Friday, November 25, 2016

Membaca Kado Ulang Tahun Rabiah Adawiyah

Samar-samar kulihat lampu kota dan gedung tinggi dari kejauhan menjulang tinggi gunung sindoro menunjukkan keagungan Tuhan. Mobil lalu-lalangpun tak kuhiraukan. Ku masih berdiri mematung, bagai patung yang ada ditaman pemuda. Diam tanpa ada kata. Pikiran jauh melayang tanpa batas. Angin sepoi terus berhembus, menerpa rambutku. Baju batik bermotif benang bintik yang aku kenakan terus berkibar-kibar diterpa angin. Sesekali kudengar suara klotok lewat dan menimbulkan efek riak air yang indah.

Sudah hakikat, Tuhan menunjukkan kebesaranNya dengan menunjukkan jalan hingga aq tiba di tempat ini. Sudah hakikat, kami berdiri di dunia ini penuh kebanggaan. Menunjukkan kepada dunia betapa kami sangat percaya diri untuk mengubahnya lebih baik. Aq tidak sendiri, do’a-do’a sering menari-nari di bibir mulut kami, agar hatiku tak hanya berisi harapan yang kosong, tapi penuh optimisme yang tak dibantah kemustahilannya.

Dua puluh tujuh tahun (02/11/2016), dan aq tak lagi harus merangkak. Aq tak ingin hanya berjalan, aq ingin berlari, terbang melesat terbang melintasi setiap depa kahidupan dan menyadarkan alam bawah sadar kemanusiaan, bahwa semua itu dapat dirubah dengan tekat dan kerja keras. Dengan harapan dan optimisme. Dengan kekuatan cinta, meletakkan ego personal, dunia bisa dirubah .

Perjalanan panjang telah ku lalui, masih belum berujung jua, di depan mata masih terhampar masa depan yang memerlukan perjuangan, kekuatan dan cinta. Namun yang patut aq syukuri, Tuhan telah memberikan karunia tiada terkira. Katundukanku tak lagi diukur dengan sejauhmana pengabdianku kepdaNya, tapi Tuhan memang punya segalanya.

Sekelibatan mengedipkan mata, kehidupan telah berubah sedemikian rupa. Jaman ka-nak-ka-nak pun sirna, namun bekas masih-lah trasa dalam dada. Tak tau kenapa semua ini ada? Jalan panjang tanpa kata mengulang sebuah cerita, masa bocah yang tak lagi manja.

Dalam keheningan senja di sore ini (02/11/2016), terdiam di kampung halaman. aku diserambi rumah ditemani sepiring gorengan dengan segelas teh hangat merasakan damai dalam ksederhanaan.

Dalam lamunan teringat masa kecil yang sangat mengasyikkan. saat libur tiba, menimba aer, mencuci seragam sekolah, lagi-lagi manual dengan sabun dulit (sabun colek), kucekan demi kucekan, membawa kenangan indah. Kesusahan tak lagi dikur dengan tindakan, karena keihlasan membuat semuanya indah. Tak semua masa kecil ku ingat. Tetapi kehidupan yang masih ku ingat dengan baik dalam kehidupan ku, dilakukan dengan “physical”. Physical disini maksdnya adalah segala sesuatunya dikerjakan dengan manual, dan fisk pada waktu itu.

 Dua puluh tujuh tahun sudah terlewati, sebuah fase kehidupan yang sudah (cukup) matang. Mulai dari pendewasaan sikap, ego, dan intelektual semuanya tertata dengan bimbingan orang tua, guru, sahabat, dan tempaan alam. 
     
Dua puluh tujuh tahun, di tengah aktivitasku menjadi abdi mahasiswa di Universitas Sains al-Qur’an, salah satu pegawai admin, menghampiri ku menyodorkan sebuah kado, cukup besar, aku tak mau berspekulasi tentang isi kado tersebut dan siapa pengirimnya. Setelah ku lihat pengirimnya ternya teman seperjuanganku di pascasarjana mba wie namanya, teman paling “cantik” di smart class Islamic Law.

Mengetahui pengirimnya adalah mba Wie, awalnya tak begitu penasaran apa isi kado tersebut, karena aku yakin sudah bisa menebak isi di dalamnya, buku yang dulu sempat ku pinjamkan kepadanya. Namun, melihat wadahnya yang cukup tebal, rasa penasaran ingin mengtahui apa yang ada di dalamnya pun muncul, perlahan ku buka bungkusnya,  ternyata memang benar isinya buku yang dulu sempat aku pinjamkan. Tapi, yang membuat surpres adalah buku yang satunya, berjudul “Sejarah Kenabian dalam Perspektf Tafsir Nuzul Muhammad Izzat Darwasah”. Terbitan MIZAN 2016, Karya Dosen STAIN Tulung Agung, Dr. Aksin Wijaya.

Tak sabar mengcumbui isi buku tersebut, sampai di kamar tak ada lain langsung ku buka, lembar demi lembar dengan seksama ku baca buku yang sangat ilmiah tersebut. Buku yang dinilai cukup tebal untuk ukuran Indonesia, memuat 500-an halaman. Penasaran dengan gagasan Darwaz, buku setebal itu ahirnya dapat selesai ku baca semalam.  

Meskipun dalam buku Sejarah Kenabian ini, Dr. Aksin Wijaya tidak sampai kepada sebuah analitik, tapi hanya pada level mendeskripsikan, akan tetapi ia lakkan dengan apik atas gagasan Muhammad Izzat Darwazah. Bisa dibilang beliau adalah orang pertama yang menusantarakan pemikiran Muhammad Izzat Darwazah, mengingat selama ini masih jarang yang meneliti dan cenderung terabaikan, serta sama sekali belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Meskipun sebelumnya boleh jadi sudah terdapat berbagaipenelitian terkai dengan pemikiran Darwaz, sepeti penelitian (Skripsi) Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum UNSIQ Wonsosobo Tahun 2014, dengan judul “Analisis Konsep Asbabun Nuzul dal Kitab Tafsir Hadis Karya Muhammad Izzah Darwazah”.

Dr. Aksin Wijaya bisa dikatakan salah satu dari sedikit orang yang membawa pemikiran Izzat Darwazah ke dalam pergumulan keilmuan islam nusantara. Muhammad Izzat Darwazah sendiri merupakan seorang intelektual asal Pakistan yang menyusun sirah atau sejarah kenabian dengan tafsir Al-Quran dengan Tartib Nuzul. Ia memandang bahwa metode ini paling tepat untuk digunakan dalam menafsirkan Al-Quran karena bagaimanapun juga Al-Quran adalah wahyu tuhan yang tidak lepas dari realitas, baik dalam konteks pra-islam, sisi pribadi Nabi Muhammad SAW, maupun realitas kehidupan pada era kenabian itu sendiri.

Gagasan Darwazah yang mengatakan, bahwa selama ini tafsir, hadits dan tarikh adalah tiga disiplin ilmu keislaman yang berbeda. Al-Qur’an terdiri dari 30 juz yang ditafsirkan oleh ribuan jilid kitab tafsir, ribuan hadits Nabi tercatat dalam sembilan kitab hadits utama (kutubut tis’ah) dan kitab hadits sekunder lainnya serta perjalanan hidup Nabi dicatat dengan detil oleh sejumlah kitab sirah nabawiyah. Muhammad Izzat Darwazah menyodorkan gagasannya untuk melihat sejarah Nabi melalui al-Qur’an. Pendekatan yang ditawarkan ulama kelahiran Palestina ini berupa tafsir nuzuli.

Terdapat dua jenis corak penafsiran al-Qur’an; pertama, menafsirkan ayat sesuai urutan mushaf (dari surat pertama al-fatihah hingga surat ke-114 al-nas). Ini disebut dengan tafsir tahlili. Inilah pendekatan yang dilakukan oleh mayoritas mufassir dari al-Muqatil, al-Thabary sampai Buya Hamka dan Quraish Shihab. Pendekatan kedua, melalui tafsir tematis, yaitu tafsir maudhu’i dimana ayat-ayat mengenai tema terpilih yang tercantum dalam berbagai surat dikumpulkan dan ditafsirkan untuk mendapatkan gambaran yang lebih utuh tentang berbagai tema utama dalam al-Qur’an.

Nah, tafsir nuzuli ini menafsirkan ayat sesuai kronologis turunnya ayat bukan berdasarkan urutan dalam mushaf. Syekh Darwazah melangkah lebih maju lagi dengan meihat sejarah Nabi dalam kronologis turunnya ayat al-Qur’an. Beliau menulis kitab al-Tafsir al-Hadits dengan pendekatan nuzuli serta menulis sejarah Nabi lewat pendekatan nuzuli. Walhasil beliau berusaha meng-qur’an-kan sejarah Nabi dan men-sejarah-kan al-Qur’an. Yang kemudian di teliti oleh Dr. Aksin Wijaya.,

Saya beruntung dikirimi buku karya Dr. Aksin Wijaya oleh mba Rabiah Adawiyah, Lc., M.SI,. struktur buku ini diawali dengan penjelasan mengenai sosok syekh Darwazah dan pembahasan mengenai kronologis ayat al-Qur’an sebelum pembaca dibawa masuk ke dalam sejarah Nabi menurut al-Qur’an. Saya bahkan menikmati kisah penulis yang berburu kitab karya syekh Darwazah sampai ke Maroko. Sebuah usaha intelektual yang serius!

Dalam buku ini, Dr. Aksin Wijaya menggnakan pendekatan model tafsir nuzuli ala Noldeke, Muhammad Abid al Jabiri dan tentu saja Muhammad Izzat Darwazah. Kemudian dilanjutkan dengan potret masyarakat arab pada masa pra kenabian, Nabi Muhammad, kepribadian beliau, yang meliputi akhlak, perkawinan, hingga hubungan Nabi Muhammad dengan Allah. Dan yang terakhir adalah potret sejarah dakwah dan masyarakat pada era kenabian Nabi Muhammad.

Membaca buah pikiran syekh Darwazah yang dalam buku Dr. Aksin Wijaya ini meyakinkan ku akan satu hal: Nabi Muhammad itu merupakan al-Qur’an berjalan. Seluruh perilakunya bukan hanya sesuai dengan isi al-Qur’an tetapi juga memahami al-Qur’an tidak bisa lepas dari situasi dan kondisi yang dialami Nabi Muhammad.

Terima kasih mba Rabi’ah Adawiyah, Lc., M.SI yang telah memeberikan (kado) buku berharga dan bergizi, bagi intelektual.

Lereng Gunung Sindoro 06/11/2016