Berbicara
mengenai seks tentu berbicara mengenai kehidupan manusia seutuhnya. Seksualitas
sudah berlangsung secara turun temurun dan mempunyai umur panjang sepanjang
peradaban manusia itu sendiri. Munculnya seks tidak lepas dari kehendak hasrat
biologisnya. Karena manusia yang disebut dalam al-Qur’an sebagai makhluk
ciptaan Tuhan yang paling Indah (ahsani Takwim) pun jua sebagai makhluk
Tuhan yang paling aneh. Manusia adalah misteri bagi dirinya sendiri dan orang
lain.
Ia tidak
sepenuhnya bergerak dengan pikirannya tetapi juga bertindak dan berpikir dengan
naluri libido dan bahkan akal sehat sering dikalahkan oleh gairah dan hasrat
dan libido tersebut. Secara eksistensial manusia bergerak, memburu,
memperebutkan dan mempertaruhkan diri untuk kenikmatan-kenikmatan dan
hasrat-hasrat (hubb Syahawat). Maka dari itu menjadi kebutuhan/fitrah bagi
manusia—secara normal maupun abnormal berupa menyukai hubunngan—akan pemenuhan
hasrat seksualitas.
Dan
mungkin sudah menjadi bagian dari rencana tuhan (sunnah Allah) bahwa
seksualitas manusia yang menggembu-gembu harus dikendalikan oleh tatanan
normatif yang berupa etika agama. Sebagai moralitas agama menjadi semacam
pengendali bagi tindakan seksualitas yang tanpa batas. Sedangkan manusia adalah
pelintas batas (termasuk dalam urusan seksualitas). Naumun kenyataannya agama
harus tertatih-tatih dalam menghadapi gelagak seksualitas yang semakin
menemukan wilayah otonomnya.
Seks,
sebagaimana Tuhan, adalah sesuatu yang sangat misterius dan unik., kita tentu
patut bertantanya-tanya mengapa seks dan seksualitas menempati “maqam” sangat
istimewa di benak manusia sehingga diselubungi, ditutupi, diintip,
dikomodifikasi, diharamkan, ditabukan, dan bahkan ada yang dikutuk, namun bagi
sebagian orang seks juga dianggap sebagai “barang” yang berharga sehingga perlu
“dirayakan” dengan sejumlah ritus sebelum aktivitas seks berlangsung. Prosesi
perayaan ritual seks itu sudah dilakukan manusia sejak zaman kerajaan dan
dilakukan para “pemegang” kekuasaan tempo dulu di blahan dunia manapun.,
Fenomena
“Jakarta Undercover” (sebagaimana di kutip al-Qurtuby) yang menampilkan
hidangan seks begitu ekslusif, lux, berharga tetapi indah dan menawan dengan
latar ritual tertentu khas “orang modern” hanyalah modifikasi atau hanyalah
sekedar atau sekedar melanjutkan tradisi purba itu., persis seperti bepakaian
serba mini atau bahkan telanjang bulat sebetulnya bukanlah bagian dari atau
tradisi kebudayaan modern melainkan warisan kebudayaan purba dari para leluhur
kita. Tetapi justru karena istimewanya itu, kelahiran seks selalu memicu
kontroversi dari waktu ke waktu. Pada waktu dan ruang tertentu seks pernah
dpuja karena dianggap sebagai sesuatu yang “sakral” tetapi pada saat yang lain
seks dimaki dan dikutuk lantaran dianggap sebagai aktivitas kotor, tabu,
menjijikan dan kotor.,
Seks
sebagai sesuatu yang sakral, suci dan menyimpang sejuta magis, mislnya tampak
pada tradisi masyarakat India, China dan Jawa kuno (sebagian di warisi oleh
masyarakat kraton). Sebagaimana dalam tradisi India memiliki kamasutra, di Jawa
juga memiliki asmaragama, atau “seni persenggamaan”. Dalam tradisi ini seks
bukan semata-mata merupakan tradisi badaniah, kotor rendah dan murahan, dan
hanya melampiaskan nafsu birahi semata (sebagaimana trend dewasa ini) melainkan sebuah aktivitas yang sakral “aktivitas
batin” yang penuh kearifan dan simbol-simbol filosofis spiritual. Karena
memandang seks sebagai aktivitas ritual yang suci dan sakral, penuh sopan
santun dengan adab dan tata-krama tertentu; dengan mantra, wewangian, air
bertaburan dengan bunga dan seterusnya.,
Mereka memandang
seks sebagai aktivitas ritual yang sakral karena seks adalah “awal mula
kehidupan” dunia, dan kehidupan ini ada setelah melalui proses senggama! Dewasa
ini di Indonesia yang konon menjunjung tinggi budaya “adiluhung” dan
“konservative” terhadap seks saja belakangan dikejutkan dengan fenomena “
Jakarta undercover” dimana seks tidak lagi menjadi maslah private dan personal
melainkan sudah menjadi fenomena public dan mengalami “vulgarisasi”. Ini adalah
babak revolusi seks yang maha dahsyat dalam tradisi masyarakat kita.,
*******
Masyarakat
dewasa ini tiada lagi percaya bahwa seks adalah bagian dari simbol kekuasaan
dan simbol pusaka sebagaimana yang dikerjakan oleh Kertanegara, Ken Arok,
hingga Paku
Buwono X. Dalam sejarah nusantara seks yang menjurus ke kekuasaan yang berujung
kepda ritual
(keagamaan) juga terjadi. Ken Arok, penguasa dan perintis Kerajaan Singosari
harus membunuh Tunggul Ametung lalu menikahi Ken Dedes, istri Tunggul Ametung.
Penguasa terakhir Singasari Raja Kertanegara dikenal memuja prinsip “molimo” di
antaranya bermain seks sepuas-puasnya dan pada zamannya tidak dianggap aib.
Ken Arok juga berjuang
mati-matian untuk mengawini Ken Dedes. Kepercayaan tempo dulu, Dalam organ
kelamin perempuan tersebut terpancar cahaya yang dimaknai sebagai sumber
kekuatan. Dan, diyakini mampu mengantarkan mantan berandal itu menjadi penguasa
yang hebat di bumi Singasari. Raja Kertanegara (majapahit) sengaja berhubungan
seks sepuas mungkin melalui jalan tantrisme demi mencari jimat atau kekuatan
gaib agar negerinya makmur dan rakyat panen raya. Dalam konteks sejarah (nusantara) Seks memang bukan
barang tabu di dalam lingkungan keraton. Raja mau mengangkat berapa selir pun
tak jadi soal. Akan tetapi, sejarah telah meninggalkan pesan bahwa jangan
sampai raja bermain dengan perempuan sembarangan (prostitusi) jika tidak mau
pamornya melorot dan dicibir.
Presiden pertama RI adalah penganut poligami, bahkan
hal itu tidak dipersoalkan oleh rakyatnya dalam tempo yang cukup lama. Jangan
lupa meski membenci budaya Barat seperti lagu-lagu The Beatles yang dianggap
sebagai budaya ‘‘ngak ngik ngok’‘, Bung Karno ternyata juga ingin membaca
majalah Playboy.
Menurut Marshal Green, duta besar Amerika Serikat (AS)
yang bertugas di Indonesia sejak medio 1965, pada saat menyerahkan surat
kepercayaan di tengah pesta koktail di istana, Bung Karno masih sempat
membisiki Green untuk dikirimi majalah Playboy. Konon Green memang memesan
majalah itu, tetapi tidak sampai menyerahkan kepada Soekarno. Toh rakyat banyak
ketika itu sudah bisa maklum pada Sang Pemimpin Besarnya.
Baru menjelang kekuasaannya meredup, Soe Hok Gie dalam
buku hariannya mengaku sebel dengan pesta pora yang diadakan Bung Karno dengan
para istri mudanya seperti Nyonya Sari Dewi yang orang Jepang. Demo untuk
menumbangkan Bung Karno pun dirancang. Bagaimanapun, kita bisa melihat bahwa
dengan banyak wanita, Bung Karno bisa memimpin negeri ini selama 20 tahun
lebih.
Apalagi poligami yang dilakukan Bung Karno bukan masuk
kategori skandal seks, meskipun menurut kaum feminis baik poligami maupun
skandal seks pada hakikatnya sama-sama melecehkan martabat perempuan Bagaimana
pasca Soekarno? Sejauh ini informasi yang ada memang hanya masih dalam kategori
rumor seperti yang menimpa Pak Harto atau Gus Dur.
Jadi karena masih rumor, rasanya tidak layak jika
dimasukkan dalam tulisan ini. Yang bukan rumor memang yang menimpa YZ
belakangan ini. Tapi seperti dikatakan Permadi, sebenarnya kasus skandal seks
di DPR Pusat merupakan fenomena gunung es. Jadi YZ hanya satu contoh kecil,
meskipun mengundang kehebohan besar. Di sinilah peran media sebagai penjaga
demokrasi kita untuk bisa bekerja keras lagi untuk mengungkap fakta-fakta
tentang skandal seks yang ada di balik kamar kerja para pejabat publik kita.
Akhirnya, meski persoalan skandal seks berada dalam
ranah privat, tapi di negara liberal seperti Amerika Serikat, Inggris atau
Belanda saja, masyarakatnya tetap menilai bahwa orang-orang yang pernah
terlibat skandal seks tidak pantas menjadi wakil rakyat, menteri, presiden,
atau pejabat publik lainnya. Seks dan kekuasaan memang ibarat gula dan semut,
saling berkaitan sama lain. Namun, jika seks menjadi skandal, karier politik
yang dibangun puluhan tahun pun bisa hancur hanya dalam waktu 43 detik, seperti
durasi atau lamanya video mesum Yahya Zaini dan Maria Eva.
********
Saya
tidak berani membakar semangat mereka. saya ingin menunjukkan bahwa agama (Islam)
yang tereformasi tidak harus menjadi proyek yang lumpuh. Oleh sebab itu transmisi
gagasan-gagasan pembaharuan merupakan bidang kajian Islam yang tidak (boleh)
terlantar. banyaknya kajian tentang transmisi ilmu pengetahuan, misalnya dari
Yunani kepada kaum muslim dan selanjutnya kepada Eropa modern, tidak terdapat
kajian komprehensip tentang transmisi gagasan-gagasan keagamaan—khususnya
gagasan-gagasan pembahruan—dari pusat-pusat keilmuan Islam ke bagian-bagian
lain dunia muslim.,
Oleh
sebeb itu apa yang kita saksikan dewasa ini adalah sebuah pemandangan keangkuhan
kaum beragama dan (lembaga agama) terhadap fenomena seksualitas yang vulgar
sebagai haram, maksiat, tidak bermoral dan seterusnya. Padahal moralitas atau
halal-haram bukanlah sesuatu yang given dari Tuhan melainkan hasil ijtimaiyyah
atau kesepakatan kontruksi “tangan-tangan gaib” (invisible hand, istilah adam
smith) baik kekuasaan politik maupun otoritas agama. Teks-teks keagamaan dalam
banyak hal merupakan hasil “perselingkuhan” antara “elit” agama dengan pimpinan
politik dalam rangka menciptakan stabilitas.,
Saya rasa
“ruh” tidak mempunyai seksualitas dan Tuhan tidak mempunyai urusan dengan
seksualitas, jangankan masalah seksual, persoalan agama atau keyakinan saja yang
sangat fundamental, Tuhan—seperti secara eksplisit tertuang dalam al-Qur’an—telah
membebaskan manusia untuk memilih; menjadi mukmin atau kafir. Maka, jika
keyakinan saja Tuhan tidak peduli apalagi masalah seks? Jika kita mengandaikan Tuhan
akan mengutuk sebuah praktik “seks bebas” atau seks yang tidak mengikuti sebuah
aturan main yang “resmi” seperti tercantum dalam diktum keagamaan, maka
sesungguhnya tanpa kita sadar telah merendahkan martabat Tuhan itu sendiri.
Jika agama masih mengurusi masalah seksualitas dan alat kelamin, itu
m,enunjukkan rendahnya kualitas agama itu.,
Demikian
juga ketika kita masih meributkan maslah kelamin halnya—yang dilakukan MUI yang
ngotot memperjuangkan projek Porno aksi dan pornografi—itu juga sebagai petanda
rendahnya kualitas keimanan kita sekaligus rapuhnya fondasi spiritualitas kita.
Sebaliknya jika ruh dan spiritualitas kita tangguh maka apalah artinya segumpal
daging bernama vagina dan penis itu. Apalah bedanya vagina dan penis itu dengan
telinga, ketiak hidung, tangan, dan organ tubuh lainnya. Agama semestinya “mengakomodasi”
bukan “mengeksekusi” fakta keberagam ekspresi seksualitas masyarakat. Ingatlah
dosa bukan karena daging yang kotor” melainkan otak dan ruh kita yang penuh
noda. Paul evdokimov dalam The Struggle with God sebagaimana dikutip oleh Qurtuby menuturkan
dengan kata yang menarik “Sin never comes from below; from the flash, but from
above, from the spirit. The first fall occurred in the world of anggels pure
spirit...”
Bahkan
lebih jauh, ide tentang doa sebetulnya adalah ahal-hal yang terkait dengan
sosial kemanusiaan bukan ritual ketuhanan. Dalam konteks ini maka hubungan seks
baru dikatakan “berdosa” jika dilakukan dengan pemaksaan dan menyakiti (baik
fisik maupun non fisik) atas pasngan kita. Seks jenis inilah yang kemudian
disebut “pemerkosaan”. Kata ini tidak hanya mengacu pada hubungan seks di luar
rumah tangga tetapi juga di dalam rumah tangga itu sendiri. Seorang baik
laki-laki mapupun perempuan) dikatakan memperkosa (baik yang sudah diikat
dengan akad-nikah maupun belum) jiak ia melakukan hubungan seks ada pihak yang
tertekan, tertindas karena mungkin di intimidasi) sehingga mungkin menimbulkan
perasan tidak nyaman) inilah tafsir pemerkosaan. Dalam konteks ini pula saya
menolak tek-teks keagamaan (apapun bentuknya) yang berisi kutukan dan laknat Tuhan
kepada perempuan/istri jika tidak mau melayani birahi seks suami. Sebagaimana
hadis Abu Hurairah yang mengatakan “ malaikat akan melaknat perempuan/istri
sampai subuh, jika menolak ajakan suami untuk berhubungan seks”. Sungguh teks demikian bukan hanya bias gender
tetapi sangat tidak demokratis, dan karena itu berlawanan dengan spirit keislaman
dan nilai-nilai universal Islam.,
Lalu
bagaimana hukum seks yang dilakukan atas dasar suka sama suka, demokratis,
ridak ada pihak yang “disubordinasi” dan “diintimidasi”? atau bagaimana hukum
orang yang melakukan hubungan seks dengan pelacur (maaf jika kata ini kurang
sopan), dengan escort lady, call girl dan sejenisnya? Atau hukum seorang
permpuan, tante-tante, janda-janda, atau wanita yang kesepian yang menyewa
gigolo untuk melampiaskan nafsu seks? Sedang dalam fiqh memang mengatakan “al-ashlu
fi al-ibda’ al-tahrim” yakni hubungan seks pada dasarnya adalah haram sampai
ada sebab-sebab yang jelas dan yakin yang menghalalkannya, yakni akad-nikah. Islam—atau
setidaknya para “elit” agama—memang tidak membolehkan seks di obral secara
bebas dalam pengertian tanpa akad nikah itu tadi., masalah seks harus dibungkus
rapat seperti orang Arab membungkus rapat badan mereka di balik jubah, gamis
dan cadar. Bukankah sama dengan seorang dosen atau penulis boleh “menjual”
otaknya untuk memperoleh honor, atau seorang dai, pengkhotbah yang menjual
mulut untuk mencari nafkah, atau penyanyi dangdut yang menjual” pantat dan
pinggul mereka untuk mendapatkan uang, atau seorang penjahit atau pengrajin
yang “menjual” tangan untuk menghidupi keluarga, apakah tidak boleh seorang
laki-laki atau perempuan yang “menjual” alat kelaminnya anak-anak istri/suami
mereka?
Ada
sebuah kisah yang menarik dalam sejarah keislaman yang layak bagi kita untuk dijadikan bahan
renungan “ada seorang pelacur kawakan yang sudah letih mencari pengampunan kemudian
menyusuri padang pasir yang tandus. Ia hanya berbekal sebotol air dan sepotong
roti. Setelah berjalan cukup jauh di tengah perjalanan ia dapati seekor anjing
yang sedang kelaparan dan kehausan. Karena perasaan iba dengan anjir tadi, si
pelacur akhirnya ,memberikan roti dan air itu kepadanya. Berita ini sampai
kepada Nabi Muhammad yang mulia. Dengan bijak beliau mengatakan behwa si
pelacur tadi kelah akan masuk surga?
Kiasah
tersebut menunjukkan bahwa Islam lebih mementingkan rasa sosial-kemanusiaan
ketimbang urusan kelamin. []