Thursday, March 6, 2014

Bukan Cinta “Kebebasan” yang Tersesat




Novel wacana yang —di tulis Dr. Adian Husaini—boleh dikatakan berada di dalam lingkungan Gagasan mengkerdilkan (pesantren) Islam. Kerena Melalui novel ini, wacana liberalisme di Indonesia terutama berkait aqidah dan juga KKG (kesetaraan gender) diangkat menjadi sebuah kisah beberapa penuntut pesantren (pondok) yang terlibat di dalam pelatihan yang merekrut pelajarnya menjadi liberal. Kemi, Rahmat dan Siti adalah tiga orang watak utamanya; dua menjadi liberal dan seorang lagi berjuang menyelamatkan sahabatnya, hingga akhirnya terwujud pula cinta antara dua daripada mereka.


Dalam Sebuah novel ini Dr. Adian sebenarnya mencuba memurnikan pandangan terhadap pesantren yang selama ini dianggap sekadar belajar ilmu agama dan mengenepikan ilmu-ilmu bersifat “Profan”. Menerusi watak Kiyai Rois yang begitu terbuka terhadap pendidikan pesantren bimbingannya, diikuti Kemi yang terdorong oleh cita-cita belajar di universiti sebelum menamatkan pengajian di pesantren dan Rahmat yang begitu berani dalam menegakkan Islam yang cuba diperkotak-katikkan oleh puak liberal, novel Kemi. Dr. Adian ingin membawa pembaca—orang awam—menjelajah dunia pluralisme, liberalisme, multikulturulisme dan kesetaraan gender yang—menurutnya dengan sengajamensasarkan pelajar pesantren untuk menjadi sebahagian dari dunia mereka.

Dr. Adian terlalu berlebihan dalam novelnya dengan mengatakan “Kelicikan puak liberal memasang perangkap rupanya bukan sekadar dengan berhujah dan berdiskusi, diikuti latihan-latihan yang kerap, aktiviti jurnalisme di media dan internet serta kebanjiran duit bagi menghilangkan kesusahan hidup, rupanya mereka terlibat lebih jauh sehingga sanggup membunuh dalam memastikan hasrat menyebar luaska fahaman liberalsme tercapai.

Melihat daripada apa yang diperdebatkan oleh Rahmat, ternyata puak liberal ini sekadar memusingkan perkara yang telah dijawab dengan jelas dalam Islam. Mereka mahu mengangkat isu-isu ini dari kacamata pemodenan dan kesetaraan gender sambil kononnya mahu mengeluarkan orang Islam dari pandangan yang jumud dan bersifat budaya.

Ternyata selain ilmu yang mantap, kesabaran memainkan peranan penting bagi memastikan hujah yang disampaikan itu tidak dipatahka kerana puak-puak ini akan sentiasa berpusing pada isu yang sama.

***


Novel ini bagi saya seperti panduan menjawab argumen-argumen liberal seperti halnya Ayat-ayat Cinta adalah panduan mencari jodoh. Sebetulnya saya ingin memberi rating yang lebih tinggi karena sebetulnya isi dari buku ini sangat menarik dan informatif. Tapi sebagai novel buku ini memiliki banyak kelemahan sehingga sulit rasanya memberi rating lebih tinggi. Kalau saja tidak diposisikan sebagai novel mungkin bisa dapat 4 bintang. Kenapa??

Pertama, Kurang karakterisasi dan pemaksimalan karakter. tokoh2nya terasa datar, tidak terasa bedanya yang satu dengan yang lain. Ada juga tokoh yang benar2 cuma numpang lewat bikin pecel untuk kemudian tidak terdengar lagi. Untuk apa? Buang2 karakter.

Kedua, Ada kecenderungan misoginis. Ada satu bab yang merupakan tangkalan terhadap paham “feminisme” yang dirangkai sebagai wawancara antara Bejo, seorang wartawan “handal”, dengan seorang tokoh feminis, doktor Ita. Namun saya justru bingung, wartawannya—yang katanya handal dan hebat—menurut saya sangat kasar dan tidak etis. Saya tidak tau publikasi macam apa yang akan menerbitkan hasil wawancara seperti itu.

Entahlah apa saya yang kurang luas bacaan publikasinya karena saya pun rasanya ingin menggampar si Bejo itu. Bukan karena saya memihak doktor Ita namun karena menurut saya tingkah polahnya sangat tidak elok. Tentunya bisa menangkal dengan cara yang lebih elegan, seperti yang dilakukan Kemi terhadap prof Malikan misalnnya. Ataukah karena yang dihadapi perempuan sehingga gak masalah untuk bersikap kurang ajar? Sungguh sayang karena sikap yang diutarakan Bejo ini justru memperkuat anggapan bahwa laki2 itu senang merendahkan perempuan.

Dokter Ita pun digambarkan dengan klise dan dengan pertanyaan-pertanyaan klise pula seperti tidak punya anak, tidak mau membiarkan suaminya berpoligami, dll. Lah, ada anak gak punya anak bukan alasan pak. Istrinya dai kondang yang punya 7 anakpun gak kuat dan akhirnya minta cerai. Masih mau bersikukuh dengan alasan klise, klo sayang kenapa gak merelakan suami kawin lagi?

Ketiga, Logika cerita kurang diperhatikan. Siti yang katanya diberi racun potasium kelas tinggi kok malah bisa sembuh? Mukjizat tuhan? Apa Mukjizat Adian husaini? sementara di kehidupan nyata, menurut teman yang ahli kimia, racun itu sangat mematikan.

Keempat, Ending yang terburu-buru/fatalistis. Penulisnya ini sepertinya punya pandangan orang jahat harus dihukum seburuk-buruknya di dunia. Kenapa harus demikian? Padahal di awal buku terus2an kita diingatkan kalau azab neraka nanti sangatlah pedih untuk mereka yang mengingkariNya. Ya sudah biarin aja nanti dirasakan. Kenapa harus membuat mereka sakit jiwa segala? ok fine, tapi rasanya aneh sekali kalau memang mereka punya akses dan tujuan demikian akan menggunakan kekerasan. Kalau ketangkap kan jadi jelek dong namanya? apa memang harus demikian?

Kalau saja naskah ini mendapat editor yang lebih mumpuni, yang berani mengubah dan membuat perubahan pada karakter2nya ini bisa jadi novel yang keren banget. Dengan kondisi seperti ini, novel ini rasanya kurang maksimal dalam memberi pencerahan.

***


Dalam novel tersebut, Jelas sudah bahwa Dr. Adian sebenarnya ingin membendung arus “liberalisme” yang menurutnya itu “virus” yang harus di bendung karena sudah tidak mungkin lagi terobati. Sangat kelihatan betapa dalam novel tersebut Dr. Adian tidak objektif dalam memandang issu tersebut—liberalisme, pluralisme, sekularisme dan gernder discouse—di citrakan sangat “negatif”, tak jauh berbeda dengan buku-buku dia yang sebelumnya, kerena Dr. Adian sudah “lelah” untuk membendung gagasan liberalisme beserta akhwat-akhwatnya secara akademik, lalu Dr. Adian mencoba melalui novel—yang sebenarnya Dr. Adian tidak mempunyai kapasitas dalam hal itu maupun keislaman secara umum yang dapat di lihat dari ketidak konsistensiannya dalam akademik, S1 kedokteran Hewan, s2 Politik Timur tengah dan s3-nya.,

Makanya benar terjadi paradoks di dalam novel tersebut. Hans kung, presiden Stiftung Welthetos (the foundation of for a global ethics), sebuah lembaga International yang bertujuan untuk membangun dialog antar agama dan perdamaian global, dalam salah satu karyanya Kristianity and the World Religion (1996: 442) menulis “The most Fanatical and cruelest political struggles are those that has ben coroled, inspired and legitimizad by religion...”. mungkin Hans Kung terlalu berlebihan ketika merumuskan agama sebagai sumber malapetaka paling kejam dalam sejarah kemanusiaan. Rasisme, ethnocentisme, dan idiologi adalah dua anak kandung zaman yang menjadi faktor penting dalam proses penciptaan “sejarah kegelapan” yang menelan jutaan korban manusia.

Dr. Adian menutup sebelah “mata” tentang hal itu (konflik agama) yang sebenarnya bisa terjadi akibat tindakannya yang berupaya menyerang dan membendung pluralisme akan menyebabkan konflik (awam) atas nama teks agama., itu yang di kritik oleh Charles kimball yang pernah di percaya sebagai directur NCC (National Council of Churces) devisi Timur Tengah, dalam bukunya “When Religion Becomes Evil” menyebutkan bahwa “bila suatu agama mengklaim kebenaran suatu ajaran agama sebagai kebenaran yang qath’iy dan satu-satunya, kelompok (agama) tersebut akan berbuat apa saja untuk membenarkan dan mendukung klaim kebenarannya...”.

oleh sebab itu kita harus akui (Dr. Adian) secara jujur dan penuh penyesalan bahwa agama menjadi elemen penting dalam memunculkan konflik-konflik kekerasan komunal ditingkan International dewasa ini—mulai Irlandia Utara, Arab, Timur Tengah, Balkan, Sudan, Afganistan, Banglades, sampai Indonesia—fakta “perang agama” ini belum termasuk countless data mengenai aksi-aksi vandalisme, terorisme kerusuhan, penghinaan, pengrusakan, dll. Yang secara rutin dan istiqamah dilakukan oleh anggota Front Pembela Islam (FPI) dan kelompok agama sejenis. Termasuk sejarah gelap “perang agama” yang terjadi dalam tradisi Islam, Kristen, Hindu, dan agama-agama besar lainnya.,

“mungkin itu yang di harapkan Dr. Adian Husaini....”?!?

Dr. Adian husain saya anggap (gagal) menampilkan wajah pesantren sebagai lembaga pendidikan yang ideal, justru sebenarnya ia “mengkerdilkan” lembaga tersebut  yang sebenarnya sebagai agen “civic Pluralism”., karena di dalamnya terdapat etnic budaya yang beragam, itu merupakan ajang pembelajaran secara fundamental  bagi “santri” untuk menerima sebuah perbedaan (unity in diversity). Dalam setiap pertemuan kebudaya (culteral ancounter) selalu terjadi “take” and “give”. Tidak ada istilah “center” yang dominan berperan sebagai “produsen budaya” dan “periphery” yang marjinal yang berfungsi sebagai “konsumen budaya”.  Dalam pemikiran ini pluralisme lebih tinggi dari toleransi, dalam toleransi tidak di butuhkan pengetahuan (knowledge) dan pemahaman (understanding) atas “yang lain” sementara pluralisme mensyaratkan keduanya.,

Tidak hanya pluralisme dalam internal agama, maupun antar agama melainkan sekarang sudah masuk kedalam wilayah teologi. Sekarang bukan saatnya teologi bertanya, apakah umat di luar “agama” ku di selamatkan atau tidak, atau bagaimana mereka di selamatkan? Teologi saya rasa (perlu) meninggalkan perspektifnya yang sempit itu. Sekarang teologi mesti terbuka, bahwa Tuhan mempunyai rencana “keselamatan umat manusia yang menyeluruh...”. memang rencana tersebut tak terduga, “agama”-ku sendiri jelas tak cukup untuk menyelaminya. Oleh karena itu, teologi perlu mengambil disposisi, bahwa bisa jadi agama-agama lain di luar “agama”-ku mempunyai pengertian dan sumbangan untuk makin menyelami rencana keselamatan Tuhan yang menyeluruh itu.,

Jelas bahwa rencana keselamatan Tuhan itu lebih besar daripada ide teologis kita. Kalau demikian, teologi harus menjadi teologi pluralisme religius. Namun hal itu tidak mungkin tercapai kalau tanpa dialog antar agama. Jadi Kuncinya adalah dialog antar umat beragama, untuk mencapai tujuan Rahmatan lil ‘alamin.[]   wallahu ‘alam