Akibat fenomena penyempitan pemikiran Islam menyebabkan para
ulama besar dan hebat kerap dijatuhkan otoritasnya dan dicela. Padahal, para
pencelanya justru tidak memiliki ilmu sekelas ulama besar.
Demikian
disampaikan Dr. Ugi Suharto, salah satu pendiri Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) yang kini menjadi
dosen di di University College of
Bahrain.
Salah satu contohnya, ia menyebut kitab Ihya’ Ulumuddin,
karya Imam al Ghazali yang sering dikatakan mengandung kesesatan serta memuat
hadits-hadits palsu.
“Imam al-Ghazali itu memiliki guru-guru hadits berisnad,
beliau menguasai hadits. Hanya saja beliau tidak terlalu menonjol dalam bidang
hadits. Tapi dibanding kita tidak ada apa-apanya,” demikian disampaikan Ugi
pada Kajian Ilmah yang diadakan oleh InPAS Surabaya dengan tema “Posisi Hadits dalam Kerangka
Pemikiran Islam: Tantangan dan Dinamika”.
Yang lebih memprihatinkan, kita yang tidak punya isnad
hadits, lalu mencela ulama besar sekelas Imam al-Ghazali yang memiliki isnad
hadits.
Padaha, para imam
madzhab terdahulu memiliki kualitas keilmuan yang kaamil (komperhensif)
dan luas dibanding kita yang ada saat ini.
“Al-Ghazali dalam Kitab Ihya ‘Ulumuddin menjelaskan
karakter keilmuan para imam madzhab sebagai seorang yang ‘aabid (ahli
ibadah), zaahidan (zuhud), ‘aaliman bi umuri al akhiroh (‘alim dalam ilmu yang terkait dengan akhirat), faaqihan
fii masholihul kholqi fid dunya (faqih dalam menetukan mashlahat makhluk di
dunia), wa muriidan bi fiqhihi wajhullahi ta’ala (dan hasrat
keinginannya dalam berfikih adalah mengharap ridla Allah semata),” ungkap pria
yang pernah menjadi dosen pengampu “Sejarah
dan Metodologi Hadits” di The International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) Malaysia
ini.
Ada pula celaan yang tidak tepat lagi. Gara-gara kitab ulama
besar yang mengandung hadits dhoif
lalu para ulama dituduh tidak faham hadits. “Padahal, Imam Bukhari, pakar hadits kenamaan. Siapa yang
tidak tahu Imam Bukhari? Tapi ia menulis satu kitab berjudul Adabul Mufrad,
di dalamnya mengandungi hadits-hadits dhoif lho”, paparnya. Karena itu, katanya, persoalan hadits di masa kini kerap
menjadi isu yang bisa membuat orang salah faham. Misalnya, fenomena memahami hadits secara dzahirnya
semata-mata, padahal tidak ada ulama 4 madzhab yang mengamalkannya secara
dzahir.
***
Maraknya
misantropi—yang di lakukan oleh sejumlah kalangan yang mengaku “elit” agamawan
mulai dari semasa al-Ghazali masih hidup hingga beliau wafat bahkan sampai
dengan era modern banyak yang “sangsi” atas “ampuhnya” kitab ihya ulumuddin—telah
menjadikan bintik-bintik hitam itu berserakan. Sungguh benar tatkala Tuhan
memberi kata putus bahwa mata tidaklah buta, melainkan hati nurani lah yang tak
lagi menatap. Positive thinking pun telah manjadi abu oleh api
kebencian, sehingga pro-kontra sudah menjadi keniscayaan, dan kearifan telah
terkubur dalam-dalam. Sedangkan Allah sendiri di dalam al-Qur’an pun tertuduh
yang bukan-bukan. Allah sendiri tidak dipercaya banyak orang. Apalah nilainya
bila manusia yang jadi sasaran?! Didampingi ribuan mala’ikat pun tak akan
melepaskannya daribad image orang-orang.
Dari itu, Imam
Ghazali sebagai salah seorang manusia, juga ditimpa hal yang lumrah berupa
tuduhan negatif dari para penentang. Fatalnya, tuduhan kotor itu berkepanjangan
sampai ia melalui ajalnya. Seorang imam bernama Ibnu Hirzihim membaca magnum
opusnya Imam Ghazali yang berjudul “Ihya’
Ulumiddin”, ia merasa risih dan tidak menyetujui sehurufpun dari apa yang
dipaparkan Imam Ghazali. Terlebih kitab itu mengandung banyak hadits maudhu’
sebagaimana pernyataan banyak orang, kecuali Imam Nawawi, seorang muhaddits
termasyhur itu justru menegaskan bahwa Ihya’ Ulumiddin hampir menjadi Qur’an !!
Walhasil, Imam Ibnu
Hirzihim mengundang sejumlah ulama’ setempat untuk bersama-sama membedah kitab
Ihya’ Ulumiddin karya Imam al-Ghazali Ra. -yang sudah lama meninggal dunia-.
Hasil dari pembedahan itu melaporkan hal yang tidak jauh berbeda dari pendapat
Imam Ibnu Hirzihim bahwa kitab itu penuh penyesatan dan khurafat. Para ulama’
yang hadir (dipimpin Imam Ibnu Hirzihim) sepakat untuk mengumpulkan semua kitab
Ihya’ Ulumiddin dan membakarnya secara masal di hari Jum’at !!
Tepatnya, malam
Jum’at, sebelum pembakaran masal Ihya’ Ulumiddin dilangsungkan, Imam Ibnu
Hirzihim bermimpi memasuki sebuah masjid dan menjumpai Imam Ghazali duduk
menghadap Rasulullah, Saidina Abu Bakr dan Saidina Umar. Imam Ghazali saat itu
mengadu kepada Rasulullah dan kedua sahabat mulia itu tentang persekusi total
Imam Ibnu Hirzihim terhadap magnum opusnya. Imam Ghazali berjanji jika kitabnya
sesat maka ia segera bertaubat, namun jika Imam Ibnu Hirzihim keliru, maka ia
meminta haknya secara adil sebelum buku terampuhnya berubah menjadi abu.
Rasulullah
kemudian membaca kitab Ihya’ Ulumiddin dari baris dan halaman pertama sampai
titik terakhir. Selepas membacanya, beliau bersabda: “Demi Allah, buku ini
sungguh mulia“. Selanjutnya Saidina Abu Bakr pun tertarik membacanya,
setelah habis menelaahnya, beliau menanggapi: “Demi Allah yang mengutus Nabi
Muhammad dengan benar, buku ini sungguh mulia“. Lalu Saidina Umar pun turut
membacanya seraya bersaksi: “Demi Allah yang mengutus Nabi Muhammad dengan
benar, buku ini sungguh mulia“.
***
Mimpi Imam Ibnu
Hirzihim ini benar-benar dahsyat dan unbelievable, Rasulullah Saw.
kemudian memanggil Imam Ibnu Hirzihim (dalam mimpi) dan memerintahkannya untuk
melepas baju agar dicambuk sampai kapok. Bersiap-siaplah Imam Ibnu Hirzihim
menerima sangsi dari Rasul atas kelancangan dan kenekadannya memusuhi para
kekasih Tuhan. Setelah cambukan yang kelima kalinya, Saidina Abu Bakr mencoba
memohonkan ampun untuknya: “Wahai Rasulullah, mungkin saja dia ingin membela
sunnahmu tapi prediksinya salah“. Imam Ghazali menyetujui usulan Saidina
Abu Bakr dan Rasul pun -dengan rahmat beliau- memenuhi permohonan itu.
Akhirnya, Imam
Ibnu Hirzihim terjaga dari tidurnya. Kebutan detak jantungnya semakin gila.
Rasa gelisahnya semakin menjadi-jadi oleh apa yang ia saksikan dalam mimpinya.
Dan yang lebih merindingkan bulu, luka-luka akibat cambukan Baginda nampak
jelas di punggungnya. Darahnya masih mengalir menjeritkan hati dan perasaannya.
Air matanya pun terjun membasahi tubuhnya. Tanpa berpikir pendek sekalipun, ia
segera menceritakan apa yang ia alami kepada seluruh tokoh dan masyarakatnya.
Ia bersaksi bahwa karya Imam Ghazali adalah kitab suci yang mulia. Jika ada
yang belum mempercayai mimpinya, maka luka di punggungnya sebagai bukti paling
nyata. Luka itupun terus menyakiti, dan rasa sakit itu terus menemani hingga
berbulan-bulan lamanya !!
Imam Ibnu
Hirzihim telah bertaubat. Ia sadar bahwa memusuhi auliya’ adalah kriminal yang
amat besar. Ia kembali mengkaji dan mengamalkan kitab Ihya’ Ulumiddin serta
mengajarkannya kepada khalayak umat. Selepas itu, Rasulullah tiba-tiba datang
menjumpainya dan menghapus luka punggung dan hatinya, dan akhirnya ia bebas
dari segala belenggu yang telah lama menghantui perasaannya.
Demikian
ceritera Syekh Abdul Qadir al-Idrus Ba Alawi dalam bukunya “Ta’rif al-Ahya’
bi Fadha’il al-Ihya’“. Semoga dapat menjadi pelajaran yang cukup bahwa
Allah Swt. sangat cemburu terhadap para kekasihNya. Allah tidak akan pernah
membiarkan musuh-musuh auliya’Nya berceloteh sesuka nafsu mereka. Sungguh benar
sabda Baginda: “Barang siapa memusuhi wali-wali Allah maka ia telah
menantang peperangan dengan Allah“. Dan dalam sebuah hadits qudsi, Allah
sendiri berfirman: “Barang siapa berani memusuhi wali-Ku maka Aku akan
mendeklarasikan bahwa ia patut diperangi” !! Wallahu ‘alam