HUKUM ASHL: DIKOTOMI
DALAM RANAH KAIDAH
(Mediasi antara Ulama’ Syafiiyah dan Hanafiyah)
I.
Pendahuluan
Sebagai salah satu kegiatan
intelektual yang tidak boleh lepas dari tuntutan wahyu, ijtihad
memerlukan seperangkat kaidah atau metode. Metode inilah yang kemudian dikenal
dengan ushul fiqh. Ushul fiqh senantiasa dikembangkan oleh para pemerhatinya,
dari dahulu (klasik) sampai sekarang (modern) khususnya komunitas Hukum Islam
pascasarjana IAIN Walisongo ini. sebagai sebuah ilmu ushul fiqh telah memiliki
system pengetahuan yang baku dan kebenaran ilmiah yang dapat diuji. Ushul fiqh
sudah memenuhi standar disiplin ilmu, yakni ontology, epistemology dan
aksiologi.
Ushul fiqh menduduki posisi
sentral dalam studi ke-Islaman. Lebih dari itu juga merupakan metodologi
terpenting yang ditemukan oleh dunia pemikiran Islam, dan belum terbukti
dimiliki umat lain. Ushul fiqh pada dasarnya merupakan bidang ilmu yang
berlandaskan pada nalar bayani[1]
yang menjdikan teks sebagai sumber memperoleh pengetahuan (otoritas teks); dan
teks dimaksud utamanya ialah al-Qur’an dan Hadis. Oleh karena itu secara
epistemologis yang dikaji oleh ilmu ushul fiqh ialah petunjuk (dalalah) yang
ada dalam teks wahyu, baik petunjuk secara tekstual (dalalah al-nsah)
yang membahas relasi antara lafal dan makna, maupun petunjuk yang ada di balik
teks (dalalat ma’kul al-nash) yang membahas relasi al-ashl (teks)
dan al-far’ (yang tidak tertulis dalam teks), yang didasarkan adanya
kesamaan ma’qul al-nash (illah).
Ushul fiqh merupaka sebuah metode
untuk menggali sebuah hokum yang diambil dari dalalah nash yang bersifat
dzany atau sesuatu yang belum terdapat nashnya dalam al-Qur’an. Dewasi ini berbagai fenomena hokum (Islam) yang belum jelas
status hukumnya terjadi dalam praktik kehidupan masyarakat dan sudah menjadi trend
yang seolah-olah dianggap wajar dan sudah menjadi kesepakatan bersama dalam kehidupan
masyarakat. Seiring dengan perkembangan teknologi, gaya hidup manusia juga ikut
berkembang dan berubah. Salah satu gaya hidup yang digandrungi manusia adalah
merubah gigi mereka agar lebih cantik dan lebih indah, maka munculah kawat
behel yang digunakan untuk merapikan gigi, ada gigi palsu untuk mengganti gigi
yang tanggal, ada juga alat untuk mengikir gigi agar lebih tipis dan
lain-lainnya.
Memang pada dasarnya masyarakat
zaman sekarang tidak seperti zaman dahulu yang kebanyakan kurang fasih dalam
ilmu, zaman sekarang masyarakat sudah terdidik dengan berbagai ilmu, baik itu
secara otodidak maupun via televisi, namun meminjam kata Albert Einstein
sebagaimana dikutip Jujun S. Sumantri (2009: 4) “ilmu tanpa Agama buta, dan
Agama tanpa ilmu lumpuh”. Jadi ilmu apapun itu tetap membutuhkan Agama
sebagai filter. Dimana agama memiliki belief system yang terdiri
dari (ritual, kitab, jamaah dan pimpinan) Emile Durkheim (1965: 274). Ketika
jama’ah (umat) katakanlah; banyak menggunakan jasa alat dan tekhnologi mutahir
untuk meratakan gigi dengan kawat dan bahkan mengganti gigi dengan gigi palsu, ketika
jamaah (umat) tersebut melihat teks (al-Qur’an dan hadis) kemudian dari kedua
sumber tersebut nampak tidak ada respon dan belum jelas status hukumnya, maka
disinilah seorang pimpinan atau para imam (Ulama’) melakukan ijtihad
untuk mengetahui hokum tersebut.
Dari uraian diatas, tegaslah bahwa untuk mengetahui fiqh (hokum
Islam) itu diperlukan ijtihad pemimpin (ulama). Dalam ijtihad,
tentunya memerlukan alat-alat tertentu untuk menghasilkannya. Salah satu yang
paling utama adalah ushul fiqh. Selain dari ushul fiqh, ada juga ilmu qawa’id
al-fiqh (kaidah-kaidah fiqh). Sebagaimana ushul fiqh, perbedaan
pendapat tetap terjadi di kalangan ulama. Seperti pecahnya ahl al-ra’yi
dan ahl al-hadis. Begitu juga dengan qawa’id al-fiqh. Dalam hal
ini penulis akan melihat bagaimana praktik
pemasangan kawat gigi dan gigi palsu tersebut dengan menggunakan hokum ashl dalam
kacamata ulama’ Syafi’iyah dan Hanafiyah. Sebelumnya akan diuraikan biografi
singkat, kemudian differensiasi kaidah ashl, titik temu antara syafi’iyah dan hanafiyah dan implementasi
dari kaidah tersebut.
II.
Pembahasan
A. Biografi Singkat Imam Hanafi dan
Syafi’i
1. Imam Abu Hanifah (703-767 M)
Nama
aslinya adalah Nu’man bin Tsabit, lahir pada tahun 702 M, di Kuffah, Iraq. Imam
Hanafi mengawali studinya di bidang filsafat dan dialektika dikenal dengan ilmu
kalam, namun setelah menguasai ragam disiplin ilmu tersebut, ia meninggalkannya
dan mendalami fiqh dan hadis. Sebagai guru utamanya ia memilih imam Hammad bin
Zaid yang merupakan salah satu ulama
besar pada saat itu. Ia belajar selama 18 tahun. Pada saat itu ia sudah mulai
mengajar, namun masih terus belajar. Gurunya wafat pada tahun 742 M. setelah
gurunya wafat, pada usia 40 tahun ia memposisikan sebagai guru besar dan ulama’
terkemuka di kuffah. Diantara anak-anak murid beliau yang masyhur ialah
As-Syeikh AbuYusuf, As-Syeikh Muhammad Bin Al-Hasan As-Syibaaniy,As-Syeikh
Zufar Bin Al-Huzail, As-Syeikh Al-Hasan Bin Ziyaad.
Imam abu
hanifah di penjara oleh al-mansur hingga wafat tahun (754-775 M). imam abu Hanifah
di golongkan sebagai taiin kecil karena ia bertemu dengan beberapa sahabat dan
meriwayatkan beberapa hadis dari mereka. (Philips, 2000: 87-88)
2. Imam Syafi’i
Ia lahir
di Gaza palestina Kebanyakan ahli sejarah
berpendapat bahwa Imam Syafi'i lahir di Gaza, Palestina, namun di antara
pendapat ini terdapat pula yang menyatakan bahwa dia lahir di Asqalan; sebuah
kota yang berjarak sekitar tiga farsakh dari Gaza. Menurut para ahli sejarah
pula, Imam Syafi’i lahir pada tahun 150 H, yang mana pada tahun ini wafat pula
seorang ulama besar Sunni yang bernama Imam Abu Hanifah.
Setelah
ayah Imam Syafi’i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang ibu membawanya ke
Mekah, tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim.
Sejak kecil Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra
sampai-sampai Al Ashma’i berkata,”Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari
seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris,” Imam Syafi’i
adalah imam bahasa Arab.
Imam
syafi’I terus belajar dengan imam Malik hingga gurunya wafat pada tahun 801 M. kemudian
ia berangkat ke Yaman dan mengajar disana. Pada tahun 805 M, ia dituduh condong
ke sekte Syi’ah dan dibawa kepada khalifah Abbasiyah, Harun al-Rasyid (786-809)
di Iraq, sebagai seorang terpidana untungnya ia dapat membuktikan kebenaran
pendapat-pendapatnya hingga ia dibebaskan. Setelah itu ia belajar kepada ahmad
bin Hasan, salah satu orang murid terkemuka Imam Abu Hanifah. Kemudian ia
berangkat ke mesir dengan tujuan mau belajar dengan Imam al-Laits, tetapi
sebelum ia sampai di Mesir Imam Laits wafat. Meski demikian ia mendalami mdzhab
laits lewat muridnya. Imam syafi’I tinggal di Mesir hingga wafat tahun 820 M.
(Philips, 2000: 109-110).
B.
Differensiasi Hukum Ashl
Penemuan-penemuan
baru yang tidak ada pada masa kini, telah disiapkan perangkat hukumnya secara
lengkap oleh Islam. Jauh-jauh hari ajaran Islam telah memprediksikan hal itu
dan membiarkan ketentuan-ketentuan hukum dalam kaidah yang sangat sederhana
yaitu al-ashlu al-ibahah. Dalam tataran praktis kaidah ini
dapat diterapkan jika kita menemukan hewan, tumbuhan atau apa saja yang belum
diketahui status hukumnya dalam syariat. Semua jenis barang tersebut dihukumi halal
sesuai substansi yang dikandung kaidah ini. (Haq, 2009: 151)
Akan tetapi tidak semua imam madzhab sependapat bahwa
semua itu dihukumi halal, karena terdapat perbedaan dalam factor kaidah fiqhiyah adalah tiap-tiap
madzhab memiliki kaidah tersendiri, satu dengan yang lainnya berbeda. Pengaruh
kaidah fiqh ini cukup signifikan terhadap aspek fiqh lainnya, karena setiap
macam fiqh memiliki kaidah tersendiri. Karena itu, perbedaan akibat berbedanya
kaidah fiqh adalah wajar, dan alamiah. (Supriyadi, 2008: 90-91)
Kaidah
fiqh dibentuk dengan cara berfikir deduktif; kaidah fiqh dibentuk atas
persoalan-persoalan yang diselesaikan dengan salil-dalil yang berbeda-beda.
Hasil berfikir deduktif, di generalisasikan untuk diterapkan pada persoalan
baru yang berada dibawah cakupannya. Prinsip dalam kaidah fiqh adalah aglabiah,
aktsariah, atau pada umumnya. (Mubarak, 1999: 6). Hal tersebut berbeda
dengan kaidah ushul fiqh yang dibentuk berdasarkan bahasa” al-Qur’an, kaidah
fiqh dibentuk berdasarkan “perbuatan mukallaf”.
Namun
perlu dicatat, sebenarnya masih terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama’
seputar hukum ashl tersebut. mayoritas ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa
hukum ashl segala sesuatu adalah ibahah, selama belum ada dalil yang
mengaharamkannya. Sebaliknya beberapa ulama’ hanafiyah mengatakan bahwa hukum ashl
segala sesuatu adalah larangan (haram) selama belum ada dalil yang
menghalalkannya. Dan ada lagi golongan ulama’ yang memilih diam (tawaqquf)
seputar masalah ini; mereka tidak mengatakan halal atau haram. Berikut ini akan
kami kutip beberapa dalil serta argumen yang mendasari terbangunnya pendapat
tersebut;
Pertama, Menegaskan bahwa prinsip dasar
segala sesuatu adalah kebolehan, hingga ada bukti atau petunjuk yang
mengarahkan kepada keharaman, adalah pendapat imam Syafi’I pendiri (madzhab
Syafi’i). (al-Suyuthi, 2005: 44). Dan Muhammad bin Abdullah al-hakam sebagai ulama’
muta’akhirin menisbatkan pendapat ini sebagai pendapat jumhur. Yakni
asal dari segala sesuatu adalah ibahah.
اَلْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ اَلْإِبَاحَةُ
حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ
Artinya: “asal dari segala sesuatu adalah boleh sehingga
terdapat dalil yang mengharamkannya” (as- suyuthi, 2005: 44, A. Djazuli, 2011:
52, ).
Menurut
pengertian bahasa, al-ashlu al-syai’i dalam kaidah tersebut adalah
sesuatu yang paling mendasar dan asas yang paling melekat padanya. Artinya
telah kuat dan tetap dasar sesuatu. Dalam komunikasi sehari-hari ashl (dasar)
sesuatu tersebut adalah apa yang keberadaan sesuatu tersebut yang disandarkan
kepadanya. Ayah adalah ashl dari anak. Bentul plural kata ini adalah أَصْلَتْهُ تَأْصِيْلًا maksudnya
“menjadikan asal yang tetap didasarkan atasnya”. jadi, kata ashl bisa
dimaknai sebagai prinsip dasar. Sehingga terbentuk pengertian dari kaidah diatas
bahwa “prinsip dasar dalam manfaat adalah boleh”.
Konsep ibahah
terkadang diganti dengan term kehalalan. Karena ibahah ialah
suatu perbuatan yang apabila dikerjakan atau sama-sama ditinggalkan tidak
mendapatkan reword. Dalam arti perbuatan tersebut tidak akan mendapatkan
sanksi (Zahrah, 1994: 56). Kami sengaja menyeret makna ashl pada
makna linguistic, sebab para terminology tidak mendefinisikan makna ashl
tersebut hingga makna dasar tersebut yang dipergunakan dan dibenarkan. Kata ashl
juga juga diartikan sebagai makna yang diunggulkan (rajih). Sehingga
kaidah tersebut berarti bahwa yang diunggulkan pada masalah-masalah manfaat
adalah hokum kebolehan.
Ibahah menurut para ahli teoritisi hokum
Islam (Islamic legal theory) diambil dari makna suatu ungkapan (أَبَحْتُكَ الشَّيْئُ) yang berarti
ku halalkan untukmu dan kubebaskan engkau padanya. Mereka mendefinisikan ibahah
dengan pengertian antara meninggalkan sesuatu atau melakukannyasedangkan
mubah mereka definisikan sebagai perkara yang dipersilahkan oleh asy-syari’ untuk
dipilih antara di pilih atau ditinggalkan. Inilah makna yang popular dikalangan
teori hokum Islam untuk makna kata ibahah dan mubah. Kata ibahah
juga digunakan untuk menghilangkan kesukaran dari aktivitas melakukan
sesuatu atau meninggalkannya. Terlepas dari sudah dijelaskan oleh syari’
atau belum dijelaskan oleh syari’ (Biek, 1980: 52-53).
Imam Syafi’i berpendapat; “Allah itu maha bijaksana jadi
mustahil Allah menciptakan sesuatu lalu mengharamkan atas hambanya” (Bisri, tth:
11). Imam Syafi’i berhujjah dengan dalil;
a.
Al-Qur’an:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي
الْأَرْضِ جَمِيعًا
Artinya: “Dia-lah yang menjadikan
bagimu semua apa yang dibumi ” (QS. [2]: 29).
Aspek signifikansi ayat; disini Allah menyatakan bahwa semua
yang ada di bumi diciptakan untuk hamba-hamba-Nya. Sebab kata ما menunjukkan
makna umum dan kata ل pada ungkapan لكم menunjukkan
spesifikasi atau dasar pemanfaatan bagi objek tutur (mukhathab) dengan
kata lain makna yang dihadirkan ayat adalah bahwa segala sesuatu dibumi dikhususkan untuk kalian. Maka dari
interpretasi ayat tersebut, wajib untuk memanfaatkan seluruh makhluk atau
ciptaan yang dibolehkan secara syar’i dan inilah makna yang dikehendaki
ayat, atau maksud penetapannya (az-Zuhaily, 1997: 29).
قُلْ مَنْ حَرَّمَ
زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
Artinya:
“katakanlah; siapa yang telah mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
dikeluarkannya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapakan yang mengharamkan) rizki
yang baik?” (QS. Al-‘araf [7]: 32)
Aspek signifikansi ayat; disini Allah menolak kalimat
introgatif (istifham) tentang keharaman perhiasan sehingga mewajibkan
agar tidak ditetapkan status hokum haram pada hal tersebut. bentuk penolakan
keharaman perhiasan dalam redaksi ayat menunjukkan pada pemanfaatan dan tidak
tetapnya status haram pada segala sesuatu yang baik dan merupakan perhiasan
Allah sehingga apabila ditolak status hokum haram implikasinya adalah pada
ketetapan status hokum boleh (ibahah) (az-Zuhaily, 29).
Jadi, makna yang terbentuk dari ayat tersebut adalah
“katakanlah; wahai Muhammad untuk menolak pernyataan (siapa yang mengharamkan)
dan melarang (perhiasan Allah) yang terdiri dari pakaian dan setiap apa yang
dikandungnya (yang telah dikeluarkan hamba-hamba-Nya) yakni yang tela ia
ciptakan untuk kemanfaatan mereka” ayat tersebut menunjukkan bahwa prinsip
dasar pada makanan, pakaian, dan segala perhiasan adalah boleh (ibahah).
Sebab huruf introgatif (istifham) من berfungsi sebagai penolakan.
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ
يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً
Artinya:
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku,
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai. (al-An’am [6]: 145).
Disini Allah menjadikan prinsip dasar sesuatu adalah
kebolehan, sedangkan status hokum haram sebagai bentuk pengecualian.
b.
Al-Hadis
الْحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي
كِتَابِهِ وَالْحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ
فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ
Artinya:
“yang halal adalah apa yang telah dihalalkan Allah SWT di dalam kitab-Nya,
dan apa yang tidak Dia jelaskan maka itu termasuk bagian yang Dia maafkan.
Dengan demikian, maka penanya telah menunjukkan sebuah
kaidah yang menjadi rujukan dalam mengetahui yang halal dan yang haram, yaitu
bahwa seseorang cukup dengan hanyamengetahui apa yang diharamkan Allah, karena
selainnya adalah halal dan baik.
Kedua, Prinsip dasar segala sesuatu larangan
atau pencegahan sebagaimana diungkapkan kelompok ahl al-hadis (tekstualis)
atau keharaman seperti yang lainnya. Pendapat yang mengatakan bahwa hukum ashl
segala sesuatu adalah haram, menurut ulama’ syafiiyah pernah diungkapkan oleh
Imam Abu Hanifah. Tetapi setelah di telusuri ternyata qawl rajih madzhab
Hanafi justru mengklaim bahwa asal segala sesuatu adalah ibahah, sama
persisi dengan pendapat syafi’iyah. Dan dalil yang mereka gunkan juga sama
dengan dalil yang dipakai kalangan Syafi’iyah. (al-karkhi adalah termasuk ashhab
Hanafi yang mengatakan bahwa hukum ashl adalah ibahah) (al-Burnu,
1983: 112).
Dengan
demikian, di kalngan Hanafiyah sendiri masih terjadi silang pendapat seputar
status asal segala sesuatu, ada yang mengharamkan ada pula yang menghalalkan. menurut
Abu Hanifah, prinsip dasar segala sesuatu (haram) hingga ada petunjuk yang mengarahkan
kepada kebolehan”.
Artinya:
(asal sesuatu itu adalah haram, sehingga ada dalil yang mnenjukkan kebolehan).
(as-Shiddieqy, 1997: 380, Lihat juga al-Lahji, tth: 31)
Makna al-ashl
dan al-asya’ diawal sudah di jelaskan, sementara kata at-tahrim
menunjukkan apa yang diminta syari’ untuk ditinggalkan secara tegas dan pasti,
sehingga pelakunya dicela dan dihukum kelak di akhirat, namun juga terkadang
hanya cukup dihukum di dunia. Contoh memakan harta manusia dengan jalan batil,
membunuh tanpa alasan hokum yang kuat, menyakiti orang dengan perkataan atau
perbuatan, termasuk perbuatan yang membahayakan badan atau akal,
perbuatan-perbuatan asusila, pencemaran nama baik dan perbuatan lainnya yang
secara umum menimbulkan madharat dan mafsadat.
Dalil yang
dipahami dari penggunaan status pengharaman tidak terbatas pada substansi madharat
itu sendiri, namun juga mencakup tindakan mengarah madharat tanpa
ada pensyariatan hokum yang menimbulkan madharat atas seseorang, baik ketentuan
hokum tersebut dalam katagori hokum taklifi maupun hokum wadh’i. (Khallaf, 1994: 146-147). Ulama’ Hanafiah
meng-hujjah-kan pendapatnya pada dalil;
a. Al-Qur’an
وَلا
تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلالٌ وَهَذَا حَرَامٌ
Artinya:
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu
secara dusta “Ini halal dan ini haram” (QS. An-Nahl [16]: 116)
Berdasarkan
ayat ini mereka menyatakan bahwa Allah SWT telah memberikan informasi tentang
penyandaranhalal dan haram hanya pada diri-Nya. Dalam arti, urusan halal haram
adalah hak prerogratif Allah swt., bukan wewenang manusia. Tidak ada celah bagi
manusia untuk menentukan vonis halal haram kecuali sudah diberitahukan oleh Allah
Swt. (Haq, 2009: 155)
b. Al-Hadis
الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ
بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُورٌ مُشْتَبِهَةٌ وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَقَّافُوْنَ عِنْدَ
الشُّبُهَاتِ
Artinya:“suatu
yang halal sudah jelas, yang haram-pun sudah jelas pula. Sedangkan segala
sesuatu yang berada diantara keduanya adalah hal-hal yang samar (syubhat).
Orang-orang yang beriman mereka akan bersikap ‘diam’ ketika berhadapan dengan
syubhat”. (Haq, 2009: 155)
Menurut
ulama’ pro haram, dalam hadis ini Nabi Saw secara implisit mengingatkan umatnya
untuk menjauhi hal-hal yang belum jelas hukumnya. Seorang dikatakan beriman
jika ia menjauhi perkara syubhat. Karena itu jika terdapat hal-hal yang belum di
jelaskan hukumnya oleh syariat, maka tidak bisa diklaim sebagai sesuatu yang
halal, karena itu akan menggiring umat terjerembab kedalam jurang ke-syubhat-an.
Tetapi jika hukum haram tidak dijadikan pijakan standart, maka kemungkinan
terjerumus dalam ke-syubhat-an akan sangat minim, karena hukum haram
akan membuat umat selalu bersikap hati-hati dalam mengelola hal-hal yang berbau
syubhat.
Secara
logis menurut ulama’ anti syubhat tersebut, penerapan hukum haram jauh
lebih terjamin keamanannya dari pada hukum halal maka menganalogkan dengan hak
milik yang telah diketahui, pemanfaatannya kepada hak milik orang lain tanpa
seizin orang yang bersangkutan adalah perbuatan tercela dan terlarang. Logika
inipun seharusnya berlaku dalam ciptaan atau hak milik Allah swt.
Mengeksplorasi hal-hal yang tidak dijelaskan Allah swt. (ma sakata-maskut)
adalah perbuatan yang kemungkinan besar tidak di-izini oleh-Nya. Jika demikian
hal itu semestinya tidak diperbolehkan. Padahal menghukumi halal pada semua
ciptaan Allah swt. Sama saja dengan memberi kebebasan menusia untuk
mengeksplorasi isi alam tanpa izin sang pemilik Sejati, ini jelas tidak masuk
akal (absurd, irasional) dan cenderung spekulatif (Haque, 2009: 156).
Ketiga, pendapat asy’ari, Abu Bakar
As-Sirafi dan sebagian madzhab Syafi’I, menetapkan bahwa, prinsip dasar segala
sesuatu adalah abstain (tawaqquf) tanpa memberikan pernyataan hokum yang
melarang atau membolehkan. Keempat, memilah-milah mana yang manfaat dan
mana yang madharat. Dengan kata lain bahwa prinsip dasar pada masalah manfaat
adalah kebolehan dan masalah yang menimbulkan madharat adalah keharaman.
Ini adalah pendapat fatkhurazi dan inilah pendapat yang dipilih mayoritas ulama’.
(Washil, 2009: 76)
C. Kajian
Kristis; Titik Temu Antara Hanafiyah dan Syafi’iyah
Jika
pendapat pertama (Syafi’iyah) yang men-generalisasikan pada kebolehan (ibahah). Sebab hukum kebolehan tidak di terapkan kecuali pada masalah-masalah
manfaat. Sedangkan pada masalah-masalah madharat dan mafsadat
belum pernah satu orang ulama’ pun yang mengatakan bahwa prinsip dasar dalam madharat
dan mafsadat adalah boleh. Artinya yang di larang adalah yang mengandung
madharat.
Titik
tolak dari pendapat ini terletak pada bagian akhir dari definisi kaidah
tersebut, yaitu pernyataan “sesuatu yang belum ada penjelasan hukumnya dari Syari’”
sebab inilah yang sebenarnya termasuk ke dalam petunjuk makna kaidah ini. Selama
sesuatu ditetapkan ketentuan hukumnya dengan dalil Syari’ maka ia tidak
termasuk dalam katagori kaidah “prisip dasar pada masalah-masalah manfaat adalah
boleh” akan tetapi statusnya dikembalikan kepada dalil syari’ yang menetapkan
hukum kebolehan baik yang menunjukkan makna alternasi ataupun menghilangkan
kesukaran tergantung pada ungkapan atau pernyataan hukum yang membolehkannya. itu
artinya kebolehan tersebut tetap dalam pantauan nash.
Halnya
pendapat kedua (Hanafiyah) yang menyatakan bahwa prinsip dasar segala sesuatu
adalah larangan (tidak boleh). dan menganalogkan pendapat tersebut dengan hak
milik. Sedangkan keharaman penggunaan hak milik orang lain hanya berlaku dalam
tataran hubungan antar manusia (relasi sosial-horizontal), bukan hubungan
manusia dengan Tuhannya (relasi vertikal). Keharaman tersebut hanya berlaku
dalam medium yang dapat menimbulkan kerugian dan dlarar pada orang lain.
Padahal dalam relasi vertikal ini sama sekali tidak terdapat hal-hal yang
berbahaya dan merugikan Allah Swt.
Disamping
itu, hadis yang ditampilkan oleh Hanafi sebenarnya tidak sesuai dengan pendapat
mereka sendiri, sebab yang dimaksud dengan mutasyabihat dalam hadis
tersebut adalah persoalan hukum yang mempunyai dua dalil yang saling berlawanan;
satu dalil yang menunjukkan haram dan dalil lain menunjukkan halal. Adapun hal
yang masih misteri (ma sakata) bukan termasuk mutasyabihat yang
harus dijauhi dan ditutup rapat-rapat kebebasan manusia untuk memanfaatkannya.
Penulis berasumsi barang kali yang dimaksud dengan
prinsip segala sesuatu adalah “larangan” adalah segala sesuatu yang mengandung
unsur madharat dan mafsadat. Sebab madharat dan mafsadat tidak
boleh dibiarkan, bahkan ditolak mutlak oleh syara’. Sehingga tidak mungkin
dalam kondisi ini ketetapan hukum syara’ berpegang pada kaidah bahwa segala madharat
dan mafsadat prinsip dasarnya adalah boleh.
Disinilah
titik temu antara Syafi’i dan Hanafi bahwa tidak ada kesepakatan dalam hal ke-madharat-an.
Hanafi-pun memandang hukum ashl pada dasarnya mengindari madharat
namun hanya letak perberbedaannya didalam medium redaksi kaidah, sedangkan
esensi dari makna kaidah adalah sama (ibahah). Sebagaimana dijelaskan qawl
rajih madzhab Hanafi justeru mengklaim bahwa asal segala sesuatu adalah ibahah,
sama persis dengan pendapat Syafi’iyah. Dalil yang mereka juga sama
dengan dalil yang digunakan Syafi’iyah. (al-Kharki adalah termasuk ashab Hanafi
yang mengatakan bahwa hukum ashl adalah ibahah). (Lihat: al-Burnu,
1983: 112)
Menurut
penulis inilah metode yang valid dan penalaran benar yang selaras dengan jiwa syariat
dalam penetapan hukum untuk menghilangkan kesukaran dengan dalil-dalil yang
pasti dan petunjuk-petunjuk jelas sebagaimana yang dipahami dari pemahaman
eksplisit pendapat pertama dan kedua.
D.
Implementasi kaidah ashl
Allah Swt memberikan nikmat dan
akrunia kepada manusia beberapa organ Tubuh yang satu dengan lain saling
berkaitan. Salah satu dari beberapa organ tubuh adalah gigi. Gigi yang
kelihatannya sebagai organ yang sepele, sehingga banyak sekali orang yang belum
memahami, akan kegunaan dan tidak berusaha untuk menjaga dan mempertahankan kesehatan
giginya, yang mempunyai beberapa manfaat dan fungsi. Diantara manfaatnya
membantu alat pencernaan untuk menghancurkan makanan yang sekiranya tidak bisa
dicerna oleh organ pencernaan oleh organ yang ada didalam tubuh kita. Karena
bisa kita bayangkan, bagaimana semua makanan langsung masuk kedalam saluran
makanan tanpa dikunyah terlebih dahulu dengan gigi kita. Tentunya hal itu akan
merepotkan organ yang ada didalam tubuh kita.
Fungsi lainnya adalah memper jelas
huruf-huruf yang diucapkan. Karena orang yang giginya tidak sempurna pasti dia
akan kesulitan dalam mengucapkan kalimat yang didalamnya terdapat huruf yang makhrajnya
dengan gigi, sehingga akan mempengaruhi bacaan-bacaan yang diucapkan. Dalam
praktek yang terjadi dimasyarakat banyak orang yang menggunakan kawat gigi
maupun gigi palsu, kriteria pemasangan kawat gigi menurut penulis tidak boleh
sembarangan dilakukan, karena akan mempunyai implikasi hukum yang berbeda, oleh
karena itu perlu kita memberikan ketentuan dibolehkannya pemasangan kawat gigi
tersebut antaranya;
Pertama Jika seseorang mempunyai gigi atas yang letaknya agak ke depan,
atau menurut istilah orang Jawa “gigi moncong“ atau “gigi mrongos“, yang
kadang sampai tingkat tidak wajar sehingga mukanya menyeramkan, maka hal ini
dikatagorikan gigi yang cacat, oleh karenanya boleh diobati dengan cara apapun,
termasuk menggunakan kawat behel agar giginya menjadi rata kembali. yang Kedua, Jika gigi seseorang kurang
teratur, tetapi masih dalam batas yang wajar, tidak menakutkan orang, dan bukan
suatu cacat atau sesuatu yang tidak memalukan, serta pemakaian kawat
behel dalam hal ini hanya sekedar untuk keindahan saja, maka hukum pemakaian
kawat behel tersebut tidak boleh karena termasuk dalam katagori merubah ciptaan
Tuhan. Berpijak dari kaidah imam Syafi’i;
اَلْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ
اَلْإِبَاحَةُ
Pada dasarnya pemasangat kawat gigi adalah
trend kekinian yang belum ada nash yang menghukumi (Larangan, ibahah)
kemudian untuk melihat kasus yang pertama, ketika kasus di sandarkan dengan
kaidah imam Syafi’i maka hukumnya boleh dilakukan (ibahah) selain tidak
ada nashnya tadi, lain dari pada itu adalah upaya untuk memperoleh kemudahan memper
jelas huruf-huruf dalam mengucapkan kalimat yang didalamnya terdapat huruf yang
makhrajnya dengan gigi. Sebagaimana disampaikan sebagian ulama’
syafi’iyah yang mengatakan bahwa yang asal pada hal-hal yang bermanfaat adalah pembolehan,
dalam dalam hal madharat adalah haram. (Bisri, tth: 11).
Sedangkan menurut Hanafi prakter tersebut juga
menghukumi boleh, karena tidak ada madharat di dalamnya. Berpangkal dari kaidah;
اَلْأَصْلُ فِي
الْأَشْيَاءِالتَّحْرِيْم حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيْلُ عَلَى الْإِبَاحَةُ
Kata al-tahrim disini dapat
dimaknai sebagai larangan jika sesuatu itu menimbulkan madharat, jadi derajat
al-tahrim tidak sampai derajat larangan secara mutlaq, sebagaimana pemasangan
kawat gigi maupun gigi palsu yang permanen maka itu dapat di-hukumi ibahah
(boleh).
Sebagaimana Syekh Sholeh Munajid,
dalam memberikan fatwa tentang pemasangan gigi palsu :
“Memasang gigi buatan
sebagai pengganti gigi yang dicabut karena sakit atau karena rusak, adalah
sesuatu yang dibolehkan tidak apa-apa untuk dilakukan. Kami tidak mengetahui
seorangpun dari ulama yang melarangnya. Kebolehan ini berlaku secara
umum, tidak dibedakan apakah gigi itu dipasang permananen atau tidak, yang
penting bagi pasien memilih yang sesuai dengan keadaannya setelah meminta
pendapat kepada dokter spesialis. “ (www.Islamqa.com)
Sedangkan pada kasus yang kedua,
hukumnya tidak diperbolehkan, walaupun berdasarkan kaidah syafii hokum asal
adalah ibahah, hal tersebut dikarena adanya unsur memodifikasi secara
disengaja, padahal ia telah diberikan kesempurnaan, sebagaimana hadis yang
diriwayatkan Rosulullah Saw;
“Allah
telah mengutuk orang-orang yang membuat tato dan orang yang minta dibuatkan
tato, orang-orang yang mencabut bulu mata, orang-orang yang minta dicabut bulu
matanya, dan orang-orang yang merenggangkan gigi demi kecantikan yang merubah
ciptaan Allah.” (HR. Muslim)
III.
Kesimpulan
Prinsip
yang diusung Imam Hanafi, segala sesuatu adalah “larangan” adalah segala
sesuatu yang mengandung unsur madharat dan mafsadat. Sebab madharat dan mafsadat
tidak boleh dibiarkan, bahkan ditolak mutlak oleh syara’. Sehingga tidak
mungkin dalam kondisi ini ketetapan hukum syara’ berpegang pada kaidah bahwa
segala madharat dan mafsadat prinsip dasarnya adalah boleh.
Syafi’i
dan Hanafi pada dasarnya tidak ada kesepakatan dalam hal ke-madharat-an.
Hanafi-pun memandang hukum ashl pada dasarnya mengindari madharat
namun hanya letak perberbedaannya didalam medium redaksi kaidah, sedangkan
esensi dari makna kaidah adalah sama (ibahah). Sebagaimana dijelaskan qawl
rajih madzhab Hanafi justeru mengklaim bahwa asal segala sesuatu adalah ibahah,
sama persis dengan pendapat Syafi’iyah. Dalil yang mereka juga sama
dengan dalil yang digunakan Syafi’iyah. (al-Kharki adalah termasuk ashab Hanafi
yang mengatakan bahwa hukum ashl adalah ibahah).
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, Amin, 2010, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet ke-2.
Al-Burnu, Muhammad Shidqi, 1983, al-Wajiz fi Iddlah al Qawaid, Muassasah
al-Risalah.
Al-Jabiry,
Muhammad Abid, 1989, Taqwin al-‘aql ‘Araby, Beirut: Markaz Dirasat
al-Wahdah al-Arabiyah.
al-Lahji, ‘Abd Allah bin Sa’id Muhammad ‘Abbadi, 1410
H, ‘idlah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah. Surabaya: al-Hidayah,
al-Suyuthi, Jalal al-Din
‘Abd al-Rahman,
Tth, al-‘Asybah wa al-Nazha’ir fi al-furu’. Surabaya: Al-haromain.
Ash-Siddieqy, Teungku Muhammad Hasbi,1997, Pengantar
Hukum Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Az Zuhaili, Wahbah, 1997, Nazhariah
Darurah Al-Syariyah (Muqaranah Ma’a al-Qonun Al-wadli’i), terj. Said Agil
Husain Al-Munawar, Jakarta: Radar Jaya Pratama.
Biek, Muhammad Khudhori, 2007, Ushul al-fiqh, terj. Faiz el
Muttaqien, Jakarta: Pustaka Amani.
Bisri, Moh. Adib, Tth, al-Faraid al-Bahiyah, Kudus: Menara Kudus.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahannya, Diterjemahkan
oleh yayasan Penerjemah Al Qur’an, ed. Revisi, (Semarang: Toha Putra,
1995).
Djazuli, A, 2011, Kaidah-Kaidah Fikih;
Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah Praktis, Jakarta:
Prenada Media Group. Cet. Ke-4.
Durkeim,
Emile, 1965, The Elementary Forms of The religious Life, New York: The
Free Press.
Haque, Abdul, at al, 2009, Formulasi Nalar Fiqh; Telaah
Kaidah fiqh konseptual, Surabaya: Kalista. Jilid I.,
Khallaf,
Abdul Wahab, 1978, Ilmu Ushul Fiqh, terj, Moh. Zuhri et al,
Semarang: Dina Utama.
Mubarak,
Jaih, 1999, Kaidah Fiqh; Sejarah dan Kaidah-Kaidah Asasi, Bandung:
Rosdakarya.
Philips,
Abu Ameenah Bilal, 2000, The Evolution of Fiqh; Islamic Law and the Madhabs,
terj. M. Fauzi Arifin, Bandung: Nusamedia.
Supriyadi, Dedi, 2008, Perbandingan
Madzhab dengan Pendekatan Baru, Bandung: Pustaka Setia.
Suriasumantri, Jujun. S, 2009, Ilmu Dalam Perspektif, Jakarta:
Yayasan Obor, Cet ke-17.
Wasil, Nasr Farid Muhammad, et al, 2009, al-Madkhal fi
al-qawaid al-fiqhiyah wa atsaruhaa fi al-ahkam al-syariyah, terj. Wahyu
Setiawan, Jakarta: Amzah
[1] Nalar bayani,
dipopulerkan oleh al-Jabiry corak bayani
didunkung oleh pola pikir fiqh. pola pikir tekstual bayani lebih dominan secara politis dan membentuk
mainstream pemikiran keislaman yang hegemonic, sehinnga sulit berdialog dengan
tradisi epistemologi irfani dan burhani. Sebagai akibatnya pola
pemikiran keagamaan Islam model bayani menjadi kaku dan rigid. Otoritas teks
dan otoritas salaf yang dibakukan dalam kaidah-kaidah metodologi ushul fiqh klasik
lebih diunggulkan dari pada sumber otoritas keuilmuan yang lain. Lihat:
al-Jabiry, Taqwin al-aql al-Araby, 1989: 172.
Lihat juga Abdullah Amin, Islamic Studies, 2010: 200.