Samar-samar
kulihat lampu kota dan gedung tinggi dari kejauhan menjulang tinggi gunung
sindoro menunjukkan keagungan Tuhan. Mobil lalu-lalangpun tak kuhiraukan. Ku
masih berdiri mematung, bagai patung yang ada ditaman pemuda. Diam tanpa ada
kata. Pikiran jauh melayang tanpa batas. Angin sepoi terus berhembus, menerpa
rambutku. Baju batik bermotif benang bintik yang aku kenakan terus berkibar-kibar
diterpa angin. Sesekali kudengar suara klotok lewat dan menimbulkan efek riak
air yang indah.
Sudah
hakikat, Tuhan menunjukkan kebesaranNya dengan menunjukkan jalan hingga aq tiba
di tempat ini. Sudah hakikat, kami berdiri di dunia ini penuh kebanggaan.
Menunjukkan kepada dunia betapa kami sangat percaya diri untuk mengubahnya
lebih baik. Aq tidak sendiri, do’a-do’a sering menari-nari di bibir mulut kami,
agar hatiku tak hanya berisi harapan yang kosong, tapi penuh optimisme yang tak
dibantah kemustahilannya.
Dua
puluh tujuh tahun (02/11/2016), dan aq tak lagi harus merangkak. Aq tak ingin
hanya berjalan, aq ingin berlari, terbang melesat terbang melintasi setiap depa
kahidupan dan menyadarkan alam bawah sadar kemanusiaan, bahwa semua itu dapat
dirubah dengan tekat dan kerja keras. Dengan harapan dan optimisme. Dengan
kekuatan cinta, meletakkan ego personal, dunia bisa dirubah .
Perjalanan
panjang telah ku lalui, masih belum berujung jua, di depan mata masih terhampar
masa depan yang memerlukan perjuangan, kekuatan dan cinta. Namun yang patut aq
syukuri, Tuhan telah memberikan karunia tiada terkira. Katundukanku tak lagi
diukur dengan sejauhmana pengabdianku kepdaNya, tapi Tuhan memang punya
segalanya.
Sekelibatan
mengedipkan mata, kehidupan telah berubah sedemikian rupa. Jaman ka-nak-ka-nak
pun sirna, namun bekas masih-lah trasa dalam dada. Tak tau kenapa semua ini
ada? Jalan panjang tanpa kata mengulang sebuah cerita, masa bocah yang tak lagi
manja.
Dalam keheningan senja di
sore
ini (02/11/2016), terdiam di kampung halaman. aku diserambi rumah ditemani
sepiring gorengan dengan segelas teh hangat merasakan damai dalam ksederhanaan.
Dalam
lamunan teringat masa kecil yang sangat mengasyikkan. saat libur tiba, menimba
aer, mencuci seragam sekolah, lagi-lagi manual dengan sabun dulit (sabun
colek), kucekan demi kucekan, membawa kenangan indah. Kesusahan tak lagi dikur
dengan tindakan, karena keihlasan membuat semuanya indah. Tak semua masa kecil
ku ingat. Tetapi kehidupan yang masih ku ingat dengan baik dalam kehidupan ku,
dilakukan dengan “physical”. Physical disini maksdnya adalah segala
sesuatunya dikerjakan dengan manual, dan fisk pada waktu itu.
Dua puluh tujuh tahun sudah
terlewati, sebuah fase kehidupan yang sudah (cukup) matang. Mulai dari
pendewasaan sikap, ego, dan intelektual semuanya tertata dengan bimbingan orang
tua, guru, sahabat, dan tempaan alam.
Dua
puluh tujuh tahun, di tengah aktivitasku menjadi abdi mahasiswa di Universitas
Sains al-Qur’an, salah satu pegawai admin, menghampiri ku menyodorkan sebuah
kado, cukup besar, aku tak mau berspekulasi tentang isi kado tersebut dan siapa
pengirimnya. Setelah ku lihat pengirimnya ternya teman seperjuanganku di pascasarjana
mba wie namanya, teman paling “cantik” di smart class Islamic Law.
Mengetahui
pengirimnya adalah mba Wie, awalnya tak begitu penasaran apa isi kado tersebut,
karena aku yakin sudah bisa menebak isi di dalamnya, buku yang dulu sempat ku
pinjamkan kepadanya. Namun, melihat wadahnya yang cukup tebal, rasa penasaran ingin
mengtahui apa yang ada di dalamnya pun muncul, perlahan ku buka bungkusnya, ternyata memang benar isinya buku yang dulu
sempat aku pinjamkan. Tapi, yang membuat surpres adalah buku yang
satunya, berjudul “Sejarah Kenabian dalam Perspektf Tafsir Nuzul Muhammad
Izzat Darwasah”. Terbitan MIZAN 2016, Karya Dosen STAIN Tulung Agung, Dr. Aksin
Wijaya.
Tak
sabar mengcumbui isi buku tersebut, sampai di kamar tak ada lain langsung ku
buka, lembar demi lembar dengan seksama ku baca buku yang sangat ilmiah
tersebut. Buku yang dinilai cukup tebal untuk ukuran Indonesia, memuat 500-an
halaman. Penasaran dengan gagasan Darwaz, buku setebal itu ahirnya dapat
selesai ku baca semalam.
Meskipun
dalam buku Sejarah Kenabian ini, Dr. Aksin Wijaya tidak sampai kepada sebuah
analitik, tapi hanya pada level mendeskripsikan, akan tetapi ia lakkan dengan apik
atas gagasan Muhammad Izzat Darwazah. Bisa dibilang beliau adalah orang
pertama yang menusantarakan pemikiran Muhammad Izzat Darwazah, mengingat selama
ini masih jarang yang meneliti dan cenderung terabaikan, serta sama sekali
belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Meskipun sebelumnya boleh jadi
sudah terdapat berbagaipenelitian terkai dengan pemikiran Darwaz, sepeti penelitian
(Skripsi) Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum UNSIQ Wonsosobo Tahun 2014, dengan
judul “Analisis Konsep Asbabun Nuzul dal Kitab Tafsir Hadis Karya Muhammad
Izzah Darwazah”.
Dr.
Aksin Wijaya bisa dikatakan salah satu dari sedikit orang yang membawa
pemikiran Izzat Darwazah ke dalam pergumulan keilmuan islam nusantara. Muhammad
Izzat Darwazah sendiri merupakan seorang intelektual asal Pakistan yang
menyusun sirah atau sejarah kenabian dengan tafsir Al-Quran dengan Tartib
Nuzul. Ia memandang bahwa metode ini paling tepat untuk digunakan dalam
menafsirkan Al-Quran karena bagaimanapun juga Al-Quran adalah wahyu tuhan yang
tidak lepas dari realitas, baik dalam konteks pra-islam, sisi pribadi Nabi
Muhammad SAW, maupun realitas kehidupan pada era kenabian itu sendiri.
Gagasan
Darwazah yang mengatakan, bahwa selama ini tafsir, hadits dan tarikh adalah
tiga disiplin ilmu keislaman yang berbeda. Al-Qur’an terdiri dari 30 juz yang
ditafsirkan oleh ribuan jilid kitab tafsir, ribuan hadits Nabi tercatat dalam
sembilan kitab hadits utama (kutubut tis’ah) dan kitab hadits sekunder lainnya
serta perjalanan hidup Nabi dicatat dengan detil oleh sejumlah kitab sirah
nabawiyah. Muhammad Izzat Darwazah menyodorkan gagasannya untuk melihat sejarah
Nabi melalui al-Qur’an. Pendekatan yang ditawarkan ulama kelahiran Palestina
ini berupa tafsir nuzuli.
Terdapat
dua jenis corak penafsiran al-Qur’an; pertama, menafsirkan ayat sesuai
urutan mushaf (dari surat pertama al-fatihah hingga surat ke-114 al-nas). Ini
disebut dengan tafsir tahlili. Inilah pendekatan yang dilakukan oleh mayoritas
mufassir dari al-Muqatil, al-Thabary sampai Buya Hamka dan Quraish Shihab. Pendekatan
kedua, melalui tafsir tematis, yaitu tafsir maudhu’i dimana ayat-ayat
mengenai tema terpilih yang tercantum dalam berbagai surat dikumpulkan dan
ditafsirkan untuk mendapatkan gambaran yang lebih utuh tentang berbagai tema
utama dalam al-Qur’an.
Nah,
tafsir nuzuli ini menafsirkan ayat sesuai kronologis turunnya ayat bukan
berdasarkan urutan dalam mushaf. Syekh Darwazah melangkah lebih maju lagi
dengan meihat sejarah Nabi dalam kronologis turunnya ayat al-Qur’an. Beliau
menulis kitab al-Tafsir al-Hadits dengan pendekatan nuzuli serta menulis
sejarah Nabi lewat pendekatan nuzuli. Walhasil beliau berusaha meng-qur’an-kan
sejarah Nabi dan men-sejarah-kan al-Qur’an. Yang kemudian di teliti oleh Dr.
Aksin Wijaya.,
Saya
beruntung dikirimi buku karya Dr. Aksin Wijaya oleh mba Rabiah Adawiyah,
Lc., M.SI,. struktur buku ini diawali dengan penjelasan mengenai sosok
syekh Darwazah dan pembahasan mengenai kronologis ayat al-Qur’an sebelum
pembaca dibawa masuk ke dalam sejarah Nabi menurut al-Qur’an. Saya bahkan
menikmati kisah penulis yang berburu kitab karya syekh Darwazah sampai ke
Maroko. Sebuah usaha intelektual yang serius!
Dalam
buku ini, Dr. Aksin Wijaya menggnakan pendekatan model tafsir nuzuli ala
Noldeke, Muhammad Abid al Jabiri dan tentu saja Muhammad Izzat Darwazah.
Kemudian dilanjutkan dengan potret masyarakat arab pada masa pra kenabian, Nabi
Muhammad, kepribadian beliau, yang meliputi akhlak, perkawinan, hingga hubungan
Nabi Muhammad dengan Allah. Dan yang terakhir adalah potret sejarah dakwah dan
masyarakat pada era kenabian Nabi Muhammad.
Membaca
buah pikiran syekh Darwazah yang dalam buku Dr. Aksin Wijaya ini meyakinkan ku
akan satu hal: Nabi Muhammad itu merupakan al-Qur’an berjalan. Seluruh
perilakunya bukan hanya sesuai dengan isi al-Qur’an tetapi juga memahami al-Qur’an
tidak bisa lepas dari situasi dan kondisi yang dialami Nabi Muhammad.
Terima kasih
mba Rabi’ah Adawiyah, Lc., M.SI yang telah memeberikan (kado) buku berharga dan
bergizi, bagi intelektual.
Lereng
Gunung Sindoro 06/11/2016