"Karena produk ijtihad maka
keputusan fiqih bukan barang sakral yang tidak boleh diubah meskipun situasi
sosial budayanya sudah melaju kencang. Pemahaman yang mengsyakralkan fiqih jelas
keliru." (KH.Sahal
Mahfud)
I
Adalah KH. MA. Sahal Mahfudz (selanjutnya disebut dengan
Kyai Sahal) adalah Muhammad Ahmad Sahal bin Mahfudz bin Abd. Salam Al-Hajaini
lahir di Desa Kajen, Margoyoso Pati pada tanggal 17 Desember 1937. Kyai Sahal
adalah pemimpin Pesantren Maslakul Huda Putra sejak tahun 1963. Pesantren di
Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah, ini didirikan oleh ayahnya, KH Mahfudz
Salam, tahun 1910.
Sedangkan pekerjaan yang pernah beliau lakukan, adalah guru
di Pesantren Sarang, Rembang (1958-1961), Dosen kuliah takhassus fiqh di Kajen
(1966-1970), Dosen di Fakultas Tarbiyah UNCOK, Pati (1974-1976), Dosen di Fak.
Syariah IAIN Walisongo Semarang (1982-1985), Rektor Institut Islam Nahdlatul
Ulama (INISNU) Jepara (1989), Kolumnis tetap di Majalah AULA (1988-1990),
Kolumnis tetap di Harian Suara Merdeka, Semarang (1991), Rais 'Am Syuriyah PBNU
(1999-2004), Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI, 2000-2005), Ketua Dewan
Syari'ah Nasional (DSN, 2000-2005), dan sebagai Ketua Dewan Pengawas Syari'ah
pada Asuransi Jiwa Bersama Putra (2002).
Sosok seperti Kyai Sahal ini kiranya layak menjadi teladan
bagi semua orang. Sebagai pengakuan atas ketokohannya, beliau telah banyak
mendapatkan penghargaan, diantaranya Tokoh Perdamaian Dunia (1984), Manggala
Kencana Kelas I (1985-1986), Bintang Maha Putra Utarna (2000) dan Tokoh
Pemersatu Bangsa (2002).
Sepak terjang KH. Sahal tidak hanya lingkup dalam negeri
saja. Pengalaman yang telah didapatkan dari luar negeri adalah, dalam rangka
studi komparatif pengembangan masyarakat ke Filipina tahun 1983 atas sponsor
USAID, studi komparatif pengembangan masyarakat ke Korea Selatan tahun 1983
atas sponsor USAID, mengunjungi pusat Islam di Jepang tahun 1983, studi
komparatif pengembangan masyarakat ke Srilanka tahun 1984, studi komparatif
pengembangan masyarakat ke Malaysia tahun 1984, delegasi NU berkunjung ke Arab
Saudi atas sponsor Dar al-Ifta’ Riyadh tahun 1987, dialog ke Kairo atas sponsor
BKKBN Pusat tahun 1992, berkunjung ke Malaysia dan Thailand untuk kepentingan
Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN) tahun 1997.
Orang mengenal Kiai Sahal sebagai sosok kiai yang
bersahaja. Namun, di balik kesederhanaannya, pengasuh Pesantren Maslakul Huda
Kajen Pati, Jawa Tengah ini memiliki keluasan
ilmu yang jarang dimiliki oleh kiai kebanyakan. Ini dapat dilihat dari Minat baca Kyai Sahal
sangat tinggi dan bacaannya cukup banyak terbukti beliau punya koleksi 1.800-an
lebih buku di ndalem-nya. Meskipun
Kyai Sahal murni orang pesantren tulen bacaannya cukup beragam, diantaranya
tentang psikologi, bahkan novel detektif walaupun bacaan yang menjadi
favoritnya adalah buku tentang agama. Beliau membaca dalam artian konteks
kejadian. Tidak heran kalau Kiai Sahal—meminjam istilah Gus Dur—lalu ‘menjadi
jago’ sejak usia muda. Belum lagi genap berusia 40 tahun, dirinya telah
menunjukkan kemampuan ampuh itu dalam forum-forum fiqih. Terbukti pada berbagai
sidang Bahtsu Al-Masail tiga bulanan yang diadakan Syuriah NU Jawa Tengah,
beliau sudah aktif di dalamnya.
Maka tidak salah kalau kemudian dalam penelitian yang
dilakukan Dr Muzammil Qomar, beliau disejajarkan dengan nama-nama besar semisal
(alm) KH Achmad Shiddiq sebagai tokoh yang mempunyai pemikiran liberal.
Bahkan kiai bernama lengkap Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz ini di anugerahi
Doctor Honoris Causa (Dr HC) dari Universitas
Islam Negeri (UIN) Jakarta karena keteguhannya dalam fikih Indonesia.
Kiai Sahal adalah figur, pemimpin, ekonom, pendobrak
kebekuan, kemunduran, kemiskinan, dan latar belakang. Sosok multidisipliner dan
dinamisator kalangan pesantren serta Nahdlatul Ulama, dua lembaga yang
membesarkan juga dibesarkannya. Sebagai ulama, Kiai Sahal tidak diragukan lagi
kapasitas keilmuan agamanya, khususnya penguasaan terhadap kitab kuning atau al-turast
al-islami. Kapasitas keulamaan ini terlihat dari karya yang sangat banyak meliputi
berbagai aspek keilmuan. Dunia pesantren maupun akademisi begitu memberikan
apresiasi sekaligus kepercayaan kepadanya untuk bisa mentransformasikan
keilmuan di berbagai tempat, termasuk lewat berbagai media
yang telah memberikan kesempatan kepada beliau untuk mengisi rubrik khusus
sebagai kolumnis maupun forum dialog atau
bathsul masail, yang kemudian di buku-kan menjadi Dialog bersama KH Sahal
Mahfuz.
II
Dengan pemikiran yang tajam, ia mampu memberikan
solusi secara kronologis, jelas, transparan dan sistematis dari setiap problema
umat yang disodorkan kepadanya. Disini dibahas tuntas problematika mengenai
bersuci, shalat, puasa Ramadhan, zakat dan pemberdayaan ekonomi umat, haji,
rumah tangga, antara tuntutan ibadah dan rekayasa teknologi, akidah-akhlak,
mengagungkan kitab suci, makanan, dan etika sosial.
Bagi Kiai Sahal, fiqh bukanlah konsep
dogmatif-normatif, tapi konsep aktif-progresif. Fiqh harus bersenyewa langsung
dengan ‘af al al-mutakallifin sikap
perilaku, kondisi, dan sepak terjang orang-orang muslim dalam semua aspek
kehidupan, baik ibadah maupun mu’amalah (interaksi
sosial ekonomi). Kiai Sahal tidak menerima kalau fiqh dihina sebagai ilmu yang
stagnan, sumber kejumudan dan kemunduran umat, fiqh justru ilmu yang langsung
bersentuhan dengan kehidupan riil umat, oleh karena itu fiqh harus didinamisir
dan revitalisir agar konsepnya mampu mendorong dan menggerakkan umat Islam
meningkatkan aspek ekonominya demi mencapai kebahagian dunia-akhirat.
Kontekstualisasi dan aktualisasi fiqh adalah dua term
yang selalu dikampanyekan Kiai Sahal baik secara ‘qauli
(teks) melalui acara seminar, simposium, dan sejenisnya. ‘kitabi (tulisan) dikoran, majalah,
makalah, serta fi’li (tindakan) dalam bentuk aksi langsung di tengah masyarakat
dengan program-program riil dan konkret yang menyentuh kebutuhan dasar
masyarakat.
Dalam pandangan kiai Sahal, jelas bahwa umat Islam
sekarang dalam sebuah kebingungan menghadapi dunia modern. Dunia modern yang
selama ini dibanggakan oleh masyarakat, ternyata malah menyisakan problem yang
memprihatinkan. Dunia modern diagung-agungkan dengan berbagai kecanggihan
informasi, transportasi, dan alat-alat teknologi lainnya ternyata gagal
membentuk pribadi muslim yang luhur dan mampu mengorbankan serta pengabdian
dirinya untuk masyarakat. Semua orang dengan bangga berkata sebagai orang
modern, tetapi ternyata hatinya berpenyakit dan begitu menyedihkan bila
ditinjau dalam segi agama.
Bagi Kiai Sahal, kebenaran sesuatu selain dari
dalil-dalil naqliyah juga bisa berasal dari
dalil aqliyah. Memang al-Qur’an dan
al-Hadits merupakan sumber hidayah yang paling utama dan esensial bagi umat Islam.
Namun peran akal juga tidaklah kalah penting. Dalam beberapa ayat, peran akal
sangat istimewa bahkan orang-orang yang diberi ilmu derajatnya tinggi
dihadapannya. Hasil pemikiran sains yang berkembang sekarang dapat kita jadikan
sebagai petunjuk untuk mempertebal keimanan asalkan tidak bertentangan dengan
ketetapan syariah. Dengan demikian, sains dan ilmu pengetahuan yang bersumber
dari akal pikiran bukan bid’ah, atau kemusyrikan dan kekufuran. Bahkan sains
dan ilmu pengetahuan diperintahkan Allah untuk dipelajari dan dikembangkan. Ini
penting karena berguna meningkatkan kualitas hidup manusia dan bahkan bisa
mempertebal iman.
Kiai Sahal Mahfudz
mampu menjalankan doktrin peradaban fiqh sebagai kata kunci dalam program
pemberdayaan masyarakat di sekitar pesantrennya. Dasar-dasar fiqh dan kiat
sukses Kiai Sahal itu dapat dibaca dalam berbagai karya beliau, diantaranya Nusansa
Fiqh Sosial, Wajah Baru Fiqh Pesantren, Telaah Fiqh Sosial, Pesantren Mencari
Makna, Dialog Dengan Kiai Sahal, dan sebagainya. Dasar-dasar pemikiran
beliau tidak hanya termaktub dalam buku-buku tersebut, tetapi telah dikaji
secara serius oleh berbagai akademisi baik yang ada di S1, S2, bahkan S3.
Dalam buku-buku tersebut kita bisa menjelajah ihwal konsep dasar fiqih social
Kiai Sahal dalam memberdayakan masyarakat. Disinilah, Kiai Sahal menjadikan
term fiqh social sebagai jembatan mempertemukan teks fiqh yang normatif dengan
berbagai problem sosial yang kontemporer.
Walaupun beliau hidup
di pelosok desa kecil, semisal Kajen, Kiai Sahal justru seperti mendapatakan
tantangan riil di tengah masyarakat. Tantangan itulah menjadikan Kiai
Sahal untuk menelusuri dan mencari jembatan peradaban fiqh agar mampu menjawab
problematika kehidupan masyarakat secara progresif dan transformatif. Bagi
Kiai Sahal, fiqh social lebih menitik-beratkan pada aspek kemaslahatan public (masholihu
al-ummah). Dimana ada maslahah, disanalah fiqh social dikumandangkan. Dalam
menentukan kemaslahatan, ada lima pijakan primer (al-dhoruriyat al-khomsah),
yakni menjaga agama (hifzu al-din), menjaga akal/rasio (hifzu al-aql),
menjaga jiwa (hifzu al-nafs), menjaga harta (hifzu al-maal), dan
menjaga keturunan (hifzu al-nasl). Bahkan oleh beliau ditambahi dengan
menjaga lingkungan (hifzu al-biah).
Pergulatan
panjang Kiai Sahal dalam lapangan fiqh sosial ini ternyata membawa perubahan
besar dan dahsyat dalam lapangan pemikiran pesantren dan akademis
(perguruan tinggi), ekonomi kerakyatan, kebudayaan, kelembagaan (pesantren dan
NU), dan politik kebangsaan. Dari kalangan peasntren, pemikiran progresif fiqh
sosial Kiai Sahal mendorong santri dan Gus-Gus muda pesantren belajar secara
mendalam ilmu usul fiqh dan mengembangkan untuk merespons tantangan modernisasi
sekarang ini. Lalu muncullah pemikir-pemikir muda pesantren dan NU progresif,
transformatif, dan inovatif, dan mereka jauh lebih berani keluar mainstream
pemikiran NU, tetapi tetap dalam koridor ahlusunnah wal jamaah.
III
Konon, ada empat misteri di dunia ini, yakni kelairan, jodoh, kematian, dan Gusdur. Seluruh ucapan, perilaku dan manuver sang murabbi mantan Rais am PBNU benar-benar bak misteri. Memang tak mudah untuk membaca seorang Sahal karena keluasan ilmunya—khususnya dalam bidang fiqh—kiai Sahal adalah murabbi Umat Islam (bisa di kata nomer wahid). Ia dianggap sebagai tokoh yang “meracuni” pemikiran anak muda NU—walaupun tidak se-ekstrim Gusdur yang sekaligus penyebar ideologi sekuler-liberal—Tak heran, konon, jika berpulangnya mbah sahal dianggap sebagai bentuk “pertolongan” Tuhan bagi umat Islam oleh seorang tokoh.
Sementara untuk kalangan umat NU, kiai Sahal dianggap lebih dari sekedar manusia biasa. Semasa hidup, Beliau dipandang sebagai sosok manusia luar biasa, sosok seorang “Wali Allah.” Tak heran jika berbagai pernyataan kontroversialnya sering di-amin-kan oleh kalangan Nahdhiyin. Mereka memandangnya sebagai wujud dari “sak durunge winarah”, salah satu ke-cirian seorang Wali (kalo tidak berlebihan).
Bagi kupu-kupu malam Indonesia, terutama kalangan minoritas, mbah sahal dilantik secara tak resmi sebagai “pembela aspirasi PSK”. Untuk kalangan minoritas sosoknya demikian dikenang dan dihormati. Bukan tanpa alasan pernyataa kyai sahal tentang Legalisasi tempat pelacuran mendapat hati tersendiri di Kalangan para bidadari malam., Kiai sahal juga dinilai layak menyandang gelar “bapak sosialis”.
Dengan segala rekam jejak positif kiai Sahal, maka tak heran jika kepergiannya ditangisi oleh banyak pihak dan diantarkan oleh lautan manusia. Kehadiran puluhan ribu orang dan maraknya acara pemakaman Sahal di seluruh pelosok Indonesia menjadi pertanda bahwa kita sangat merindukan kehadiran kembali sosok seperti layaknya Beliau, sekaligus bangsa merasa kehilangan oleh sosok sekelas Beliau. Bagi kalangan santri, lautan manusia yang memadati acara pemakaman kiai Sahal semakin menegaskan indikasi bahwa kiai Sahal ialah orang “Ngalim”.
Akhirnya, kini, mata dan raga Kiai Sahal memang “tertidur” panjang, namun hati, jiwa, semangat dan buah pikirnya senantiasa ada untuk diestafet-kan kepada generasi-generasi muda NU dan bangsa selanjutnya.
Tidak hanya umat yang mengis, menyucurkan air mata, langit pun ikut menangis , diikuti hujan lebat berhari-hari seolah tidak rela melepas perpisahan ruh dan jazad KH Sahal mahfudz, banjir menggenang dimana-mana, ternya mengiringi kepergian sang murabbi yang penuh keserhanaan dan bersahajah. Selamat jalan mbah sahal, engkau adalah guru umat yang penuh keteladan berakhlak bil hikmah, semoga reinkarnasi-mu akan cepat sampai ke bumi pertiwi kembali. Walupun 100 tahun lagi baru-lah Indonesia melahirkan sosok seperti Kiai Sahal kembali. []