Tuesday, December 17, 2013

Epistemologi Hukum Islam


HUKUM ASHL: DIKOTOMI DALAM RANAH KAIDAH 
 (Mediasi antara  Ulama’ Syafiiyah dan Hanafiyah)

I.       Pendahuluan
Sebagai salah satu kegiatan intelektual yang tidak boleh lepas dari tuntutan wahyu, ijtihad memerlukan seperangkat kaidah atau metode. Metode inilah yang kemudian dikenal dengan ushul fiqh. Ushul fiqh senantiasa dikembangkan oleh para pemerhatinya, dari dahulu (klasik) sampai sekarang (modern) khususnya komunitas Hukum Islam pascasarjana IAIN Walisongo ini. sebagai sebuah ilmu ushul fiqh telah memiliki system pengetahuan yang baku dan kebenaran ilmiah yang dapat diuji. Ushul fiqh sudah memenuhi standar disiplin ilmu, yakni ontology, epistemology dan aksiologi.
Ushul fiqh menduduki posisi sentral dalam studi ke-Islaman. Lebih dari itu juga merupakan metodologi terpenting yang ditemukan oleh dunia pemikiran Islam, dan belum terbukti dimiliki umat lain. Ushul fiqh pada dasarnya merupakan bidang ilmu yang berlandaskan pada nalar bayani[1] yang menjdikan teks sebagai sumber memperoleh pengetahuan (otoritas teks); dan teks dimaksud utamanya ialah al-Qur’an dan Hadis. Oleh karena itu secara epistemologis yang dikaji oleh ilmu ushul fiqh ialah petunjuk (dalalah) yang ada dalam teks wahyu, baik petunjuk secara tekstual (dalalah al-nsah) yang membahas relasi antara lafal dan makna, maupun petunjuk yang ada di balik teks (dalalat ma’kul al-nash) yang membahas relasi al-ashl (teks) dan al-far’ (yang tidak tertulis dalam teks), yang didasarkan adanya kesamaan ma’qul al-nash (illah).
Ushul fiqh merupaka sebuah metode untuk menggali sebuah hokum yang diambil dari dalalah nash yang bersifat dzany atau sesuatu yang belum terdapat nashnya dalam al-Qur’an. Dewasi ini berbagai fenomena hokum (Islam) yang belum jelas status hukumnya terjadi dalam praktik kehidupan masyarakat dan sudah menjadi trend yang seolah-olah dianggap wajar dan sudah menjadi kesepakatan bersama dalam kehidupan masyarakat. Seiring dengan perkembangan teknologi, gaya hidup manusia juga ikut berkembang dan berubah. Salah satu gaya hidup yang digandrungi manusia adalah merubah gigi mereka agar lebih cantik dan lebih indah, maka munculah kawat behel yang digunakan untuk merapikan gigi, ada gigi palsu untuk mengganti gigi yang tanggal, ada juga alat untuk mengikir gigi agar lebih tipis dan lain-lainnya.
Memang pada dasarnya masyarakat zaman sekarang tidak seperti zaman dahulu yang kebanyakan kurang fasih dalam ilmu, zaman sekarang masyarakat sudah terdidik dengan berbagai ilmu, baik itu secara otodidak maupun via televisi, namun meminjam kata Albert Einstein sebagaimana dikutip Jujun S. Sumantri (2009: 4) “ilmu tanpa Agama buta, dan Agama tanpa ilmu lumpuh”. Jadi ilmu apapun itu tetap membutuhkan Agama sebagai filter. Dimana agama memiliki belief system yang terdiri dari (ritual, kitab, jamaah dan pimpinan) Emile Durkheim (1965: 274). Ketika jama’ah (umat) katakanlah; banyak menggunakan jasa alat dan tekhnologi mutahir untuk meratakan gigi dengan kawat dan bahkan mengganti gigi dengan gigi palsu, ketika jamaah (umat) tersebut melihat teks (al-Qur’an dan hadis) kemudian dari kedua sumber tersebut nampak tidak ada respon dan belum jelas status hukumnya, maka disinilah seorang pimpinan atau para imam (Ulama’) melakukan ijtihad untuk mengetahui hokum tersebut.
Dari uraian diatas, tegaslah bahwa untuk mengetahui fiqh (hokum Islam) itu diperlukan ijtihad pemimpin (ulama). Dalam ijtihad, tentunya memerlukan alat-alat tertentu untuk menghasilkannya. Salah satu yang paling utama adalah ushul fiqh. Selain dari ushul fiqh, ada juga ilmu qawa’id al-fiqh (kaidah-kaidah fiqh). Sebagaimana ushul fiqh, perbedaan pendapat tetap terjadi di kalangan ulama. Seperti pecahnya ahl al-ra’yi dan ahl al-hadis. Begitu juga dengan qawa’id al-fiqh. Dalam hal ini penulis akan melihat bagaimana praktik pemasangan kawat gigi dan gigi palsu tersebut dengan menggunakan hokum ashl dalam kacamata ulama’ Syafi’iyah dan Hanafiyah. Sebelumnya akan diuraikan biografi singkat, kemudian differensiasi kaidah ashl, titik temu antara syafi’iyah dan hanafiyah dan implementasi dari kaidah tersebut.     
II.       Pembahasan
A. Biografi Singkat Imam Hanafi dan Syafi’i
1.      Imam Abu Hanifah (703-767 M)
Nama aslinya adalah Nu’man bin Tsabit, lahir pada tahun 702 M, di Kuffah, Iraq. Imam Hanafi mengawali studinya di bidang filsafat dan dialektika dikenal dengan ilmu kalam, namun setelah menguasai ragam disiplin ilmu tersebut, ia meninggalkannya dan mendalami fiqh dan hadis. Sebagai guru utamanya ia memilih imam Hammad bin Zaid  yang merupakan salah satu ulama besar pada saat itu. Ia belajar selama 18 tahun. Pada saat itu ia sudah mulai mengajar, namun masih terus belajar. Gurunya wafat pada tahun 742 M. setelah gurunya wafat, pada usia 40 tahun ia memposisikan sebagai guru besar dan ulama’ terkemuka di kuffah. Diantara anak-anak murid beliau yang masyhur ialah As-Syeikh AbuYusuf, As-Syeikh Muhammad Bin Al-Hasan As-Syibaaniy,As-Syeikh Zufar Bin Al-Huzail, As-Syeikh Al-Hasan Bin Ziyaad.
Imam abu hanifah di penjara oleh al-mansur hingga wafat tahun (754-775 M). imam abu Hanifah di golongkan sebagai taiin kecil karena ia bertemu dengan beberapa sahabat dan meriwayatkan beberapa hadis dari mereka. (Philips, 2000: 87-88)   

2.      Imam Syafi’i
Ia lahir di Gaza palestina Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa Imam Syafi'i lahir di Gaza, Palestina, namun di antara pendapat ini terdapat pula yang menyatakan bahwa dia lahir di Asqalan; sebuah kota yang berjarak sekitar tiga farsakh dari Gaza. Menurut para ahli sejarah pula, Imam Syafi’i lahir pada tahun 150 H, yang mana pada tahun ini wafat pula seorang ulama besar Sunni yang bernama Imam Abu Hanifah.
Setelah ayah Imam Syafi’i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang ibu membawanya ke Mekah, tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim. Sejak kecil Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai Al Ashma’i berkata,”Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris,” Imam Syafi’i adalah imam bahasa Arab.
Imam syafi’I terus belajar dengan imam Malik hingga gurunya wafat pada tahun 801 M. kemudian ia berangkat ke Yaman dan mengajar disana. Pada tahun 805 M, ia dituduh condong ke sekte Syi’ah dan dibawa kepada khalifah Abbasiyah, Harun al-Rasyid (786-809) di Iraq, sebagai seorang terpidana untungnya ia dapat membuktikan kebenaran pendapat-pendapatnya hingga ia dibebaskan. Setelah itu ia belajar kepada ahmad bin Hasan, salah satu orang murid terkemuka Imam Abu Hanifah. Kemudian ia berangkat ke mesir dengan tujuan mau belajar dengan Imam al-Laits, tetapi sebelum ia sampai di Mesir Imam Laits wafat. Meski demikian ia mendalami mdzhab laits lewat muridnya. Imam syafi’I tinggal di Mesir hingga wafat tahun 820 M. (Philips, 2000: 109-110).
B.  Differensiasi Hukum Ashl  
Penemuan-penemuan baru yang tidak ada pada masa kini, telah disiapkan perangkat hukumnya secara lengkap oleh Islam. Jauh-jauh hari ajaran Islam telah memprediksikan hal itu dan membiarkan ketentuan-ketentuan hukum dalam kaidah yang sangat sederhana yaitu al-ashlu al-ibahah. Dalam tataran praktis kaidah ini dapat diterapkan jika kita menemukan hewan, tumbuhan atau apa saja yang belum diketahui status hukumnya dalam syariat. Semua jenis barang tersebut dihukumi halal sesuai substansi yang dikandung kaidah ini. (Haq, 2009: 151)
Akan tetapi tidak semua imam madzhab sependapat bahwa semua itu dihukumi halal, karena terdapat perbedaan dalam factor kaidah fiqhiyah adalah tiap-tiap madzhab memiliki kaidah tersendiri, satu dengan yang lainnya berbeda. Pengaruh kaidah fiqh ini cukup signifikan terhadap aspek fiqh lainnya, karena setiap macam fiqh memiliki kaidah tersendiri. Karena itu, perbedaan akibat berbedanya kaidah fiqh adalah wajar, dan alamiah. (Supriyadi, 2008: 90-91)
Kaidah fiqh dibentuk dengan cara berfikir deduktif; kaidah fiqh dibentuk atas persoalan-persoalan yang diselesaikan dengan salil-dalil yang berbeda-beda. Hasil berfikir deduktif, di generalisasikan untuk diterapkan pada persoalan baru yang berada dibawah cakupannya. Prinsip dalam kaidah fiqh adalah aglabiah, aktsariah, atau pada umumnya. (Mubarak, 1999: 6). Hal tersebut berbeda dengan kaidah ushul fiqh yang dibentuk berdasarkan bahasa” al-Qur’an, kaidah fiqh dibentuk berdasarkan “perbuatan mukallaf”.
Namun perlu dicatat, sebenarnya masih terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama’ seputar hukum ashl tersebut. mayoritas ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa hukum ashl segala sesuatu adalah ibahah, selama belum ada dalil yang mengaharamkannya. Sebaliknya beberapa ulama’ hanafiyah mengatakan bahwa hukum ashl segala sesuatu adalah larangan (haram) selama belum ada dalil yang menghalalkannya. Dan ada lagi golongan ulama’ yang memilih diam (tawaqquf) seputar masalah ini; mereka tidak mengatakan halal atau haram. Berikut ini akan kami kutip beberapa dalil serta argumen yang mendasari terbangunnya pendapat tersebut;  
Pertama, Menegaskan bahwa prinsip dasar segala sesuatu adalah kebolehan, hingga ada bukti atau petunjuk yang mengarahkan kepada keharaman, adalah pendapat imam Syafi’I pendiri (madzhab Syafi’i). (al-Suyuthi, 2005: 44). Dan Muhammad bin Abdullah al-hakam sebagai ulama’ muta’akhirin menisbatkan pendapat ini sebagai pendapat jumhur. Yakni asal dari segala sesuatu adalah ibahah.
اَلْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ اَلْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ
Artinya: “asal dari segala sesuatu adalah boleh sehingga terdapat dalil yang mengharamkannya” (as- suyuthi, 2005: 44, A. Djazuli, 2011: 52, ).
Menurut pengertian bahasa, al-ashlu al-syai’i dalam kaidah tersebut adalah sesuatu yang paling mendasar dan asas yang paling melekat padanya. Artinya telah kuat dan tetap dasar sesuatu. Dalam komunikasi sehari-hari ashl (dasar) sesuatu tersebut adalah apa yang keberadaan sesuatu tersebut yang disandarkan kepadanya. Ayah adalah ashl dari anak. Bentul plural kata ini adalah أَصْلَتْهُ تَأْصِيْلًا maksudnya “menjadikan asal yang tetap didasarkan atasnya”. jadi, kata ashl bisa dimaknai sebagai prinsip dasar. Sehingga terbentuk pengertian dari kaidah diatas bahwa “prinsip dasar dalam manfaat adalah boleh”.
Konsep ibahah terkadang diganti dengan term kehalalan. Karena ibahah ialah suatu perbuatan yang apabila dikerjakan atau sama-sama ditinggalkan tidak mendapatkan reword. Dalam arti perbuatan tersebut tidak akan mendapatkan sanksi (Zahrah, 1994: 56). Kami sengaja menyeret makna ashl pada makna linguistic, sebab para terminology tidak mendefinisikan makna ashl tersebut hingga makna dasar tersebut yang dipergunakan dan dibenarkan. Kata ashl juga juga diartikan sebagai makna yang diunggulkan (rajih). Sehingga kaidah tersebut berarti bahwa yang diunggulkan pada masalah-masalah manfaat adalah hokum kebolehan.
Ibahah menurut para ahli teoritisi hokum Islam (Islamic legal theory) diambil dari makna suatu ungkapan (أَبَحْتُكَ الشَّيْئُ) yang berarti ku halalkan untukmu dan kubebaskan engkau padanya. Mereka mendefinisikan ibahah dengan pengertian antara meninggalkan sesuatu atau melakukannyasedangkan mubah mereka definisikan sebagai perkara yang dipersilahkan oleh asy-syari’ untuk dipilih antara di pilih atau ditinggalkan. Inilah makna yang popular dikalangan teori hokum Islam untuk makna kata ibahah dan mubah. Kata ibahah juga digunakan untuk menghilangkan kesukaran dari aktivitas melakukan sesuatu atau meninggalkannya. Terlepas dari sudah dijelaskan oleh syari’ atau belum dijelaskan oleh syari’ (Biek, 1980: 52-53).
Imam Syafi’i berpendapat; “Allah itu maha bijaksana jadi mustahil Allah menciptakan sesuatu lalu mengharamkan atas hambanya” (Bisri, tth: 11). Imam Syafi’i berhujjah dengan dalil;
a.    Al-Qur’an:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
Artinya: “Dia-lah yang menjadikan bagimu semua apa yang dibumi ” (QS. [2]: 29).
Aspek signifikansi ayat; disini Allah menyatakan bahwa semua yang ada di bumi diciptakan untuk hamba-hamba-Nya. Sebab kata ما menunjukkan makna umum dan kata ل pada ungkapan لكم menunjukkan spesifikasi atau dasar pemanfaatan bagi objek tutur (mukhathab) dengan kata lain makna yang dihadirkan ayat adalah bahwa segala sesuatu dibumi  dikhususkan untuk kalian. Maka dari interpretasi ayat tersebut, wajib untuk memanfaatkan seluruh makhluk atau ciptaan yang dibolehkan secara syar’i dan inilah makna yang dikehendaki ayat, atau maksud penetapannya (az-Zuhaily, 1997: 29).

 قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
Artinya: “katakanlah; siapa yang telah mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkannya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapakan yang mengharamkan) rizki yang baik?” (QS. Al-‘araf  [7]: 32)

Aspek signifikansi ayat; disini Allah menolak kalimat introgatif (istifham) tentang keharaman perhiasan sehingga mewajibkan agar tidak ditetapkan status hokum haram pada hal tersebut. bentuk penolakan keharaman perhiasan dalam redaksi ayat menunjukkan pada pemanfaatan dan tidak tetapnya status haram pada segala sesuatu yang baik dan merupakan perhiasan Allah sehingga apabila ditolak status hokum haram implikasinya adalah pada ketetapan status hokum boleh (ibahah) (az-Zuhaily, 29).
Jadi, makna yang terbentuk dari ayat tersebut adalah “katakanlah; wahai Muhammad untuk menolak pernyataan (siapa yang mengharamkan) dan melarang (perhiasan Allah) yang terdiri dari pakaian dan setiap apa yang dikandungnya (yang telah dikeluarkan hamba-hamba-Nya) yakni yang tela ia ciptakan untuk kemanfaatan mereka” ayat tersebut menunjukkan bahwa prinsip dasar pada makanan, pakaian, dan segala perhiasan adalah boleh (ibahah). Sebab huruf introgatif (istifham) من berfungsi sebagai penolakan.
 
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً
Artinya: Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai. (al-An’am [6]: 145).

Disini Allah menjadikan prinsip dasar sesuatu adalah kebolehan, sedangkan status hokum haram sebagai bentuk pengecualian.
b.   Al-Hadis

الْحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَالْحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ
Artinya: “yang halal adalah apa yang telah dihalalkan Allah SWT di dalam kitab-Nya, dan apa yang tidak Dia jelaskan maka itu termasuk bagian yang Dia maafkan.
             
Dengan demikian, maka penanya telah menunjukkan sebuah kaidah yang menjadi rujukan dalam mengetahui yang halal dan yang haram, yaitu bahwa seseorang cukup dengan hanyamengetahui apa yang diharamkan Allah, karena selainnya adalah halal dan baik.    

Kedua, Prinsip dasar segala sesuatu larangan atau pencegahan sebagaimana diungkapkan kelompok ahl al-hadis (tekstualis) atau keharaman seperti yang lainnya. Pendapat yang mengatakan bahwa hukum ashl segala sesuatu adalah haram, menurut ulama’ syafiiyah pernah diungkapkan oleh Imam Abu Hanifah. Tetapi setelah di telusuri ternyata qawl rajih madzhab Hanafi justru mengklaim bahwa asal segala sesuatu adalah ibahah, sama persisi dengan pendapat syafi’iyah. Dan dalil yang mereka gunkan juga sama dengan dalil yang dipakai kalangan Syafi’iyah. (al-karkhi adalah termasuk ashhab Hanafi yang mengatakan bahwa hukum ashl adalah ibahah) (al-Burnu, 1983: 112).
Dengan demikian, di kalngan Hanafiyah sendiri masih terjadi silang pendapat seputar status asal segala sesuatu, ada yang mengharamkan ada pula yang menghalalkan. menurut Abu Hanifah, prinsip dasar segala sesuatu (haram) hingga ada petunjuk yang mengarahkan kepada kebolehan”.
  اَلْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِالتَّحْرِيْم حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيْلُ عَلَى الْإِبَاحَةُ
Artinya: (asal sesuatu itu adalah haram, sehingga ada dalil yang mnenjukkan kebolehan). (as-Shiddieqy, 1997: 380, Lihat juga al-Lahji, tth: 31)

Makna al-ashl dan al-asya’ diawal sudah di jelaskan, sementara kata at-tahrim menunjukkan apa yang diminta syari’ untuk ditinggalkan secara tegas dan pasti, sehingga pelakunya dicela dan dihukum kelak di akhirat, namun juga terkadang hanya cukup dihukum di dunia. Contoh memakan harta manusia dengan jalan batil, membunuh tanpa alasan hokum yang kuat, menyakiti orang dengan perkataan atau perbuatan, termasuk perbuatan yang membahayakan badan atau akal, perbuatan-perbuatan asusila, pencemaran nama baik dan perbuatan lainnya yang secara umum menimbulkan madharat dan mafsadat. 
Dalil yang dipahami dari penggunaan status pengharaman tidak terbatas pada substansi madharat itu sendiri, namun juga mencakup tindakan mengarah madharat tanpa ada pensyariatan hokum yang menimbulkan madharat atas seseorang, baik ketentuan hokum tersebut dalam katagori hokum taklifi maupun hokum wadh’i.  (Khallaf, 1994: 146-147). Ulama’ Hanafiah meng-hujjah-kan pendapatnya pada dalil;
a.       Al-Qur’an
وَلا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلالٌ وَهَذَا حَرَامٌ
Artinya: Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram” (QS. An-Nahl [16]: 116)

Berdasarkan ayat ini mereka menyatakan bahwa Allah SWT telah memberikan informasi tentang penyandaranhalal dan haram hanya pada diri-Nya. Dalam arti, urusan halal haram adalah hak prerogratif Allah swt., bukan wewenang manusia. Tidak ada celah bagi manusia untuk menentukan vonis halal haram kecuali sudah diberitahukan oleh Allah Swt. (Haq, 2009: 155)
b.   Al-Hadis
    الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُورٌ مُشْتَبِهَةٌ وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَقَّافُوْنَ عِنْدَ الشُّبُهَاتِ
Artinya:“suatu yang halal sudah jelas, yang haram-pun sudah jelas pula. Sedangkan segala sesuatu yang berada diantara keduanya adalah hal-hal yang samar (syubhat). Orang-orang yang beriman mereka akan bersikap ‘diam’ ketika berhadapan dengan syubhat”. (Haq, 2009: 155)

Menurut ulama’ pro haram, dalam hadis ini Nabi Saw secara implisit mengingatkan umatnya untuk menjauhi hal-hal yang belum jelas hukumnya. Seorang dikatakan beriman jika ia menjauhi perkara syubhat. Karena itu jika terdapat hal-hal yang belum di jelaskan hukumnya oleh syariat, maka tidak bisa diklaim sebagai sesuatu yang halal, karena itu akan menggiring umat terjerembab kedalam jurang ke-syubhat-an. Tetapi jika hukum haram tidak dijadikan pijakan standart, maka kemungkinan terjerumus dalam ke-syubhat-an akan sangat minim, karena hukum haram akan membuat umat selalu bersikap hati-hati dalam mengelola hal-hal yang berbau syubhat.
Secara logis menurut ulama’ anti syubhat tersebut, penerapan hukum haram jauh lebih terjamin keamanannya dari pada hukum halal maka menganalogkan dengan hak milik yang telah diketahui, pemanfaatannya kepada hak milik orang lain tanpa seizin orang yang bersangkutan adalah perbuatan tercela dan terlarang. Logika inipun seharusnya berlaku dalam ciptaan atau hak milik Allah swt. Mengeksplorasi hal-hal yang tidak dijelaskan Allah swt. (ma sakata-maskut) adalah perbuatan yang kemungkinan besar tidak di-izini oleh-Nya. Jika demikian hal itu semestinya tidak diperbolehkan. Padahal menghukumi halal pada semua ciptaan Allah swt. Sama saja dengan memberi kebebasan menusia untuk mengeksplorasi isi alam tanpa izin sang pemilik Sejati, ini jelas tidak masuk akal (absurd, irasional) dan cenderung spekulatif (Haque, 2009: 156).
Ketiga, pendapat asy’ari, Abu Bakar As-Sirafi dan sebagian madzhab Syafi’I, menetapkan bahwa, prinsip dasar segala sesuatu adalah abstain (tawaqquf) tanpa memberikan pernyataan hokum yang melarang atau membolehkan. Keempat, memilah-milah mana yang manfaat dan mana yang madharat. Dengan kata lain bahwa prinsip dasar pada masalah manfaat adalah kebolehan dan masalah yang menimbulkan madharat adalah keharaman. Ini adalah pendapat fatkhurazi dan inilah pendapat yang dipilih mayoritas ulama’. (Washil, 2009: 76)

C.    Kajian Kristis; Titik Temu Antara Hanafiyah dan Syafi’iyah  
Jika pendapat pertama (Syafi’iyah) yang men-generalisasikan pada kebolehan (ibahah).  Sebab hukum kebolehan tidak di terapkan kecuali pada masalah-masalah manfaat. Sedangkan pada masalah-masalah madharat dan mafsadat belum pernah satu orang ulama’ pun yang mengatakan bahwa prinsip dasar dalam madharat dan mafsadat adalah boleh. Artinya yang di larang adalah yang mengandung madharat.
Titik tolak dari pendapat ini terletak pada bagian akhir dari definisi kaidah tersebut, yaitu pernyataan “sesuatu yang belum ada penjelasan hukumnya dari Syari’” sebab inilah yang sebenarnya termasuk ke dalam petunjuk makna kaidah ini. Selama sesuatu ditetapkan ketentuan hukumnya dengan dalil Syari’ maka ia tidak termasuk dalam katagori kaidah “prisip dasar pada masalah-masalah manfaat adalah boleh” akan tetapi statusnya dikembalikan kepada dalil syari’ yang menetapkan hukum kebolehan baik yang menunjukkan makna alternasi ataupun menghilangkan kesukaran tergantung pada ungkapan atau pernyataan hukum yang membolehkannya. itu artinya kebolehan tersebut tetap dalam pantauan nash.  
Halnya pendapat kedua (Hanafiyah) yang menyatakan bahwa prinsip dasar segala sesuatu adalah larangan (tidak boleh). dan menganalogkan pendapat tersebut dengan hak milik. Sedangkan keharaman penggunaan hak milik orang lain hanya berlaku dalam tataran hubungan antar manusia (relasi sosial-horizontal), bukan hubungan manusia dengan Tuhannya (relasi vertikal). Keharaman tersebut hanya berlaku dalam medium yang dapat menimbulkan kerugian dan dlarar pada orang lain. Padahal dalam relasi vertikal ini sama sekali tidak terdapat hal-hal yang berbahaya dan merugikan Allah Swt.
Disamping itu, hadis yang ditampilkan oleh Hanafi sebenarnya tidak sesuai dengan pendapat mereka sendiri, sebab yang dimaksud dengan mutasyabihat dalam hadis tersebut adalah persoalan hukum yang mempunyai dua dalil yang saling berlawanan; satu dalil yang menunjukkan haram dan dalil lain menunjukkan halal. Adapun hal yang masih misteri (ma sakata) bukan termasuk mutasyabihat yang harus dijauhi dan ditutup rapat-rapat kebebasan manusia untuk memanfaatkannya.
 Penulis berasumsi barang kali yang dimaksud dengan prinsip segala sesuatu adalah “larangan” adalah segala sesuatu yang mengandung unsur madharat dan mafsadat.  Sebab madharat dan mafsadat tidak boleh dibiarkan, bahkan ditolak mutlak oleh syara’. Sehingga tidak mungkin dalam kondisi ini ketetapan hukum syara’ berpegang pada kaidah bahwa segala madharat dan mafsadat prinsip dasarnya adalah boleh.
Disinilah titik temu antara Syafi’i dan Hanafi bahwa tidak ada kesepakatan dalam hal ke-madharat-an. Hanafi-pun memandang hukum ashl pada dasarnya mengindari madharat namun hanya letak perberbedaannya didalam medium redaksi kaidah, sedangkan esensi dari makna kaidah adalah sama (ibahah). Sebagaimana dijelaskan qawl rajih madzhab Hanafi justeru mengklaim bahwa asal segala sesuatu adalah ibahah, sama persis dengan pendapat Syafi’iyah. Dalil yang mereka juga sama dengan dalil yang digunakan Syafi’iyah. (al-Kharki adalah termasuk ashab Hanafi yang mengatakan bahwa hukum ashl adalah ibahah). (Lihat: al-Burnu, 1983: 112)
Menurut penulis inilah metode yang valid dan penalaran benar yang selaras dengan jiwa syariat dalam penetapan hukum untuk menghilangkan kesukaran dengan dalil-dalil yang pasti dan petunjuk-petunjuk jelas sebagaimana yang dipahami dari pemahaman eksplisit pendapat pertama dan kedua.

D.    Implementasi  kaidah ashl
Allah Swt memberikan nikmat dan akrunia kepada manusia beberapa organ Tubuh yang satu dengan lain saling berkaitan. Salah satu dari beberapa organ tubuh adalah gigi. Gigi yang kelihatannya sebagai organ yang sepele, sehingga banyak sekali orang yang belum memahami, akan kegunaan dan tidak berusaha untuk menjaga dan mempertahankan kesehatan giginya, yang mempunyai beberapa manfaat dan fungsi. Diantara manfaatnya membantu alat pencernaan untuk menghancurkan makanan yang sekiranya tidak bisa dicerna oleh organ pencernaan oleh organ yang ada didalam tubuh kita. Karena bisa kita bayangkan, bagaimana semua makanan langsung masuk kedalam saluran makanan tanpa dikunyah terlebih dahulu dengan gigi kita. Tentunya hal itu akan merepotkan organ yang ada didalam tubuh kita.
Fungsi lainnya adalah memper jelas huruf-huruf yang diucapkan. Karena orang yang giginya tidak sempurna pasti dia akan kesulitan dalam mengucapkan kalimat yang didalamnya terdapat huruf yang makhrajnya dengan gigi, sehingga akan mempengaruhi bacaan-bacaan yang diucapkan. Dalam praktek yang terjadi dimasyarakat banyak orang yang menggunakan kawat gigi maupun gigi palsu, kriteria pemasangan kawat gigi menurut penulis tidak boleh sembarangan dilakukan, karena akan mempunyai implikasi hukum yang berbeda, oleh karena itu perlu kita memberikan ketentuan dibolehkannya pemasangan kawat gigi tersebut antaranya;
Pertama Jika seseorang mempunyai gigi atas yang letaknya agak ke depan, atau menurut istilah orang Jawa “gigi moncong“ atau “gigi mrongos“,  yang kadang sampai tingkat tidak wajar sehingga mukanya menyeramkan, maka hal ini dikatagorikan gigi yang cacat, oleh karenanya boleh diobati dengan cara apapun, termasuk menggunakan kawat behel agar giginya menjadi rata kembali. yang  Kedua, Jika gigi seseorang kurang teratur, tetapi masih dalam batas yang wajar, tidak menakutkan orang, dan bukan suatu cacat atau sesuatu yang tidak  memalukan, serta pemakaian kawat behel dalam hal ini hanya sekedar untuk keindahan saja, maka hukum pemakaian kawat behel tersebut tidak boleh karena termasuk dalam katagori merubah ciptaan Tuhan. Berpijak dari kaidah imam Syafi’i;
  اَلْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ اَلْإِبَاحَةُ
Pada dasarnya pemasangat kawat gigi adalah trend kekinian yang belum ada nash yang menghukumi (Larangan, ibahah) kemudian untuk melihat kasus yang pertama, ketika kasus di sandarkan dengan kaidah imam Syafi’i maka hukumnya boleh dilakukan (ibahah) selain tidak ada nashnya tadi, lain dari pada itu adalah upaya untuk memperoleh kemudahan memper jelas huruf-huruf dalam mengucapkan kalimat yang didalamnya terdapat huruf yang makhrajnya dengan gigi. Sebagaimana disampaikan sebagian ulama’ syafi’iyah yang mengatakan bahwa yang asal pada hal-hal yang bermanfaat adalah pembolehan, dalam dalam hal madharat adalah haram. (Bisri, tth: 11).
 Sedangkan menurut Hanafi prakter tersebut juga menghukumi boleh, karena tidak ada madharat di dalamnya. Berpangkal dari kaidah;

  اَلْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِالتَّحْرِيْم حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيْلُ عَلَى الْإِبَاحَةُ
Kata al-tahrim disini dapat dimaknai sebagai larangan jika sesuatu itu menimbulkan madharat, jadi derajat al-tahrim tidak sampai derajat larangan secara mutlaq, sebagaimana pemasangan kawat gigi maupun gigi palsu yang permanen maka itu dapat di-hukumi ibahah (boleh).
Sebagaimana Syekh Sholeh Munajid, dalam memberikan fatwa tentang pemasangan gigi palsu :
 “Memasang gigi buatan sebagai pengganti gigi yang dicabut karena sakit atau karena rusak, adalah sesuatu yang dibolehkan tidak apa-apa untuk dilakukan. Kami tidak mengetahui seorangpun dari ulama yang melarangnya.  Kebolehan ini berlaku secara umum, tidak dibedakan apakah gigi itu dipasang permananen atau tidak, yang penting bagi pasien memilih yang sesuai dengan keadaannya setelah meminta pendapat kepada dokter spesialis. “ (www.Islamqa.com)
Sedangkan pada kasus yang kedua, hukumnya tidak diperbolehkan, walaupun berdasarkan kaidah syafii hokum asal adalah ibahah, hal tersebut dikarena adanya unsur memodifikasi secara disengaja, padahal ia telah diberikan kesempurnaan, sebagaimana hadis yang diriwayatkan Rosulullah Saw;
“Allah telah mengutuk orang-orang yang membuat tato dan orang yang minta dibuatkan tato, orang-orang yang mencabut bulu mata, orang-orang yang minta dicabut bulu matanya, dan orang-orang yang merenggangkan gigi demi kecantikan yang merubah ciptaan Allah.” (HR. Muslim)

III.    Kesimpulan
Prinsip yang diusung Imam Hanafi, segala sesuatu adalah “larangan” adalah segala sesuatu yang mengandung unsur madharat dan mafsadat.  Sebab madharat dan mafsadat tidak boleh dibiarkan, bahkan ditolak mutlak oleh syara’. Sehingga tidak mungkin dalam kondisi ini ketetapan hukum syara’ berpegang pada kaidah bahwa segala madharat dan mafsadat prinsip dasarnya adalah boleh.
Syafi’i dan Hanafi pada dasarnya tidak ada kesepakatan dalam hal ke-madharat-an. Hanafi-pun memandang hukum ashl pada dasarnya mengindari madharat namun hanya letak perberbedaannya didalam medium redaksi kaidah, sedangkan esensi dari makna kaidah adalah sama (ibahah). Sebagaimana dijelaskan qawl rajih madzhab Hanafi justeru mengklaim bahwa asal segala sesuatu adalah ibahah, sama persis dengan pendapat Syafi’iyah. Dalil yang mereka juga sama dengan dalil yang digunakan Syafi’iyah. (al-Kharki adalah termasuk ashab Hanafi yang mengatakan bahwa hukum ashl adalah ibahah).




DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin, 2010, Islamic Studies di Perguruan Tinggi,  Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet ke-2.
Al-Burnu, Muhammad Shidqi, 1983, al-Wajiz fi Iddlah al Qawaid, Muassasah al-Risalah.
Al-Jabiry, Muhammad Abid, 1989, Taqwin al-‘aql ‘Araby, Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-Arabiyah.
al-Lahji, ‘Abd Allah bin Sa’id Muhammad ‘Abbadi, 1410 H, ‘idlah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah. Surabaya: al-Hidayah,
al-Suyuthi, Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman, Tth, al-‘Asybah wa al-Nazha’ir fi  al-furu’. Surabaya: Al-haromain.
Ash-Siddieqy, Teungku Muhammad Hasbi,1997, Pengantar Hukum Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Az Zuhaili, Wahbah, 1997, Nazhariah Darurah Al-Syariyah (Muqaranah Ma’a al-Qonun Al-wadli’i), terj. Said Agil Husain Al-Munawar, Jakarta: Radar Jaya Pratama.
Biek, Muhammad Khudhori, 2007, Ushul al-fiqh, terj. Faiz el Muttaqien, Jakarta: Pustaka Amani.
Bisri, Moh. Adib, Tth, al-Faraid al-Bahiyah, Kudus: Menara Kudus.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahannya, Diterjemahkan oleh yayasan Penerjemah Al Qur’an, ed. Revisi, (Semarang: Toha Putra, 1995).
Djazuli, A, 2011, Kaidah-Kaidah Fikih; Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah Praktis, Jakarta: Prenada Media Group. Cet. Ke-4.
Durkeim, Emile, 1965, The Elementary Forms of The religious Life, New York: The Free Press.
Haque, Abdul, at al,  2009, Formulasi Nalar Fiqh; Telaah Kaidah fiqh konseptual, Surabaya: Kalista. Jilid I.,
Khallaf, Abdul Wahab, 1978, Ilmu Ushul Fiqh, terj, Moh. Zuhri et al, Semarang: Dina Utama.
Mubarak, Jaih, 1999, Kaidah Fiqh; Sejarah dan Kaidah-Kaidah Asasi, Bandung: Rosdakarya.
Philips, Abu Ameenah Bilal, 2000, The Evolution of Fiqh; Islamic Law and the Madhabs, terj. M. Fauzi Arifin, Bandung: Nusamedia.
Supriyadi, Dedi, 2008, Perbandingan Madzhab dengan Pendekatan Baru, Bandung: Pustaka Setia.
Suriasumantri, Jujun. S, 2009, Ilmu Dalam Perspektif, Jakarta: Yayasan Obor, Cet ke-17.
Wasil, Nasr Farid Muhammad, et al, 2009, al-Madkhal fi al-qawaid al-fiqhiyah wa atsaruhaa fi al-ahkam al-syariyah, terj. Wahyu Setiawan, Jakarta: Amzah



[1] Nalar bayani, dipopulerkan oleh al-Jabiry corak bayani didunkung oleh pola pikir fiqh. pola pikir tekstual bayani lebih dominan secara politis dan membentuk mainstream pemikiran keislaman yang hegemonic, sehinnga sulit berdialog dengan tradisi epistemologi irfani dan burhani. Sebagai akibatnya pola pemikiran keagamaan Islam model bayani menjadi kaku dan rigid. Otoritas teks dan otoritas salaf yang dibakukan dalam kaidah-kaidah metodologi ushul fiqh klasik lebih diunggulkan dari pada sumber otoritas keuilmuan yang lain. Lihat: al-Jabiry, Taqwin al-aql al-Araby, 1989: 172. Lihat juga Abdullah Amin, Islamic Studies, 2010: 200.