Monday, June 9, 2014

Melihat Lebih Dekat Tante Dolly


Jika ditarik ke belakang, ternyata sejarah pelacuran di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman kerajaan, jauh sebelum penjajah Belanda datang ke Nusantara.

Seperti dikutip dalam Wakhudin (2006), Proses Terjadinya Degradasi Nilai Moral pada Pelacur dan Solusinya (Thesis),  Bandung: Program Studi Pendidikan Umum, Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Dikatakannya, pelacuran sudah ada sejak zaman raja-raja Jawa. Seluruh kehidupan yang ada di atas tanah Jawa, mulai dari air, udara, tanah, dan sebagainya, adalah milik raja. Hukum dan keadilan, serta kebenaran juga hanya milik raja.




Ketika raja sudah berkehendak, tidak ada yang bisa menghalangi. Termasuk saat dia ingin mempersunting seorang istri di luar permaisuri atau selir. Bahkan, banyak bangsawan yang ingin puteri cantik dan memikatnya dijadikan selir seorang raja, karena dianggap penghormatan.

Di luar selir, para raja juga menyimpan gundik, atau wanita di luar nikah. Praktik pergundikan ini merupakan adat raja-raja Jawa, yang menyebar ke masyarakat luas.  Praktik pergundikan ini terus dijaga hingga zaman kolonial. Namun pada masa itu yang terjadi bukan lagi raja dengan masyarakatnya. Melainkan tuan tanah dengan perempuan dari kalangan pribumi atau budak yang menjadi bawahannya. Hal ini terjadi karena tidak adanya perempuan yang sederajat.

Praktik pergundikan di zaman kolonial ini, kemudian melahirkan kelas dalam masyarakat yang disebut dengan istilah kaum Indo, pada abad ke-19 dan ke-20. Sedikitnya, ada 11 kabupaten yang dalam sejarah dikenal sebagai pemasok perempuan untuk raja. Terdiri dari Kabupaten Indramayu, Karawang, dan Kuningan di Jawa Barat, Pati, Jepara, Grobogan dan Wonogiri di Jawa Tengah, serta Blitar, Malang, Banyuwangi dan Lamongan, di Jawa Timur.

Kecamatan Gabus Wetan, di Indramayu, bahkan terkenal sebagai sumber pelacur muda yang dikirim ke Istana Sultan Cirebon. Selain istana, tempat prostitusi atau pergundikan juga tersebar di daerah. Bahkan telah menjadi industri seks yang khusus menyediakan wanita penghibur. Dalam perkembangannya, para pelaku seks di tempat prostitusi terbagi menjadi tiga kelas. Pertama adalah kelas atas, menengah, dan bawah. Kelas atas terdiri dari orang Indo, dan Eropa. Kelas menengah adalah Cina dan Jepang. Kelas bawah, terdiri dari orang Melayu atau Jawa.

Orang Eropa, biasanya suka dan dianjurkan memakai perempuan Eropa, Cina, Jepang, dan lokal. Sedangkan orang Jawa, Cina maupun Jepang, tidak boleh memakai perempuan Eropa. Bisnis prostitusi bertambah pesat, setelah dilakukan perluasan industri perkebunan di Jawa Barat, dan Sumatera. Industri gula di Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Serta pembangunan jalan raya dan jalur kereta api di sejumlah daerah. Proyek ini menyebabkan migrasi tenaga kerja laki-laki besar-besaran.

Keterangan itu diperkuat oleh pernyataan Rudolf Mrazek (2002) yang mengatakan, Jawa sejak pembukaan Jalan Daendels tahun 1808 dan jalur kereta api (trem uap) antara Semarang-Demak-Kudus-Juwana, pada 1883-an, membuat perekonomian masuk ke masyakarat pedesaan. Proyek pembangunan kereta api yang menghubungkan kota-kota di Jawa, seperti Batavia, Bogor, Cianjur, Bandung, Cilacap, Yogyakarta, dan Surabaya, tahun 1884, melahirkan tempat prostitusi.

Jejak prostitusi yang mengiringi pembangunan proyek itu dapat terlihat di kawasan Kebonjeruk, Kebontangkil, Sukamanah, Saritem, Pasarkembang, Balongan, Sosrowijayan, Kremil, Tandes, dan Bangunsari. Sebagian besar tempat pelacuran itu, hingga kini masih beroperasi.  Di tempat-tempat lain, seperti di Stasiun Tawang,  Stasiun Beos (Stasiun Kota, Jakarta), Stasiun Pasar Senen (Jakarta), Bendungan Hilir, Bongkaran, Kali Malang, Kaligot, Gang Mangga, Petamburan, dan Gang Hamber, juga dapat ditemukan lokasi prostitusi.

Begitupun dengan di Banjarsari, Turisari, Cinderejo (Terminal Tirtonandi), Sangkrah, Alun-Alun Kidul, Semanggi, Sangkrah dan sepanjang jalan Pasar Legi.  Tempat prostitusi juga dapat ditemukan di kawasan Tanjung Perak, dan Banyu urip. Bahkan, antara Banyu Urip sampai pelabuhan Tanjung Perak, disebut sebagai jalan pelacur (prostitution street). Berdasarkan data yang terhimpun, jumlah pelaku prostitusi di Surabaya, pada 1864 adalah 228 dengan 18 rumah bordil. Jumlah itu meningkat pada 1869, dan semakin banyak pada tahun-tahun krisis 1920-1930. Hingga kini, sebagian tempat prostitusi itu masih beroperasi.

Di antara tempat prostitusi yang masih beroperasi hingga kini adalah prostitusi di gang Dolly, yang pertama dibuka oleh seorang noni Belanda, bernama Dolly van Der Mart. Tempat ini menyediakan para wanita penghibur dari Semarang, Kudus, Pati, Purwodadi, Nganjuk, Surabaya, dan Kalimantan. Sejak dibuka oleh Dolly, lokalisasi ini langsung menjadi buah bibir. Hingga menjadi tempat wajib ketika para pelancong datang ke Surabaya. Seketika, Dolly menjadi lokalisasi terbesar di Asia Tenggara, melebihi Patpong di Bangkok, Thailand dan Geylang di Singapura.

Namun kapan dimulainya babak surge dunia tersebut, belum diketahui pasti kapan berdirinya, tetapi setidaknya keberadaan gang Dolly sudah ratusan tahun. Awal pendiriannya, tante Dolly, sapaan akrab Dolly waktu itu, hanya menyediakan beberapa gadis untuk menjadi pekerja seks komersial. Melayani dan memuaskan syahwat para tentara Belanda.

Seiring berjalannya waktu, ternyata pelayanan para gadis asuhan tante Dolly tersebut mampu menarik perhatian para tentara untuk datang kembali. Dalam perkembangannya, gang Dolly semakin dikenal masyakarat luas. Tidak hanya prajurit Belanda saja yang berkunjung, namun warga pribumi dan saudagar yang berdagang di Surabaya juga ikut menikmati layanan PSK. Sehingga kondisi tersebut berpengaruh kepada kuantitas pengunjung dan jumlah PSK.

Keluarga tante Dolly hingga sekarang masih tinggal di kawasan Dolly. Namun, karena suatu alasan tidak lagi mengelola bisnis jual beli “daging mentah” tersebut.


Suara Hati Tante Dolly

Penutupan Lokalisasi Dolly oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, di Jalan Putat Jaya Timur, Surabaya, Jawa Timur, menimbulkan polemik di masyarakat. Lokalisasi yang sudah ada sejak zaman Belanda ini, dianggap memberi penghidupan bagi masyarakat sekitar.

Derasnya penolakan upaya Pemerintah Kota Surabaya menutup kawasan Dolly pada 19 Juni, seakan tak membuat goyah pemerintah kota Surabaya untuk membersihkan dari lokalisasi prostitusi terakhir di kota pahlawan ini.

Setidaknya selama kurun waktu satu minggu ini, jumlah penolakan mulai bertambah. Terdapat satu aksi dan sejumlah elemen lembaga swadaya masyarakat yang menyiapkan massa untuk menentang kebijakan pemerintah kota Surabaya, yang akan mengusir paksa 1030 pekerja seks komersial pada 19 Juni mendatang.

Penolakan ditutupnya Lokalisasi Dolly di Surabaya, Jawa Timur terus berlanjut. Ribuan PSK berunjukrasa di depan Gang Dolly. Mereka bahkan menulis surat penolakan yang rencananya akan dikirimkan ke Pemkot Surabaya dan Presiden SBY.

Ratusan pekerja seks komersial (PSK) Dolly Kota Surabaya akan mengirim surat protes ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Komnas HAM sebagai tindaklanjut penolakan penutupan lokalisasi pada 19 Juni mendatang.

“Kami di sini bekerja untuk menghidupi keluarga bukan senang-senang. Makanya, kami akan tetap berjuang dan melawan agar lokalisasi tidak ditutup” kata Dian, salah seorang penghuni lokalisasi Dolly, saat menggelar aksi simpatik di Gang Dolly, Surabaya, Kamis, (5/06/2014).

Dalam aksinya, mereka membuat tulisan yang berisi curahan hati para penghuni lokalisasi. Surat itu intinya menolak segala bentuk penutupan yang telah direncanakan Pemerintah Kota Surabaya.

“Tuangkan segala aspirasi, amarah, dan rasa kejengkelan kalian kawan-kawan. Luapkan itu dalam secarik kertas. Bahwa sampai saat ini Risma masih belum menunjukkan sikap yang bijaksana soal penutupan,” kata salah seorang perempuan PSK Ayu Susi dihadapan teman-teman PSK lainnya.

Selain menulis curahan hati, para perempuan PSK juga mencurahkan lewat coretan gambar sebagai bentuk kekesalan mereka. Sebab, hingga sampai saat ini, janji Wali kota Surabaya Tri Rismaharini memberikan kompensasi sebagai dampak diwujudkannya rencana penutupan pada 19 Juni nanti belum terealisasi. “Selama ini, pemerintah hanya memikirkan diri sendiri. Pemerintah tidak pernah memikirkan nasib kami. Padahal, jika kami harus kembali ke desa, kami sangat kekurangan” ujar Dian seperti dilansir Antara.


Menimbang Kebijakan Pemerintah

Pemerintah kota Surabaya, melalui walikota Tri Rismaharini, menyatakan siap menuntaskan waktu Surabaya sesuai dengan jadwal 19 Juni tanpa perubahan jadwal sedikit pun. “Tidak ada pemunduran jadwal untuk penutupan lokalisasi Dolly. Kita sudah siap untuk menutup kok,” terang Tri Rismaharini, Walikota Surabaya, sambil menghindar di hadapan wartawan, pada perayaan ultah Surabaya di Balai kota.

Penutupan lokalisasi terbesar di Asia Tenggara itu, salah satunya demi menyelamatkan masa depan anak-anak yang tinggal di sana.

“Karena dari catatan, anak-anak yang tinggal di sekitar lokalisasi, menjadi pelaku kriminal perdagangan manusia atau mucikari cilik,” ujar Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, Kamis (05/06/2014).

Wacana Pemkot Surabaya menutup Lokalisasi Dolly didukung oleh pemerintah provinsi, para ulama, dan tokoh agama di Jawa Timur. Risma pun mejelaskan alasan lain diambilnya keputusan tersebut.

“Pertama, letak lokalisasi Dolly berbaur dengan pemukiman masyarakat umum, kedua peraturan daerah melarang perdagangan manusia, dan yang ketiga dampak sosial bagi anak-anak yang tinggal di sekitar Lokalisasi Dolly sangat buruk,” terang Risma.

Masalah lokalisasi PSK ini adalah menjadi perhatian (ijtihad) yang sangat ekstra hati-hati pasalnya dinilai sebagai penyakit masyarakat. Pemerhati maslah ini salah satunya adalah Kiyai Sahal yang dianggap sangat kontroversial dan nyleneh oleh sebagian kawan-kawan kita didunia Islam. Bahkan tidak sedikit yang kemudian mengelompokkan beliau ke dalam bagian para pemikir liberal lantaran beberapa pemikiran beliau yang nyleneh, dan diantaranya adalah masalah ini.

Dalam amsalah ini Beliau berkata: “misalnya kaidah Idza Ta’aradha Mafsadatani Ru’iya A’dzamuhuma Dhararan Bi Irtikabi Akhaffihima. Dalam konteks Fiqh Sosial, kaidah ini bisa diaplikasikan untuk, misalnya, melihat fenomena lokalisasi perempuan pekerja seks.Protitusi jelas merupakan sesuatu yang dilarang agama.

Akan tetapi sebagai persoalan sosial yang kompleks, prostitusi bukanlah persoalan yang mudah untuk dihilangkan. Dalam kondisi semacam itu kita dihadapkan pada dua pilihan yang sama-samaMafsadah, yaitu membiarkan protitusi tidak terkontrol ditengah masyarakat atau melokalisir sehingga prostitusi bisa terkontrol. Pilihan terhadap kebijakan lokalisasi prostitusi merupakan pilihan yang didasarkan atas prinsip memilih perbuatan yang dampak buruknya lebih ringan. Dengan demikian, tinjauan Fiqh Sosial membenarkan tindakan lokalisasi terhadap para perempuan pekerja seks komersial”.

Disana bisa dipastikan bahwa seorang Kiyai Sahal tidak pernah dan tidak mungkin melagalkan perzinahan yang dibahasakan dengan prostitusi. sebagai problem sosial yang komplek, prostitusi tidak bisa serta merta dilarang secara serampangan.

Kalau hanya sekedar mengharamkan tanpa ada sebuah solusi yang riil, itu tak lebih dari isapan jempol belaka. Siapa yang akan berani menanggung secara penuh semua kebutuhan hidup para PSK yang sebanyak itu? Dengan berbagai latar belakang kehidupan dan karakteristik masing-masing. Mungkin kalau satu atau dua atau bahkan 1000 orang PSK, mungkin masih ada orang-orang yang siap, tapi bagaimana kalau itu jutaan PSK?

Jadi masalah yang kita hadapi ini tidak sekedar masalah fiqh an sich, tapi sudah menjelma menjadi masalah ekonomi, sumber daya manusia, politik dan lain sebagainya. Sehingga dalam menjawab masalah ini, pun kita harus memandang kesemua aspek yang telah saya sebutkan tadi secara holistik dan komprehensif. Sehingga ijtihad yang dihasilkan berkenaan dengan problem ini pun nantinya sesuai dengan kemaslahatan umat secara umum.

Dalam kajian Ushul Fiqh, apa yang telah Kiyai Sahal sampaikan di atas, bisa dimasukkan dalam kategori Tahqiqul Manath yang antara satu mujtahid dan yang lain sangat memungkinkan sekali terjadi perbedaan, walaupun memiliki satu dasar yang sama. Karena pada dasarnya semua sepakat bahwa yang namanya prostitusi adalah sesuatu yang dilarang oleh agama dan tentunya bertentangan dengan norma-norma kesusilaan ala Indonesia. Inilah yang dalam istilah ushul disebut Manathul Hukmi.

Hanya saja dalam taraf penanggulangan prostitusi ini secara realistis (Tahqiq), antara satu ulama dan yang lain berbeda pendapat. Sepanjang pengamatan penulis, guru kami KH. M. Najih Maimoen termasuk ulama yang tidak mensetujui adanya lokalisasi PSK. Beliau berdalih bahwa dalam praktek Amar Ma’ruf Nahi Munkar lokalisasi tidak menyelesaikan masalah, bahkan malah ada kesan melegalkan protitusi itu sendiri.

Memang ini bukanlah solusi final yang tidak menerima digugat atau dikritik sama sekali, hanya saja kritik dan gugatan itu tentunya tidak hanya memerlukan sebuah semangat yang menggebu-gebu dalam prakteknya, tapi lebih dari itu semua, memerlukan sebuah kejernihan berfikir, keilmuan yang memadai dan tentunya kinerja intelektual yang melelahkan. Dan memang itulah tugas para Fuqaha’ Kontemporer yang telah ditunggu-tunggu oleh masyarakat peran dan aksinya.

Kita harus lihat juga efek maslahat dan mafsadat serta kalkulasikan berapa warga, ratusan bahkan ribuan warga yang kehilangan penghasilannya akibat penutupan Dolly. Penutupan lokalisasi akan berdampak. Pertama, penutupan lokalisasi bukan suatu solusi yang riil. Kedua, Ibarat rumah tanpa WC. Maka penghuninya akan membuang kotoran disembarang tempat. Ketiga, sulitnya mengontrol dan mengatur dan penanganan PSK. Akibatnya berceceran dimana-mana penyakit masyarakat tersebut.  

Lebih lanjut dalam nalar berfikir yang ada adalah sebuah solusi bagi para PSK, semestinya tidak hanya sekedar hukum halal atau haram saja. Pelarangan adanya lokalisasi malah akan menimbulkan problem baru, tidak hanya masalah tidak terkontrolnya PSK, akan tetapi juga masalah ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya.

Nah dengan melihat problem ini dari berbagai sisi inilah kemudian menyatakan bahwa dalam kaca mata Fiqh Sosial, pilihan lokalisasi protitusi adalah hal yang sesuai dengan kondisi sekarang ini. Karena fiqh bukan hanya sebagai paradigma kebenaran ortodoksi, akan tetapi lebih sebagai paradigma pemaknaan sosial dan counter discours terhadap hegemoni barat dan kapitalis yang mau tidak mau akan membawa masyarakat Indonesia terseret lebih jauh menuju jurang kehidupan sekuler.

Fiqh yang hanya berwajah halal haram—tanpa ada sebuah solusi, baik yang bersifat universal ataupun lokal—hanya akan menjadikan masyarakat termarjinalkan dari dirinya sendiri, karena diakui atau tidak, kemajuan, modernisasi dan globalisasi tidak bisa atau sangat sulit untuk dibendung lajunya. [] Wallahu ‘alam