Monday, January 27, 2014

Agama, Seks dan Kekuasaan



Berbicara mengenai seks tentu berbicara mengenai kehidupan manusia seutuhnya. Seksualitas sudah berlangsung secara turun temurun dan mempunyai umur panjang sepanjang peradaban manusia itu sendiri. Munculnya seks tidak lepas dari kehendak hasrat biologisnya. Karena manusia yang disebut dalam al-Qur’an sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling Indah (ahsani Takwim) pun jua sebagai makhluk Tuhan yang paling aneh. Manusia adalah misteri bagi dirinya sendiri dan orang lain.

Ia tidak sepenuhnya bergerak dengan pikirannya tetapi juga bertindak dan berpikir dengan naluri libido dan bahkan akal sehat sering dikalahkan oleh gairah dan hasrat dan libido tersebut. Secara eksistensial manusia bergerak, memburu, memperebutkan dan mempertaruhkan diri untuk kenikmatan-kenikmatan dan hasrat-hasrat (hubb Syahawat). Maka dari itu menjadi kebutuhan/fitrah bagi manusia—secara normal maupun abnormal berupa menyukai hubunngan—akan pemenuhan hasrat seksualitas.  


Dan mungkin sudah menjadi bagian dari rencana tuhan (sunnah Allah) bahwa seksualitas manusia yang menggembu-gembu harus dikendalikan oleh tatanan normatif yang berupa etika agama. Sebagai moralitas agama menjadi semacam pengendali bagi tindakan seksualitas yang tanpa batas. Sedangkan manusia adalah pelintas batas (termasuk dalam urusan seksualitas). Naumun kenyataannya agama harus tertatih-tatih dalam menghadapi gelagak seksualitas yang semakin menemukan wilayah otonomnya.

Seks, sebagaimana Tuhan, adalah sesuatu yang sangat misterius dan unik., kita tentu patut bertantanya-tanya mengapa seks dan seksualitas menempati “maqam” sangat istimewa di benak manusia sehingga diselubungi, ditutupi, diintip, dikomodifikasi, diharamkan, ditabukan, dan bahkan ada yang dikutuk, namun bagi sebagian orang seks juga dianggap sebagai “barang” yang berharga sehingga perlu “dirayakan” dengan sejumlah ritus sebelum aktivitas seks berlangsung. Prosesi perayaan ritual seks itu sudah dilakukan manusia sejak zaman kerajaan dan dilakukan para “pemegang” kekuasaan tempo dulu di blahan dunia manapun.,

Fenomena “Jakarta Undercover” (sebagaimana di kutip al-Qurtuby) yang menampilkan hidangan seks begitu ekslusif, lux, berharga tetapi indah dan menawan dengan latar ritual tertentu khas “orang modern” hanyalah modifikasi atau hanyalah sekedar atau sekedar melanjutkan tradisi purba itu., persis seperti bepakaian serba mini atau bahkan telanjang bulat sebetulnya bukanlah bagian dari atau tradisi kebudayaan modern melainkan warisan kebudayaan purba dari para leluhur kita. Tetapi justru karena istimewanya itu, kelahiran seks selalu memicu kontroversi dari waktu ke waktu. Pada waktu dan ruang tertentu seks pernah dpuja karena dianggap sebagai sesuatu yang “sakral” tetapi pada saat yang lain seks dimaki dan dikutuk lantaran dianggap sebagai aktivitas kotor, tabu, menjijikan dan kotor.,
Seks sebagai sesuatu yang sakral, suci dan menyimpang sejuta magis, mislnya tampak pada tradisi masyarakat India, China dan Jawa kuno (sebagian di warisi oleh masyarakat kraton). Sebagaimana dalam tradisi India memiliki kamasutra, di Jawa juga memiliki asmaragama, atau “seni persenggamaan”. Dalam tradisi ini seks bukan semata-mata merupakan tradisi badaniah, kotor rendah dan murahan, dan hanya melampiaskan nafsu birahi semata (sebagaimana trend dewasa ini)  melainkan sebuah aktivitas yang sakral “aktivitas batin” yang penuh kearifan dan simbol-simbol filosofis spiritual. Karena memandang seks sebagai aktivitas ritual yang suci dan sakral, penuh sopan santun dengan adab dan tata-krama tertentu; dengan mantra, wewangian, air bertaburan dengan bunga dan seterusnya.,

Mereka memandang seks sebagai aktivitas ritual yang sakral karena seks adalah “awal mula kehidupan” dunia, dan kehidupan ini ada setelah melalui proses senggama! Dewasa ini di Indonesia yang konon menjunjung tinggi budaya “adiluhung” dan “konservative” terhadap seks saja belakangan dikejutkan dengan fenomena “ Jakarta undercover” dimana seks tidak lagi menjadi maslah private dan personal melainkan sudah menjadi fenomena public dan mengalami “vulgarisasi”. Ini adalah babak revolusi seks yang maha dahsyat dalam tradisi masyarakat kita.,

*******

Masyarakat dewasa ini tiada lagi percaya bahwa seks adalah bagian dari simbol kekuasaan dan simbol pusaka sebagaimana yang dikerjakan oleh Kertanegara, Ken Arok, hingga Paku Buwono X. Dalam sejarah nusantara seks yang menjurus ke kekuasaan yang berujung kepda ritual (keagamaan) juga terjadi. Ken Arok, penguasa dan perintis Kerajaan Singosari harus membunuh Tunggul Ametung lalu menikahi Ken Dedes, istri Tunggul Ametung. Penguasa terakhir Singasari Raja Kertanegara dikenal memuja prinsip “molimo” di antaranya bermain seks sepuas-puasnya dan pada zamannya tidak dianggap aib.

Ken Arok juga berjuang mati-matian untuk mengawini Ken Dedes. Kepercayaan tempo dulu, Dalam organ kelamin perempuan tersebut terpancar cahaya yang dimaknai sebagai sumber kekuatan. Dan, diyakini mampu mengantarkan mantan berandal itu menjadi penguasa yang hebat di bumi Singasari. Raja Kertanegara (majapahit) sengaja berhubungan seks sepuas mungkin melalui jalan tantrisme demi mencari jimat atau kekuatan gaib agar negerinya makmur dan rakyat panen raya. Dalam konteks sejarah (nusantara) Seks memang bukan barang tabu di dalam lingkungan keraton. Raja mau mengangkat berapa selir pun tak jadi soal. Akan tetapi, sejarah telah meninggalkan pesan bahwa jangan sampai raja bermain dengan perempuan sembarangan (prostitusi) jika tidak mau pamornya melorot dan dicibir.
Presiden pertama RI adalah penganut poligami, bahkan hal itu tidak dipersoalkan oleh rakyatnya dalam tempo yang cukup lama. Jangan lupa meski membenci budaya Barat seperti lagu-lagu The Beatles yang dianggap sebagai budaya ‘‘ngak ngik ngok’‘, Bung Karno ternyata juga ingin membaca majalah Playboy.

Menurut Marshal Green, duta besar Amerika Serikat (AS) yang bertugas di Indonesia sejak medio 1965, pada saat menyerahkan surat kepercayaan di tengah pesta koktail di istana, Bung Karno masih sempat membisiki Green untuk dikirimi majalah Playboy. Konon Green memang memesan majalah itu, tetapi tidak sampai menyerahkan kepada Soekarno. Toh rakyat banyak ketika itu sudah bisa maklum pada Sang Pemimpin Besarnya.
Baru menjelang kekuasaannya meredup, Soe Hok Gie dalam buku hariannya mengaku sebel dengan pesta pora yang diadakan Bung Karno dengan para istri mudanya seperti Nyonya Sari Dewi yang orang Jepang. Demo untuk menumbangkan Bung Karno pun dirancang. Bagaimanapun, kita bisa melihat bahwa dengan banyak wanita, Bung Karno bisa memimpin negeri ini selama 20 tahun lebih.

Apalagi poligami yang dilakukan Bung Karno bukan masuk kategori skandal seks, meskipun menurut kaum feminis baik poligami maupun skandal seks pada hakikatnya sama-sama melecehkan martabat perempuan Bagaimana pasca Soekarno? Sejauh ini informasi yang ada memang hanya masih dalam kategori rumor seperti yang menimpa Pak Harto atau Gus Dur.

Jadi karena masih rumor, rasanya tidak layak jika dimasukkan dalam tulisan ini. Yang bukan rumor memang yang menimpa YZ belakangan ini. Tapi seperti dikatakan Permadi, sebenarnya kasus skandal seks di DPR Pusat merupakan fenomena gunung es. Jadi YZ hanya satu contoh kecil, meskipun mengundang kehebohan besar. Di sinilah peran media sebagai penjaga demokrasi kita untuk bisa bekerja keras lagi untuk mengungkap fakta-fakta tentang skandal seks yang ada di balik kamar kerja para pejabat publik kita.

Akhirnya, meski persoalan skandal seks berada dalam ranah privat, tapi di negara liberal seperti Amerika Serikat, Inggris atau Belanda saja, masyarakatnya tetap menilai bahwa orang-orang yang pernah terlibat skandal seks tidak pantas menjadi wakil rakyat, menteri, presiden, atau pejabat publik lainnya. Seks dan kekuasaan memang ibarat gula dan semut, saling berkaitan sama lain. Namun, jika seks menjadi skandal, karier politik yang dibangun puluhan tahun pun bisa hancur hanya dalam waktu 43 detik, seperti durasi atau lamanya video mesum Yahya Zaini dan Maria Eva.

                                                                              ********


Saya tidak berani membakar semangat mereka. saya ingin menunjukkan bahwa agama (Islam) yang tereformasi tidak harus menjadi proyek yang lumpuh. Oleh sebab itu transmisi gagasan-gagasan pembaharuan merupakan bidang kajian Islam yang tidak (boleh) terlantar. banyaknya kajian tentang transmisi ilmu pengetahuan, misalnya dari Yunani kepada kaum muslim dan selanjutnya kepada Eropa modern, tidak terdapat kajian komprehensip tentang transmisi gagasan-gagasan keagamaan—khususnya gagasan-gagasan pembahruan—dari pusat-pusat keilmuan Islam ke bagian-bagian lain dunia muslim.,

Oleh sebeb itu apa yang kita saksikan dewasa ini adalah sebuah pemandangan keangkuhan kaum beragama dan (lembaga agama) terhadap fenomena seksualitas yang vulgar sebagai haram, maksiat, tidak bermoral dan seterusnya. Padahal moralitas atau halal-haram bukanlah sesuatu yang given dari Tuhan melainkan hasil ijtimaiyyah atau kesepakatan kontruksi “tangan-tangan gaib” (invisible hand, istilah adam smith) baik kekuasaan politik maupun otoritas agama. Teks-teks keagamaan dalam banyak hal merupakan hasil “perselingkuhan” antara “elit” agama dengan pimpinan politik dalam rangka menciptakan stabilitas.,

Saya rasa “ruh” tidak mempunyai seksualitas dan Tuhan tidak mempunyai urusan dengan seksualitas, jangankan masalah seksual, persoalan agama atau keyakinan saja yang sangat fundamental, Tuhan—seperti secara eksplisit tertuang dalam al-Qur’an—telah membebaskan manusia untuk memilih; menjadi mukmin atau kafir. Maka, jika keyakinan saja Tuhan tidak peduli apalagi masalah seks? Jika kita mengandaikan Tuhan akan mengutuk sebuah praktik “seks bebas” atau seks yang tidak mengikuti sebuah aturan main yang “resmi” seperti tercantum dalam diktum keagamaan, maka sesungguhnya tanpa kita sadar telah merendahkan martabat Tuhan itu sendiri. Jika agama masih mengurusi masalah seksualitas dan alat kelamin, itu m,enunjukkan rendahnya kualitas agama itu.,

Demikian juga ketika kita masih meributkan maslah kelamin halnya—yang dilakukan MUI yang ngotot memperjuangkan projek Porno aksi dan pornografi—itu juga sebagai petanda rendahnya kualitas keimanan kita sekaligus rapuhnya fondasi spiritualitas kita. Sebaliknya jika ruh dan spiritualitas kita tangguh maka apalah artinya segumpal daging bernama vagina dan penis itu. Apalah bedanya vagina dan penis itu dengan telinga, ketiak hidung, tangan, dan organ tubuh lainnya. Agama semestinya “mengakomodasi” bukan “mengeksekusi” fakta keberagam ekspresi seksualitas masyarakat. Ingatlah dosa bukan karena daging yang kotor” melainkan otak dan ruh kita yang penuh noda. Paul evdokimov dalam The Struggle with God  sebagaimana dikutip oleh Qurtuby menuturkan dengan kata yang menarik “Sin never comes from below; from the flash, but from above, from the spirit. The first fall occurred in the world of anggels pure spirit...”

Bahkan lebih jauh, ide tentang doa sebetulnya adalah ahal-hal yang terkait dengan sosial kemanusiaan bukan ritual ketuhanan. Dalam konteks ini maka hubungan seks baru dikatakan “berdosa” jika dilakukan dengan pemaksaan dan menyakiti (baik fisik maupun non fisik) atas pasngan kita. Seks jenis inilah yang kemudian disebut “pemerkosaan”. Kata ini tidak hanya mengacu pada hubungan seks di luar rumah tangga tetapi juga di dalam rumah tangga itu sendiri. Seorang baik laki-laki mapupun perempuan) dikatakan memperkosa (baik yang sudah diikat dengan akad-nikah maupun belum) jiak ia melakukan hubungan seks ada pihak yang tertekan, tertindas karena mungkin di intimidasi) sehingga mungkin menimbulkan perasan tidak nyaman) inilah tafsir pemerkosaan. Dalam konteks ini pula saya menolak tek-teks keagamaan (apapun bentuknya) yang berisi kutukan dan laknat Tuhan kepada perempuan/istri jika tidak mau melayani birahi seks suami. Sebagaimana hadis Abu Hurairah yang mengatakan “ malaikat akan melaknat perempuan/istri sampai subuh, jika menolak ajakan suami untuk berhubungan seks”.  Sungguh teks demikian bukan hanya bias gender tetapi sangat tidak demokratis, dan karena itu berlawanan dengan spirit keislaman dan nilai-nilai universal Islam.,

Lalu bagaimana hukum seks yang dilakukan atas dasar suka sama suka, demokratis, ridak ada pihak yang “disubordinasi” dan “diintimidasi”? atau bagaimana hukum orang yang melakukan hubungan seks dengan pelacur (maaf jika kata ini kurang sopan), dengan escort lady, call girl dan sejenisnya? Atau hukum seorang permpuan, tante-tante, janda-janda, atau wanita yang kesepian yang menyewa gigolo untuk melampiaskan nafsu seks? Sedang dalam fiqh memang mengatakan “al-ashlu fi al-ibda’ al-tahrim” yakni hubungan seks pada dasarnya adalah haram sampai ada sebab-sebab yang jelas dan yakin yang menghalalkannya, yakni akad-nikah. Islam—atau setidaknya para “elit” agama—memang tidak membolehkan seks di obral secara bebas dalam pengertian tanpa akad nikah itu tadi., masalah seks harus dibungkus rapat seperti orang Arab membungkus rapat badan mereka di balik jubah, gamis dan cadar. Bukankah sama dengan seorang dosen atau penulis boleh “menjual” otaknya untuk memperoleh honor, atau seorang dai, pengkhotbah yang menjual mulut untuk mencari nafkah, atau penyanyi dangdut yang menjual” pantat dan pinggul mereka untuk mendapatkan uang, atau seorang penjahit atau pengrajin yang “menjual” tangan untuk menghidupi keluarga, apakah tidak boleh seorang laki-laki atau perempuan yang “menjual” alat kelaminnya anak-anak istri/suami mereka?

Ada sebuah kisah yang menarik dalam sejarah keislaman  yang layak bagi kita untuk dijadikan bahan renungan “ada seorang pelacur kawakan yang sudah letih mencari pengampunan kemudian menyusuri padang pasir yang tandus. Ia hanya berbekal sebotol air dan sepotong roti. Setelah berjalan cukup jauh di tengah perjalanan ia dapati seekor anjing yang sedang kelaparan dan kehausan. Karena perasaan iba dengan anjir tadi, si pelacur akhirnya ,memberikan roti dan air itu kepadanya. Berita ini sampai kepada Nabi Muhammad yang mulia. Dengan bijak beliau mengatakan behwa si pelacur tadi kelah akan masuk surga?
Kiasah tersebut menunjukkan bahwa Islam lebih mementingkan rasa sosial-kemanusiaan ketimbang urusan kelamin. []