Tuesday, September 13, 2016

Senandung Rindu di Hari Raya Idul Adha 1437



Allah akbar Allah Akbar Allah Akbar...
Laa Ilaa ha Illallahu wa Allah Akbar, Allah Akbar Walillah hilhamd...

Gemuruh Lantunan takbir terdengar dari setiap sudut ruangan. Lantunan yang membuat meneteskan air mata teringat kisah romantisme Ibrahim dengan Anaknya, Ismail. Ditambah tanpa hadirmu, bertambah pilu berselimut rindu. Meski kita jauh dalam hatiku aku akan tetap mempertahankanmu sebagai kekasihku sampai tiba masanya kita bisa mengucapkan seuntai janji (suci) di depan penghulu.
Oh jika itu benar terjadi aku sangat bahagi, hidup bersama denganmu dalam suka dan duka, aku akan bisa menghabiskan waktu lebih banyak denganmu, aku lebih bisa mengenalmu lebih dalam. Pasti aku akan bahagia, bersamamu yang selalu semangat, yang selalu menilai segala sesuatu dengan pandangan hati yang positif, rasanya tak sabar aku ingin segera menemuimu. Bercengkrama didepan matamu secara nyata.

Pikiranku terperanjat dalam diam dan kesendirianku ini, aku merasakan kehadiran akan sukmamu yang menyinggahi relung hatiku, keberadaanmu mempengaruhi hidupku. Semangatmu mampu membuatku merasa hidup kembali, kamu  memang istimewa.

Dari bahasamu saja sudah tampak jelas akan siapa dirimu yang sebenarnya,caramu memperlakukanku dengan bijak, membuatku semakin yakin kalau aku akan hidup bahagia denganmu. Kau tak pernah meributkan kekuranganku, melainkan dengan sabar menyemangatiku, kau juga tak menuntutku untuk segera menjadi apa, kau lebih membiarkanku untuk menjadi siapa diriku.

Tetapi dalam benakmu, apakah aku juga tepat untukmu?

Dalam hatiku ada keraguan apakah nanti kau selamanya menerima ketidakberadaan ini. Rasa ini nyaman tak lepas dari kata-katamu yang menenangkan, kau katakan asal dalam hidup ini mau berusaha dan mau belajar, kita pasti bisa mendapatkan apa yang kita cita-citakan.

Bicaramu sederhana, soal tarjet engkau tidak banyak bicara, namun dalam diammu sesungguhnya terdapat kesungguhan yang luar biasa. Dalam diammu terkandung semangat membara. dan Dalam diammu aku menyayangimu.

Kau hebat. Kini aku tau semangat luar biasamu itu, dengan rajin memohon pertolongan kepada-Nya,. Malah, Kau telah berhasil membuktikan siapa dirimu dengan perjuangan pahit, keras hidupmu. Kedua orang tuamu dan orang-orang yang engkau kasihi di sekelilingmu mampu menjadi ujung tombak semangat kuat untuk maju.

cara berpikirmu benar-benar rapi dan menyenangkan. Apapun masalah didepanmu selalu kau nilai positif, tidak mudah emosional,. Semakin dalam kumengenalmu, aku semakin melayang berangan -angan setinggi langit. Denganmulah aku merasa semangatku berpijar lagi, aku benar-benar telah kau racuni dengan mau bermimpi lagi.

Momentun Idul adha 1437 H ini, kita merefleksikan romantisme nabi Ibrahim degan keluarganya merupakan refleksi yang tepat bagi suasana hatiku saat ini. Perasaanku yang berkurban, bukan korban operasaan (lho ya!). Sewaktu Nabi Ismail mencapai usia remajanya Nabi Ibrahim a.s. mendapat mimpi bahwa ia harus menyembelih Ismail puteranya. Dan mimpi seorang nabi adalah salah satu dari cara-cara turunnya wahyu Allah, maka perintah yang diterimanya dalam mimpi itu harus dilaksanakan oleh Nabi Ibrahim.

 Ia duduk sejurus termenung memikirkan ujian yang maha berat yang ia hadapi. Sebagai seorang ayah yang dikurniai seorang putera yang sejak puluhan tahun diharap-harapkan dan didambakan ,seorang putera yang telah mencapai usia di mana jasa-jasanya sudah dapat dimanfaatkan oleh si ayah, seorang putera yang diharapkan menjadi pewarisnya dan penyampung kelangsungan keturunannya, tiba-tiba harus dijadikan qurban dan harus direnggut nyawa oleh tangan si ayah sendiri.

Namun ia sebagai seorang Nabi, penyampai risalah Allah dan pembawa agama yang seharusnya menjadi contoh dan teladan bagi para pengikutnya dalam bertaat kepada Allah ,menjalankan segala perintah-Nya dan menempatkan cintanya kepada Allah di atas cintanya kepada anak, isteri, harta benda dan lain-lain. Ia harus melaksanakan perintah Allah yang diwahyukan melalui mimpinya, apa pun yang akan terjadi sebagai akibat pelaksanaan perintah itu.Sungguh amat berat ujian yang dihadapi oleh Nabi Ibrahim, namun sesuai dengan firman Allah yang bermaksud:

“Allah lebih mengetahui di mana dan kepada siapa Dia mengamanatkan risalahnya.”

Nabi Ibrahim tidak membuang masa lagi, berazam (tekat bulat) tetap akan menyembelih Nabi Ismail puteranya sebagai qurban sesuai dengan perintah Allah yang telah diterimanya.Dan berangkatlah serta merta Nabi Ibrahim menuju ke Makkah untuk menemui dan menyampaikan kepada puteranya apa yang Allah perintahkan.

Nabi Ismail sebagai anak yang soleh yang sgt taat kepada Allah dan bakti kepada orang tuanya, ketika diberitahu oleh ayahnya maksud kedatangannya kali ini tanpa ragu-ragu dan berfikir panjang berkata kepada ayahnya:

“Wahai ayahku! Laksanakanlah apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepadamu. Engkau akan menemuiku insya-Allah sebagai seorang yang sabar dan patuh kepada perintah. Aku hanya meminta dalam melaksanakan perintah Allah itu, agar ayah mengikatku kuat-kuat supaya aku tidak banyak bergerak sehingga menyusahkan ayah, kedua agar menanggalkan pakaianku supaya tidak terkena darah yang akan menyebabkan berkurangnya pahalaku dan terharunya ibuku bila melihatnya, ketiga tajamkanlah parangmu dan percepatkanlah perlaksanaan penyembelihan agar menringankan penderitaan dan rasa pedihku, keempat dan yang terakhir sampaikanlah salamku kepada ibuku berikanlah kepadanya pakaian ku ini untuk menjadi penghiburnya dalam kesedihan dan tanda mata serta kenang-kenangan baginya dari putera tunggalnya.”

Kemudian dipeluknyalah Ismail dan dicium pipinya oleh Nabi Ibrahim seraya berkata:

“Bahagialah aku mempunyai seorang putera yang taat kepada Allah, bakti kepada orang tua yang dengan ikhlas hati menyerahkan dirinya untuk melaksanakan perintah Allah.”

Saat penyembelihan yang mengerikan telah tiba. Diikatlah kedua tangan dan kaki Ismail, dibaringkanlah ia di atas lantai, lalu diambillah parang tajam yang sudah tersedia dan sambil memegang parang di tangannya, kedua mata nabi Ibrahim yang tergenang air berpindah memandang dari wajah puteranya ke parang yang mengilap di tangannya, seakan-akan pada masa itu hati beliau menjadi tempat pertarungan antara perasaan seorang ayah di satu pihak dan kewajiban seorang rasul di satu pihak yang lain.

Pada akhirnya dengan memejamkan matanya, parang diletakkan pada leher Nabi Ismail dan penyembelihan di lakukan. Akan tetapi apa daya, parang yang sudah demikian tajamnya itu ternyata menjadi tumpul dileher Nabi Ismail dan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya dan sebagaimana diharapkan.

Kejadian tersebut merupakan suatu mukjizat dari Allah yang menegaskan bahwa perintah pergorbanan Ismail itu hanya suatu ujian bagi Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail sampai sejauh mana cinta dan taat mereka kepada Allah.

Ternyata keduanya telah lulus dalam ujian yang sangat berat itu. Nabi Ibrahim telah menunjukkan kesetiaan yang tulus dengan pergorbanan puteranya. untuk berbakti melaksanakan perintah Allah sedangkan Nabi Ismail tidak sedikit pun ragu atau bimbang dalam memperagakan kebaktiannya kepada Allah dan kepada orang tuanya dengan menyerahkan jiwa raganya untuk dikorbankan, sampai-sampai terjadi seketika merasa bahwa parang itu tidak lut memotong lehernya, berkatalah ia kepada ayahnya:

"Wahai ayahku! Rupa-rupanya engkau tidak sampai hati memotong leherku karena melihat wajahku, cubalah telangkupkan aku dan laksanakanlah tugasmu tanpa melihat wajahku."

Akan tetapi parang itu tetap tidak berdaya mengeluarkan setitik darah pun dari daging Ismail walau ia telah ditelangkupkan dan dicuba memotong lehernya dari belakang.

Dalam keadaan bingung dan sedih hati, karena gagal dalam usahanya menyembelih puteranya, datanglah kepada Nabi Ibrahim wahyu Allah dengan firmannya:

“Wahai Ibrahim! Engkau telah berhasil melaksanakan mimpimu, demikianlah Kami akan membalas orang-orang yang berbuat kebajikkan.”

Kemudian sebagai tebusan ganti nyawa Ismail telah diselamatkan itu, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim menyembelih seekor kambing yang telah tersedia di sampingnya dan segera dipotong leher kambing itu oleh beliau dengan parang yang tumpul di leher puteranya Ismail itu.

Dan inilah asal permulaan sunnah berqurban yang dilakukan oleh umat Islam pada tiap hari raya Aidiladha di seluruh pelosok dunia.

Kesabaran Ibrahim dan Keiklasan Ismail menjadi kata kunci paling utama dalam kisah ini. Sebagaimana kita (mas dan kamu) sedang diuji dengan jarak, namun kesabaran dan keiklasan menjadi kunci utama untuk kebahagiaan kita kelak. Anak-anak kita akan belajar dari kesabaran dan keikhlasan kita sehingga tumbuh menjadi orang yang berjiwa besar.
  
Percayalah dengan kekuatan cinta, kesabaran dan keikhlasan
Adiana sayang...

Wonosobo, 12/09/2016