Thursday, January 9, 2014

Liberalisme dan Pergolakan Pemikiran Hukum Islam



A.       Pendahuluan
Pemikiran liberal (liberalisme) adalah satu nama di antara nama-nama untuk menyebut ideologi Dunia Barat yang berkembang sejak masa Reformasi Gereja dan Renaissans yang menandai berakhirnya Abad Pertengahan (abad V-XV). Disebut liberal, yang secara harfiah berarti “bebas dari batasan” (free from restraint), karena liberalisme menawarkan konsep kehidupan yang bebas dari pengawasan gereja dan raja. (Adams, 2004:20). Ini berkebalikan total dengan kehidupan Barat Abad Pertengahan ketika gereja dan raja mendominasi seluruh segi kehidupan manusia. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta globalisasi politik, budaya, ekonomi, isu demokrasi, keterbukaan membawa kecemasan dan tantangan bagi umat Islam.
Tantangan umat Islam sekarang ini persis seperti yang dihadapi jepang pada abad ke-18 dulu. Ketika itu, intelektual jepang dihadapkan pada pilihan yang sulit, apakah meniru barat ataukah berpegang pada warisan Tokugawa yang menutup diri total dari wahyu asing. Jepang menempuh jalur nekat yang tertnyata benar; tirulah barat. Sebagian intelektual muslim selama peralihan abad ke-20 mengusulkan opsi serupa, “tirulah barat karena disana terdapat hal-hal yang menjadi rahasia kemajuan umat manusia”.  Kalau kita baca Arabic thought in Liberal age karya Albert haurani, akan tampak bahwa semangat rasionalisme dan keinginan meniru barat begitu menonjol dalam kesadaran intelektual Islam pada Abad ke- 19 dan awal abad ke-20. (Abdallah, 2006: 177)
Pada abad tersebut virus liberalisme juga berhasil masuk ke kalangan cendikiawan yang konon dianggap sebagai “pembaharu” “(mujaddid). Sehingga  lahirlah beberapa pemikir revolusioner—liberal—seperti; Ali Abdurraziq (1888-1966), Qasim Amin (1863-1908 M). Di abad 20 muncul tokoh-tokoh yang tidak kalah liberalnya seperti; Fazlur Rahman (1919), Nasr hamid Abu Zaid (1943), Muhammad Arkoun, Abdullah Ahmeed An-Naim, Muhammad Syahrur (1938) dan lainnya (pengikutnya di Indonesia). Mereka mempunyai gagasan yang liberal dalam kebangkitan pemikiran (Hukum) Islam. Terbukti dalam pemikirannya berani menampilkan teori yang berbeda dengan doktrin ulama tradisional (klasik). Mereka berpendapat syari’ah harus diterapkan dalam semua aspek kehidupan secara fleksibel dan mereka cenderung terbuka dalam mengkaji Islam termasuk dengan pendekatan yang berasal dari Barat (Jaenuri, 2004: 78). 
Wacana-wacana seputar masalah ini telah dikembangkan sebelumnya oleh kalangan orientalis barat dan misionaris kristen yang ternyata semakin banyak diadopsi dalam rangka melakukan proses sekularisasi dan liberalisasi Islam (Armas, 2003: xiii). Pelbagai pandangan kalangan aktivis Islam liberal menunjukkan pengaruh pemikiran orientalis yang begitu kuat kepada mereka dan dalam beberapa hal juga sejalan dengan pemikiran yang dikembangkan oleh kalangan misionaris kristen ketika memberi keraguan atas kebenaran Islam.  
Dari latar belakang tersebut maka muncullah pertanyaan yang hendak dijawab dalam makalah ini, pertama, Bagaimana landasan Epistemologis dan tipologi Liberalisme Islam. Kedua, Bagaimana pengaruh liberalisme terhadap pemikiran (Hukum) Islam.


B.     Landasan Epistemologis Liberalisme Islam
Liberalisme berakar dari akar kata liber yang artinya ‘bebas’ atau ‘bukan budak’. Kata ini menunjuk pada ideologi atau pandangan filsafat yang senantiasa meninggikan kebebasan dan hak-hak individu (Musahadi, 2010: 28). Jadi liberalisme adalah suatu paham yang berusaha memperbesar wilayah individu dan mendorong kemajuan sosial. Liberalisme merupakan paham kebebasan, artinya manusia memiliki kebebasan atau kalau kita lihat dengan perspektif folosofis, merupakan tata pemikiran yang landasan pemikirannya adalah manusia yang bebas. Bebas karena manusia mampu berfikir dan bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan (Rachman, 2010: 321).
liberal sebagai paham pemikiran yang optimis tentang manusia. Prinsip-prinsip liberalisme adalah kebebasan dan tanggung jawab. Tanpa adanya sikap tanggung jawab tatanan masyarakat liberal tak akan bisa terwujud. Namun demikian liberalisme tanpa kritik, tatapi walau demikian ia merupakan pilihan paling logis di dunia politik dewasa ini. Salah satu agenda liberalisme adalah mengedepankan rasio dan kesadaran sosial para individu untuk menunaikan kewajiban-kewajibannya (Bolkestein, 2006: 54).
Dalam ajaran Islam. Sebagian orang ada yang membatasi pola berpikirnya dalam batas-batas tauhid, sebagai konklusi ajaran agama Islam. Bagi madzhab rasionalism Kedengarannya aneh, mengapa berfikir hendak dibatasi. Apakah Tuhan itu takut dengan rasio yang diciptakan oleh Tuhan itu sendiri?  Tuhan bukan daerah terlarang bagi pemikiran. Tuhan ada bukan untuk tidak dipikirkan “adanya”. Tuhan bersifat wujud bukan untuk kebal dari sorotan kritik. Karena sesungguhnya orang yang mengakui ber-Tuhan, tetapi menolak berfikir bebas berarti menghina rasionalitas eksistensinya Tuhan. Jadi dia menghina Tuhan karena kepercayaannya sekedar kepura-puraan yang tersembunyi.
    
1.      Liberalisme Keagamaan; Perspektif Barat (Kristen)
Pemikiran liberal mempunyai akar sejarah sangat panjang dalam sejarah peradaban Barat yang Kristen. Pada tiga abad pertama Masehi, agama Kristen mengalami penindasan di bawah Imperium Romawi sejak berkuasanya Kaisar Nero (tahun 65). Kaisar Nero bahkan memproklamirkan agama Kristen sebagai suatu kejahatan. (Idris, 1991:74). Menurut Abdulah Nashih Ulwan (1996:71), pada era awal ini pengamalan agama Kristen sejalan dengan Injil Matius yang menyatakan,”Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan.” (Matius, 22:21).
Namun kondisi tersebut berubah pada tahun 313, ketika Kaisar Konstantin (w. 337) mengeluarkan dekrit Edict of Milan untuk melindungi agama Nasrani. Selanjutnya pada tahun 392 keluar Edict of Theodosius yang menjadikan agama Nasrani sebagai agama negara (state-religion) bagi Imperium Romawi. (Husaini, 2005:31). Pada tahun 476 Kerajaan Romawi Barat runtuh dan dimulailah Abad Pertengahan (Medieval Ages) atau Abad Kegelapan (The Dark Ages). Sejak itu Gereja Kristen mulai menjadi institusi dominan. Dengan disusunnya sistem kepausan (papacy power) oleh Gregory I (540-609 M), Paus pun dijadikan sumber kekuasaan agama dan kekuasaan dunia dengan otoritas mutlak tanpa batas dalam seluruh sendi kehidupan, khususnya aspek politik, sosial, dan pemikiran. (Idris, 1991:75-80; Ulwan, 1996:73).
Abad Pertengahan itu ternyata penuh dengan penyimpangan dan penindasan oleh kolaborasi Gereja dan raja/kaisar, seperti kemandegan ilmu pengetahuan dan merajalelanya surat pengampunan dosa. Maka Abad Pertengahan pun meredup dengan adanya upaya koreksi atas Gereja yang disebut gerakan Reformasi Gereja (1294-1517), dengan tokohnya semisal Marthin Luther (w. 1546), Zwingly (w. 1531), dan John Calvin (w. 1564). Gerakan ini disertai dengan munculnya para pemikir Renaissans pada abad XVI seperti Machiaveli (w. 1528) dan Michael Montaigne (w. 1592), yang menentang dominasi Gereja, menghendaki disingkirkannya agama dari kehidupan, dan menuntut kebebasan.
Selanjutnya pada era-Pencerahan (Enlightenment) abad XVII-XVIII, seruan untuk memisahkan agama dari kehidupan semakin mengkristal dengan tokohnya Montesquieu (w. 1755), Voltaire (w. 1778), dan Rousseau (1778). Puncak penentangan terhadap Gereja ini adalah Revolusi Perancis tahun 1789 yang secara total akhirnya memisahkan Gereja dari masyarakat, negara, dan politik. (Qashash, 1995:30-31). Sejak itulah lahir sekularisme-liberalisme yang menjadi dasar bagi seluruh konsep ideologi dan peradaban Barat.
Liberalisme dalam agama Kristen menjadi spirit liberalisme pada tahun 1879. Pada abad ke XIX, gereja jesuit di Belgia memberikan inspirasi bagi liberalisme para penganut kristen di Inggris. Revolusi prancis yang telah membawa kemapanan sosial ternyata ternyata mendorong adanya kontrak antara negara sebagai penegak hukum dengan masyarakat. Penyatuan penyatuan akan kepercayaan keberagaman sangat variatif, dimana disana juga dijumpai adanya skeptisisme akan ekspresi kebenaran. Dari sana kemudian diperdebatkan antara koherensi doktrin-doktrin agma sengan kekuatan histoirsnya sehingga memunculkan kesadaran-kesadaran baru.
Akan tetapi, pengaruh liberalisme yang paling dominan terhadap agama kristen dapat dilihat pada adanya kritik-kritik yang dialamatkan pada al-kitab. Kritik tersebut berwujud tekstual criticism ini dianggap sebagai kritik yang produktif, sementara Literary criticism cenderung dianggap membahayakan karena dinilai telah merobek-robek alkitab itu sendiri. Karena para pengkritik al-kitab melancarkan serangan terhadap al-kitab sehingga memunculkan keraguan terhadap al-kitab, yang disesbkan karena deisme. Dengan pengaruh deisme manusia tidak perlu merujuk kepada kebenaran wahyu (Daun dalam zuly Qodir, 2012: 70).
Kaum liberal sebenarnya bermaksud ingin memodern-kan pemikiran teologi kristen. Mereka beranggapan dengan berkembangan zaman, peraturan yang ditetapkan pleh gereja tidak lagi relevan. Oleh karena itu perlu mamahami dan menyelidiki kebenaran al-kitab.  Kaum liberal juga tidak mau tunduk di bawah suatu otoritas gereja untuk menerima pengakuan iman. Maka mereka berpendirian bahwa iman harus diuji dengan rasio dan pengalaman. Oleh sebab itu, dengan berdasarkan pertimbangan kemampuan dan perasaan yang dimiliki maka manusia harusnya mampu menyelidiki sifat-sifat tuhan sehingga ada keterbukaan pada manusia pada sumber-sumbernya. Orang beriman tidak harus tunduk pada satu otoritas dalam menafsirkan kitab suci, sebab hasil dari sebuah penafsiran sangat tergantung pada perspektif mana yang dipergunakan (Qodir, 2012: 72).

2.      Liberalisme Keagamaan; Perspektif Islam
Kalau betul-betul Islam membatasi kebebasan berfikir. Maka sebaiknya perlu ditinjau ulang dasn dipikirkan matang-matang anutan (ketundukan) kita terhadap Islam. Maka hanya ada dua al-ternatif menjadi muslim sebagian atau setengah-setengah, atau bahkan menjadi kafir. Namun agaknya sampai sekarang Tuhan tidak membatasi, dan Tuhan akan bangga terhadap otak-otak manusia yang selalu bertanya, tentang Dia. Karena orang-orang yang berfikir, walaupun hasilnya salah, jauh lebih baik dari pada orang-orang yang tidak pernah salah karena tak pernah berfikir. Dan mengapa orang-orang begitu phobi dengan pemikiran bebas. Bukan-kah material itu hanya suatu translasi (pemudahan)?. Walaupun itu ada kemungkinan efek jeleknya, tapi kegunaanya akan jauh lebih besar daripada madharatnya. Malahan orang yang takut untuk berfikir bebas itu ditimpa oleh ketakutan dan keraguan akan kepura-puraannya yang sudah tak terlihat.
Dia ragu untuk berkata bahwa ada suatu pikiran yang dia benamkan dibawah sadarnya. Pikiran yang dia benamkan ini ia larang untuk mencul dalam kesadarannya. Padahal dengan berfikir bebas manusia akan lebih banyak tahu tentang dirinya sendiri. Manusia akan lebih banyak tahu tentang kemanusiaannya. Mungkin akan ada orang yang mengemukakan bahaya dari orang berfikir yaitu, orang yang berpikir bebas itu cenderung atau bahkan bisa jadi atheis. Betulkah? Orang yang sama sekali tidak berpikir juga bisa atheis! Lebih baik atheis karena berpikir bebas dari pada atheis karena tidak berpikir sama sekali “meskipun sama-sama jelek”.
Dengan berpikir bebas bisa slah hasilnya. Dengan tidak berpikir bebas juga bisa salah hasilnya. Lalu mana yang lebih potensial untuk tidak salah? Dan mana yang lebih potensial untuk menemukan kebenaran-kebenaran baru? Untuk menjawab pertanyaan tersebut tentuk memerlukan kerja otak untuk berpikir. —Walupun   tidak mendewakan otak seperti mark sehingga seolah-olah absolut—karena kekuatan berpikir manusia itu ada batasnya, tapi siapa yang tahu batasan itu. Otak atau pikiran sendiri tidak bisa menentukan sebelumnya.         
Liberalisme keagamaan dalam konteks Islam memiliki banyak kemungkinan makna. Pertama, pengembangan pemikiran dan sikap rasional dalam memaknai ajaran agama. Kedua, Kebebasan untuk menafsirkan teks-teks keagamaan tanpa terikat pada satu madzhab tertentu dalam agama. Ketiga, keyakinan bahwa semua agama pada dasarnya sama, yakni menganjurkan kebajikan dan mendukung nilai-nilai universal kemanusiaan. Keempat, memperkuat upaya sekularisasi agama dalam arti memisahkan hal-hal yang profan dari yang sakral.
Dalam konteks Islam khususnya ketika mengacu pada sumber doktrin keagamaan, liberalisme Islam tidak memiliki perbedaan dengan ideologi atau gerakan Islam lainnya (miasalnya fundamentalisme Islam), karena keduanya sama-sama meyakini adanya tuhan dan para rosul-Nya; juga meyakini al-Qur’an dan sunnah rosulullah sebagai sumeber doktrin keagamaan. Pada tataran ini, tidak ada karakteristik ciri khusus antara beragam paham keagamaan di dunia Islam. Perbedaan justru terletak pada unsur-unsur luar keagamaan, sperti interpretasi teks-teks keagamaan yang dilakukan kalangan agamawan atau kelompok tertentu, teologi keagamaan, ideologi politik-keagamaan dan sebagainya.
Pada sapek interpretasi teks keagamaan, liberalisme Islam memiliki tiga karekteristik, petama, bercorak subtantif, yaitu memahami ajaran agama tidak pada sebatas nalar skriptif (catatan teks) tetapi lebih pada pencarian makna yang lebih substansial dibalik teks (behind the teks). Bercorak kontekstual, yaitu memaknai teks-teks keagamaan berdasarkan beragam konteks yang melatarinya. Ketiga, bercorak rasional, yakni memaknai ajaran agama berdasarkan nalar yang sehat yang objektif.
Ketiga interpretasi teks keagamaan yang menjadi ciri utama liberalisme Islam itu, secara bersamaan, dapat digunakan pada beberapa kasus yang dimuat dalam kitab al-Qur’an—pembagian warisan 1:2 bagi ahli waris perempuan pada Qs. An-Nisa 4: 11, kasus perbudakan Qs. An-Nisa, 4: 92 dan Qs al-Maidah 5: 89, Kasus potong tangan bagi pencuru, pada Qs. Almaidah, 5: 38, dan kasus pembagian 1/5 harta rampasan perang (ghanimah) sahabat Umar termasuk yang mengubah dari 1/5 manjdi 1/3 dengan menghilangkan hak Rosulullah saw dan kerabatnya dari banu Hasyim dan Banu Muthollib. Sementara 4/5 dari ghanimah tetap diberlakukan bagi bala tentara yang berperang.
Ketiga karakteristik interpretasi teks keagamaan tersebut pernah diupayakan beberapa tokoh pemikir (Hukum) Islam. Seperti Syahrur, dengan teori huduiyah-nya, Fazlur Rahman dengan Dauble Movemen, M. Iqbal dengan, The principle of the movement, dan lain-lain.
Dengan demikian, jika seorang melakukan interpretasi teks-teks keagamaan dengan mengacu pada ketiga karakteristik tersebut, berarti dia telah melakukan unsur-unsur liberalistik dalam penafsirannya. Rujukan lain yang sering dikaitkan dengan liberalisme Islam adalah teologi rasional dan beberapa tokoh memaksimalkan peran peran dan fungsi akal dalam kehidupan sosial-keagamaan. 
        
                       C. Tipologi Islam Liberal
Liberalisme adalah pandangan yang membebaskan diri dari otoritarianisme agama, meminjam istilah Khaled Aboe el-Fadl—Prof Hukum Islam di fakultas Hukum UCLA, Amerika Serikat[1]—yaitu yang berbentuk ortodoksi sebagai hasil dari himpunan konsensus-konsensus besar dalam pemikiran Islam dibidang fiqih, kalam, filsafat dan tasauf yang telah menghegemoni dan menghiasi keberagaman umat Islam (Raharjo, 2010: xliii).
Dalam melakukan penafsiran, mereka menggunakan prinsip-prinsip etis al-Qur’an sebagai standar utamanya. Artinya, jika ada ayat-ayat yang bertentangan dengan prinsip-prinsip etis tersebut maka ayat-ayat itu harus dipahami berdasarkan prinsip etis itu atau kalau tidak bias, dinyatakan batal sama sekali. Prinsip-prinsip etis yang dimaksud adalah etika keadilan, kemaslahatan, pembebasan, kebebasan, persaudaraan, perdamaian, dan etika kasih sayang. Sebagai contoh, jika al-Qur`an mengajarkan prinsip persaudaraan antara sesama anak Adam, maka ayat-ayat al-Qur`an yang membeda-bedakan antara pemeluk Islam dan non-Islam dinyatakan batal disebabkan bertentangan dengan prinsip etis persaudaraan tersebut
Kurzman, mengidentifikasi tiga bentuk utama Islam liberal, hal ini melibatkan hubungan liberalisme dengan sumber-sumber primer Islam (al-Qur’an dan Sunnah) yang secara bersamaan menetapkan dasar hukum Islam (syari’at). Pertama, menggunakan posisi atau sikap liberal sebagai sesuatu yang secara eksplisit didukung oleh syari’at. Kedua, menyatakan bahwa kaum muslimin bebas mengadopsi sikap liberal dalam hal-hal yang oleh syariat di biarkan terbuka untuk dipahami oleh akal budi dan kecerdasan manusia. Ketiga, memberikan kesan bahwa syariat Islam bersifat illahiyah, ditujukan bagi berbagai penafsiran manusia yang beragam. Kurzman menyebut ketiga bentuk ini dengan syariat yang liberal, silent dan interpretated. (Kurzman, 1998: xix-xx).
Pertama, liberal syari’ah (syari’ah yang liberal). Menurut kelompok ini, syari’ah jika dipahami dengan benar, sifatnya sudah liberal. Islam dari sejak awal mempunyai solusi umum atas problem kontemporer seperti pluralisme, sekularisme, demokrasi, HAM, feminisme, dan lainnya. Bahkan kelompok yang ini, menurut Budhy, sering berapologi bahwa liberalisme dalam Islam sudah ada lebih dulu daripada liberalisme Barat. Bukti yang sering dijadikan dalil oleh mereka adalah penghargaan atas pluralitas agama, demokrasi, HAM, dan masyarakat sipil sudah dipraktikkan oleh Nabi saw pada masyarakat Madinah waktu itu. Bukti lainnya adalah khutbah wada’ yang menurut mereka memuat pesan-pesan humanis (kemanusiaan) dan egaliter (persamaan). Selain itu ajaran syura yang menurut mereka merupakan implementasi dari demokrasi.
Kedua, silent syari’ah (syariat yang diam mengenai masalah itu). Berbeda terbalik dengan kelompok liberal syari’ah, kelompok ini menilai bahwa syari’at Islam tidak banyak bicara mengenai isu-isu kontemporer, oleh karenanya harus dipikirkan secara kreatif. Di antara tokohnya adalah Harun Nasution. Menurutnya, ayat al-Qur’an berjumlah 6000-an, tetapi yang mengatur kehidupan sosial sekitar 500-an. Banyak sekali persoalan kehidupan yang tidak disinggung al-Qur’an, termasuk persoalan-persoalan kontemporer seperti telah disebutkan di atas. Bahkan menurut kelompok ini, al-Qur’an justru banyak bertentangan dengan nilai-nilai liberal, seperti diwenangkannya pemilikan budak, penebusan tawanan perang, dan pemotongan organ tubuh pelaku kriminal.
Ketiga, interpreted syari’ah (syari’at yang perlu ditafsirkan ulang). Kelompok ini, menurut Budhy, adalah kelompok Islam Liberal yang paling banyak dijumpai di negara Muslim. Kelompok ini mengedepankan satu epistemologi yang menegaskan perlunya keragaman dalam menafsirkan teks-teks keagamaan. Sebab syari’at tidak langsung turun dari Allah, tetapi selalu merupakan penafsiran manusia atas apa yang diturunkan oleh Allah swt. Dalam perspektif Barat, golongan ini paling dekat dengan sensibilitas liberalisme Barat. Dan usaha untuk mencari otentisitas Islam lebih terlihat kesungguhannya pada golongan ini.
Dari ketiga bentuk tersebut kata Kurzman, bentuk ketiga argumentasi Islam liberal yang paling dekat dengan perasaan atau pemikiran-pemikiran liberal Barat, berpendapat bahwa syariah ditengahi oleh penafsiran manusia. Dalam pandangan ini syariat merupakan hal yang berdimensi ilahiyah, sedangkan penafsiran-penafsiran manusia dapat menimbulkan konflik dan kekeliruan. Bentuk ini mengingkari klaim yang menyatakan bahwa pengetahuan ortodoks pernah mencapai kata akhir. “memaksakan penyeragaman penafsiran secara absolut adalah tidak mungkin dan tidak diperlukan. Perbedaan pendapat yang keberadaannya sangatlah berarti, harus diberi nilai positif yang tinggi (Kurzman, lx).
Ada enam gagasan yang dapat dipakai sebagai tolak ukur sebuah pemikiran Islam dapat disebut “liberal”. Pertama, Melawan teokrasi; ide-ide yang hendak mendirikan negara Islam. Kedua, mendukung gagasan demokrasi. Ketiga, membela hak-hak perempuan. Keempat, membela hak-hak non-muslim. Kelima, membela kebebasan berfikir. Dan terakhir. Keenam, membela gagasan kemajuan (Kurzman, xlii). Siapapun saja yang membela salah satu gagasan di atas, maka—bolehlah—ia disebut sebagai seorang penganut Islam liberal.
Gagasan Islam liberal berusaha memadukan Islam dengan situasi modernitas sebagai sesuatu yang tak dapat dielakkan, sehingga Islam tetap mampu menjawab perubahan sosial yang secara terus menerus terjadi. Islam harus tetap menjadi pengawal menuju realitas kesejahteraan yang hakiki ditengah pergolakan situasi modernitas dan globalisasi.

                       D. Pergolakan Pemikiran; Liberalisme (Hukum) Islam
Pembebasan atau liberasi dalam liberalisme ini terjadi di dua wilayah. Pertama wilayah iman. Kedua wilayah pemikiran. Menurut paham liberalisme, iman dan akidah adalah wilayah individu yang memiliki otonomi. Sehingga berimplikasi pada kebebasan beragama. Dalam wilayah pemikiran, liberalisasi pemikiran Islam menghadapi isu-isu global, misalnya Demokrasi, human right, kesetaraan gender, kesetaraan agama-agama dan hubungan antar agama tidak lagi terikat pada paradigma lama dan tidak pula terikat pada teks yang tidak bisa berubah dan tidak bisa diubah itu, malainkan percaya pada akal budi manusia sebagai anugrah Tuhan dalam merumuskan solusi terhadap maslah-masalah kontemporer itu (Raharjo, 2010: xliv).
Liberalisme merupakan masalah kebebasan berfikir yang sebenarnya merupakan isu klasik dalam sejarah pemikiran Islam. Isu itu mula-mula dilontarkan oleh Nabi saw sendiri, ketika mewawancarai muadz ibn Jabal, ketika akan diangkat menjadi Gubernur Yaman (Khallaf, 12). Estafet pemikir (Hukum) Islam liberal selanjutnya merupakan orang yang sangat tegas akan tetapi tetap berpijak pada maqasid al-syari’ah, Khalifah yang paling inspiratif —dibandingkan ketiga khalifah lainnya—dan tidak rigid dalam pengambilan hukum serta lebih menakankan semangat jiwa al-Qur’an dan Sunnah ketimbang teks, yaitu Umar bin Khattab. Dalam ijtihad umar miaslnya posisi akal menempati urutan pertama sehingga ia dikenal sebagai pembawa madzhab ra’yi yang hingga kini ijtihad umar bin khattab dipandang cukup kontroversial. Masa lalu Islam adalah masa lalu yang dinamis dan senantiasa progresif—tergambarkan dalam beberapa kasus yang diselesaikannya seperti; tidak menghukum orang tertangkap tangan sedang mencuri, tidak membagikan zakat kepada orang yang baru masuk islam (muallaf) dan lain sebagainya—sehingga lahirlah mengenai fiqh umar bin Khattab yang dinilai banyak sarjana muslim menyimpang dari wahyu tetapi mengandung asas manfaat dan keadilan.
Sebagai ilustrasi dinamisnya Islam masa lalu, Muhammad Iqbal (1877-1938) dalam bukunya Recontruction of Religious Though in Islam mengemukakan sebuah data yang mencengangkan; menurutnya antara tahun 800-1100 tak kurang dari 100 sistem teologi muncul dalam Islam. (Muttaqin, www.islamlib.com). Iqbal menggunakan metode dalam penggalian hukum Islam. Metode yang dimaksud bersumber pada usaha ijtihad, yang oleh Muhammad Iqbal dianggap sebagai The principle of the movemen dalam gerakan pemikiran Islam (Iqbal, 1989: 117).
Sebagimana Iqbal, Fazlur rahman (1919-1988) juga menguraikan bahwa generasi awal muslim menganggap ajaran al-Qur’an dan sunah dari nabi (Sunnah of the Prophet) sebagi sesuatu yang statis, tetapi secara esensial sebagai sesuatu yang bergerak secara kreatif melalui bentuk-bentuk sosial yang berbeda. Rahman menganggap aktualisasi kehidupan Nabi sebgai sarana yang sangat penting dalam memahami al-Qur’an. Dalam kerangka ini dinamika nilai al-Qur’an menemukan momentumnya. Karena itu, reduksi kehidupan nabi yang aktual kedalam rumusan-rumusan al-Qur’an yang dianggap standar akan mematikan semangat asli kitab suci itu. Rahman adalah tokoh neo-Modernisme Islam dan penggagas utama yang menjabarkan nilai-nilai Islam ke dalam kerangka pemahaman yang religius humanitarianistik. Sehingga hasil yang paling tampak adalah nilai-nilai Islam liberal namun tetap ortodoks (Rachman 2010).
Baik Islam liberal maupun paradigma noe-modernisme berangkat dari latar belakang yang sama yaitu modernisme Islam. Pemikiran neo-modernisme telah menghasilkan metodologi Hukum Islam yang sempurna. Yang digali dari al-Qur’an dan sunnah (preseden) dengan menggunakan metodologi yang mengarah kepada liberalisme. Namun lanjut Rahman, gerakan revivalisme menghidupkan kembali makna dan pentingnya norma-norma al-Qur’an disetiap masa. Mereka adalah kelompok pra-modern “Fundamentalis-tradisionalis-konservatif” yang memberontak melawan penafsiran al-Qur’an yang digerakkan oleh tradisi keagamaan, sebagai perlawan terhadap penafsiran yang disandarkan terhadap hermeneutika al-Qur’an antar-teks (inter-textual) (Rahman, 2000: 14).
Rahman menggunakan istilah kebangkitan kembali ortodksi untuk kemunculan gerakan fundamentalisme Islam ini. Karena  fundamentalisme adalah fakta global dan muncul pada semua kepercayaan sebagai tanggapan atas masalah-masalah modernisasi[2] (Amstrong, 2002: 193).   
Metodologi yang dikembangkan Rahman—dauble Movement—meliputi dua tahap; pertama, etika al-Qur’an dan tahap kedua, sosiologis—dua tahap ini merupakan kerja besar. Misalnya rahman sendiri, contoh usaha etika al-Qur’an lebih intensif ketimbang tafsiran sosiologis al-Qur’an atas tafsiran kontemporer. Ini terbaca dalam buku utamanya Major Themes of The Qur’an (1980). Sementara tafsir sosiologisnya hanya meliputi problem-problem mikro masyarakat Islam seperti ordonansi Hukum Islam (Keluarga Islam, keluarga berencana, riba dan bunga bank, Zakat sebagai pajak, sembelihan mesin, soal sunah, hadis dan wahyu).
Dari hal itu prinsip-prisip umum atau ratio legis yang dihasilkan gerakan vertikal inilah yang kemudian disebut Rahman sebagai hukum ideal (ideal law) yang mengandung prinsip-prinsip etika dan harus dibedakan dari aturan-aturan hukum (legal law). Menurut Rahman, hukum ideal atau prinsip-prinsip moral ini merupakan representasi kehendak ilahi yang sesungguhnya, sedangkan aturan-aturan hukum yang spesifik harus dipandang sebagai kontekstualisasi hukum ideal itu dalam lingkungan yang spesifik. Rahman kemudian berusaha mengeksplorasi hukum yang ideal dengan menjabarkan hermeneutika al-Qur’an dengan sebuah metode yang ia namakan “metode penafsiran sistematis” (The systematic interpretation method) (Rahman, 1970: 329) yang secara tekshnis meliputi dua gerakan ganda (dauble movement) yang substansinya berisi penafsiran from the present situation to Quranic time, then back to the present. (ibid, 5)   
Dalam dunia intelektual, konsep Rahman ini telah membuka suatu studi yang serius terhadap penggalian hukum Islam (ijtihad). Yang menurut rahman ijtihad adalah jihad intelektual, yakni “the effort to understand the meaning of relevan text or presedent in the past, containing a rule, and to alter that rule by extending or restricting or otherwise modifying it in such a menner that a new situasions can be subsumed under it by a new solusion (Rahman, 1982: 8). Definisi semacam ini merefleksikan suatu ruang yang sangat lebar yang memungkinkan kretifitas intelektual manusia dalam menagkap makna teks-teks dalam preseden hukum masa lalu untuk suatu kebutuhan hukum yang berbeda di masa kini karena adanya muatan baru atau kecenderungan baru. Muatan baru ini boleh jadi mengharuskan munculnya rumusan hukum yang baru tetapi harus dicarikan akar pijakan pada teks maupun preseden hukum dimasa lalu dengan melakukan perluasan makna ataupun pembatasan makna (Musahadi, 2010: 142).
Tokoh hukum Islam yang tidak kalah liberalnya adalah Muhammad Shahrur, satu dari sekian banyak intelektual Arab kontemporer, yang sedikit banyak mewarnai dialektika pemikiran Arab kontemporer. Khususnya melalui karya monumentalnya yang berjudul al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mua’shirah,[3] Shahrur berupaya menggugat monopoli pembacaan teks suci dan berupaya meruntuhkan metode yang ditawarkan ulama klasik yang cenderung unscientific[4]. Gugatan tersebut tidak serta-merta diarahkan pada ulama klasik yang karyanya menempati posisi yang berharga di masanya, melainkan kepada generasi selanjutnya yang memposisikan turaœ pada wilayah yang tak dapat didebat (ghairu qabil lin-niqas). Konsekuensinya, mereka sulit melepaskan diri dari jeratan masa lalunya dan mereka menduga bahwa produk pemikiran pendahulunya melampaui ruang dan waktu (shalih li kulli zamanin wa makanin).
Dalam konteks ini, Shahrur memetakan dua model aliran yang berkembang dalam masyarakat Arab saat ini. Pertama, skripturalis-literalis. Kelompok ini secara ketat dan kaku berpegang pada warisan masa lalunya. Khazanah yang telah mereka warisi dari pendahulunya diduga menyimpan kebenaran absolut. Oleh karenanya, menghadirkan masa lalu untuk menyelesaikan problem saat ini merupakan hal yang diidamkan.
Kedua, kelompok yang menyerukan sekularisme dan modernitas. Kelompok ini secara a priori menolak warisan Islam. Pemimpin kelompok ini adalah kaum marxis, komunis, dan beberapa kelompok pengagum nasionalisme Arab. Dalam kenyataannya, kelompok ini gagal memenuhi janjinya untuk menyediakan modernitas bagi masyarakatnya, mengingat kata Shahrur, persoalan Arab saat ini bukanlah sekularisme (atau modernitas) melainkan demokrasi. Dengan demokrasi diandaikan tercipta ruang publik (public sphere) yang bebas bagi munculnya bursa gagasan dan dengan demikian bisa menghargai pluralitas.
Melengkapi dua taksonomi tersebut, Shahrur menambah satu model yang mencoba menengahi dua kecenderungan di atas, yaitu kembali ke teks (return to texts), sembari memposisikan dirinya sebagai pengusung kelompok ini. Apa yang dimaksud dengan kembali ke teks menurut Shahrur adalah upaya membaca kitab suci dengan perangkat epistemologi yang diturunkan dari teks suci. Tentu saja, “kembali kepada teks” menurut Shahrur akan berbeda dengan apa yang dipahami kelompok islamisis, atau dalam istilah Kurzman, revivalist Islam yang selalu menggunakan slogan “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah”. Karena alasan ini, Kurzman memasukkan Shahrur dalam kategori liberal Islam, sebuah kategari pemikiran yang berlaku kritis baik terhadap customary Islam maupun revivalist Islam (Sjadzili, islamlib.com).
Bagi kalangan yang kontra, gagasan dekonstruktif Shahrur dinilai sebagai an enemy of Islam dan “a western zionist agent”. Gugatan terhadap bukunya, sempat mewarnai polemik di berbagai media, baik cetak maupun elektronik di Timur Tengah. Dr. M. Sa’id Ramdlan al-Buthy, misalnya, disebuah jurnal Timur Tengah Nahjul Islam menulis gugatan dengan tajuk—al-khilafiyah  al-yahudiyah li Syi’ari Qira’ah Mu’asirah—Lebih  lanjut Dr. Syauqi Abu Khalil sembari mengulangi gugatan al-Buthy menganggap karya Shahrur sebagai perpanjangan tangan zionis (tanfidlan liwashiyati al-shahyuniyah). Sementara gugatan yang berbentuk buku dapat disebut misalnya, Salim al-Jabi, MA. Melalui bukunya yang bertajuk Al-Qira’ah al-Mu’ashirah li al-Duktur Shahrur: Mujarradu Tanjimin (3 Volume) (1991), Al- Jabi menganggap karya Shahrur “hanyalah dugaan semata” (mujarradu tanjimin). Gugatan serupa dilancarkan oleh Thahir al-Syawwaf. Melalui bukunya, Tahafutu al- Qira’ah al- Mu’ashirah (1993) menilai karya Shahrur telah “diracuni” idiom-idiom dan retorika Marxian. Selain itu, Jamal al-Banna juga menulis sebuah catatan dalam salah satu seri bukunya, Nahwa Fiqhin Jadîdin (t.t); Nasr Hamid Abu Zayd dalam bagian bukunya yang berjudul al-Nasshu, al-Sulthah, al-Haqiqah: Bayna Iradati al-Ma’rifah wa Iradati al-Haymanah dan Dawa’iru al-Khau: Qira’ah fi al-Khithab al-Mar’ah.
Selain itu, tudingan yang tidak kalah pedasnya, sebagaimana diungkapkan Dale F. Eickelman bahwa pada tahun 1993, seorang penjual buku di Kuwait menganggap bahwa buku Shahrur “lebih berbahaya daripada Satanic Verses-nya Salman Rusydie, mengingat Shahrur menulis karya tersebut dalam kapasitasnya sebagai pemeluk Islam sebagaimana kita”. (Dale F. Eickelman dan James Piscatori, 1996). Anggapan bahwa pemikirannya berbahaya, menyebabkan sebagian pemerintah negara-negara Arab, semisal Arab Saudi, Mesir, Qatar, dan Emirat Arab secara resmi melarang peredaran buku tersebut di negaranya karena dianggap membawa “virus” liberal (www.islamlib.com).
Dari beberapa pemikir juris Islam yang penulis kemukakan diatas nampak girah dari para reformis untuk membebaskan pemikiran dari kungkungan keabadian teks yang dinilai tak lekang oleh zaman. Untuk itu paling tidak ada dua hal yang mempengaruhi watak liberal reformis (Hukum) Islam. Pertama pengaruh dari Barat. Sifat mendasar dari watak reformis (Hukum) liberalisme (kontemporer) diilhami oleh watak liberalisme Barat. karena meratanya pengaruh Barat juga merupakan kenyataan yang kuat. Saluran-saluran yang menjadi jalan masuknya pengaruh ini tak terhitung banyaknya—struktur politik, mekanisme pemerintahan dan pengadilan, ketentraman media massa, pendidikan modern, film, pemikiran modern, dan di atas segalanya, hubungan langsung dengan masyarakat Barat itu sendiri (Rahman, 2000: 313-314). Bersamaan dengan hal tersebut reformis (Hukum) mati-matian berjuang ke arah perubahan sosial-budaya dan penyesuaian dengan etika sosial yang baru. Dalam kritik Barat modern atas way of life Islam, dalam pemikiran Hukum Islam modern sendiri dan dalam appologetika yang menyusul, sesungguhnya tempat sentral diduduki oleh lembaga-lembaga sosial Islam tradisional—khususnya Hukum-hukum perkawinan dan perceraian Islam dan kedudukan wanita di masyarakat pada umumnya—Isu yang terakhir ini telah demikian tertanam dalam pemikiran Barat, hingga hampir-hampir semua yang diketahui oleh orang awam di Barat tentang Islam secara praktis dapat di ringkas dalam dua kata “Poligami” dan “harem” serta Purdah (cadar) (ibid. 339).
Kedua, pengaruh dari dalam. Selain pengaruh dari watak liberalisme Barat, pemikiran para reformis juga banyak dipengaruhi oleh pergolakan intelektual karena melihat tidak adanya demokrasi dan kebebasan sipil—yang terjadi di negara-negara timur tengah maupun dunia muslim lainnya—sehingga mendorong para reformis (kontemporer) untuk menemukan formula yang tepat khususnya mengenai pemikiran Hukum Islam dan hubungan antara at-turats dan al-hadatsah. Dalam konteks timur tengah dan dunia muslim pada umumnya, problem tersebut telah mengantarkan masyarakat terperososok dalam problematika yang beragam, seperti neo-kolonialisme, kemiskinan, ketakberdayaan, korupsi, kesenjangan ekonomi, radikalisme, tuduhan sebagai sarang teroris, peminggiran peran perempuan, dan krisis intelektual. Dalam konteks dunia Islam, problem itu telah menjatuhkan masyarakat muslim kedalam situasi yang tidak kalah pengapnya, seperti mahalnya toleransi, problem modernitas, dan krisis penyesuaian diri, hingga problem tinani politik yang tak berkesudahan. Dari hal tersebut sangat terlihat dengan jelas bahwa, apa yang dilakukan oleh syahrur dan para pembaharu (hukum) Islam dalam rangka membebaskan pemikiran dari otoritas teks.             
Demikian, argumen utama pemikir (hukum) Islam liberal tentang mengapa liberalisme itu diperlukan untuk pemikiran keagamaan. Apa yang sudah disinggung diatas, adalah beberapa contoh saja untuk menunjukkan bahwa yang menjadi concern pemikiran mereka adalah kebebasan berfikir. Manusia diciptakan oleh Tuhan dalam keadaan bebas. Kebebasan adalah anugrah terpenting yang diberikan kepada manusia. Kebebasan pendapat merupakan kebebasan individu yang tak seorang pun berhak mencegahnya. Bahkan dalam ayat suci al-Qur’an, Tuhan pun tak mencegah makhluknya berpendapat (Q.S, 2: 30).
Kebebasan berfikir adalah bagian dari syarat kemajuan sebuah masyarakat. Masyarakat yang terkekang dan tak boleh mengemukakan pendapatnya adalah masyarakat yang mendek yang tak memiliki masa depan. Sebagaimana dikemukakan Adonis[5] dengan argumentasi yang takik-takik, berlapis-lapis, rumit dan canggih, Adonis sampai pada kesimpulan bahwa di dunia Arab (Islam), aspek al-ittiba’ lebih menonjol ketimbang al-ibda’. Al-ittiba’ adalah mengikuti pola yang sudah ada. Al-ibda’ menempuh jalan baru yang belum pernah dirambah sebelumnya. Al-ittiba’ adalah membebek saja terhadap generasi masa lampau yang kerap disebut sebagai “salaf”; ibda’ adalah mencipta sendiri suatu yang baru yang belum pernah ada contohnya pada masa generasi salaf.  Disamping itu, mereka juga menganjurkan membuka pintu ijtihad seluas-luasnya, memberikan keluasan terhadap doktrin-doktrin agama dan mengkaji ulang tradisi dan keagamaan kaum muslimin.
Benang merah yang dapat diambil dari sejumlah tokoh pemikir (Hukum) Islam liberal di atas adalah perasaan dan semangat untuk membebaskan (liberating) umat Islam dari belenggu kejumudan sejak lima abad terakhir. Belenggu inilah yang dianggap sebagai sebab utama ketakberdayaan bangsa-bangsa Muslim di depan bangsa asing yang lebih maju, hanya dengan membangun kembali cara pandang dan sikap keberagamaan mereka, kondisi menyedihkan itu dapat diperbaiki.
              
             E. Penutup
Dari uraian ringkas di atas dapat kita simpulkan bahwa paham liberalisme mencakup tiga hal. Pertama, kebebasan berfikir tanpa batas alias free thinking. Kedua, senantiasa meragukan dan menolak kebenaran alias shopisme. Ketiga, sikap longgar dan semena-mena dalam beragama (loose adherence to and free exercise of religion). Yang pertama berarti kebebasan memikirkan apa saja dan siapa saja. Yang kedua lebih dikenal dengan istilah “sufasta’iyah” yang terdiri dari skeptisisme, agnostisisme dan relativisme. Sementara yang disebut terakhir tidak lain dan tidak bukan adalah manifestasi nifaq dimana seseorang tidak mau dikatakan kafir walaupun dirinya sudah tidak commited lagi pada ajaran agama.   
Pemikiran liberal sesungguhnya sudah ada sejak zaman rosulullah saw. Kemudian samapai pada masa sahabat (Umar bin khattob) kemudian samapai pade era-ulama’ klasik. Kemudian pemikiran liberalism (hukum) Islam kontemporer dimulai sejak abad 19-sekarang, pada era ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran liberal dalam bidak hukum Islam, hal tersebutdipengaruhi oleh kondisi sosial yang berbeda sedangkan Islam lahir 14 abad yang lalu. Dan Islam sebagai sebuah “Organisme” yang hidup; sebuah agama yang berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia. Hukum Islam bukan sebuah monumen mati yang di pahat pada abad 7 M, lalu dianggap sebagai fosil, atau meminjam bahasanya Ulil Absor Abdallah “patung” indah yang tidak boleh disentuh tangan sejarah karena dianggap sakral.
Tipologi Islam liberal merupakan cerminan bahwa gerakan yang sudah terpolarisasikan oleh Kurzman menjadi tiga maka, yang lebih potensial untuk mengembangkan kajian “discouse” dalam domain Hukum khususnya. Interpretasi syari’ah, dilihat dari wataknya yang dingin. Dan semangatnya untuk menegakkan nilai-nilai syariah, dengan bukti gagasan yang mereka kemukakan sangat mewarnai blantara keilkmuan “tidak” hanya dalam internal sarjana muslim saja, namun para orientalism juga turut berbicara dan memuji teori yang dikembangkan Iqbal, Fazlur Rahman, Syahrur dan kawan-kawannya.

Daftar Pustaka
Abdallah, Ulil Absor, 2006, Menjadi Muslim Liberal, Jakarta: Penerbit Nalar bekerja sama Freedom Institute.,
Al-Qashash, Ahmad, 1995, Usus Al-Nahdhah Al-Rasyidah, Beirut : Darul Ummah.,
Adams, Ian, 2004, Ideologi Politik Mutakhir (Political Ideology Today), Penerjemah Ali Noerzaman, Yogyakarta : Penerbit Qalam.,
Adonis, 2012, al-Tsabit wa-al Mutahawwil; Bahs fi al ittiba’ wa al-ibda’ inda al-Arab,Terj. Yogyakarta: Lkis.,
Charles, Kurzman, 2001, Liberal Islam: A Sourcebook. Terj. Jakarta: Paramadina.,
El-fadl, Khalled M. Abou, 2003, Speaking is God’s Name: Islamic Law, autority and Women, Oxford Oneworld Publication.
Husaini, Adian, 2005, Wajah Peradaban Barat dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, Jakarta : Gema Insani Press.,
Idris, Ahmad, 1991, Sejarah Injil dan Gereja (Tarikh Al-Injil wa Al-Kanisah), Penerjemah H. Salim Basyarahil, Jakarta : Gema Insani Press.,
Iqbal, Muhammad, 1989, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Lahore: Institut of Islamic Culture,.
Khallaf, Abdul Wahab, 1968, Khulasoh Taarikh Tasyri’ al-Islamy, ttp
Musahadi, 2010, Elemen-elemen Liberal dalam Kajian Hukum Islam di Pesantern, IAIN Walisongo: (Laporan Penelitian Individu).,
Qodir, Zuly, 2012, Islam Liberal Varian-Varian Islam Liberalisme Islam di Indonesia, Yogyakarta: LkiS.,
Rahman, Fazlur, 1970, Islamic modernism; its Scope, Method and alternatives dalam International Journal of Midle Eastern Studies, Vol. I.,
-----------, 2000, Gelombang Perubahan dalam Islam : Studi tentang Fundamentalisme Islam, Jakarta : Rajawali Press.,
-----------, 2000, Islam, Terj. Bandung: Pustaka.,
Rahman, Budhy Munawar, 2010, Pembaharuan Islam Indonesia; Sekularisme, Libera;lisme dan Pluralisme,. Jakarta: Paramadina.,
-----------, 2011, Argumen untuk  Islam Liberal, Jakarta: Paramadina.,
Rahardjo, Dawan, 2010, dalam Budhy Munawar-rahman, Pembaharuan Islam Indonesia; Sekularisme, Libera;lisme dan Pluralisme,. Jakarta: Paramadina.,
Syahrur, M, 1990, al-kitab wal Qur’an, kira’ah Mu’asirah, Damaskus: al-Ahali,
Sjadzili, Ahmad Fawaid, Figur Fenomenal dari Syria, dalam www.islamlib.com. Diakses Rabu, 22/10/2013.
Ulwan, Abdullah Nashih, 1996, Islam Syariat Abadi (Al-Islam Syar’ah Az-Zaman wa Al-Makan), Penerjemah Jamaludin Saiz, Jakarta : Gema Insani Press.,
Watt, William Motgomery, 1997, Islamic Fundamentalism and Modernity, Terj. Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada.,




[1] Lulusan Yele dan Princeton—sebelumnya menggeluti studi keislaman di Kuwait dan Mesir—ini piawai mengraikan nilai-nilai Islam klasik dalam konteks modern. Ia disebut-sebut sebagai “an inlegtened Paragon of Liberal Islam ”. selain itu penulis tema universal moralitas dan kemanusiaan, Aboe juga dikenal sebagai pembicara publik terkemuka. Dia juga aktif dalam berbagai organisasi HAM seperti, human right watch dan Lawyer’s Committe for human right. Karya-karyanya banyak dipublikasi salah satunya adalah Speaking is God’s Name: Islamic Law, autority and Women sebagai magnum opus-nya. Lihat: Khaled Aboe el-Fadl, 2003, Speaking is God’s Name: Islamic Law, autority and Women, Oxford Oneworld Publication.    
[2] Banyak sarjana yang mengakui bahwa penggunaan istilah fundamentalisme itu problematik dan tidak tepat. Istilah ini seperti dikatakan Motgomery Watt; istilah ini pada dasarnya merupakan istilah inggris—kuno kalangan protestan yang secara khusus diterapkan kepada orang-orang yang berpandangan bahwa al-kitab harus diterima dan ditafsirkan secara harfiyah. Istilah sepadan paling dekat dalam bahasa Perancis adalah integrisme yang merujuk kepada kecenderungan senada tetapi tidak pada pengertian kecenderungan yang sama dikalangan kaum katolik Romawi. Dalam Islam kaum fundamentalis sunni menerima al-Qur’an secara harfiah sekalipun dalam beberapa kasus dengan syarat-syarat tertentu, tetapi mereka juga memiliki sisi lain yang berbeda. Kaum syi’ah Iran yang dalam suatu pengertian umum adalah para fundamentalis, tidak terikat kepada penafsiran harfiyah al-Qur’an. Watt mendefinisikan fundamentalis Islam adalah kelompok muslimin yang secara sepenuhnya menerima pandangan tradisional serta berkehendak mempertahankannya secara utuh. Lihat William Motgomery watt, Islamic Fundamentalism and Modernity, h. 3-4.   
[3] Sebagaimana diakuinya, buku tersebut disusun selama kurang lebih dua puluh tahun, tepatnya mulai tahun 1970-1990. Dalam pengantar buku tersebut, Shahrur menjelaskan proses penyusunan buku tersebut sekaligus sejauh mana pengaruh rekannya -Dr. Ja’far Dek al-Bab- dalam perumusan metodologi yang ia tawarkan dalam buku tersebut. Setidaknya ada tiga tahapan dalam penyusunan buku tersebut. Tahap pertama (1970-1980). Masa ini diawali ketika beliau berada di Universitas Dublin. Masa ini merupakan masa pengkajian (muraja’aat) serta peletakan dasar awal metodologi pemahaman al-dzikr, al-kitab, al-risalah, al-nubuwah dan sejumlah kata kunci lainnya. Tahap kedua (1980-1986). Masa ini merupakan masa yang penting dalam pembentukan “kesadaran linguistik”nya dalam pembacaan kitab suci. Pada masa ini ia berjumpa dengan teman se almamaternya– Ja’far Dek- yang menekuni Linguistik di Universitas Moskow. Melalui Ja’far itulah, Shahrur banyak diperkenalkan dengan pemikiran linguis Arab semisal al-Farra’, Abu Ali al-Farisi, al-Jinny, serta al-Jurjani. Melalui tokoh-tokoh tersebut, Shahrur memperoleh tesis tentang tidak adanya sinonimitas (‘adamu al-taraduf) dalam bahasa. Sejak tahun 1984, Shahrur mulai menulis pikiran-pikiran penting yang diambil dari ayat-ayat yang tertuang dalam kitab suci. Melalui diskusi bersama Ja’far Dek, Shahrur berhasil mengumpulkan hasil pikirannya yang masih terpisah-pisah. Tahap ketiga (1986-1990). Shahrur mulai mengumpulkan hasil pemikirannya yang masih berserakan. Hingga tahun 1987, Shahrur telah berhasil merampungkan bagian pertama yang berisi gagasan-gagasan dasarnya. Segera setelah itu, bersama Ja’far Dek, Shahrur berhasil menyusun “hukum dialektika umum” yang ia bahas di bagian kedua buku tersebut. Pada tahun 1990, cetakan pertama buku ini diterbitkan.
Buku tersebut, untuk pertama kali diterbitkan oleh al-Ahali Publishing House, Damaskus dan mengalami sukses luar biasa dan dinilai sebagai salah satu buku terlaris (bestseller) di Timur Tengah. Terbukti, buku tersebut mengalami cetak ulang dari kurang lebih 20.000 eksemplar buku yang telah terjual. Bahkan, versi bajakan dan foto copy banyak beredar di banyak negara semisal Lebanon, Yordania, Mesir, Jazirah Arab,dan (termasuk) Indonesia. Tentunya, kehadiran karya tersebut menimbulkan respon yang beragam, baik pro maupun kontra. Lihat Muhyar Fanani, 2010, Fiqh Madani;Konstruksi Fiqh di Dunia Modern, Yogyakarta: LKiS
[4] Untuk itu Syahrur memberikan alternatif berupa teori “hudud” (bentuk jamak dari kata had yang secara etimologi berarti batas) dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Menurutnya al-qur’an yang mempunyai ayat qath’iy masih berlaku lapangan ijtihad didalamnya. Ia menyebutkan 6 macam teori hudud yaitu; (1) al-had al-adna (disebutkan batas minimalnya); (2) al-had al-‘ala (Batas maksimalnya); (3) al-had al-adna wa al-had al-a’la ma’an (batas minimal dan maksimal, keduanya disebutkan); (4) al-had al-adna wa al-had al-‘ala nuqtah wahidah (disebut batas minimal dan maksimalnya bertemu dalam satu titik); al-had al-a’la bi khatt muqarib li mustaqim (tidak sampai batas maksimal dan tidak menyentuh batas minimalnya); dan (6) al-had al-a’la mujib muqhlaq la ajuz tajaawuzuh, wa al-had al-adnaa saalib yaa juz tajawuzuh (batas maksimal positif dan batas minimal negative, serta keduanya bertemu di titik tengah). Lihat: Syahrur, 1990, al-kitab wal Qur’an, kira’ah Mu’asirah, Damaskus: al-Ahali,. H. 453-466.
[5] Nama aslinya adalah Ali ahmad Said, bukunya al-Tsabit wa-al Mutahawwil; Bahs fi al ittiba’ wa al-ibda’ inda al-Arab, (yang tetap dan yang berubah: pembahasan perihal epigonisme dan Inovasi di Dunia Arab). Buku ini terdiri dari tiga jilid di dalamnya mengupas dengan baik akar Intelektual, politik, kultural yang menyebabkan mandeknya kreativitas di dunia Arab. yang kemudian di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi empat jilid Dengan judul Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam.  oleh LkiS. Cet I 2007.