Tidak dapat
dipungkiri sebenarnya publik banyak yang merasa tidak puas dan frustrasi atas
kinerja birokrasi dan geliat upaya reformasi birokrasi selama ini baik di
internal birokrasi sendiri yang sering terjadi keributan dan kehebohan, karena
sedang berubah atau dipaksa berubah oleh tuntutan keadaan, dimana keadaan yang
mengharuskan birokrasi punya totalitas kinerja dan etos semangat kerja yang
baik dalam melayani publik (Sofyan Lubis).
Dalam
penyelenggaraan pelayanan publik, orientasi pada kekuasaan yang amat kuat
selama ini telah membuat birokrasi menjadi semakin jauh dari misinya untuk
memberikan pelayanan publik. Birokrasi dan para pejabat lebih menempatkan
dirinya sebagai penguasa ketimbang pelayanan publik. Meluasnya praktik-praktik
KKN dalam kehidupan birokrasi publik semakin mencoreng image masyarakat
terhadap birokrasi publik (Dwiyanto dkk, 2002: 2). Misalnya masyarakat harus
membayar lebih mahal, tidak hanya ketika menyelesaikan urusan KTP, paspor dan
berbagai perizinan, tetapi juga ketika mereka mengkonsumsi barang dan jasa yang
dihasilkan oleh sektor swasta, seperti jalan tol, transportasi dan komoditas
lainnya.
Praktik KKN semakin menjamur. Korupsi bukannya hilang malah tumbuh
subur di rahim reformasi. Politik desentralisasi yang diharapkan dapat
mensejahterakan rakyat justru menjadi lahan basah praktik korupsi. Kementrian
Dalam Negeri merilis jumlah kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi.
Kementerian ini mencatat diantara 524 kepala daerah, 173 orang terlibat
kejahatan kerah putih pada 2004-2012. Dari jumlah tersebut 70% telah diputus
bersalah dan diberhentikan dari jabatannya.
Praktek Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN) masih berlangsung hingga saat ini, Tingkat kualitas pelayanan
publik yang belum mampu memenuhi harapan publik, Tingkat efisiensi, efektifitas
dan produktivitas yang belum optimal dari birokrasi pemerintahan, Tingkat
transparansi dan akuntabilitas birokrasi pemerintahan yang masih rendah,
Tingkat disiplin dan etos kerja pegawai yang masih rendah. Grand design
reformasi birokrasi nasional dalam bentuk Peraturan Menpan No.15/2008 tentang
Pedoman Umum Reformasi Birokrasi, merupakan cetak biru reformasi hingga tahun
2025. Reformasi birokrasi nasional dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata
kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dalam paper ini
akan mndeskripsikan beberapa poin antaranya; sekilas tentang birokrasi kedua, Hukum
dan birokrasi kasus Indonesia, birokrasi indonesia menghambat hukum ketiga, Kbijakan
politik Hukum Pemberantasan Korupsi; untuk terwujudnya good gavernance, dan terakhir
sebagai penghujung paper ini akan disinggung tentang reformasi birokrasi dan
hukum sebagai penutup.
B. Sekilas tentang Birokrasi
Birokrasi berasal dari dua kata dari bahasa prancis, yang memilki
arti tersendiri. Bureu berarti office table (meja kantor) yang bertujuan
sebagai alat kerja manusia atau juga diartikan sebagai hukum untuk mencapai to-role.
Dengan demikian akan menghasilakan aturan-aturan dan juga kekuasaan. Crasy
berarti power atau dalm bentuknya berupa outority yang menghasilkan power dan
legitimation. Dengan demikian secara sederhana birokrasi menghasilkan orang
yang diberi wewenang untuk menjalankan kekuasaan (Salim, 2002: 97).
Dalam weber diktionary, istilah birokrasi (bureaucracy)
diartikan sebagai “The administrasion of gaforment trough departmens and
subdivision meneget by sets of official following an inflexible rautine”
(administrasi pemerintah melalui beberapa departemen dan beberapa sub bagian
yang dikelola oleh sekelompok pejabat untuk mengikuti rutinitas yang kaku).
Dalam kamus lengkap bahasa Indonesia karya Budiono, Birokrasi didefinisikan
sebagai “pemerintah yang di jalankan oleh pegawai bayaran yang tidak terpilih
oleh rakyat” cara pemerintah yang dikuasai oleh kaum pegawai negaeri cara kerja
atau aturan kerja yang terlampau lambat, serba menurut aturan yang berliku-liku
(Azizy, 2007: 73).
Menurut Blau (1987), birokrasi mencakup tiga unsur utama, yaitu
adanya aturan, memiliki prosedur, dan mengandung kerumitan. Lebih rinci lagi birokrasi
diuraikan sebagai: a) pembagian kerja yang pasti b) pembagian tugas berdasarkan
prinsip hirarki c) dijalankannya jenjang berdasarkan aturan d) mekanisme kerja
dijalankan secara obyektif. e) rekruitmen
yang dijalankan berdasarkan aturan tertentu f) pengalaman secara universal,
harus dijalankan secara efisien sehingga tercapai efektivitas tujuan kegiatan.
Dalam kamus politik birokrasi di definisikan sebagai (a) system
pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah oleh karena ia berpegang
pada hirarki dan jenjang jabatan. (b) cara bekerja atau susunan pekerjaan yang
serba lamban dan menurut tata auturan (adat dan sebagainya) yang banyak lika
likunya; (c) Birokrasi sering melupakan tujuan pemerintah yang sejati, karena
terlalu mementingkan cara dan bentuk. Ia menghalangi pekerjaan yang cepat serta
menimbulkan semangat menanti, menghilangkan inisiatif terikat dalam peraturan
yang jelimet dan bergantung kepada pemerintah atasan, berjiwa statis, dank
arena itu menghambat kemajuan (Tamim, 2004: 78).
Warsito Utomo (2006: 167) Guru besar dan pengelola pascasarjana
UGM, menyebutkan bahwa “Birokrasi dan birokrat merupakan pelaksana dari
kebijakan-kebijakan yang telah dibuat oleh pejabat politis untuk
direalisasikan”. Beberapa pengertian diatas menggambarkan birokrasi dengan
begitu negative. Memang dalam banyak hal, tuduhan mengenai kekakuan tersebut
tidak meleset. Namun keterikatan yang kaku ini tidak semata-mata disebabkan
oleh perilaku birokrat, tetapi justru merupakan akibat system atau akibat
tindakan lembaga lain, baik yang berkaitan dengan pemeriksaan keuangan maupun
lembaga penegak hokum. Dalam dunia korporat, penjebolan terhadap prosedur tetap
dianggap sebagai out of the box tetapi dalam system kerja birokrasi
dianggap melawan hokum. Ancaman jeratan hokum terhadapnya sangat berat,
sedangkan dalam korporat tindakan tersebut justru akan memperoleh reward yang
luar biasa. Kendala dalam birokrasi ini yang menjadi belenggu dasyat terhadap
kreatifitas, inovasi dan imajinasi pimpinan dalam menjalankan leadership
management. Sebenarnya masih banyak birokrat yang baik dan mempunyai
dedikasi tinggi, tetapi dalam waktu bersamaan mereka menyadari betul kendala
itu.
Budaya birokrasi juga menjadi faktor yang sangat penting dalam
menjalankan kegagalan birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyrakat.
Praktik-praktik dan simbol-simbol yang selama ini berkembang, dalam birokrasi
dan pemerintah sangat jauh dari kepentingan publik. Praktik-praktik
penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik yang mengabaikan
kepentingan masyrakat selama ini dianggap wajar dan bahkan memiliki kekuatan
normatif. Simbol-simbol seperti “penguasa tunggal, stabilitas nasional,
kepentingan negara dan pembangunan” telah menjadi basis dan kriteria dalam penyelenggaraan
pemerintah dan pelayanan publik (Dwiyanto, 2003: 7).
Nilai yang menghargai HAM, keadilan, dan kebebasan kerang menempati
posisi sentral dalam kehidupan pemerintah dan birokrasinya. Ini semua ikut
menjelaskan mengapa perilaku birokrasi dan pemerintah dalam pelaksanaan
kegiatan pemerintah dan pelayanan cenderung tidak responsif dan tidak aspiratif
terhadap kepentingan masyrakat dan warga negaranya.
C. Hukum dan birokrasi; kasus di Indonesia
Pada akhir tahun 2009 ini masyarakat Indonesia disuguhi dengan tontonan
beberapa kasus yang menunjukkan ke-tidak adilan dan permasalahan hukum dan
birokrasi di Negara demokrasi. Indonesia ini. Setiap hari dalam media televisi
tidak terlepaskan dari pemberitaan tentang permasalahan hukum dan birokrasi di
Indonesia ini. Permasalah hukum dan birokrasi yang mencuat pada tahun 2008/2009
ini dimulai dengan terbongkarnya kasus korupsi artalita suryani yang menyuap
salah satu oknum di jajaran penegak hukum di Indonesia ialah jajaran Kejaksaan
Agung, yakni Jaksa Muda UripTri Gunawan yang merupakan Ketua Tim Penyelidikan
Kasus BLBI-BDNI yang melibatkan artalita suryani. Tak tanggung-tanggung, ia
menerima suap sebanyak US 660.000 atau sekitar Rp 6,1 milyar dari Artalyta
Suryani, teman baik Sjamsul Nursalim, pengusaha yang terkait kasus BLBI. Jaksa
itu, oleh KPK, telah dijadikan tersangka penerima suap, kendati ia membantah
dan mengakuinya sebagai transaksi jual-beli permata. Namun KPK berkeyakinan
telah punya bukti kuat bahwa hal itu adalah suap.
Antasari Azhar, lalu selanjutnya kasus penahanan pimpinan KPK yang lainnya
yakni Candra dan Bibit. petinggi penegak hukum di Indonesia yakni Kabareskrim
Mabes Polri susno Aji dan juga wakil jaksa A.H Sitonga. mencuatnya kasus
tersebut terbuka juga kasus-kasus lainya yakni kasus century yang menghabiskan
dana sekitar 6 tririlun yang juga melibatkab petinggi pemerintahan yakni Mantan
Direktur Bank Indonesia yang sekrang menjabat sebagai wakil presiden Republik
Indonesia Budiono dan juga Menteri keuangan Sri Mulyani.
awal tahun 2009 ini tim satgas pemberantasan mafia hukum yang dibentuk
presiden susilo bambang yudhoyono bersama kementrian hukum dan ham, telah
menangkap ketidakadilan hukum di Indonesia yakni tersangka penyuapan Artalita
suryani mendapat fasilitas yang berbeda seperti halnya fasilitas hotel bintang
5 yang berbeda dengan terpidana lainnya yang harus merasakan dinginnya tidur di
lantai lapas padahal kejahatan nya tidak lebih jahat dari artalita suryani.
Lalu masuk ke permasalahn birokrasi di Indonesia. Anggodo adalah potret dari
pada orang Tionghoa yang ada di Indonesia, dengan kakaknya Anggoro sebagai pengusaha
penyedia peralatan radio komunikasi kepada Departemen Kehutanan (kasus yang
menjerat dirinya sehingga sekarang dikenal setiap orang).
Proses birokrasi seringkali memakan waktu yang panjang dalam pengurusan
surat ketika kita berhubungan dengan instansi pemerintah, entah memang lama
atau dilama-lamakan hanya Tuhan dan orang tersebut yang tahu. Tidak heran biro
jasa/calo tumbuh di mana-mana bak jamur di musim hujan, yang membantu kita
mengurus perizinan dengan instasi pemerintah.Diversivikasi pelayanan (tidak
ingin menyebut secara radikal diskriminasi berdasarkan ciri fisik) terjadi
sampai ke instansi terendah di kelurahan. Untuk mengurus KTP saja bisa beragam
harga yang diberikan, padahal sepanjang pengetahuan saya harusnya KTP itu sudah
gratis.
Kemudian kasus Nunun Nurbaeti
yang ditetapkan sebagai tersangka
dalam kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004 ini pada
Mei 2011. Keterlibatan Nunun dalam kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior
Bank Indonesia ini beberapa kali disebut dalam persidangan terdakwa Dudhie
Makmun cs. Dalam persidangan terungkap bahwa cek pelawat yang diterima Dudhie
cs berasal dari Nunun melalui Arie Malangjudo.
Rangkaian kasus-kasus permasalahan hukum dan birokrasi di Indonesia diatas
merupakan satu mol NaCl dari Ribuan bahkan jutaan mol NaCl di lautan sana.
Begitu banyak sekali kasus semacam kasus-kasus diatas yang terjadi di Indonesia
ini. Lalu apa yang bisa kita lakukan. Mungkin kita hanya bisa berharap para
penegak penegak hukum itu sadar akan keadaan bangsa kita ini sekarang. Rakyat
manunggu REFORMASI di bidang hukum dan birokrasi di Indonesia ini. Rakyat
Indonesia Menunggu REFORMASI di Instasi PEnegakan HUkum di Indonesia ( POLRI,
Kejaksaan, KPK, dsb) Apa yang presiden terpilih kita Presiden SBY yang
menjajikan reformasi di bidang hukum dan birokrasi ini belum sepenuhnya
terlaksana namun terlihat ada sekit upaya dari Presiden SBY, cotohnya dengan
dibentuknya Tim Satgas Pemberantasan Mafia Hukum di Indonesia.
Baru-baru ini di smester dua tahun 2013 kita dikejutkan dengan kasus
suap yang dilakukan oleh adik gubernur
banten (wawan) kepada ketua MK aqil mukhtar dan yang lebuh parah lagi ditemukan
obat-obatan terlarang di ruang kerja-nya tersebut. Presiden SBY pun tururn
tangan yang akhirnya membentuk tim kehormatan MK dan mengeluarkan PERPU tentang
pengawasan MK, dan mencabut independensi MK sebagai intitusi tertinggi hukum harus
diawasi oleh KY.
D. Birokrasi Indonesia Menghambat Hukum
Di dalam masyarakat dijumpai berbagai institusi yang masing-masing diperlukan oleh masyrakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan memperlancar jalannya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Oleh karena fungsinya yang demikian itu maka masyarakat sangat membutuhkan kehadiran institusi tersebut (Rahardjo, 2006: 117).Salah satu segi dari kehadiran institusi dalam masyarakat adalah proses yang harus ditempuh masyarakat untuk menjadikan institusi tersebut sebagai sarana yang bisa menjalankan peranannya secara seksama. Kita melihat bahwa institusi tersebut tumbuh disekitar kebutuhan-kebutuhan manusia dalam masyarakat. Dengan demikian yang primer adalah kebutuahn tersebut, sedangkan institusinya baru muncul kemudian. Institusi tersebut sengaja diciptakan oleh manusia dan oleh karena itu tidak dengan begitu menjadi sempurna untuk mejadi sarana penyelenggara kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Proses untuk membuat institusi tersebut untuk menjadi efektif guna melayani kebutuhan disebut penginstitusionalan. Segi ini sangat penting hubungannya dengan kehadiran hukum dalam masyrakat. Oleh karena dapat dipahami, bahwa masing-masing bangsa dan masyarakat tentunya akan sibuk menjalani proses tersebut, sampai hukumnya mencapai tingkatan yang cukup efektif untuk melayani kebutuhan sebagai warga negara. Misalnya institusi pemerintahan untuk memudahkan kita dalam mengatur memenuhi hak-hak sebagai warga negara, seperti pembuatan KTP, sertifikat tanah dan lain sebagainya. Walaupun belakangan institusi tersebut mempunyai imege kurang baik dikarenakan lemahnya pelayanan dan berbelitnya aturan yang dikeluarkan.
Dalam memenuhi kebutuhan keadilan tentu masyarakat juga memerlukan institusi untuk mengatur stabilitas keadilan sekaligus sebagai sosial kontrol yang belakangan disebut dengan institusi hukum. Hukum merupakan institusi sosial untuk menyelenggarakan keadilan dalam masyarakat. Sebagai institusi sosial, maka penyelenggaraan yang demikian itu berkaitan dengan tingkat kemampuan masyarakat itu sendiri untuk melaksanakannya. Dalam hal ini sebetulnya adalah masyarakat menghendaki mencapai kondisi tertentu yaitu ketertiban (Rahardjo, tt: 63).
Ketertiban dalam urusan keperdataan, maupun urusan keamanan (pidana), dan ketertiban birokrsi itu sendiri yang sekarang masyarakat menilai birokrasi bisa dikatakan gagal karena ribernya kalo sedang berurusan dengan birokrasi apalagi rendahnya kemampuan birokrasi dalam menjalankan kinerjanya dan bahkan sarat dengan pelicin (uang), memperparah krisis kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi (Dwiyanto, 2002: 3).
Ketertiban disini dipakai dalam konteks ketertiban dalam membangun birokrasi, namun birokrasi—sebagaimana digambarkan diatas—belum mampu memberikan ketertiban dan pelayanan yang bersih atau paling tidak bisa mengatur dalam internal birokrasi itu sendiri, oleh karenaya perlu adanya aturan hukum yang menagtur ketertiban tersebut sehingga tidak terjadi korupsi. Namun demikian yang konon tujuan dari birokrasi adalah untuk memudahkan dalam pengaturan ternyata dalam praktiknya berbalik 180 drajat. Artinya tidak berbanding lurus dengan goal diciptakannya birokrasi.
Apalagi birokrasi dituding-tuding sebagai biang kerok terjadinya kemacetan penegakan hukum di Indonesia sebagaimana yang dikatan Mahfudh MD—Mantan ketua Mahkamah Konstitusi RI—menilai birokrasi di Indonesia masih sering menghambat penegakan hukum itu sendiri. Karenanya insititusi baru yang dibentuk negara relatif bisa bagus karena birokrasinya baru. Mahfud mencontohkan birokrasi di Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK) maupun MK yang tergolong bagus bukan karena pimpinannya namun karena pegawainya orang-orang baru yang terlepas dari birokrasi lama dan terbebas dari hal-hal yang menghambat penegakan hukum. “Sebutlah Hendarman Supandji, sebelumnya adalah jaksa yang hebat dan bersih, tapi begitu masuk Kejagung, beliau tidak bisa berbuat banyak karena terbelenggu birokrasi lama, yang justru menghambat penegakan hukum di Kejagung sendiri,”.
Ditegaskan Mahfud, pejabat maupun birokrasi harus terputus dari masa lalu yang sarat dengan korupsi. “Jadi, birokrasi dan elit kita yang tersandera dengan masa lalu yang membuat kultur hukum kita ini buruk, padahal kultur rakyat sangat bagus,” ujarnya. Sementara Ketua Umum ISNU Ali Masykur Musa mengatakan, Indonesia belum mempunyai institusi penegak hukum yang berwibawa di tengah banyaknya kasus mafia peradilan dan korupsi yang melibatkan oknum-oknum kepolisian, kejaksaan, hakim, dan pengacara.
Menurutnya, institusi penegak hukum justru terbelit dengan persoalan hukum. “Hakim tindak pidana korupsi justru menjadi tersangka dalam kasus suap dan korupsi. Jaksa memilih dan membuang pasal-pasal penuntutan berdasarkan transaksi kepentingan”. Ditambah lagi, dalam hall culture jug masih ada kesenjangan antara hukum tertulis dengan perbuatan. Hukum gagal mendapat tempat dalam kerangka budaya masyarakat karena hukum dibuat berbeda dengan keinginan mereka. “Akibatnya, menegakkan supremasi hukum ibarat menegakkan benang basah karena hukum dibuat sekadar sebagai peraturan untuk dilanggar karena tidak berjangkar dari nilai-nilai masyarakat, tidak sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka, tidak melindungi dan membela kepentingan mereka (Mahfudz MD dalam http://www.jpnn.com/read).
Di dalam masyarakat dijumpai berbagai institusi yang masing-masing diperlukan oleh masyrakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan memperlancar jalannya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Oleh karena fungsinya yang demikian itu maka masyarakat sangat membutuhkan kehadiran institusi tersebut (Rahardjo, 2006: 117).Salah satu segi dari kehadiran institusi dalam masyarakat adalah proses yang harus ditempuh masyarakat untuk menjadikan institusi tersebut sebagai sarana yang bisa menjalankan peranannya secara seksama. Kita melihat bahwa institusi tersebut tumbuh disekitar kebutuhan-kebutuhan manusia dalam masyarakat. Dengan demikian yang primer adalah kebutuahn tersebut, sedangkan institusinya baru muncul kemudian. Institusi tersebut sengaja diciptakan oleh manusia dan oleh karena itu tidak dengan begitu menjadi sempurna untuk mejadi sarana penyelenggara kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Proses untuk membuat institusi tersebut untuk menjadi efektif guna melayani kebutuhan disebut penginstitusionalan. Segi ini sangat penting hubungannya dengan kehadiran hukum dalam masyrakat. Oleh karena dapat dipahami, bahwa masing-masing bangsa dan masyarakat tentunya akan sibuk menjalani proses tersebut, sampai hukumnya mencapai tingkatan yang cukup efektif untuk melayani kebutuhan sebagai warga negara. Misalnya institusi pemerintahan untuk memudahkan kita dalam mengatur memenuhi hak-hak sebagai warga negara, seperti pembuatan KTP, sertifikat tanah dan lain sebagainya. Walaupun belakangan institusi tersebut mempunyai imege kurang baik dikarenakan lemahnya pelayanan dan berbelitnya aturan yang dikeluarkan.
Dalam memenuhi kebutuhan keadilan tentu masyarakat juga memerlukan institusi untuk mengatur stabilitas keadilan sekaligus sebagai sosial kontrol yang belakangan disebut dengan institusi hukum. Hukum merupakan institusi sosial untuk menyelenggarakan keadilan dalam masyarakat. Sebagai institusi sosial, maka penyelenggaraan yang demikian itu berkaitan dengan tingkat kemampuan masyarakat itu sendiri untuk melaksanakannya. Dalam hal ini sebetulnya adalah masyarakat menghendaki mencapai kondisi tertentu yaitu ketertiban (Rahardjo, tt: 63).
Ketertiban dalam urusan keperdataan, maupun urusan keamanan (pidana), dan ketertiban birokrsi itu sendiri yang sekarang masyarakat menilai birokrasi bisa dikatakan gagal karena ribernya kalo sedang berurusan dengan birokrasi apalagi rendahnya kemampuan birokrasi dalam menjalankan kinerjanya dan bahkan sarat dengan pelicin (uang), memperparah krisis kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi (Dwiyanto, 2002: 3).
Ketertiban disini dipakai dalam konteks ketertiban dalam membangun birokrasi, namun birokrasi—sebagaimana digambarkan diatas—belum mampu memberikan ketertiban dan pelayanan yang bersih atau paling tidak bisa mengatur dalam internal birokrasi itu sendiri, oleh karenaya perlu adanya aturan hukum yang menagtur ketertiban tersebut sehingga tidak terjadi korupsi. Namun demikian yang konon tujuan dari birokrasi adalah untuk memudahkan dalam pengaturan ternyata dalam praktiknya berbalik 180 drajat. Artinya tidak berbanding lurus dengan goal diciptakannya birokrasi.
Apalagi birokrasi dituding-tuding sebagai biang kerok terjadinya kemacetan penegakan hukum di Indonesia sebagaimana yang dikatan Mahfudh MD—Mantan ketua Mahkamah Konstitusi RI—menilai birokrasi di Indonesia masih sering menghambat penegakan hukum itu sendiri. Karenanya insititusi baru yang dibentuk negara relatif bisa bagus karena birokrasinya baru. Mahfud mencontohkan birokrasi di Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK) maupun MK yang tergolong bagus bukan karena pimpinannya namun karena pegawainya orang-orang baru yang terlepas dari birokrasi lama dan terbebas dari hal-hal yang menghambat penegakan hukum. “Sebutlah Hendarman Supandji, sebelumnya adalah jaksa yang hebat dan bersih, tapi begitu masuk Kejagung, beliau tidak bisa berbuat banyak karena terbelenggu birokrasi lama, yang justru menghambat penegakan hukum di Kejagung sendiri,”.
Ditegaskan Mahfud, pejabat maupun birokrasi harus terputus dari masa lalu yang sarat dengan korupsi. “Jadi, birokrasi dan elit kita yang tersandera dengan masa lalu yang membuat kultur hukum kita ini buruk, padahal kultur rakyat sangat bagus,” ujarnya. Sementara Ketua Umum ISNU Ali Masykur Musa mengatakan, Indonesia belum mempunyai institusi penegak hukum yang berwibawa di tengah banyaknya kasus mafia peradilan dan korupsi yang melibatkan oknum-oknum kepolisian, kejaksaan, hakim, dan pengacara.
Menurutnya, institusi penegak hukum justru terbelit dengan persoalan hukum. “Hakim tindak pidana korupsi justru menjadi tersangka dalam kasus suap dan korupsi. Jaksa memilih dan membuang pasal-pasal penuntutan berdasarkan transaksi kepentingan”. Ditambah lagi, dalam hall culture jug masih ada kesenjangan antara hukum tertulis dengan perbuatan. Hukum gagal mendapat tempat dalam kerangka budaya masyarakat karena hukum dibuat berbeda dengan keinginan mereka. “Akibatnya, menegakkan supremasi hukum ibarat menegakkan benang basah karena hukum dibuat sekadar sebagai peraturan untuk dilanggar karena tidak berjangkar dari nilai-nilai masyarakat, tidak sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka, tidak melindungi dan membela kepentingan mereka (Mahfudz MD dalam http://www.jpnn.com/read).
E. Kebijakan Hukum Pemberantasan Korupsi;
mewujudkan Clean Government
Tata
pemerintahan yang baik (Good Governance) merupakan suatu konsep yang
akhir-akhir ini digunakan secara reguler dalam ilmu politik dan administrasi
publik. Konsep ini lahir dan sejalan dengan konsep-konsep terminologi demokrasi,
masyarakat sipil, partisipasi rakyat dan hak asasi manusia serta pembangunan
masyarakat secara berkesinambungan. Konsep good governance lebih dekat
dipergunakan dalam reformasi sektor publik. Paradigma baru ini lebih menekankan
pada peranan manejer publik agar memberikan pelayanan berkualitas kepada masyarakat.
Transparansi, akuntabilitas publik dan diciptakan pengelolaan manajerial yang
bersih bebas dari korupsi (Thoha, 2003: 61).
Salah satu yang
harus dipraktikkan dalam rangka mewujudkan good Public Governance adalah
pemerintah yang bersih (Clean government) yakni bersih dari praktik
penyimpangan, penyalahgunaan jabatan, dan sejenisnya, termasuk KKN. Hanya saja
ketika kita menyebut pemerintah yang bersih, perhatian kita hampir selalu tertuju
pada pmerintah yang bersih dari KKN. Oleh karena itu uraian berikut ini akan
saya fokuskan pada upaya pemberantasan korupsi.
Upaya ini
dimulai dari Tap MPR No. XI/MPR/1989 tentang penyelenggara Negara yang bersih
dan Bebas dari KKN. Tap ini memberi amanat bahwa pemberantasan KKN harus
dilaksanakan secara tegas terhadap siapapun, baik pejabat, mantan pejabat,
maupun keluarga dan kroninya dengan tetap berpegang pada prinsip praduga tak
bersalah. Dalam penjelasan resmi MPR, Tap ini masih berdaya laku (valididy)
dan berdaya guna (efficacy) walaupun telah terbentuk undang-undang
karena terdapat syarat “sampai dengan terlaksananya seluruh ketentuan dalam
ketetapan tersebut” (MPR RI, 2005: 27).
Sedangakan
peraturan perundang-undangan dalam rangka pemberantasan KKN meliputi UU No. 28
tahun 1999 tentang penyelenggaraaan negara bersir dan bebas dari KKN. UU ini
hanya memuat 10 bab dan 24 pasal. Yang sangat menarik dalam UU ini Asas umum
penyelenggaraan negara yang tertulis pada Bab III dan hanya terdiri dari satu
pasal, yakni pasal 3. Pasal ini berbunyi: Asas umum penyelenggaraan negara meliputi:
a) Asas kepastian Hukum b) Asas tertib penyelenggaraan negara c) Asas
kepentingan Umum c) Asas Keterbukaan d) Asas Proporsionalitas e) Asas Profesionalitas
d) Asas Akuntabilitas. UU ini juga mengatur “hak dan kewajiban” penyelenggraan
negara, tetapi sifatnya sangat umum sehingga kabur atau tidak jelas. Hal-hal
penting senantiasa kembali pada istilah “sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan” tanpa disebut perundangan yang mana.
UU No. 31 tahun
1999 tentang tindak pidana korupsi, UU
No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 (KPK, 11), UU No
30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana Korupsi (KPTPK), UU
No. 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang, dan UU No. 25 tahun
2003 tentang perubahan atas UU No. 15 tahun 2002.
Dengan lahirnya
TAP MPR dan beberapa UU tersebut, perangkat peraturan untuk menjalankan
pemerintahan yang bersih (clean goverment) sebenarnya sudah dikatakan
cukup. Lebih dari itu peraturan perundangan yang dibuat untuk juga sudah
mencakup ,emcakup kebijakan pengelolaan keuangan negara.
Dalam hal ini,
telah lahir paket tiga UU yaitu UU No. 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan
negara dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan Negara. Dengan paket ini keuangan negara telah mengalmi perubahan
signifikan—setidaknya secara tertulis—baik pada modelnya yang sudah mengikuti “anggaran
berbasis kinerja” maupun dari segi tata kelolanya (Azizy, 2007: 48).
Selaian itu,
pemerintyah juga masih mengeluarkan aturan berupa Intruksi Presiden (Inpres) Seperti,
Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang percapatan pemberantasan korupsi yang
dikeluarkan pada 9 desember 2004. Bisa jadi ini dimaksud sebagai implementasi dari
beberapa peraturan perundangan di atas. Inpres ini muncul ketika Presiden SBY
baru saja menjadi presiden. Semangatnya adalah memperkuat implementasi peraturan
perundang-undangan yang sudah ada, baik TAP MPR, UU, maupun peraturan yang
mengenai pemberantasan KKN. Inpres ini dengan jelas mendelegasikan wewenang kepada
beberapa menteri/departemen untuk menjalankannya. Uraiannya lebih detail dan
siapa yang ditugaskan cukup jelas.
Namun,
mekanisme koordinasi dan pengendalian di tingkat yang lenih tinggi tidak jelas
sehingga dalam praktiknya lebih menyerupai kerja sukarela tanpa kerangka
kepatuhan otoritas. Dan tampaknya Inpres tersebut tidak pernah menjadi isu
penting disetiap departemen atau kementrian, apalagi dilembaga pemerintah
non-departemen. Kinerja birokrasi kita pun bergulir seperti biasanya, akibatnya
Inpres ini kini seakan-akan hilang ditelan masa (Azizy, 51).
Juga telah
dikeluarkan Peraturan Presiden No. 7 tahun 2005 tentang pembangunan jangka
menegah (RPJM) Nasional 2004-2009, yang ditetapkan pada 19 Januari 2005. Bab 14
dari Perpres ini berjudul “Penciptaan Tata Pemerintah yang bersih dan Berwibawa”.
Dalam subbab “Permasalahan” diuraikan beberapa kelemahan termasuk yang ada di
birokrasi—setidaknya sampai 2005. Antara lain tertulis “reformasi birokrasi belum
berjalan sesuai tuntutan masyarakat”.
Setelah permasalahan,
Bab 14 ini memuat “Sasaran” yang mengarah pada lima hal. Tga hal diantaranya
berkaitan dengan birokrasi yaitu a) berkurangnya secara nyata praktik korupsi di
birokrasi. b) terciptanya sistem klembagaan dan keterlaksaan pemerintahan yang
bersih, efektif, transparan, profesional dan akuntabel c) meningkatnya
partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik.
F.
Analisis Reformasi Hukum dan Birokrasi Sebagai Penutup
Bahkan mungkin ada yang sepakat dan tidak sepakat dengan pendapat kegagalan supremasi
hukum. Tetapi kenyataan memperlihatkan bahwa supremasi hukum yang didengungkan
selama ini belum terwujud. Penegakan hukum bagaikan panggangan jauh dari api.
Adapun bentuk kegagalan supremasi hukum di era reformasi. Merupakan,
Praktik KKN semakin menjamur. Korupsi bukannya hilang malah tumbuh subur di
rahim reformasi. Politik desentralisasi yang diharapkan dapat mensejahterakan
rakyat justru menjadi lahan basah praktik korupsi. Kementrian Dalam Negeri
merilis jumlah kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Kementerian ini
mencatat diantara 524 kepala daerah, 173 orang terlibat kejahatan kerah putih
pada 2004-2012. Dari jumlah tersebut 70% telah diputus bersalah dan diberhentikan
dari jabatannya.
Pada intinya latar belakang reformasi birokrasi ini adalah praktek
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) masih berlangsung hingga saat ini, Tingkat kualitas pelayanan publik yang belum
mampu memenuhi harapan publik, Tingkat efisiensi, efektifitas dan produktivitas
yang belum optimal dari birokrasi pemerintahan, Tingkat transparansi dan
akuntabilitas birokrasi pemerintahan yang masih rendah, Tingkat disiplin dan
etos kerja pegawai yang masih rendah. Grand design reformasi birokrasi nasional
dalam bentuk Peraturan Menpan No.15/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi
Birokrasi, merupakan cetak biru reformasi hingga tahun 2025. Reformasi
birokrasi nasional dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance).
Reformasi penegakan hukum merupakan salah satu pilar penting dalam
menguatkan konsolidasi demokrasi. Tanpa penegakan hukum yang benar, adil, dan
profesional, konsolidasi demokrasi akan terganggu. Dan, tentu berkorelasi
positif dengan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Meskipun demikian,
tentu, proses reformasi penegakan hukum berbasis keadilan akan memakan waktu
dan memerlukan kesabaran. Prioritas reformasi penegakan hukum merupakan pilihan
terbaik yang mesti ditempuh oleh pemerintah. Pernyataan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) yang menjamin terus berlangsungnya pemberantasan korupsi, dan
sikap untuk mengganyang mafia penegakan hukum, kita
yakini sebagai sikap dasar penyelenggaraan pemerintahan lima tahun ke depan.
Oleh karena itu, seluruh tindakan penegakan hukum yang dilakukan secara benar,
bersih, adil, dan tanpa rekayasa menjadi kepedulian kolektif bangsa.
Mantan Ketua
Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menegaskan, penegakan hukum yang berkeadilan demi
kemandirian ekonomi harus dimulai dengan membenahi birokrasi. Hal ini karena
pelanggaran hukum yang terjadi di birokrasi lebih parah (Mahfudz MD,
2/10/2013).
Dari situ jelas birokrasi harus ada reformasi—khususnya dalam hal
tekhnis—karena kelemahan mendasar dalam perbaikan birokrasi pemerintahan adalah
pada implementasinya. Reformasi itu harus dipraktikkan, bukan hanya sekedar
diwacanakan, dianjurkan diinstruksikan, diundangkan dan sejenisnya. Harus ada
konsep operatif dengan tahapan-tahapan yang tepat akurat dan mungkin untuk
dilakukan. Sasaran dan target pada setiap tahapan harus ketat dan dibarengi
dengan contoh (role model) dari atasan sampai system yang terendah. Dan
harus dikawal dengan penjaminan dan kendali mutu, lengkap dengan reward and
punishment yang tegas jelas dan adil.
Lebih dari itu proses reformasi hokum diharuskan adanya grand
design (rencana induk) atau setidak-tidaknya Renstra (Rencana stratejik).
Pertama-tama yang dilakukan bisa jadi adalah mengungkap berbagai kelemahan
untuk kemudian dicari jalan keluarnya. Ibarat mendiagnosis orang sakit harus
diketahui secara mendetail penyakit dan penyebabnya terlebih dahulu sebelum
memberi terapi beserta resep obatnya. Begitu pula perusahaan atau birokrasi
yang sedang mengalami krisis atau bahkan hamper collapse harus
menggunakan turnaround strategy dalam memberi terapi perbaikan. Itu
berarti bukan sekedar berubah, melainkan berganti haluan dalam membangun
fondasi birokrasi agar mampu menjalankan misi reformasi Indonesia. Dengan
demikian harus ada kesadaran yang sangat tinggi terhadap perlunya change
management dalam reformasi kita, bukan hanya retorika dalam pertarungan
politik kepentingan.
Daftar Pustaka
A. Qodri Azizy, 2007, Change Management dalam Reformasi
birokrasi, Jakarta: PT Gramedia Utama.,
Blau, Peter M dan Marshall W. Meyer, 1987, Birokrasi dalam
Masyarakat Modern, Jakarta: UI Press.,
Buku Panduan KPK, Pahami dulu baru lawan.,
Dwiyanto, Agus et al, 2002, Reformasi Birokrasi Publik di
Indonesia, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.,
Mahfud Md, dalam http://www.jpnn.com/read/2012/11/09/146480/Mahfud-Tuding-Birokrasi-Hambat-Penegakan-Hukum-
diakses 2/10/2013.
Salim, Agus, 2002, Perubahan Sosial Sketsa Teori dan refleksi Metodologi
Kasus Indonesia, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.,
Thoha, Miftah, 2003, Birokrasi dan Politik Indonesia, Jakarta:
PT. Raja Grapindo Persada.,
Satdjipto Rahardjo, ttp, Masalah Penegakan Hukum; Suatu Tinjauan
Sosiologis, Departemen Kehakiman: Badan pembinaan Hukum Nasional.,
----------------, 2006, Ilmu Hukum, Bandung: PT Citra Aditya
Bhakti, Cet ke-VI.,