Thursday, January 9, 2014

Hukum dan Birokrasi Di Indonesia

 
A.    Pendahuluan
Tidak dapat dipungkiri sebenarnya publik banyak yang merasa tidak puas dan frustrasi atas kinerja birokrasi dan geliat upaya reformasi birokrasi selama ini baik di internal birokrasi sendiri yang sering terjadi keributan dan kehebohan, karena sedang berubah atau dipaksa berubah oleh tuntutan keadaan, dimana keadaan yang mengharuskan birokrasi punya totalitas kinerja dan etos semangat kerja yang baik dalam melayani publik (Sofyan Lubis).
Dalam penyelenggaraan pelayanan publik, orientasi pada kekuasaan yang amat kuat selama ini telah membuat birokrasi menjadi semakin jauh dari misinya untuk memberikan pelayanan publik. Birokrasi dan para pejabat lebih menempatkan dirinya sebagai penguasa ketimbang pelayanan publik. Meluasnya praktik-praktik KKN dalam kehidupan birokrasi publik semakin mencoreng image masyarakat terhadap birokrasi publik (Dwiyanto dkk, 2002: 2). Misalnya masyarakat harus membayar lebih mahal, tidak hanya ketika menyelesaikan urusan KTP, paspor dan berbagai perizinan, tetapi juga ketika mereka mengkonsumsi barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor swasta, seperti jalan tol, transportasi dan komoditas lainnya.  

Praktik KKN semakin menjamur. Korupsi bukannya hilang malah tumbuh subur di rahim reformasi. Politik desentralisasi yang diharapkan dapat mensejahterakan rakyat justru menjadi lahan basah praktik korupsi. Kementrian Dalam Negeri merilis jumlah kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Kementerian ini mencatat diantara 524 kepala daerah, 173 orang terlibat kejahatan kerah putih pada 2004-2012. Dari jumlah tersebut 70% telah diputus bersalah dan diberhentikan dari jabatannya.
Praktek  Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) masih berlangsung hingga saat ini, Tingkat kualitas pelayanan publik yang belum mampu memenuhi harapan publik, Tingkat efisiensi, efektifitas dan produktivitas yang belum optimal dari birokrasi pemerintahan, Tingkat transparansi dan akuntabilitas birokrasi pemerintahan yang masih rendah, Tingkat disiplin dan etos kerja pegawai yang masih rendah. Grand design reformasi birokrasi nasional dalam bentuk Peraturan Menpan No.15/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi, merupakan cetak biru reformasi hingga tahun 2025. Reformasi birokrasi nasional dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dalam paper ini akan mndeskripsikan beberapa poin antaranya; sekilas tentang birokrasi kedua, Hukum dan birokrasi kasus Indonesia, birokrasi indonesia menghambat hukum ketiga, Kbijakan politik Hukum Pemberantasan Korupsi; untuk terwujudnya good gavernance, dan terakhir sebagai penghujung paper ini akan disinggung tentang reformasi birokrasi dan hukum sebagai penutup.

B.     Sekilas tentang Birokrasi
Birokrasi berasal dari dua kata dari bahasa prancis, yang memilki arti tersendiri. Bureu berarti office table (meja kantor) yang bertujuan sebagai alat kerja manusia atau juga diartikan sebagai hukum untuk mencapai to-role. Dengan demikian akan menghasilakan aturan-aturan dan juga kekuasaan. Crasy berarti power atau dalm bentuknya berupa outority yang menghasilkan power dan legitimation. Dengan demikian secara sederhana birokrasi menghasilkan orang yang diberi wewenang untuk menjalankan kekuasaan (Salim, 2002: 97).
Dalam weber diktionary, istilah birokrasi (bureaucracy) diartikan sebagai “The administrasion of gaforment trough departmens and subdivision meneget by sets of official following an inflexible rautine” (administrasi pemerintah melalui beberapa departemen dan beberapa sub bagian yang dikelola oleh sekelompok pejabat untuk mengikuti rutinitas yang kaku). Dalam kamus lengkap bahasa Indonesia karya Budiono, Birokrasi didefinisikan sebagai “pemerintah yang di jalankan oleh pegawai bayaran yang tidak terpilih oleh rakyat” cara pemerintah yang dikuasai oleh kaum pegawai negaeri cara kerja atau aturan kerja yang terlampau lambat, serba menurut aturan yang berliku-liku (Azizy, 2007: 73).
Menurut Blau (1987), birokrasi mencakup tiga unsur utama, yaitu adanya aturan, memiliki prosedur, dan mengandung kerumitan. Lebih rinci lagi birokrasi diuraikan sebagai: a) pembagian kerja yang pasti b) pembagian tugas berdasarkan prinsip hirarki c) dijalankannya jenjang berdasarkan aturan d) mekanisme kerja dijalankan secara obyektif.  e) rekruitmen yang dijalankan berdasarkan aturan tertentu f) pengalaman secara universal, harus dijalankan secara efisien sehingga tercapai efektivitas tujuan kegiatan.
Dalam kamus politik birokrasi di definisikan sebagai (a) system pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah oleh karena ia berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan. (b) cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban dan menurut tata auturan (adat dan sebagainya) yang banyak lika likunya; (c) Birokrasi sering melupakan tujuan pemerintah yang sejati, karena terlalu mementingkan cara dan bentuk. Ia menghalangi pekerjaan yang cepat serta menimbulkan semangat menanti, menghilangkan inisiatif terikat dalam peraturan yang jelimet dan bergantung kepada pemerintah atasan, berjiwa statis, dank arena itu menghambat kemajuan (Tamim, 2004: 78).
Warsito Utomo (2006: 167) Guru besar dan pengelola pascasarjana UGM, menyebutkan bahwa “Birokrasi dan birokrat merupakan pelaksana dari kebijakan-kebijakan yang telah dibuat oleh pejabat politis untuk direalisasikan”. Beberapa pengertian diatas menggambarkan birokrasi dengan begitu negative. Memang dalam banyak hal, tuduhan mengenai kekakuan tersebut tidak meleset. Namun keterikatan yang kaku ini tidak semata-mata disebabkan oleh perilaku birokrat, tetapi justru merupakan akibat system atau akibat tindakan lembaga lain, baik yang berkaitan dengan pemeriksaan keuangan maupun lembaga penegak hokum. Dalam dunia korporat, penjebolan terhadap prosedur tetap dianggap sebagai out of the box tetapi dalam system kerja birokrasi dianggap melawan hokum. Ancaman jeratan hokum terhadapnya sangat berat, sedangkan dalam korporat tindakan tersebut justru akan memperoleh reward yang luar biasa. Kendala dalam birokrasi ini yang menjadi belenggu dasyat terhadap kreatifitas, inovasi dan imajinasi pimpinan dalam menjalankan leadership management. Sebenarnya masih banyak birokrat yang baik dan mempunyai dedikasi tinggi, tetapi dalam waktu bersamaan mereka menyadari betul kendala itu.
Budaya birokrasi juga menjadi faktor yang sangat penting dalam menjalankan kegagalan birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyrakat. Praktik-praktik dan simbol-simbol yang selama ini berkembang, dalam birokrasi dan pemerintah sangat jauh dari kepentingan publik. Praktik-praktik penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik yang mengabaikan kepentingan masyrakat selama ini dianggap wajar dan bahkan memiliki kekuatan normatif. Simbol-simbol seperti “penguasa tunggal, stabilitas nasional, kepentingan negara dan pembangunan” telah menjadi basis dan kriteria dalam penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan publik (Dwiyanto, 2003: 7).
Nilai yang menghargai HAM, keadilan, dan kebebasan kerang menempati posisi sentral dalam kehidupan pemerintah dan birokrasinya. Ini semua ikut menjelaskan mengapa perilaku birokrasi dan pemerintah dalam pelaksanaan kegiatan pemerintah dan pelayanan cenderung tidak responsif dan tidak aspiratif terhadap kepentingan masyrakat dan warga negaranya.       
        
C.    Hukum dan birokrasi; kasus di Indonesia

Pada akhir tahun 2009 ini masyarakat Indonesia disuguhi dengan tontonan beberapa kasus yang menunjukkan ke-tidak adilan dan permasalahan hukum dan birokrasi di Negara demokrasi. Indonesia ini. Setiap hari dalam media televisi tidak terlepaskan dari pemberitaan tentang permasalahan hukum dan birokrasi di Indonesia ini. Permasalah hukum dan birokrasi yang mencuat pada tahun 2008/2009 ini dimulai dengan terbongkarnya kasus korupsi artalita suryani yang menyuap salah satu oknum di jajaran penegak hukum di Indonesia ialah jajaran Kejaksaan Agung, yakni Jaksa Muda UripTri Gunawan yang merupakan Ketua Tim Penyelidikan Kasus BLBI-BDNI yang melibatkan artalita suryani. Tak tanggung-tanggung, ia menerima suap sebanyak US 660.000 atau sekitar Rp 6,1 milyar dari Artalyta Suryani, teman baik Sjamsul Nursalim, pengusaha yang terkait kasus BLBI. Jaksa itu, oleh KPK, telah dijadikan tersangka penerima suap, kendati ia membantah dan mengakuinya sebagai transaksi jual-beli permata. Namun KPK berkeyakinan telah punya bukti kuat bahwa hal itu adalah suap.
Antasari Azhar, lalu selanjutnya kasus penahanan pimpinan KPK yang lainnya yakni Candra dan Bibit. petinggi penegak hukum di Indonesia yakni Kaba­res­krim Mabes Polri susno Aji dan juga wakil jaksa A.H Sitonga. mencuatnya kasus tersebut terbuka juga kasus-kasus lainya yakni kasus century yang menghabiskan dana sekitar 6 tririlun yang juga melibatkab petinggi pemerintahan yakni Mantan Direktur Bank Indonesia yang sekrang menjabat sebagai wakil presiden Republik Indonesia Budiono dan juga Menteri keuangan Sri Mulyani.
awal tahun 2009 ini tim satgas pemberantasan mafia hukum yang dibentuk presiden susilo bambang yudhoyono bersama kementrian hukum dan ham, telah menangkap ketidakadilan hukum di Indonesia yakni tersangka penyuapan Artalita suryani mendapat fasilitas yang berbeda seperti halnya fasilitas hotel bintang 5 yang berbeda dengan terpidana lainnya yang harus merasakan dinginnya tidur di lantai lapas padahal kejahatan nya tidak lebih jahat dari artalita suryani. Lalu masuk ke permasalahn birokrasi di Indonesia. Anggodo adalah potret dari pada orang Tionghoa yang ada di Indonesia, dengan kakaknya Anggoro sebagai pengusaha penyedia peralatan radio komunikasi kepada Departemen Kehutanan (kasus yang menjerat dirinya sehingga sekarang dikenal setiap orang).
Proses birokrasi seringkali memakan waktu yang panjang dalam pengurusan surat ketika kita berhubungan dengan instansi pemerintah, entah memang lama atau dilama-lamakan hanya Tuhan dan orang tersebut yang tahu. Tidak heran biro jasa/calo tumbuh di mana-mana bak jamur di musim hujan, yang membantu kita mengurus perizinan dengan instasi pemerintah.Diversivikasi pelayanan (tidak ingin menyebut secara radikal diskriminasi berdasarkan ciri fisik) terjadi sampai ke instansi terendah di kelurahan. Untuk mengurus KTP saja bisa beragam harga yang diberikan, padahal sepanjang pengetahuan saya harusnya KTP itu sudah gratis.
Kemudian kasus Nunun Nurbaeti yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004 ini pada Mei 2011. Keterlibatan Nunun dalam kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia ini beberapa kali disebut dalam persidangan terdakwa Dudhie Makmun cs. Dalam persidangan terungkap bahwa cek pelawat yang diterima Dudhie cs berasal dari Nunun melalui Arie Malangjudo.
Rangkaian kasus-kasus permasalahan hukum dan birokrasi di Indonesia diatas merupakan satu mol NaCl dari Ribuan bahkan jutaan mol NaCl di lautan sana. Begitu banyak sekali kasus semacam kasus-kasus diatas yang terjadi di Indonesia ini. Lalu apa yang bisa kita lakukan. Mungkin kita hanya bisa berharap para penegak penegak hukum itu sadar akan keadaan bangsa kita ini sekarang. Rakyat manunggu REFORMASI di bidang hukum dan birokrasi di Indonesia ini. Rakyat Indonesia Menunggu REFORMASI di Instasi PEnegakan HUkum di Indonesia ( POLRI, Kejaksaan, KPK, dsb) Apa yang presiden terpilih kita Presiden SBY yang menjajikan reformasi di bidang hukum dan birokrasi ini belum sepenuhnya terlaksana namun terlihat ada sekit upaya dari Presiden SBY, cotohnya dengan dibentuknya Tim Satgas Pemberantasan Mafia Hukum di Indonesia.
Baru-baru ini di smester dua tahun 2013 kita dikejutkan dengan kasus suap  yang dilakukan oleh adik gubernur banten (wawan) kepada ketua MK aqil mukhtar dan yang lebuh parah lagi ditemukan obat-obatan terlarang di ruang kerja-nya tersebut. Presiden SBY pun tururn tangan yang akhirnya membentuk tim kehormatan MK dan mengeluarkan PERPU tentang pengawasan MK, dan mencabut independensi MK sebagai intitusi tertinggi hukum harus diawasi oleh KY.

D.    Birokrasi Indonesia Menghambat Hukum 

                   Di dalam masyarakat dijumpai berbagai institusi yang masing-masing diperlukan oleh masyrakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan memperlancar jalannya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Oleh karena fungsinya yang demikian itu maka masyarakat sangat membutuhkan kehadiran institusi tersebut (Rahardjo, 2006: 117).Salah satu segi dari kehadiran institusi dalam masyarakat adalah proses yang harus ditempuh masyarakat untuk menjadikan institusi tersebut sebagai sarana yang bisa menjalankan peranannya secara seksama. Kita melihat bahwa institusi tersebut tumbuh disekitar kebutuhan-kebutuhan manusia dalam masyarakat. Dengan demikian yang primer adalah kebutuahn tersebut, sedangkan institusinya baru muncul kemudian. Institusi tersebut sengaja diciptakan oleh manusia dan oleh karena itu tidak dengan begitu menjadi sempurna untuk mejadi sarana penyelenggara kebutuhan-kebutuhan tersebut. 
             Proses untuk membuat institusi tersebut untuk menjadi efektif guna melayani kebutuhan disebut penginstitusionalan. Segi ini sangat penting hubungannya dengan kehadiran hukum dalam masyrakat. Oleh karena dapat dipahami, bahwa masing-masing bangsa dan masyarakat tentunya akan sibuk menjalani proses tersebut, sampai hukumnya mencapai tingkatan yang cukup efektif untuk melayani kebutuhan sebagai warga negara. Misalnya institusi pemerintahan untuk memudahkan kita dalam mengatur memenuhi hak-hak sebagai warga negara, seperti pembuatan KTP, sertifikat tanah dan lain sebagainya. Walaupun belakangan institusi tersebut mempunyai imege kurang baik dikarenakan lemahnya pelayanan dan berbelitnya aturan yang dikeluarkan.
            Dalam memenuhi kebutuhan keadilan tentu masyarakat juga memerlukan institusi untuk mengatur stabilitas keadilan sekaligus sebagai sosial kontrol yang belakangan disebut dengan institusi hukum. Hukum merupakan institusi sosial untuk menyelenggarakan keadilan dalam masyarakat. Sebagai institusi sosial, maka penyelenggaraan yang demikian itu berkaitan dengan tingkat kemampuan masyarakat itu sendiri untuk melaksanakannya. Dalam hal ini sebetulnya adalah masyarakat menghendaki mencapai kondisi tertentu yaitu ketertiban (Rahardjo, tt: 63).
         Ketertiban dalam urusan keperdataan, maupun urusan keamanan (pidana), dan ketertiban birokrsi itu sendiri yang sekarang masyarakat menilai birokrasi bisa dikatakan gagal karena ribernya kalo sedang berurusan dengan birokrasi apalagi rendahnya kemampuan birokrasi dalam menjalankan kinerjanya dan bahkan sarat dengan pelicin (uang), memperparah krisis kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi (Dwiyanto, 2002: 3).
              Ketertiban disini dipakai dalam konteks ketertiban dalam membangun birokrasi, namun birokrasi—sebagaimana digambarkan diatas—belum mampu memberikan ketertiban dan pelayanan yang bersih atau paling tidak bisa mengatur dalam internal birokrasi itu sendiri, oleh karenaya perlu adanya aturan hukum yang menagtur ketertiban tersebut sehingga tidak terjadi korupsi. Namun demikian yang konon tujuan dari birokrasi adalah untuk memudahkan dalam pengaturan ternyata dalam praktiknya berbalik 180 drajat. Artinya tidak berbanding lurus dengan goal diciptakannya birokrasi. 
               Apalagi birokrasi dituding-tuding sebagai biang kerok terjadinya kemacetan penegakan hukum di Indonesia sebagaimana yang dikatan Mahfudh MD—Mantan ketua Mahkamah Konstitusi RI—menilai birokrasi di Indonesia masih sering menghambat penegakan hukum itu sendiri. Karenanya insititusi baru yang dibentuk negara relatif bisa bagus karena birokrasinya baru. Mahfud mencontohkan birokrasi di Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK) maupun MK yang tergolong bagus bukan karena pimpinannya namun karena pegawainya orang-orang baru yang terlepas dari birokrasi lama dan terbebas dari hal-hal yang menghambat penegakan hukum. “Sebutlah Hendarman Supandji, sebelumnya adalah jaksa yang hebat dan bersih, tapi begitu masuk Kejagung, beliau tidak bisa berbuat banyak karena terbelenggu birokrasi lama, yang justru menghambat penegakan hukum di Kejagung sendiri,”.
                Ditegaskan Mahfud, pejabat maupun birokrasi harus terputus dari masa lalu yang sarat dengan korupsi. “Jadi, birokrasi dan elit kita yang tersandera dengan masa lalu yang membuat kultur hukum kita ini buruk, padahal kultur rakyat sangat bagus,” ujarnya. Sementara Ketua Umum ISNU Ali Masykur Musa mengatakan, Indonesia belum mempunyai institusi penegak hukum yang berwibawa di tengah banyaknya kasus mafia peradilan dan korupsi yang melibatkan oknum-oknum kepolisian, kejaksaan, hakim, dan pengacara.
                Menurutnya, institusi penegak hukum justru terbelit dengan persoalan hukum. “Hakim tindak pidana korupsi justru menjadi tersangka dalam kasus suap dan korupsi. Jaksa memilih dan membuang pasal-pasal penuntutan berdasarkan transaksi kepentingan”. Ditambah lagi, dalam hall culture  jug masih ada kesenjangan antara hukum tertulis dengan perbuatan. Hukum gagal mendapat tempat dalam kerangka budaya masyarakat karena hukum dibuat berbeda dengan keinginan mereka. “Akibatnya, menegakkan supremasi hukum ibarat menegakkan benang basah karena hukum dibuat sekadar sebagai peraturan untuk dilanggar karena tidak berjangkar dari nilai-nilai masyarakat, tidak sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka, tidak melindungi dan membela kepentingan mereka (Mahfudz MD dalam http://www.jpnn.com/read).

E.     Kebijakan Hukum Pemberantasan Korupsi;
mewujudkan Clean Government
 
Tata pemerintahan yang baik (Good Governance) merupakan suatu konsep yang akhir-akhir ini digunakan secara reguler dalam ilmu politik dan administrasi publik. Konsep ini lahir dan sejalan dengan konsep-konsep terminologi demokrasi, masyarakat sipil, partisipasi rakyat dan hak asasi manusia serta pembangunan masyarakat secara berkesinambungan. Konsep good governance lebih dekat dipergunakan dalam reformasi sektor publik. Paradigma baru ini lebih menekankan pada peranan manejer publik agar memberikan pelayanan berkualitas kepada masyarakat. Transparansi, akuntabilitas publik dan diciptakan pengelolaan manajerial yang bersih bebas dari korupsi (Thoha, 2003: 61).  
Salah satu yang harus dipraktikkan dalam rangka mewujudkan good Public Governance adalah pemerintah yang bersih (Clean government) yakni bersih dari praktik penyimpangan, penyalahgunaan jabatan, dan sejenisnya, termasuk KKN. Hanya saja ketika kita menyebut pemerintah yang bersih, perhatian kita hampir selalu tertuju pada pmerintah yang bersih dari KKN. Oleh karena itu uraian berikut ini akan saya fokuskan pada upaya pemberantasan korupsi.
Upaya ini dimulai dari Tap MPR No. XI/MPR/1989 tentang penyelenggara Negara yang bersih dan Bebas dari KKN. Tap ini memberi amanat bahwa pemberantasan KKN harus dilaksanakan secara tegas terhadap siapapun, baik pejabat, mantan pejabat, maupun keluarga dan kroninya dengan tetap berpegang pada prinsip praduga tak bersalah. Dalam penjelasan resmi MPR, Tap ini masih berdaya laku (valididy) dan berdaya guna (efficacy) walaupun telah terbentuk undang-undang karena terdapat syarat “sampai dengan terlaksananya seluruh ketentuan dalam ketetapan tersebut” (MPR RI, 2005: 27).
Sedangakan peraturan perundang-undangan dalam rangka pemberantasan KKN meliputi UU No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraaan negara bersir dan bebas dari KKN. UU ini hanya memuat 10 bab dan 24 pasal. Yang sangat menarik dalam UU ini Asas umum penyelenggaraan negara yang tertulis pada Bab III dan hanya terdiri dari satu pasal, yakni pasal 3. Pasal ini berbunyi: Asas umum penyelenggaraan negara meliputi: a) Asas kepastian Hukum b) Asas tertib penyelenggaraan negara c) Asas kepentingan Umum c) Asas Keterbukaan d) Asas Proporsionalitas e) Asas Profesionalitas d) Asas Akuntabilitas. UU ini juga mengatur “hak dan kewajiban” penyelenggraan negara, tetapi sifatnya sangat umum sehingga kabur atau tidak jelas. Hal-hal penting senantiasa kembali pada istilah “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” tanpa disebut perundangan yang mana.
UU No. 31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi,  UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 (KPK, 11), UU No 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana Korupsi (KPTPK), UU No. 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang, dan UU No. 25 tahun 2003 tentang perubahan atas UU No. 15 tahun 2002.
Dengan lahirnya TAP MPR dan beberapa UU tersebut, perangkat peraturan untuk menjalankan pemerintahan yang bersih (clean goverment) sebenarnya sudah dikatakan cukup. Lebih dari itu peraturan perundangan yang dibuat untuk juga sudah mencakup ,emcakup kebijakan pengelolaan keuangan negara.
Dalam hal ini, telah lahir paket tiga UU yaitu UU No. 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan negara dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara. Dengan paket ini keuangan negara telah mengalmi perubahan signifikan—setidaknya secara tertulis—baik pada modelnya yang sudah mengikuti “anggaran berbasis kinerja” maupun dari segi tata kelolanya (Azizy, 2007: 48).
Selaian itu, pemerintyah juga masih mengeluarkan aturan berupa Intruksi Presiden (Inpres) Seperti, Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang percapatan pemberantasan korupsi yang dikeluarkan pada 9 desember 2004. Bisa jadi ini dimaksud sebagai implementasi dari beberapa peraturan perundangan di atas. Inpres ini muncul ketika Presiden SBY baru saja menjadi presiden. Semangatnya adalah memperkuat implementasi peraturan perundang-undangan yang sudah ada, baik TAP MPR, UU, maupun peraturan yang mengenai pemberantasan KKN. Inpres ini dengan jelas mendelegasikan wewenang kepada beberapa menteri/departemen untuk menjalankannya. Uraiannya lebih detail dan siapa yang ditugaskan cukup jelas.
Namun, mekanisme koordinasi dan pengendalian di tingkat yang lenih tinggi tidak jelas sehingga dalam praktiknya lebih menyerupai kerja sukarela tanpa kerangka kepatuhan otoritas. Dan tampaknya Inpres tersebut tidak pernah menjadi isu penting disetiap departemen atau kementrian, apalagi dilembaga pemerintah non-departemen. Kinerja birokrasi kita pun bergulir seperti biasanya, akibatnya Inpres ini kini seakan-akan hilang ditelan masa (Azizy, 51).
Juga telah dikeluarkan Peraturan Presiden No. 7 tahun 2005 tentang pembangunan jangka menegah (RPJM) Nasional 2004-2009, yang ditetapkan pada 19 Januari 2005. Bab 14 dari Perpres ini berjudul “Penciptaan Tata Pemerintah yang bersih dan Berwibawa”. Dalam subbab “Permasalahan” diuraikan beberapa kelemahan termasuk yang ada di birokrasi—setidaknya sampai 2005. Antara lain tertulis “reformasi birokrasi belum berjalan sesuai tuntutan masyarakat”.
Setelah permasalahan, Bab 14 ini memuat “Sasaran” yang mengarah pada lima hal. Tga hal diantaranya berkaitan dengan birokrasi yaitu a) berkurangnya secara nyata praktik korupsi di birokrasi. b) terciptanya sistem klembagaan dan keterlaksaan pemerintahan yang bersih, efektif, transparan, profesional dan akuntabel c) meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik.

F.     Analisis Reformasi Hukum dan Birokrasi Sebagai Penutup
Bahkan mungkin ada yang sepakat dan tidak sepakat dengan pendapat kegagalan supremasi hukum. Tetapi kenyataan memperlihatkan bahwa supremasi hukum yang didengungkan selama ini belum terwujud. Penegakan hukum bagaikan panggangan jauh dari api. Adapun bentuk kegagalan supremasi hukum di era reformasi.  Merupakan, Praktik KKN semakin menjamur. Korupsi bukannya hilang malah tumbuh subur di rahim reformasi. Politik desentralisasi yang diharapkan dapat mensejahterakan rakyat justru menjadi lahan basah praktik korupsi. Kementrian Dalam Negeri merilis jumlah kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Kementerian ini mencatat diantara 524 kepala daerah, 173 orang terlibat kejahatan kerah putih pada 2004-2012. Dari jumlah tersebut 70% telah diputus bersalah dan diberhentikan dari jabatannya.
Pada intinya latar belakang reformasi birokrasi ini adalah praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) masih berlangsung hingga saat ini, Tingkat kualitas pelayanan publik yang belum mampu memenuhi harapan publik, Tingkat efisiensi, efektifitas dan produktivitas yang belum optimal dari birokrasi pemerintahan, Tingkat transparansi dan akuntabilitas birokrasi pemerintahan yang masih rendah, Tingkat disiplin dan etos kerja pegawai yang masih rendah. Grand design reformasi birokrasi nasional dalam bentuk Peraturan Menpan No.15/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi, merupakan cetak biru reformasi hingga tahun 2025. Reformasi birokrasi nasional dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Reformasi penegakan hukum merupakan salah satu pilar penting dalam menguatkan konsolidasi demokrasi. Tanpa penegakan hukum yang benar, adil, dan profesional, konsolidasi demokrasi akan terganggu. Dan, tentu berkorelasi positif dengan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Meskipun demikian, tentu, proses reformasi penegakan hukum berbasis keadilan akan memakan waktu dan memerlukan kesabaran. Prioritas reformasi penegakan hukum merupakan pilihan terbaik yang mesti ditempuh oleh pemerintah. Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menjamin terus berlangsungnya pemberantasan korupsi, dan sikap untuk mengganyang mafia penegakan hukum, kita yakini sebagai sikap dasar penyelenggaraan pemerintahan lima tahun ke depan. Oleh karena itu, seluruh tindakan penegakan hukum yang dilakukan secara benar, bersih, adil, dan tanpa rekayasa menjadi kepedulian kolektif bangsa.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menegaskan, penegakan hukum yang berkeadilan demi kemandirian ekonomi harus dimulai dengan membenahi birokrasi. Hal ini karena pelanggaran hukum yang terjadi di birokrasi lebih parah (Mahfudz MD, 2/10/2013).
Dari situ jelas birokrasi harus ada reformasi—khususnya dalam hal tekhnis—karena kelemahan mendasar dalam perbaikan birokrasi pemerintahan adalah pada implementasinya. Reformasi itu harus dipraktikkan, bukan hanya sekedar diwacanakan, dianjurkan diinstruksikan, diundangkan dan sejenisnya. Harus ada konsep operatif dengan tahapan-tahapan yang tepat akurat dan mungkin untuk dilakukan. Sasaran dan target pada setiap tahapan harus ketat dan dibarengi dengan contoh (role model) dari atasan sampai system yang terendah. Dan harus dikawal dengan penjaminan dan kendali mutu, lengkap dengan reward and punishment yang tegas jelas dan adil.
Lebih dari itu proses reformasi hokum diharuskan adanya grand design (rencana induk) atau setidak-tidaknya Renstra (Rencana stratejik). Pertama-tama yang dilakukan bisa jadi adalah mengungkap berbagai kelemahan untuk kemudian dicari jalan keluarnya. Ibarat mendiagnosis orang sakit harus diketahui secara mendetail penyakit dan penyebabnya terlebih dahulu sebelum memberi terapi beserta resep obatnya. Begitu pula perusahaan atau birokrasi yang sedang mengalami krisis atau bahkan hamper collapse harus menggunakan turnaround strategy dalam memberi terapi perbaikan. Itu berarti bukan sekedar berubah, melainkan berganti haluan dalam membangun fondasi birokrasi agar mampu menjalankan misi reformasi Indonesia. Dengan demikian harus ada kesadaran yang sangat tinggi terhadap perlunya change management dalam reformasi kita, bukan hanya retorika dalam pertarungan politik kepentingan.
        

Daftar Pustaka
A. Qodri Azizy, 2007, Change Management dalam Reformasi birokrasi, Jakarta: PT Gramedia Utama.,
Blau, Peter M dan Marshall W. Meyer, 1987, Birokrasi dalam Masyarakat Modern, Jakarta: UI Press.,
Buku Panduan KPK, Pahami dulu baru lawan.,
Dwiyanto, Agus et al, 2002, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.,
Salim, Agus, 2002, Perubahan Sosial Sketsa Teori dan refleksi Metodologi Kasus Indonesia, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.,
Thoha, Miftah, 2003, Birokrasi dan Politik Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada.,
Satdjipto Rahardjo, ttp, Masalah Penegakan Hukum; Suatu Tinjauan Sosiologis, Departemen Kehakiman: Badan pembinaan Hukum Nasional.,
----------------, 2006, Ilmu Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bhakti, Cet ke-VI.,