A.
Pendahuluan
Pemikiran liberal
(liberalisme) adalah satu nama di antara nama-nama untuk menyebut ideologi
Dunia Barat yang berkembang sejak masa Reformasi Gereja dan Renaissans yang
menandai berakhirnya Abad Pertengahan (abad V-XV). Disebut liberal, yang secara
harfiah berarti “bebas dari batasan” (free from restraint), karena
liberalisme menawarkan konsep kehidupan yang bebas dari pengawasan gereja dan
raja. (Adams, 2004:20). Ini berkebalikan total dengan kehidupan Barat Abad
Pertengahan ketika gereja dan raja mendominasi seluruh segi kehidupan manusia. Seiring
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta globalisasi politik,
budaya, ekonomi, isu demokrasi, keterbukaan membawa kecemasan dan tantangan
bagi umat Islam.
Tantangan
umat Islam sekarang ini persis seperti yang dihadapi jepang pada abad ke-18
dulu. Ketika itu, intelektual jepang dihadapkan pada pilihan yang sulit, apakah
meniru barat ataukah berpegang pada warisan Tokugawa yang menutup diri total
dari wahyu asing. Jepang menempuh jalur nekat yang tertnyata benar; tirulah
barat. Sebagian intelektual muslim selama peralihan abad ke-20 mengusulkan opsi
serupa, “tirulah barat karena disana terdapat hal-hal yang menjadi rahasia
kemajuan umat manusia”. Kalau kita baca Arabic
thought in Liberal age karya Albert haurani, akan tampak bahwa semangat
rasionalisme dan keinginan meniru barat begitu menonjol dalam kesadaran
intelektual Islam pada Abad ke- 19 dan awal abad ke-20. (Abdallah, 2006: 177)
Pada
abad tersebut virus liberalisme juga berhasil masuk ke kalangan cendikiawan
yang konon dianggap sebagai “pembaharu” “(mujaddid). Sehingga lahirlah beberapa pemikir revolusioner—liberal—seperti;
Ali Abdurraziq (1888-1966), Qasim Amin (1863-1908 M). Di abad 20 muncul
tokoh-tokoh yang tidak kalah liberalnya seperti; Fazlur Rahman (1919), Nasr
hamid Abu Zaid (1943), Muhammad Arkoun, Abdullah Ahmeed An-Naim, Muhammad
Syahrur (1938) dan lainnya (pengikutnya di Indonesia). Mereka mempunyai gagasan
yang liberal dalam kebangkitan pemikiran (Hukum) Islam. Terbukti dalam pemikirannya
berani menampilkan teori yang berbeda dengan doktrin ulama tradisional (klasik).
Mereka berpendapat syari’ah harus diterapkan dalam semua aspek kehidupan secara
fleksibel dan mereka cenderung terbuka dalam mengkaji Islam termasuk dengan
pendekatan yang berasal dari Barat (Jaenuri, 2004: 78).
Wacana-wacana
seputar masalah ini telah dikembangkan sebelumnya oleh kalangan orientalis
barat dan misionaris kristen yang ternyata semakin banyak diadopsi dalam rangka
melakukan proses sekularisasi dan liberalisasi Islam (Armas, 2003: xiii).
Pelbagai pandangan kalangan aktivis Islam liberal menunjukkan pengaruh
pemikiran orientalis yang begitu kuat kepada mereka dan dalam beberapa hal juga
sejalan dengan pemikiran yang dikembangkan oleh kalangan misionaris kristen ketika
memberi keraguan atas kebenaran Islam.
Dari
latar belakang tersebut maka muncullah pertanyaan yang hendak dijawab dalam
makalah ini, pertama, Bagaimana landasan Epistemologis dan tipologi Liberalisme
Islam. Kedua, Bagaimana pengaruh liberalisme terhadap pemikiran (Hukum)
Islam.
B.
Landasan
Epistemologis Liberalisme Islam
Liberalisme berakar dari akar kata liber yang artinya ‘bebas’
atau ‘bukan budak’. Kata ini menunjuk pada ideologi atau pandangan filsafat yang
senantiasa meninggikan kebebasan dan hak-hak individu (Musahadi, 2010: 28).
Jadi liberalisme adalah suatu paham yang berusaha memperbesar wilayah individu
dan mendorong kemajuan sosial. Liberalisme merupakan paham kebebasan, artinya
manusia memiliki kebebasan atau kalau kita lihat dengan perspektif folosofis,
merupakan tata pemikiran yang landasan pemikirannya adalah manusia yang bebas.
Bebas karena manusia mampu berfikir dan bertindak sesuai dengan apa yang
diinginkan (Rachman, 2010: 321).
liberal sebagai paham pemikiran yang optimis tentang manusia.
Prinsip-prinsip liberalisme adalah kebebasan dan tanggung jawab. Tanpa adanya
sikap tanggung jawab tatanan masyarakat liberal tak akan bisa terwujud. Namun
demikian liberalisme tanpa kritik, tatapi walau demikian ia merupakan pilihan
paling logis di dunia politik dewasa ini. Salah satu agenda liberalisme adalah
mengedepankan rasio dan kesadaran sosial para individu untuk menunaikan
kewajiban-kewajibannya (Bolkestein, 2006: 54).
Dalam ajaran Islam. Sebagian orang ada yang membatasi pola
berpikirnya dalam batas-batas tauhid, sebagai konklusi ajaran agama Islam. Bagi
madzhab rasionalism Kedengarannya aneh, mengapa berfikir hendak dibatasi.
Apakah Tuhan itu takut dengan rasio yang diciptakan oleh Tuhan itu sendiri? Tuhan bukan daerah terlarang bagi pemikiran.
Tuhan ada bukan untuk tidak dipikirkan “adanya”. Tuhan bersifat wujud bukan
untuk kebal dari sorotan kritik. Karena sesungguhnya orang yang mengakui
ber-Tuhan, tetapi menolak berfikir bebas berarti menghina rasionalitas eksistensinya
Tuhan. Jadi dia menghina Tuhan karena kepercayaannya sekedar kepura-puraan yang
tersembunyi.
1.
Liberalisme
Keagamaan; Perspektif Barat (Kristen)
Pemikiran liberal mempunyai akar sejarah sangat panjang dalam
sejarah peradaban Barat yang Kristen. Pada tiga abad pertama Masehi, agama
Kristen mengalami penindasan di bawah Imperium Romawi sejak berkuasanya Kaisar
Nero (tahun 65). Kaisar Nero bahkan memproklamirkan agama Kristen sebagai suatu
kejahatan. (Idris, 1991:74). Menurut Abdulah Nashih Ulwan (1996:71), pada era
awal ini pengamalan agama Kristen sejalan dengan Injil Matius yang menyatakan,”Berikanlah
kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar dan berikanlah kepada Tuhan apa
yang menjadi milik Tuhan.” (Matius, 22:21).
Namun
kondisi tersebut berubah pada tahun 313, ketika Kaisar Konstantin (w. 337)
mengeluarkan dekrit Edict of Milan untuk melindungi agama Nasrani.
Selanjutnya pada tahun 392 keluar Edict of Theodosius yang menjadikan
agama Nasrani sebagai agama negara (state-religion) bagi Imperium
Romawi. (Husaini, 2005:31). Pada tahun 476 Kerajaan Romawi Barat runtuh dan
dimulailah Abad Pertengahan (Medieval Ages) atau Abad Kegelapan (The Dark
Ages). Sejak itu Gereja Kristen mulai menjadi institusi dominan. Dengan
disusunnya sistem kepausan (papacy power) oleh Gregory I (540-609 M),
Paus pun dijadikan sumber kekuasaan agama dan kekuasaan dunia dengan otoritas
mutlak tanpa batas dalam seluruh sendi kehidupan, khususnya aspek politik,
sosial, dan pemikiran. (Idris, 1991:75-80; Ulwan, 1996:73).
Abad Pertengahan
itu ternyata penuh dengan penyimpangan dan penindasan oleh kolaborasi Gereja
dan raja/kaisar, seperti kemandegan ilmu pengetahuan dan merajalelanya surat
pengampunan dosa. Maka Abad Pertengahan pun meredup dengan adanya upaya koreksi
atas Gereja yang disebut gerakan Reformasi Gereja (1294-1517), dengan tokohnya
semisal Marthin Luther (w. 1546), Zwingly (w. 1531), dan John Calvin (w. 1564).
Gerakan ini disertai dengan munculnya para pemikir Renaissans pada abad XVI
seperti Machiaveli (w. 1528) dan Michael Montaigne (w. 1592), yang menentang
dominasi Gereja, menghendaki disingkirkannya agama dari kehidupan, dan menuntut
kebebasan.
Selanjutnya
pada era-Pencerahan (Enlightenment) abad XVII-XVIII, seruan untuk
memisahkan agama dari kehidupan semakin mengkristal dengan tokohnya Montesquieu
(w. 1755), Voltaire (w. 1778), dan Rousseau (1778). Puncak penentangan terhadap
Gereja ini adalah Revolusi Perancis tahun 1789 yang secara total akhirnya
memisahkan Gereja dari masyarakat, negara, dan politik. (Qashash, 1995:30-31).
Sejak itulah lahir sekularisme-liberalisme yang menjadi dasar bagi seluruh
konsep ideologi dan peradaban Barat.
Liberalisme dalam agama Kristen menjadi spirit liberalisme pada
tahun 1879. Pada abad ke XIX, gereja jesuit di Belgia memberikan inspirasi bagi
liberalisme para penganut kristen di Inggris. Revolusi prancis yang telah
membawa kemapanan sosial ternyata ternyata mendorong adanya kontrak antara negara
sebagai penegak hukum dengan masyarakat. Penyatuan penyatuan akan kepercayaan
keberagaman sangat variatif, dimana disana juga dijumpai adanya skeptisisme akan
ekspresi kebenaran. Dari sana kemudian diperdebatkan antara koherensi
doktrin-doktrin agma sengan kekuatan histoirsnya sehingga memunculkan kesadaran-kesadaran
baru.
Akan tetapi, pengaruh liberalisme yang paling dominan terhadap
agama kristen dapat dilihat pada adanya kritik-kritik yang dialamatkan pada
al-kitab. Kritik tersebut berwujud tekstual criticism ini dianggap
sebagai kritik yang produktif, sementara Literary criticism cenderung
dianggap membahayakan karena dinilai telah merobek-robek alkitab itu sendiri.
Karena para pengkritik al-kitab melancarkan serangan terhadap al-kitab sehingga
memunculkan keraguan terhadap al-kitab, yang disesbkan karena deisme. Dengan
pengaruh deisme manusia tidak perlu merujuk kepada kebenaran wahyu (Daun
dalam zuly Qodir, 2012: 70).
Kaum liberal sebenarnya bermaksud ingin memodern-kan pemikiran teologi
kristen. Mereka beranggapan dengan berkembangan zaman, peraturan yang
ditetapkan pleh gereja tidak lagi relevan. Oleh karena itu perlu mamahami dan menyelidiki
kebenaran al-kitab. Kaum liberal juga
tidak mau tunduk di bawah suatu otoritas gereja untuk menerima pengakuan iman. Maka
mereka berpendirian bahwa iman harus diuji dengan rasio dan pengalaman. Oleh
sebab itu, dengan berdasarkan pertimbangan kemampuan dan perasaan yang dimiliki
maka manusia harusnya mampu menyelidiki sifat-sifat tuhan sehingga ada
keterbukaan pada manusia pada sumber-sumbernya. Orang beriman tidak harus
tunduk pada satu otoritas dalam menafsirkan kitab suci, sebab hasil dari sebuah
penafsiran sangat tergantung pada perspektif mana yang dipergunakan (Qodir, 2012:
72).
2.
Liberalisme
Keagamaan; Perspektif Islam
Kalau betul-betul Islam membatasi kebebasan berfikir. Maka
sebaiknya perlu ditinjau ulang dasn dipikirkan matang-matang anutan
(ketundukan) kita terhadap Islam. Maka hanya ada dua al-ternatif menjadi muslim
sebagian atau setengah-setengah, atau bahkan menjadi kafir. Namun agaknya
sampai sekarang Tuhan tidak membatasi, dan Tuhan akan bangga terhadap otak-otak
manusia yang selalu bertanya, tentang Dia. Karena orang-orang yang berfikir,
walaupun hasilnya salah, jauh lebih baik dari pada orang-orang yang tidak
pernah salah karena tak pernah berfikir. Dan mengapa orang-orang begitu phobi
dengan pemikiran bebas. Bukan-kah material itu hanya suatu translasi (pemudahan)?.
Walaupun itu ada kemungkinan efek jeleknya, tapi kegunaanya akan jauh lebih
besar daripada madharatnya. Malahan orang yang takut untuk berfikir bebas itu
ditimpa oleh ketakutan dan keraguan akan kepura-puraannya yang sudah tak
terlihat.
Dia ragu untuk berkata bahwa ada suatu pikiran yang dia benamkan dibawah
sadarnya. Pikiran yang dia benamkan ini ia larang untuk mencul dalam kesadarannya.
Padahal dengan berfikir bebas manusia akan lebih banyak tahu tentang dirinya
sendiri. Manusia akan lebih banyak tahu tentang kemanusiaannya. Mungkin akan
ada orang yang mengemukakan bahaya dari orang berfikir yaitu, orang yang
berpikir bebas itu cenderung atau bahkan bisa jadi atheis. Betulkah? Orang yang
sama sekali tidak berpikir juga bisa atheis! Lebih baik atheis karena berpikir
bebas dari pada atheis karena tidak berpikir sama sekali “meskipun sama-sama
jelek”.
Dengan berpikir bebas bisa slah hasilnya. Dengan tidak berpikir
bebas juga bisa salah hasilnya. Lalu mana yang lebih potensial untuk tidak
salah? Dan mana yang lebih potensial untuk menemukan kebenaran-kebenaran baru? Untuk
menjawab pertanyaan tersebut tentuk memerlukan kerja otak untuk berpikir. —Walupun
tidak
mendewakan otak seperti mark sehingga seolah-olah absolut—karena kekuatan
berpikir manusia itu ada batasnya, tapi siapa yang tahu batasan itu. Otak atau
pikiran sendiri tidak bisa menentukan sebelumnya.
Liberalisme keagamaan dalam konteks Islam memiliki banyak
kemungkinan makna. Pertama, pengembangan pemikiran dan sikap rasional dalam
memaknai ajaran agama. Kedua, Kebebasan untuk menafsirkan teks-teks keagamaan
tanpa terikat pada satu madzhab tertentu dalam agama. Ketiga, keyakinan
bahwa semua agama pada dasarnya sama, yakni menganjurkan kebajikan dan mendukung
nilai-nilai universal kemanusiaan. Keempat, memperkuat upaya
sekularisasi agama dalam arti memisahkan hal-hal yang profan dari yang sakral.
Dalam konteks Islam khususnya ketika mengacu pada sumber doktrin keagamaan,
liberalisme Islam tidak memiliki perbedaan dengan ideologi atau gerakan Islam
lainnya (miasalnya fundamentalisme Islam), karena keduanya sama-sama meyakini adanya
tuhan dan para rosul-Nya; juga meyakini al-Qur’an dan sunnah rosulullah sebagai
sumeber doktrin keagamaan. Pada tataran ini, tidak ada karakteristik ciri
khusus antara beragam paham keagamaan di dunia Islam. Perbedaan justru terletak
pada unsur-unsur luar keagamaan, sperti interpretasi teks-teks keagamaan yang
dilakukan kalangan agamawan atau kelompok tertentu, teologi keagamaan, ideologi
politik-keagamaan dan sebagainya.
Pada sapek interpretasi teks keagamaan, liberalisme Islam memiliki
tiga karekteristik, petama, bercorak subtantif, yaitu memahami ajaran
agama tidak pada sebatas nalar skriptif (catatan teks) tetapi lebih pada
pencarian makna yang lebih substansial dibalik teks (behind the teks). Bercorak
kontekstual, yaitu memaknai teks-teks keagamaan berdasarkan beragam konteks yang
melatarinya. Ketiga, bercorak rasional, yakni memaknai ajaran agama berdasarkan
nalar yang sehat yang objektif.
Ketiga interpretasi teks keagamaan yang menjadi ciri utama liberalisme
Islam itu, secara bersamaan, dapat digunakan pada beberapa kasus yang dimuat
dalam kitab al-Qur’an—pembagian warisan 1:2 bagi ahli waris perempuan pada Qs.
An-Nisa 4: 11, kasus perbudakan Qs. An-Nisa, 4: 92 dan Qs al-Maidah 5: 89,
Kasus potong tangan bagi pencuru, pada Qs. Almaidah, 5: 38, dan kasus pembagian
1/5 harta rampasan perang (ghanimah) sahabat Umar termasuk yang mengubah
dari 1/5 manjdi 1/3 dengan menghilangkan hak Rosulullah saw dan kerabatnya dari
banu Hasyim dan Banu Muthollib. Sementara 4/5 dari ghanimah tetap
diberlakukan bagi bala tentara yang berperang.
Ketiga karakteristik interpretasi teks keagamaan tersebut pernah
diupayakan beberapa tokoh pemikir (Hukum) Islam. Seperti Syahrur, dengan teori huduiyah-nya,
Fazlur Rahman dengan Dauble Movemen, M. Iqbal dengan, The principle of
the movement, dan lain-lain.
Dengan demikian, jika seorang melakukan interpretasi teks-teks
keagamaan dengan mengacu pada ketiga karakteristik tersebut, berarti dia telah
melakukan unsur-unsur liberalistik dalam penafsirannya. Rujukan lain yang
sering dikaitkan dengan liberalisme Islam adalah teologi rasional dan beberapa
tokoh memaksimalkan peran peran dan fungsi akal dalam kehidupan
sosial-keagamaan.
C. Tipologi
Islam Liberal
Liberalisme adalah pandangan yang membebaskan diri dari
otoritarianisme agama, meminjam istilah Khaled Aboe el-Fadl—Prof Hukum Islam di
fakultas Hukum UCLA, Amerika Serikat[1]—yaitu
yang berbentuk ortodoksi sebagai hasil dari himpunan konsensus-konsensus besar dalam
pemikiran Islam dibidang fiqih, kalam, filsafat dan tasauf yang telah
menghegemoni dan menghiasi keberagaman umat Islam (Raharjo, 2010: xliii).
Dalam
melakukan penafsiran, mereka menggunakan prinsip-prinsip etis al-Qur’an sebagai
standar utamanya. Artinya, jika ada ayat-ayat yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip etis tersebut maka ayat-ayat itu harus dipahami berdasarkan
prinsip etis itu atau kalau tidak bias, dinyatakan batal sama sekali.
Prinsip-prinsip etis yang dimaksud adalah etika keadilan, kemaslahatan,
pembebasan, kebebasan, persaudaraan, perdamaian, dan etika kasih sayang.
Sebagai contoh, jika al-Qur`an mengajarkan prinsip persaudaraan antara sesama anak
Adam, maka ayat-ayat al-Qur`an yang membeda-bedakan antara pemeluk Islam dan
non-Islam dinyatakan batal disebabkan bertentangan dengan prinsip etis
persaudaraan tersebut
Kurzman, mengidentifikasi tiga bentuk utama Islam liberal, hal ini
melibatkan hubungan liberalisme dengan sumber-sumber primer Islam (al-Qur’an
dan Sunnah) yang secara bersamaan menetapkan dasar hukum Islam (syari’at). Pertama,
menggunakan posisi atau sikap liberal sebagai sesuatu yang secara eksplisit
didukung oleh syari’at. Kedua, menyatakan bahwa kaum muslimin bebas mengadopsi
sikap liberal dalam hal-hal yang oleh syariat di biarkan terbuka untuk dipahami
oleh akal budi dan kecerdasan manusia. Ketiga, memberikan kesan bahwa
syariat Islam bersifat illahiyah, ditujukan bagi berbagai penafsiran manusia
yang beragam. Kurzman menyebut ketiga bentuk ini dengan syariat yang liberal,
silent dan interpretated. (Kurzman, 1998: xix-xx).
Pertama, liberal
syari’ah (syari’ah yang liberal). Menurut kelompok ini, syari’ah jika dipahami
dengan benar, sifatnya sudah liberal. Islam dari sejak awal mempunyai solusi
umum atas problem kontemporer seperti pluralisme, sekularisme, demokrasi, HAM,
feminisme, dan lainnya. Bahkan kelompok yang ini, menurut Budhy, sering
berapologi bahwa liberalisme dalam Islam sudah ada lebih dulu daripada
liberalisme Barat. Bukti yang sering dijadikan dalil oleh mereka adalah
penghargaan atas pluralitas agama, demokrasi, HAM, dan masyarakat sipil sudah
dipraktikkan oleh Nabi saw pada masyarakat Madinah waktu itu. Bukti lainnya
adalah khutbah wada’ yang menurut mereka memuat pesan-pesan humanis
(kemanusiaan) dan egaliter (persamaan). Selain itu ajaran syura yang
menurut mereka merupakan implementasi dari demokrasi.
Kedua, silent
syari’ah (syariat yang diam mengenai masalah itu). Berbeda terbalik dengan
kelompok liberal syari’ah, kelompok ini menilai bahwa syari’at Islam tidak
banyak bicara mengenai isu-isu kontemporer, oleh karenanya harus dipikirkan
secara kreatif. Di antara tokohnya adalah Harun Nasution. Menurutnya, ayat
al-Qur’an berjumlah 6000-an, tetapi yang mengatur kehidupan sosial sekitar
500-an. Banyak sekali persoalan kehidupan yang tidak disinggung al-Qur’an,
termasuk persoalan-persoalan kontemporer seperti telah disebutkan di atas. Bahkan
menurut kelompok ini, al-Qur’an justru banyak bertentangan dengan nilai-nilai
liberal, seperti diwenangkannya pemilikan budak, penebusan tawanan perang, dan
pemotongan organ tubuh pelaku kriminal.
Ketiga, interpreted syari’ah (syari’at yang perlu ditafsirkan ulang).
Kelompok ini, menurut Budhy, adalah kelompok Islam Liberal yang paling banyak
dijumpai di negara Muslim. Kelompok ini mengedepankan satu epistemologi yang
menegaskan perlunya keragaman dalam menafsirkan teks-teks keagamaan. Sebab
syari’at tidak langsung turun dari Allah, tetapi selalu merupakan penafsiran
manusia atas apa yang diturunkan oleh Allah swt. Dalam perspektif Barat,
golongan ini paling dekat dengan sensibilitas liberalisme Barat. Dan usaha
untuk mencari otentisitas Islam lebih terlihat kesungguhannya pada golongan ini.
Dari ketiga bentuk tersebut kata Kurzman, bentuk ketiga argumentasi
Islam liberal yang paling dekat dengan perasaan atau pemikiran-pemikiran
liberal Barat, berpendapat bahwa syariah ditengahi oleh penafsiran manusia.
Dalam pandangan ini syariat merupakan hal yang berdimensi ilahiyah, sedangkan
penafsiran-penafsiran manusia dapat menimbulkan konflik dan kekeliruan. Bentuk
ini mengingkari klaim yang menyatakan bahwa pengetahuan ortodoks pernah
mencapai kata akhir. “memaksakan penyeragaman penafsiran secara absolut adalah
tidak mungkin dan tidak diperlukan. Perbedaan pendapat yang keberadaannya
sangatlah berarti, harus diberi nilai positif yang tinggi (Kurzman, lx).
Ada enam gagasan yang dapat dipakai sebagai tolak ukur sebuah
pemikiran Islam dapat disebut “liberal”. Pertama, Melawan teokrasi;
ide-ide yang hendak mendirikan negara Islam. Kedua, mendukung gagasan
demokrasi. Ketiga, membela hak-hak perempuan. Keempat, membela
hak-hak non-muslim. Kelima, membela kebebasan berfikir. Dan terakhir. Keenam,
membela gagasan kemajuan (Kurzman, xlii). Siapapun saja yang membela salah
satu gagasan di atas, maka—bolehlah—ia disebut sebagai seorang penganut Islam liberal.
Gagasan Islam liberal berusaha memadukan Islam dengan situasi
modernitas sebagai sesuatu yang tak dapat dielakkan, sehingga Islam tetap mampu
menjawab perubahan sosial yang secara terus menerus terjadi. Islam harus tetap
menjadi pengawal menuju realitas kesejahteraan yang hakiki ditengah pergolakan situasi
modernitas dan globalisasi.
D. Pergolakan
Pemikiran; Liberalisme (Hukum) Islam
Pembebasan atau liberasi dalam liberalisme ini terjadi di dua
wilayah. Pertama wilayah iman. Kedua wilayah pemikiran. Menurut
paham liberalisme, iman dan akidah adalah wilayah individu yang memiliki
otonomi. Sehingga berimplikasi pada kebebasan beragama. Dalam wilayah pemikiran,
liberalisasi pemikiran Islam menghadapi isu-isu global, misalnya Demokrasi, human
right, kesetaraan gender, kesetaraan agama-agama dan hubungan antar agama
tidak lagi terikat pada paradigma lama dan tidak pula terikat pada teks yang
tidak bisa berubah dan tidak bisa diubah itu, malainkan percaya pada akal budi manusia
sebagai anugrah Tuhan dalam merumuskan solusi terhadap maslah-masalah
kontemporer itu (Raharjo, 2010: xliv).
Liberalisme merupakan masalah kebebasan berfikir yang sebenarnya
merupakan isu klasik dalam sejarah pemikiran Islam. Isu itu mula-mula dilontarkan
oleh Nabi saw sendiri, ketika mewawancarai muadz ibn Jabal, ketika akan
diangkat menjadi Gubernur Yaman (Khallaf, 12). Estafet pemikir (Hukum) Islam liberal
selanjutnya merupakan orang yang sangat tegas akan tetapi tetap berpijak pada maqasid
al-syari’ah, Khalifah yang paling inspiratif —dibandingkan ketiga khalifah
lainnya—dan tidak rigid dalam pengambilan hukum serta lebih menakankan semangat
jiwa al-Qur’an dan Sunnah ketimbang teks, yaitu Umar bin Khattab. Dalam ijtihad
umar miaslnya posisi akal menempati urutan pertama sehingga ia dikenal sebagai
pembawa madzhab ra’yi yang hingga kini ijtihad umar bin khattab
dipandang cukup kontroversial. Masa lalu Islam adalah masa lalu yang dinamis dan
senantiasa progresif—tergambarkan dalam beberapa kasus yang diselesaikannya seperti;
tidak menghukum orang tertangkap tangan sedang mencuri, tidak membagikan zakat
kepada orang yang baru masuk islam (muallaf) dan lain sebagainya—sehingga
lahirlah mengenai fiqh umar bin Khattab yang dinilai banyak sarjana muslim
menyimpang dari wahyu tetapi mengandung asas manfaat dan keadilan.
Sebagai ilustrasi dinamisnya Islam masa lalu, Muhammad Iqbal
(1877-1938) dalam bukunya Recontruction of Religious Though in Islam mengemukakan
sebuah data yang mencengangkan; menurutnya antara tahun 800-1100 tak kurang
dari 100 sistem teologi muncul dalam Islam. (Muttaqin, www.islamlib.com). Iqbal menggunakan metode dalam penggalian hukum Islam. Metode
yang dimaksud bersumber pada usaha ijtihad, yang oleh Muhammad Iqbal dianggap
sebagai The principle of the movemen dalam gerakan pemikiran Islam
(Iqbal, 1989: 117).
Sebagimana Iqbal, Fazlur rahman (1919-1988) juga menguraikan bahwa generasi
awal muslim menganggap ajaran al-Qur’an dan sunah dari nabi (Sunnah of the
Prophet) sebagi sesuatu yang statis, tetapi secara esensial sebagai sesuatu
yang bergerak secara kreatif melalui bentuk-bentuk sosial yang berbeda. Rahman
menganggap aktualisasi kehidupan Nabi sebgai sarana yang sangat penting dalam
memahami al-Qur’an. Dalam kerangka ini dinamika nilai al-Qur’an menemukan
momentumnya. Karena itu, reduksi kehidupan nabi yang aktual kedalam
rumusan-rumusan al-Qur’an yang dianggap standar akan mematikan semangat asli
kitab suci itu. Rahman adalah tokoh neo-Modernisme Islam dan penggagas utama
yang menjabarkan nilai-nilai Islam ke dalam kerangka pemahaman yang religius humanitarianistik.
Sehingga hasil yang paling tampak adalah nilai-nilai Islam liberal namun tetap
ortodoks (Rachman 2010).
Baik Islam liberal maupun paradigma noe-modernisme berangkat dari
latar belakang yang sama yaitu modernisme Islam. Pemikiran neo-modernisme telah
menghasilkan metodologi Hukum Islam yang sempurna. Yang digali dari al-Qur’an dan
sunnah (preseden) dengan menggunakan metodologi yang mengarah kepada liberalisme.
Namun lanjut Rahman, gerakan revivalisme menghidupkan kembali makna dan
pentingnya norma-norma al-Qur’an disetiap masa. Mereka adalah kelompok
pra-modern “Fundamentalis-tradisionalis-konservatif” yang memberontak melawan
penafsiran al-Qur’an yang digerakkan oleh tradisi keagamaan, sebagai perlawan
terhadap penafsiran yang disandarkan terhadap hermeneutika al-Qur’an antar-teks
(inter-textual) (Rahman, 2000: 14).
Rahman menggunakan istilah kebangkitan kembali ortodksi untuk
kemunculan gerakan fundamentalisme Islam ini. Karena fundamentalisme adalah fakta global dan muncul
pada semua kepercayaan sebagai tanggapan atas masalah-masalah modernisasi[2]
(Amstrong, 2002: 193).
Metodologi yang dikembangkan Rahman—dauble Movement—meliputi
dua tahap; pertama, etika al-Qur’an dan tahap kedua, sosiologis—dua
tahap ini merupakan kerja besar. Misalnya rahman sendiri, contoh usaha etika
al-Qur’an lebih intensif ketimbang tafsiran sosiologis al-Qur’an atas tafsiran
kontemporer. Ini terbaca dalam buku utamanya Major Themes of The Qur’an (1980).
Sementara tafsir sosiologisnya hanya meliputi problem-problem mikro masyarakat
Islam seperti ordonansi Hukum Islam (Keluarga Islam, keluarga berencana, riba
dan bunga bank, Zakat sebagai pajak, sembelihan mesin, soal sunah, hadis dan
wahyu).
Dari hal itu prinsip-prisip umum atau ratio legis yang
dihasilkan gerakan vertikal inilah yang kemudian disebut Rahman sebagai hukum
ideal (ideal law) yang mengandung prinsip-prinsip etika dan harus
dibedakan dari aturan-aturan hukum (legal law). Menurut Rahman, hukum
ideal atau prinsip-prinsip moral ini merupakan representasi kehendak ilahi yang
sesungguhnya, sedangkan aturan-aturan hukum yang spesifik harus dipandang
sebagai kontekstualisasi hukum ideal itu dalam lingkungan yang spesifik. Rahman
kemudian berusaha mengeksplorasi hukum yang ideal dengan menjabarkan hermeneutika
al-Qur’an dengan sebuah metode yang ia namakan “metode penafsiran sistematis” (The
systematic interpretation method) (Rahman, 1970: 329) yang secara tekshnis
meliputi dua gerakan ganda (dauble movement) yang substansinya berisi
penafsiran from the present situation to Quranic time, then back to the
present. (ibid, 5)
Dalam dunia intelektual, konsep Rahman ini telah membuka suatu
studi yang serius terhadap penggalian hukum Islam (ijtihad). Yang menurut
rahman ijtihad adalah jihad intelektual, yakni “the effort to understand the
meaning of relevan text or presedent in the past, containing a rule, and to
alter that rule by extending or restricting or otherwise modifying it in such a
menner that a new situasions can be subsumed under it by a new solusion (Rahman,
1982: 8). Definisi semacam ini merefleksikan suatu ruang yang sangat lebar yang
memungkinkan kretifitas intelektual manusia dalam menagkap makna teks-teks
dalam preseden hukum masa lalu untuk suatu kebutuhan hukum yang berbeda di masa
kini karena adanya muatan baru atau kecenderungan baru. Muatan baru ini boleh
jadi mengharuskan munculnya rumusan hukum yang baru tetapi harus dicarikan akar
pijakan pada teks maupun preseden hukum dimasa lalu dengan melakukan perluasan makna
ataupun pembatasan makna (Musahadi, 2010: 142).
Tokoh hukum
Islam yang tidak kalah liberalnya adalah Muhammad Shahrur, satu dari sekian
banyak intelektual Arab kontemporer, yang sedikit banyak mewarnai dialektika
pemikiran Arab kontemporer. Khususnya melalui karya monumentalnya yang berjudul
al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mua’shirah,[3]
Shahrur berupaya menggugat monopoli pembacaan teks suci dan berupaya
meruntuhkan metode yang ditawarkan ulama klasik yang cenderung unscientific[4].
Gugatan tersebut tidak serta-merta diarahkan pada ulama klasik yang karyanya
menempati posisi yang berharga di masanya, melainkan kepada generasi
selanjutnya yang memposisikan turaœ pada wilayah yang tak dapat didebat (ghairu
qabil lin-niqas). Konsekuensinya, mereka sulit melepaskan diri dari jeratan
masa lalunya dan mereka menduga bahwa produk pemikiran pendahulunya melampaui
ruang dan waktu (shalih li kulli zamanin wa makanin).
Dalam
konteks ini, Shahrur memetakan dua model aliran yang berkembang dalam
masyarakat Arab saat ini. Pertama, skripturalis-literalis. Kelompok ini
secara ketat dan kaku berpegang pada warisan masa lalunya. Khazanah yang telah
mereka warisi dari pendahulunya diduga menyimpan kebenaran absolut. Oleh
karenanya, menghadirkan masa lalu untuk menyelesaikan problem saat ini
merupakan hal yang diidamkan.
Kedua, kelompok
yang menyerukan sekularisme dan modernitas. Kelompok ini secara a priori
menolak warisan Islam. Pemimpin kelompok ini adalah kaum marxis, komunis, dan
beberapa kelompok pengagum nasionalisme Arab. Dalam kenyataannya, kelompok ini
gagal memenuhi janjinya untuk menyediakan modernitas bagi masyarakatnya,
mengingat kata Shahrur, persoalan Arab saat ini bukanlah sekularisme (atau
modernitas) melainkan demokrasi. Dengan demokrasi diandaikan tercipta ruang
publik (public sphere) yang bebas bagi munculnya bursa gagasan dan
dengan demikian bisa menghargai pluralitas.
Melengkapi
dua taksonomi tersebut, Shahrur menambah satu model yang mencoba menengahi dua
kecenderungan di atas, yaitu kembali ke teks (return to texts), sembari
memposisikan dirinya sebagai pengusung kelompok ini. Apa yang dimaksud dengan
kembali ke teks menurut Shahrur adalah upaya membaca kitab suci dengan
perangkat epistemologi yang diturunkan dari teks suci. Tentu saja, “kembali
kepada teks” menurut Shahrur akan berbeda dengan apa yang dipahami kelompok
islamisis, atau dalam istilah Kurzman, revivalist Islam yang selalu menggunakan
slogan “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah”. Karena alasan ini, Kurzman
memasukkan Shahrur dalam kategori liberal Islam, sebuah kategari pemikiran yang
berlaku kritis baik terhadap customary Islam maupun revivalist Islam (Sjadzili,
islamlib.com).
Bagi
kalangan yang kontra, gagasan dekonstruktif Shahrur dinilai sebagai an enemy
of Islam dan “a western zionist agent”. Gugatan terhadap bukunya,
sempat mewarnai polemik di berbagai media, baik cetak maupun elektronik di
Timur Tengah. Dr. M. Sa’id Ramdlan al-Buthy, misalnya, disebuah jurnal Timur
Tengah Nahjul Islam menulis gugatan dengan tajuk—al-khilafiyah al-yahudiyah li Syi’ari Qira’ah Mu’asirah—Lebih
lanjut Dr. Syauqi Abu Khalil sembari
mengulangi gugatan al-Buthy menganggap karya Shahrur sebagai perpanjangan
tangan zionis (tanfidlan liwashiyati al-shahyuniyah). Sementara gugatan
yang berbentuk buku dapat disebut misalnya, Salim al-Jabi, MA. Melalui bukunya
yang bertajuk Al-Qira’ah al-Mu’ashirah li al-Duktur Shahrur: Mujarradu
Tanjimin (3 Volume) (1991), Al- Jabi menganggap karya Shahrur “hanyalah
dugaan semata” (mujarradu tanjimin). Gugatan serupa dilancarkan oleh
Thahir al-Syawwaf. Melalui bukunya, Tahafutu al- Qira’ah al- Mu’ashirah
(1993) menilai karya Shahrur telah “diracuni” idiom-idiom dan retorika Marxian.
Selain itu, Jamal al-Banna juga menulis sebuah catatan dalam salah satu seri
bukunya, Nahwa Fiqhin Jadîdin (t.t); Nasr Hamid Abu Zayd dalam bagian bukunya
yang berjudul al-Nasshu, al-Sulthah, al-Haqiqah: Bayna Iradati al-Ma’rifah
wa Iradati al-Haymanah dan Dawa’iru al-Khau: Qira’ah fi al-Khithab
al-Mar’ah.
Selain itu,
tudingan yang tidak kalah pedasnya, sebagaimana diungkapkan Dale F. Eickelman
bahwa pada tahun 1993, seorang penjual buku di Kuwait menganggap bahwa buku
Shahrur “lebih berbahaya daripada Satanic Verses-nya Salman Rusydie, mengingat
Shahrur menulis karya tersebut dalam kapasitasnya sebagai pemeluk Islam
sebagaimana kita”. (Dale F. Eickelman dan James Piscatori, 1996). Anggapan
bahwa pemikirannya berbahaya, menyebabkan sebagian pemerintah negara-negara
Arab, semisal Arab Saudi, Mesir, Qatar, dan Emirat Arab secara resmi melarang
peredaran buku tersebut di negaranya karena dianggap membawa “virus” liberal (www.islamlib.com).
Dari
beberapa pemikir juris Islam yang penulis kemukakan diatas nampak girah
dari para reformis untuk membebaskan pemikiran dari kungkungan keabadian
teks yang dinilai tak lekang oleh zaman. Untuk itu paling tidak ada dua hal
yang mempengaruhi watak liberal reformis (Hukum) Islam. Pertama pengaruh
dari Barat. Sifat mendasar
dari watak reformis (Hukum) liberalisme (kontemporer) diilhami oleh watak
liberalisme Barat. karena meratanya pengaruh Barat juga merupakan kenyataan
yang kuat. Saluran-saluran yang menjadi jalan masuknya pengaruh ini tak
terhitung banyaknya—struktur politik, mekanisme pemerintahan dan pengadilan,
ketentraman media massa, pendidikan modern, film, pemikiran modern, dan di atas
segalanya, hubungan langsung dengan masyarakat Barat itu sendiri (Rahman, 2000:
313-314). Bersamaan dengan hal tersebut reformis (Hukum) mati-matian berjuang
ke arah perubahan sosial-budaya dan penyesuaian dengan etika sosial yang baru.
Dalam kritik Barat modern atas way of life Islam, dalam pemikiran Hukum
Islam modern sendiri dan dalam appologetika yang menyusul, sesungguhnya tempat
sentral diduduki oleh lembaga-lembaga sosial Islam tradisional—khususnya
Hukum-hukum perkawinan dan perceraian Islam dan kedudukan wanita di masyarakat
pada umumnya—Isu yang terakhir ini telah demikian tertanam dalam pemikiran
Barat, hingga hampir-hampir semua yang diketahui oleh orang awam di Barat
tentang Islam secara praktis dapat di ringkas dalam dua kata “Poligami” dan
“harem” serta Purdah (cadar) (ibid. 339).
Kedua, pengaruh
dari dalam. Selain pengaruh
dari watak liberalisme Barat, pemikiran para reformis juga banyak dipengaruhi
oleh pergolakan intelektual karena melihat tidak adanya demokrasi dan kebebasan
sipil—yang terjadi di negara-negara timur tengah maupun dunia muslim lainnya—sehingga
mendorong para reformis (kontemporer) untuk menemukan formula yang tepat khususnya
mengenai pemikiran Hukum Islam dan hubungan antara at-turats dan al-hadatsah.
Dalam konteks timur tengah dan dunia muslim pada umumnya, problem tersebut
telah mengantarkan masyarakat terperososok dalam problematika yang beragam,
seperti neo-kolonialisme, kemiskinan, ketakberdayaan, korupsi, kesenjangan
ekonomi, radikalisme, tuduhan sebagai sarang teroris, peminggiran peran
perempuan, dan krisis intelektual. Dalam konteks dunia Islam, problem itu telah
menjatuhkan masyarakat muslim kedalam situasi yang tidak kalah pengapnya,
seperti mahalnya toleransi, problem modernitas, dan krisis penyesuaian diri,
hingga problem tinani politik yang tak berkesudahan. Dari hal tersebut sangat
terlihat dengan jelas bahwa, apa yang dilakukan oleh syahrur dan para pembaharu
(hukum) Islam dalam rangka membebaskan pemikiran dari otoritas teks.
Demikian, argumen utama pemikir (hukum) Islam liberal tentang
mengapa liberalisme itu diperlukan untuk pemikiran keagamaan. Apa yang sudah
disinggung diatas, adalah beberapa contoh saja untuk menunjukkan bahwa yang
menjadi concern pemikiran mereka adalah kebebasan berfikir. Manusia
diciptakan oleh Tuhan dalam keadaan bebas. Kebebasan adalah anugrah terpenting
yang diberikan kepada manusia. Kebebasan pendapat merupakan kebebasan individu
yang tak seorang pun berhak mencegahnya. Bahkan dalam ayat suci al-Qur’an,
Tuhan pun tak mencegah makhluknya berpendapat (Q.S, 2: 30).
Kebebasan berfikir adalah bagian dari syarat kemajuan sebuah
masyarakat. Masyarakat yang terkekang dan tak boleh mengemukakan pendapatnya
adalah masyarakat yang mendek yang tak memiliki masa depan. Sebagaimana dikemukakan
Adonis[5] dengan
argumentasi yang takik-takik, berlapis-lapis, rumit dan canggih, Adonis sampai
pada kesimpulan bahwa di dunia Arab (Islam), aspek al-ittiba’ lebih
menonjol ketimbang al-ibda’. Al-ittiba’ adalah mengikuti pola yang sudah
ada. Al-ibda’ menempuh jalan baru yang belum pernah dirambah sebelumnya.
Al-ittiba’ adalah membebek saja terhadap generasi masa lampau yang kerap
disebut sebagai “salaf”; ibda’ adalah mencipta sendiri suatu yang baru
yang belum pernah ada contohnya pada masa generasi salaf. Disamping itu, mereka juga menganjurkan
membuka pintu ijtihad seluas-luasnya, memberikan keluasan terhadap
doktrin-doktrin agama dan mengkaji ulang tradisi dan keagamaan kaum muslimin.
Benang merah yang dapat diambil dari sejumlah tokoh pemikir (Hukum)
Islam liberal di atas adalah perasaan dan semangat untuk membebaskan (liberating)
umat Islam dari belenggu kejumudan sejak lima abad terakhir. Belenggu inilah
yang dianggap sebagai sebab utama ketakberdayaan bangsa-bangsa Muslim di depan
bangsa asing yang lebih maju, hanya dengan membangun kembali cara pandang dan
sikap keberagamaan mereka, kondisi menyedihkan itu dapat diperbaiki.
E. Penutup
Dari uraian ringkas di atas dapat kita simpulkan bahwa paham liberalisme
mencakup tiga hal. Pertama, kebebasan berfikir tanpa batas alias free
thinking. Kedua, senantiasa meragukan dan menolak kebenaran alias shopisme.
Ketiga, sikap longgar dan semena-mena dalam beragama (loose adherence to
and free exercise of religion). Yang pertama berarti kebebasan memikirkan
apa saja dan siapa saja. Yang kedua lebih dikenal dengan istilah “sufasta’iyah”
yang terdiri dari skeptisisme, agnostisisme dan relativisme. Sementara yang
disebut terakhir tidak lain dan tidak bukan adalah manifestasi nifaq dimana
seseorang tidak mau dikatakan kafir walaupun dirinya sudah tidak commited lagi
pada ajaran agama.
Pemikiran liberal sesungguhnya sudah ada sejak zaman rosulullah
saw. Kemudian samapai pada masa sahabat (Umar bin khattob) kemudian samapai pade
era-ulama’ klasik. Kemudian pemikiran liberalism (hukum) Islam kontemporer dimulai
sejak abad 19-sekarang, pada era ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran
liberal dalam bidak hukum Islam, hal tersebutdipengaruhi oleh kondisi sosial yang
berbeda sedangkan Islam lahir 14 abad yang lalu. Dan Islam sebagai sebuah
“Organisme” yang hidup; sebuah agama yang berkembang sesuai dengan denyut nadi
perkembangan manusia. Hukum Islam bukan sebuah monumen mati yang di pahat pada
abad 7 M, lalu dianggap sebagai fosil, atau meminjam bahasanya Ulil Absor
Abdallah “patung” indah yang tidak boleh disentuh tangan sejarah karena
dianggap sakral.
Tipologi Islam liberal merupakan cerminan bahwa gerakan yang sudah
terpolarisasikan oleh Kurzman menjadi tiga maka, yang lebih potensial untuk mengembangkan
kajian “discouse” dalam domain Hukum khususnya. Interpretasi syari’ah,
dilihat dari wataknya yang dingin. Dan semangatnya untuk menegakkan nilai-nilai
syariah, dengan bukti gagasan yang mereka kemukakan sangat mewarnai blantara keilkmuan
“tidak” hanya dalam internal sarjana muslim saja, namun para orientalism juga
turut berbicara dan memuji teori yang dikembangkan Iqbal, Fazlur Rahman,
Syahrur dan kawan-kawannya.
Daftar Pustaka
Abdallah, Ulil Absor, 2006, Menjadi Muslim Liberal,
Jakarta: Penerbit Nalar bekerja sama Freedom Institute.,
Al-Qashash, Ahmad, 1995, Usus Al-Nahdhah Al-Rasyidah, Beirut : Darul Ummah.,
Adams, Ian, 2004, Ideologi Politik Mutakhir (Political Ideology Today),
Penerjemah Ali Noerzaman, Yogyakarta : Penerbit Qalam.,
Adonis, 2012, al-Tsabit
wa-al Mutahawwil; Bahs fi al ittiba’ wa al-ibda’ inda al-Arab,Terj. Yogyakarta: Lkis.,
Charles, Kurzman, 2001, Liberal Islam: A
Sourcebook. Terj. Jakarta: Paramadina.,
El-fadl, Khalled M. Abou, 2003, Speaking is God’s Name: Islamic Law, autority and Women, Oxford Oneworld Publication.
Husaini, Adian, 2005, Wajah Peradaban Barat dari Hegemoni Kristen ke Dominasi
Sekular-Liberal, Jakarta : Gema Insani Press.,
Idris, Ahmad, 1991, Sejarah Injil dan Gereja (Tarikh Al-Injil wa Al-Kanisah),
Penerjemah H. Salim Basyarahil, Jakarta : Gema Insani Press.,
Iqbal, Muhammad, 1989, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Lahore:
Institut of Islamic Culture,.
Khallaf, Abdul Wahab, 1968, Khulasoh Taarikh Tasyri’ al-Islamy, ttp
Musahadi, 2010, Elemen-elemen
Liberal dalam Kajian Hukum Islam di Pesantern, IAIN Walisongo: (Laporan
Penelitian Individu).,
Qodir, Zuly, 2012, Islam Liberal
Varian-Varian Islam Liberalisme Islam di Indonesia, Yogyakarta: LkiS.,
Rahman, Fazlur,
1970, Islamic modernism; its Scope, Method and alternatives dalam International
Journal of Midle Eastern Studies, Vol. I.,
-----------, 2000, Gelombang Perubahan dalam Islam : Studi
tentang Fundamentalisme Islam, Jakarta : Rajawali Press.,
-----------, 2000, Islam, Terj.
Bandung: Pustaka.,
Rahman, Budhy Munawar, 2010, Pembaharuan
Islam Indonesia; Sekularisme, Libera;lisme dan Pluralisme,. Jakarta:
Paramadina.,
-----------, 2011, Argumen
untuk Islam Liberal, Jakarta:
Paramadina.,
Rahardjo, Dawan, 2010, dalam Budhy Munawar-rahman, Pembaharuan Islam Indonesia; Sekularisme, Libera;lisme dan
Pluralisme,. Jakarta: Paramadina.,
Syahrur, M, 1990, al-kitab
wal Qur’an, kira’ah Mu’asirah, Damaskus: al-Ahali,
Sjadzili, Ahmad Fawaid, Figur Fenomenal dari Syria,
dalam www.islamlib.com. Diakses Rabu, 22/10/2013.
Ulwan, Abdullah Nashih, 1996, Islam Syariat Abadi (Al-Islam Syar’ah Az-Zaman wa
Al-Makan), Penerjemah Jamaludin Saiz, Jakarta : Gema Insani Press.,
Watt, William Motgomery, 1997, Islamic
Fundamentalism and Modernity, Terj. Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada.,
[1] Lulusan Yele dan Princeton—sebelumnya menggeluti studi keislaman di
Kuwait dan Mesir—ini piawai mengraikan nilai-nilai Islam klasik dalam konteks
modern. Ia disebut-sebut sebagai “an inlegtened Paragon of Liberal Islam ”.
selain itu penulis tema universal moralitas dan kemanusiaan, Aboe juga dikenal
sebagai pembicara publik terkemuka. Dia juga aktif dalam berbagai organisasi
HAM seperti, human right watch dan Lawyer’s Committe for human right. Karya-karyanya
banyak dipublikasi salah satunya adalah Speaking is God’s Name: Islamic Law,
autority and Women sebagai magnum opus-nya. Lihat: Khaled Aboe el-Fadl,
2003, Speaking is God’s Name: Islamic Law, autority and Women, Oxford
Oneworld Publication.
[2] Banyak sarjana yang mengakui bahwa penggunaan istilah fundamentalisme
itu problematik dan tidak tepat. Istilah ini seperti dikatakan Motgomery Watt;
istilah ini pada dasarnya merupakan istilah inggris—kuno kalangan protestan
yang secara khusus diterapkan kepada orang-orang yang berpandangan bahwa
al-kitab harus diterima dan ditafsirkan secara harfiyah. Istilah sepadan paling
dekat dalam bahasa Perancis adalah integrisme yang merujuk kepada
kecenderungan senada tetapi tidak pada pengertian kecenderungan yang sama
dikalangan kaum katolik Romawi. Dalam Islam kaum fundamentalis sunni menerima
al-Qur’an secara harfiah sekalipun dalam beberapa kasus dengan syarat-syarat
tertentu, tetapi mereka juga memiliki sisi lain yang berbeda. Kaum syi’ah Iran
yang dalam suatu pengertian umum adalah para fundamentalis, tidak terikat
kepada penafsiran harfiyah al-Qur’an. Watt mendefinisikan fundamentalis Islam
adalah kelompok muslimin yang secara sepenuhnya menerima pandangan tradisional
serta berkehendak mempertahankannya secara utuh. Lihat William Motgomery watt, Islamic
Fundamentalism and Modernity, h. 3-4.
[3] Sebagaimana
diakuinya, buku tersebut disusun selama kurang lebih dua puluh tahun, tepatnya
mulai tahun 1970-1990. Dalam pengantar buku tersebut, Shahrur menjelaskan
proses penyusunan buku tersebut sekaligus sejauh mana pengaruh rekannya -Dr.
Ja’far Dek al-Bab- dalam perumusan metodologi yang ia tawarkan dalam buku
tersebut. Setidaknya ada tiga tahapan dalam penyusunan buku tersebut. Tahap
pertama (1970-1980). Masa ini diawali ketika beliau berada di Universitas
Dublin. Masa ini merupakan masa pengkajian (muraja’aat) serta peletakan dasar
awal metodologi pemahaman al-dzikr, al-kitab, al-risalah, al-nubuwah dan
sejumlah kata kunci lainnya. Tahap kedua (1980-1986). Masa ini merupakan masa
yang penting dalam pembentukan “kesadaran linguistik”nya dalam pembacaan kitab
suci. Pada masa ini ia berjumpa dengan teman se almamaternya– Ja’far Dek- yang
menekuni Linguistik di Universitas Moskow. Melalui Ja’far itulah, Shahrur
banyak diperkenalkan dengan pemikiran linguis Arab semisal al-Farra’, Abu Ali
al-Farisi, al-Jinny, serta al-Jurjani. Melalui tokoh-tokoh tersebut, Shahrur
memperoleh tesis tentang tidak adanya sinonimitas (‘adamu al-taraduf) dalam
bahasa. Sejak tahun 1984, Shahrur mulai menulis pikiran-pikiran penting yang
diambil dari ayat-ayat yang tertuang dalam kitab suci. Melalui diskusi bersama
Ja’far Dek, Shahrur berhasil mengumpulkan hasil pikirannya yang masih
terpisah-pisah. Tahap ketiga (1986-1990). Shahrur mulai mengumpulkan hasil
pemikirannya yang masih berserakan. Hingga tahun 1987, Shahrur telah berhasil
merampungkan bagian pertama yang berisi gagasan-gagasan dasarnya. Segera
setelah itu, bersama Ja’far Dek, Shahrur berhasil menyusun “hukum dialektika
umum” yang ia bahas di bagian kedua buku tersebut. Pada tahun 1990, cetakan
pertama buku ini diterbitkan.
Buku tersebut, untuk pertama kali diterbitkan oleh
al-Ahali Publishing House, Damaskus dan mengalami sukses luar biasa dan dinilai
sebagai salah satu buku terlaris (bestseller) di Timur Tengah. Terbukti, buku
tersebut mengalami cetak ulang dari kurang lebih 20.000 eksemplar buku yang
telah terjual. Bahkan, versi bajakan dan foto copy banyak beredar di banyak
negara semisal Lebanon, Yordania, Mesir, Jazirah Arab,dan (termasuk) Indonesia.
Tentunya, kehadiran karya tersebut menimbulkan respon yang beragam, baik pro
maupun kontra. Lihat Muhyar Fanani, 2010, Fiqh
Madani;Konstruksi Fiqh di Dunia Modern, Yogyakarta: LKiS
[4] Untuk itu Syahrur memberikan alternatif berupa
teori “hudud” (bentuk jamak dari kata had yang secara etimologi
berarti batas) dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Menurutnya al-qur’an yang
mempunyai ayat qath’iy masih berlaku lapangan ijtihad didalamnya. Ia
menyebutkan 6 macam teori hudud yaitu; (1) al-had al-adna (disebutkan
batas minimalnya); (2) al-had al-‘ala (Batas maksimalnya); (3) al-had
al-adna wa al-had al-a’la ma’an (batas minimal dan maksimal, keduanya
disebutkan); (4) al-had al-adna wa al-had al-‘ala nuqtah wahidah (disebut
batas minimal dan maksimalnya bertemu dalam satu titik); al-had al-a’la bi
khatt muqarib li mustaqim (tidak sampai batas maksimal dan tidak menyentuh
batas minimalnya); dan (6) al-had al-a’la mujib muqhlaq la ajuz tajaawuzuh,
wa al-had al-adnaa saalib yaa juz tajawuzuh (batas maksimal positif dan
batas minimal negative, serta keduanya bertemu di titik tengah). Lihat: Syahrur,
1990, al-kitab wal Qur’an, kira’ah Mu’asirah, Damaskus: al-Ahali,.
H. 453-466.
[5] Nama aslinya adalah Ali ahmad Said, bukunya al-Tsabit wa-al
Mutahawwil; Bahs fi al ittiba’ wa al-ibda’ inda al-Arab, (yang tetap dan
yang berubah: pembahasan perihal epigonisme dan Inovasi di Dunia Arab). Buku
ini terdiri dari tiga jilid di dalamnya mengupas dengan baik akar Intelektual,
politik, kultural yang menyebabkan mandeknya kreativitas di dunia Arab. yang
kemudian di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi empat jilid Dengan
judul Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam. oleh LkiS. Cet I 2007.