. Definisi semacam ini biasa kita dengar. Tetapi, bedanya, menurut
Musdah Mulia, pasangan dalam perkawinan tidak harus berlainan jenis kelaminnya.
Boleh saja sesama jenis. Lebih lanjut ayat-ayat Al-Qur’an soal hidup
berpasangan (Ar-Rum, 21; Az-Zariyat 49 dan Yasin 36) di sana tidak dijelaskan
soal jenis kelamin biologis, yang ada hanyalah soal gender (jenis kelamin
sosial). Artinya, berpasangan itu tidak mesti dalam konteks hetero, melainkan
bisa homo, dan bisa lesbian. Maha Suci Allah yang menciptakan manusia dengan
orientasi seksual yang beragam.
[11] Trans TV, Kampanye dan Promosi
Homoseksual dalam http://sunni.abatasa.co.id diakses, 06/12/2013.
[12] Nasr Hamed Abu-Zeid menyatakan bahwa realitas sosial adalah dasar
dan tidak mungkin diabaikan. Dari realitas sosial lahirlah teks. Dari bahasa
dan kebudayaan teks terbangunlah sistem. Realitas adalah yang pertama, kedua
dan yang terakhir. Mengabaikan realitas karena mempertimbangkan teks yang beku
tanpa perubahan atas pemaknaannya akan menjadikan teks sebagai sebuah legenda.
Lihat: Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd
al-Khitab ad-Diniy, terj. Khoiron Nahdiyyin, Kritik Wacana Agama,
Yogyakarta: Lkis, 2003,.
[14] “Dan
(Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia
berkata kepada kaumnya: ’Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang
belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?’ Sesungguhnya
kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada
wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas”. (QS. Al-A’raf:80-81).
[15] Mengapa
kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh
seorangpun (di dunia ini) sebelummu?’ Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk
melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah
kaum yang melampaui batas.
[18] Yakni atsar
dari Ibnu Abbas RA. Lihat: sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud (4463,
4/157).
[19] Hadits
Tirmidzi: 1456, Abu Daud;3869, Ibnu Majah: 2561, dan Ahmad: 2496
[22] Lebih lanjut
Telusuri buku: Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum
Homoseksual, Semarang: Lembaga Studi Sosial dan Agama/eLSA 2005.
[23] Julia
suryakusuma, Op.cit., 407-407
[24]Nilai asasi yang ingin diraih dari perkawinan adalah ketenangan,
ketentraman, dan kasih sayang. Bila ketenangan dan ketentraman mewarnai suasana
rumah tangga, maka ia akan menghasilkan manusia unggulan dan terjamin mutu.
Lihat: Ahmad Faiz, Cita
Keluarga Islam, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001, hlm. 26. Hal ini senada dalam Islam, menurut penulis terdapat lima nilai
fundamental dalam perkawinan yaitu keduanya merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan (min anfusikum) atau dalam bahasa jawanya sak awak,
ketenangan jiwa (litaskunu ilaiha), cinta kasih (mawaddah) yang
lebih berorientasi pada pemenuhan nafsu biologis, kasih sayang (rahmah)
yang lebih berorientasi pada sifat-sifat kemanusiaan sampai akhir hayatnya, dan
arti pentingnya berfikir (yatafakkarun) secara realistis dalam
menghadapi problematika kehidupan berumah tangga tidak mengedepankan emosional.
Dan salah satu tujuan dari pernikahan adalah menyalurkan naluri seksual dengan
sah (termasuk) homoseksual.
[25] Rawls dalam pandangan-pandangannya keadilan sebagai fairnes adalah satu upaya mewujudkan
semangat egalitarian pada struktur masyarakat. Tentu egalitarianisme itu
tidak boleh dimengerti dalam arti secara radikal. Rawls berpendapat soal sikap
adil, yaitu bahwa pembagian nilai-nilai sosial yang primer (primary social good) disebut adil jika
pembagiannya dilakukan secara merata, kecuali jika pembagian yang tidak merata
merupakan keuntungan bagi setiap orang. Nilai-nilai sosial yang primer yang
dimaksud adalah kebutuhan dasar yang sangat kita butuhkan untuk bisa hidup
pantas sebagai manusia dan warga masyarakat. Kebutuhan dasar itu antara lain
hak-hak dasar, kebebasan, kesejahteraan, dan kesempurnaan. Artinya bahwa dalam
suatu masyarakat tidak ada tempat
terhadap diskriminasi dalam bentuk apapun. Ketika dikatakan bahwa seseorang
berbuat adil, yang dimaksud adalah bahwa orang itu memandang semua individu
secara sama, setara, tanpa melakukan pembedaan dan pengutamaan apalagi terhadap
jenis kelamin. menurut Rawl ada tiga prinsip keadilan yaitu: (1) kebebasan yang
sama yang sebesar-besarnya, (2) perbedaan, (3) persamaan yang adil atas
kesempatan. Lihat: John Rawls, A Theory of Justice, Cambridge, Massachuset: Harvard
University Press, 1997, hlm. 61.
[26] Lihat: http://sunni.abatasa.co.id/post/detail/5244/promosi-perkawinan-lesbi-di-trans-tv-. diakses, 03/12/1013.
[28] Kromosom normal pada seorang laki-laki berjumlah 46
buah (23 pasang), 22 pasang kromosom otosom dan sepasang kromosom seks (XY),
sedangkan laki-laki yang memiliki kecenderungan homoseksualitas secara hormonal
memiliki jumlah kromosom 47 buah, yang terdiri dari 44 buah (22 pasang) otosom
dan 3 buah kromosom seks (XXY) hal ini dikarenakan kromosom dari ibu (XX) tidak
terjadi pembelahan, sehingga individu laki-laki ini memiliki ciri-ciri
kewanitaan. Anastasi (dalam bukunya pengantar psikologi),
secara biologis menjelaskan homoseksual ini terjadi jika bayi laki-laki selama
dalam kandungan mensekresi hormon testosteron kurang dari jumlah normalnya,
atau jika bayi perempuan (yang kelak menjadi lesbian) mensekresi hormon
testosteron (juga) yang melebihi kadar normalnya. Nah jika kita lihat dari
dimensi Psikologis, banyak lagi faktor yang berpengaruh. Mulai dari aliran
Psikoanalisa yang mengungkap dimensi masa lalu, dimana anak pada tahap falik
(usia 3-5 th) kurang mendapatkan figur yang baik dari orang tua dengan jenis
kelamin yang sama. Jika ini terjadi pada laki-laki (untuk perempuan tinggal
membalik saja), dalam situasi kehidupan awal seorang anak, figur ibu terlalu
dominan dalam keluarga (bisa jadi karena ayah lemah, perceraian sehingga anak
laki-laki tinggal dengan ibunya, atau ayah meninggal) sehingga identifikasi
anak laki-laki ini cenderung ke arah perempuan. Termasuk pengasuhan oleh ayah
terhadap anak laki-lakinya menjadi kurang efektif. Lihat: Agus Siswanto, Penyebab Seorang Pria Menjadi
Homoseksual, dalam http://gus7. wordpress.com. diakses, 20/11/2013.
[29] Pernyataan seperti ini juga dapat dipayungi
oleh ketentuan kaidah dasar negara yang diatur dalam Pasal 28 I (5) yang
berbunyi “Untuk menegakkan dan melindungi
hak asasi manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis, maka
pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan”. Ketentuan-ketentuan hak asasi manusia dalam UUDNRI
Tahun 1945 yang berkorelasi dengan pengaturan hubungan seksual yang menyimpang
untuk waktu-waktu yang akan datang haruslah diupayakan menerima bagi kalangan
agama dan masyarakat adat, baru kemudian negara memberikan legalitasnya dan
bentuk hukum.