HUKUM DAN
PERUBAHAN SOSIAL
A. Pendahuluan
Perubahan sosial dalam masyarakat
adalah suatu produk dengan berbagai faktor, dan dalam banyak hal, hubungan
antar faktor-faktor tersebut. Selain faktor hukum, ada beberapa mekanisme perubahan lainnya, seperti faktor-faktor teknologi,
ideologi, kompetisi, konflik, ekonomi, dan politik, serta masalah struktural (structural
strains). Semua mekanisme tersebut dalam kebanyakan hal saling
berhubungan. Hal itu juga terjadi dalam perubahan hukum : adalah sangat
sulit, bahkan tidak mungkin, untuk menggambarkan hubungan sebab-dan-akibat (cause-and-effect
relationship).
Sebagai
makhluk sosial, manusia dalam kehidupan sosialnya tidak akan pernah terlepas
dari adanya kebutuhan dalam menunjang kelangsungan kehidupan mereka, oleh
sebab itulah manusia yang satu dengan manusia yang lainnya akan saling memiliki
kepentingannya masing-masing dalam memenuhi kebutuhan mereka. Namun karena
manusia identik dengan sifat egois (mementingkan diri sendiri) dan angkuh yang
menyebabkannya seringkali merugikan orang lain ketika menjalankan dan mengejar
kepentingan mereka, jadi tidak mustahil akan sering terjadi konflik di antara
manusia dalam melaksanakan dan mengejar kepentingannya tersebut, disinilah
muncul yang biasa disebutkan dengan masalah. Dari needs dan problem itu,
kemudian hukum hadir untuk meminimalisir konflik yang terjadi dalam kehidupan
sosial manusia, agar manusia merasa aman dalam menjalankan dan mengejar
kepentingannya masing-masing (Mertokusumo, 2005: 3)
Lawrence
M. Friedman, sebagaimana di kutip oleh Saifullah, (2007: 26) yang menyatakan
bahwa sistem hukum itu terdiri atas struktur hukum (berupa lembaga
hukum), substansi hukum (beruba perundang-undangan), dan kultur hukum
atau budaya hukum. Dimana ketiga komponen itulah yang mendukung
berjalannya sistem hukum di suatu Negara. Tapi tidak dapat dipungkiri bahwa
secara realitas sosial, keberadaan sistem hukum yang terdapat dalam masyarakat
itu akan mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat pengaruh dari modernisasi
atau globalisasi, baik itu secara evolusi maupun revolusi. Dan bisa juga karena
disebabkan oleh beberapa faktor lainnya yang mempengaruhi hukum. Demikian
halnya dengan manusia dalam kehidupan bermasyarakat (sosial), tentunya bisa
mengalami perubahan-perubahan seperti yang terjadi pada hukum itu sendiri.
Lantas bagaimana jika hukum dan masyarakat itu mengalami perubahan. apakah hukum itu
yang menyebabkan perubahan masyarakat, atau sebaliknya. dan bagaimana peran social control dan social
enginerring dalam perkembangan
masayarakat
tersebut.
B.
Dasar Pemikiran antara Perubahan Hukum dengan
Perubahan Sosial
Perubahan hukum menurut R. Otje Salman (1989: 82) pada
hakikatnya dimulai dari adanya kesenjangan antara keadaan-keadaan yang terjadi
di dalam masyarakat dengan pengaturannya oleh hukum. Tuntutan bagi terjadinya
perubahan hukum timbul manakala kesenjangan tersebut sudah tidak dapat diterima
lagi, sehingga kebutuhan akan perubahan semakin mendesak. Sedangkan Satjipto Rahardjo memandang perubahan hukum sebagai suatu
hal yang sangat penting, antara lain karena hukum pada saat sekarang ini
umumnya memakai bentuk tertulis. Memang dengan bentuk ini kepastian hukum lebih
terjamin, namun ongkos yang harus dibayarnya pun cukup mahal, yaitu berupa
kesulitan untuk melakukan adaptasi yang cukup cepat terhadap perubahan yang
terjadi disekelilingnya (Rahardjo, 2000: 191).
Perubahan
hukum dapat dimulai oleh perubahan gradual dalam nilai-nilai dan sikap-sikap
masyakarat. Masyarakat akan berpikir bahwa kemiskinan adalah hal yang
buruk dan hukum harus dibuat untuk menguranginya dengan satu atau berbagai
cara. Masyarakat dapat menghujat penggunaan hukum karena lebih lanjut
telah menambah praktek-praktek diskriminasi rasial di dalam pemilihan suara,
perumahan, lapangan kerja, pendidikan, dan semacamnya, dan akan mendukung
perubahan-perubahan yang melarang penggunaan hukum untuk maksud-maksud
ini. Masyarakat akan berpikir bahwa pebisnis tidak akan begitu bebas
untuk menjual semua jenis makanan ke pasar tanpa adanya inspeksi pemerintah
yang memadai, atau terbang dengan pesawat yang belum memenuhi standar
keselamatan pemerintah, atau mempertontonkan apa saja di televisi semau yang
punya stasiun televisi. Sehingga hukum harus diundangkan semestinya, dan
lembaga-lembaga regulatori harus berfungsi seperti seharusnya. Dan
masyarakat akan berpikir bahwa praktek aborsi adalah tidak jahat, atau praktek
kontrasepsi adalah diinginkan, atau bahwa perceraian adalah tidak amoral. Oleh
sebab itulah hukum dalam beberapa kejadian tersebut harus mengalami perubahan,
atau harus direvisi kembali sesuai dengan standar yang dibutuhkan oleh masyarakat
itu sendiri.
Perubahan-perubahan
dalam kondisi social, teknologi, pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap, oleh
karena itu, dapat mengarah kepada perubahan hukum. Dalam hal ini, hukum
bersifat reaktif dan mengikuti perubahan sosial. Namun perlu dicatat, bahwa
perubahan hukum adalah salah satu dari banyak respons terhadap perubahan
sosial. Namun perubahan hukum sangatlah penting, karena hukum
merepresentasikan kewenangan negara dan kekuasaan pemberian sanksinya (http://mjrsusi.
wordpress.com).
Dari situlah kemudian dapat dipahami bahwa
perubahan hukum merupakan suatu konsekwensi yang terjadi pada sistem hukum,
sehingga menurut sebagian kalangan menyatakan bahwa hidup matinya hukum itu
bergantung pada perubahan sosial yang terjadi. Jadi perubahan hukum itu
berfungsi menjembatani keinginan-keinginan manusia agar tidak timbul prilaku
yang anarkis, destruktif, kondisi chaos, dan selainnya. Oleh sebab
itulah perubahan hukum yang terjadi akan berujung pada pengaturan secara
tertulis (sebagai suatu dokumen yang sah menurut hukum modern), sehingga
siapapun harus tunduk pada apapun yang telah diatur dalam perubahan hukum
tersebut (Saefullah, 2007: 27).
Sebagaimana telah disinggung oleh Max
Weber, perkembangan hokum meteriil dan hokum acara mengikuti tahap-tahap
perkembangan tertentu, mulai dari bentuk sederhana yang didasarkan pada
charisma, sampai kepada tahap termaju dimana hokum disusun secara sistematis
dan dijalankan oleh orang yang telah menjalankan pendidikan dan latihan
dibidang hokum. Tahap-tahap perkembangan hokum yang kemudian oleh Max Weber disebut
merupakan lebih banyak bentuk-bentuk hokum yang dicita-citakan dan menonjolkan
kekuatan social manakah yang berpengaruh kepada pembentukan hokum kepada
tahap-tahap yang bersangkutan (Soekanto, 2009: 102-103).
Hal ini yang sama dapat pula
ditafsirkan terhadap teori Max Weber terhadap tipe-tipe ideal dari system hokum
yaitu yang irasional dan rasional. Dengan adanya birokrasi dimasyarakat
industri yang modern maka, system hokum yang formal dan rasional timbul. Dari dalam hokum tersebut maka diambillah
suatu teori dasar yang berhubungan dengan perubahan social dan perubahan hokum.
hukum modern sarat dengan bentuk-bentuk formal, dengan prosedur-prosedur dan
birokrasi penyelenggaraan hokum, materi hokum dirumuskan secara terukur dan
formal dan menciptakan pula konsep-konsep baru serta konstruksi khusus juga
tidak setiap orang ,menjadi operator hokum, melainkan mereka yang memiliki
kualifikasi khusus dan menjalani inisiasi formal tertentu. Hakim harus
berijazah sarjana hukum, advokat harus mempunyai lisensi kerja, dan setruanya
(Rahardjo, 2007: 13)
Akibat hokum berubah menjadi institusi
artifisial dan makin menjauh dari rakyat atau masyarakat. Bagi masyarakat umum,
hokum lalu menjadi dunia yang esoteric yang hanya bisa dimasukui oleh
orang-orang yang telah menjalani inisiasi atau pendidikan khusus. Sejak
ketertiban diwakili oleh hokum yang terstruktur, dan diadministrasi secara
rasional itu, maka tidak lagi seseorang tidak dapat bergerak secara aman dan
selamat dari masyarakat, kecuali memperoleh panduan dari pawing-pawang hokum
seperti advokat. Orang tidak lagi bisa memperjuangkan kebenaran, hak-haknya dan
sebagainya kecuali disalurkan kedalam jalur hokum modern itu (Rahardjo, 2007:
13).
Seyogyanya
hukum harus dapat mengayomi masyarakat, hukum harus dapat dijadikan penjaga
ketertiban, ketentraman, dan pedoman tingkah laku dalam kehidupan masyarakat.
Kemudian hukum harus dapat dijadikan pembaru dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara yang harus terbentuk dengan berorientasi kepada masa depan (for
word looking), bukan ke masa lampau (back word looking), oleh sebab
itulah hukum harus dapat dijadikan pendorong dan pelopor untuk mengubah
kehidupan masyarakat kepada yang lebih baik dan lebih bermanfaat.
Fuady (2011: 52) yang jika dilihat
dari perkembangan hokum dibandingkan dengan perkembangan masyarakat, hokum dapat
dibedakan sebagai berikut;
1. Hokum social engineering
2. Hokum progressive
3. Hukum Slow Motion
4. Hokum Stagnan
Gerakan dari empat model hokum
tersebut berfungsi dan berkembang secara berbeda-beda, dengan konsekuensi yang
berbeda-beda pula sebagaimana dalam table berikut;
Konsekuensi dari
perkembangan hokum
Jenis Hukum
|
Perkembangan Masyarakat
|
Perkembangan Hukum
|
Konsekuensi
|
Hokum social enginerring
|
maju
|
Lebih maju
|
Rekayasa masyarakat
|
Hokum progresif
|
maju
|
Maju
|
Pembangunan
|
Hokum Slow Motion
|
Maju
|
Kurang maju
|
Mempertahankan pola/stabilitas
|
Hokum Stagnan
|
Maju
|
Tidak maju
|
Anarki/gejolak/roformasi
|
Hokum stagnan
|
Sangat maju
|
Sangat tidak maju
|
Revolusi social
|
Hokum Stagnan
|
Tidak maju
|
Tidak maju
|
Masyarakat terasing/uncivilized
|
Perubahan hokum dan perubahan masyarakat, ada dua macam perubahan hokum
yaitu;
1. Perubahan hokum yang bersifat
ratifikasi. Dalam hal ini sebenarnya masyarakat sudah terlebih dahulu berubah dan
sudah mempraktikkan perubahan dimaksud kemudian diubahlah hokum untuk disesuaikan
dengan perubahan yang sudah terlebih dahulu terjadi dalam mayarakat. Akan
tetapi perlu diketahui bahwa dalam hal ini tidak serta-merta terjadi perubahan
hokum jika terjadi perubahan dalam masyarakat. Yang lebih sering ialah hokum
sulit merespons perubahan yang terjadi dimasyarakat. Sebab hakikinya hokum itu
super konservatif, dan kalaupun berkembang dia berkembang mengikuti iramanya
sendiri, berputar diorbitnya sendiri dengan logikanya sendirir dijalan yang
sunyi. Perubahan masyarakat yang menyebabkan perubahan hokum ini sering terjadi
perubahan dalam bentuk perubahan undang-undang yang ada. Tetapi sekali-kali
juga perubahan dalam yurisprudensi yang bersifat menggebrak”. Misalnya
yurisprudensi belanda tahun 1919 yang mengubah paradigm pranata perbuatan hokum.
2. Perubahan hokum yang bersifat
proaktif. Dalam hal ini masyarakat belum mempraktikkan perubahan tersebut,
tetapi sudah ada ide-ide yang berkembang terhadap perubahn dimaksud. Kemudian
sebelum masyarakat mempraktikkan perubahan ynag dimaksud, hokum sudah terlebih
dahulu diubah, sehingga dapat mempercepat praktik perubahan masyarakat tersebut.
dalam hal ini, berlakulah ungkapan “hokum sebagai sarana rekayasa masyarakat” (law
as a tool social enginerring) (Fuadi, 2011: 52-55).
Teori yang lain yang, menghubungkan hokum
dengan perubahan social adalah pendapat Hazairin sebagaimana dikutip Seokanto
(2009: 110) tentang hokum adat. Didalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar
pada tahun 1952 beliau berpendapat bahwa baik secara langsung maupun tidak
langsung, seluruh lapangan hokum mempunyai hubungan dengan kesusilaan. Oleh
karena itu, maka didalam system hokum yang sempurna, taka da tempat bagi
sesuatu yang tidak selaras atau bertentangan dengan kesusilaan. Khususnya dalam
hokum adat, ada hubungan langsung antara hokum dengan kesusilaan yang akhirnya
meningkat menjadi hubungan antara hokum dengan adat. Adat merupakan endapan
kesusilaan didalam masyarakat yaitu kaidah-kaidah adat merupakan kaidah-kaidah
kesusilaan yang sebenarnya telah mendapat pengakuan secara umum dalam
masyarakat tersebut.
Oleh Hazairin dikatakan, bahwa
kaidah-kaidah hokum merupakan kaidah-kaidah yang tidak hanya didasarkan pada
kebebasan pribadi, akan tetapi secara serentak mengekang pula kebebasan tersebut
dengan suatu gerakan maupun ancaman paksaan yang merupakan ancaman hokum atau
penguat hokum. Dengan penjelsan tersebut Hazairin menghilangkan batas tegas
disuatu pihak dengan kesusilaan dipihak lain. Sebaliknya, kaidah-kaidah
kesusilaan dan adat dibiarkan pemeliharaannya kepada kebebasan pribadi yang
dibatasi dengan ancaman serta dijuruskan kepada suatu ancaman paksaan, yaitu
hukuman yang merupakan penguat hokum. Kemudian tentang isi hokum adat disesuaikan
dengan paham masyarakat baik dalam arti adat sopan santun maupun dalam arti
hokum.
C.
Teori tentang perkembangan masyarakat dan keadaan
hukumnya
Soerjono Soekanto (2011:
101) menyatakan bahwa Perubahan Sosial adalah perubahan pada lembaga-lembaga
kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang memengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap,
pola-pola perilaku di antara kelompok-kelompok
masyarakat. Dia juga menjelaskan bahwa perubahan dapat mengenai nilai-nilai
sosial, kaidah-kaidah sosial, pola-pola perilaku, organisasi, susunan lembaga-lembaga
kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang,
interaksi sosial dan lain sebagainya.
Terkait dengan perubahan hukum ini ada dua pandangan yang saling tarik menarik,
dan keduanya saling memiliki alasan pembenarnya masing-masing, yaitu: Pandangan
tradisional dan pandangan modern (Manan, 2009: 7).
1. Pandangan Tradisional
Dalam
pandangan ini, hukum difungsikan dalam fungsi pengabdian (dienende funtie),
dimana hukum itu berkembang mengikuti kejadian-kejadian yang terjadi dalam
suatu tempat, dan selalu berada dibelakang pristiwa yang terjadi (het recht
hinkt achter de feiten aan). Jadi perubahan hukum itu terjadinya
belakangan.
2. Pandangan Modern
Pandangan
ini berbeda dengan tradisional, karena dalam pandangan ini hukum diusahakan
agar dapat menampung segala perkembangan baru, oleh sebab itu hukum harus
selalu berada bersamaan dengan pristiwa yang terjadi. Jadi jelas bahwa dalam
pandangan ini hukum berperan sebagai alat untuk rekayasa sosial (law a tool of social
egineering).
Masyarakat sendiri terdiri
dari beberapa ciri, yakni ciri masyarakat tradisional, transisi, dan
moderen yang diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, yakni masyarakat
tradisional, masyarakat transisi, dan masyarakat modern, dimana uraian ini
antara lain diarahkan kepada aspek politik, sosial budaya, demografis, dan
aspek kelembagaan.
Salah satu ahli yang
banyak berjasa dalam teori perubahan model administrasi di negara sedang
berkembang, adalah Fred W. Riggs. Ide-ide dasar Riggs, banyak yang di adaptasi
dalam mendeskripsikan perubahan sifat dan prilaku masyarakat menurut tiga
klasifikasi tersebut. Terutama pada karakteristik masyarakat transisi
(masyarakat prismatik) merupakan kajian yang sangat relevan dengan masyarakat
kita, mengingat posisi masyarakat Indonesia sekarang berada dalam masa transisi
yang berarti segala keunggulan dan kelemahannya bermanfaat diketahui untuk
selanjutnya dilakukan perbaikan (intervensi) di periode mendatang.
Misalnya, dilihat dari
aspek politik, maka karakteristik masyarakat tradisional cenderung memiliki
kesadaran politik yang rendah, di samping itu antara satu golongan yang lainnya
cenderung saling mencurigai. Keadaan seperti ini berlaku terbalik pada
masyarakat modern, di mana partisipasi dalam aspek politik cenderung tinggi dan
sportivitas antara satu golongan/partai dengan yang lainnya relatif berjalan
baik. Sementara itu, pada masyarakat transisi berada di antara dua kutub ini,
dimana ciri-cirinya lebih banyak diwarnai oleh warna yang formalistis. Artinya,
secara formal telah ada aturan dalam pelaksanaan suatu aktivitas, seperti dalam
Pemilu, namun yang lazim terjadi pada masyarakat transisi adalah aturan itu
lebih bersifat formalitas dibanding dipraktekkan atau ditegakkan di lapangan.
Perubahan dan interaksi
sosial adalah merupakan gejala perubahan dari suatu keadaan sosial tertentu ke
keadaan sosial lain. Teori siklus menjelaskan, bahwa perubahan sosial bersifat
siklus. Pandangan teori siklus sebenarnya telah dianut oleh bangsa Yunani,
Romawi dan Cina Kuno jauh sebelum ilmu sosial modern lahir. Mereka membayangkan
perjalanan hidup manusia yang pada dasarnya terperangkap dalam lingkaran
sejarah yang tidak menentu. Menurut orang Cina, alam semesta dibayangkan berada
dalam perubahan yang berkepanjangan. Namun perubahan itu mengikuti ayunan abadi
gerakan melingkarnya perubahan itu sendiri.
Masyarakat mempunyai sifat
yang dinamis, ia selalu ingin berkembang dan berubah. Irama perubahan tersebut
ada yang lambat, ada yang sedang, ada yang cepat karena dipacu oleh
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pertumbuhan ekonomi.
Akibatnya pola-pola interaksi yang terjadi antara kelompok-kelompok masyarakat
pun semakin kompleks. Gejala sosial sendiri tidak terlepas dari unsur sosial
yakni struktur sosial dan proses sosial. Hal ini dimaksud karena dalam suatu
struktur sosial otomatis terdiri dari beberapa bagian yang secara sistimatis
mempengaruhi suatu gejalah sosial. Bagian yang dimaksud adalah kebudayaan,
lembaga sosial, kekuasaan, kelompok sosial dan lapisan sosial.
Bagian-bagian dari
struktur sosial tersebut jika berdinamika akan membentuk suatu proses sosial.
Proses sosial itu sendiri terdiri dari :
a. Interaksi sosial
Interaksi social berarti suatu kehidupan bersama
yang menunjukkan dinamikanya, tanpa itu masyarakat akan kurang atau bahkan
tidak mengalami perkembangan. Interaksi social merupakan hubungan-hubungan social
yang dinamis, yang menyangkut hubungan orang perorangan, antara
kelompok-kelompok manusia. Kalau interaksi social berjalan dengan baik,
masyarakat dapat hidup dengan tenang. Mereka dapat memperoleh hubungan dengan
baik melalui interaksi antar sesamanya, baik dalam bentuk komunikasi melalui
interaksi maupun dalam bentuk bekerja sama. Oleh karena itu hubungan masyarakat
dalam bentuk apapun dapat diselesaikan dengan interaksi, baik interaksi
masyarakat bawahan mapun sampai pada kalangan masyarakat paling atas.
b. Reaksi atau perubahan sosial.
Perubahan-perubahan social merupakan suatu
variasi dari cara-cara hidup yang telah
diterima yang disebabkan baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis,
kebudayaan materiil, komposisi penduduk, ideology maupun adanya difusi maupun
penemuan-penemuan baru dalam masyarakat tertentu. Perubahan-perubahan social
adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan disalam suatu
masyarakat yang mempengaruhi system sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai,
sikap-sikap dan pola-pola peri kelakukan diantara kelompok-kelompok
dimasyarakat. (Ali, 2006: 17-18)
c. Permasalahan sosial (sangat
berat, amat berat, berat, tidak berat).
Terjadinya suatu interaksi sosial
dengan sendirinya hukum melakukan atau melaksanakan fungsinya sebagai
pengendalian sosial. fungsi hukum dibedakan menjadi beberapa kategori
berdasarkan proses sosial yakni :
1. Fungsi hukum sebagai pengatur
apabila dalam proses interaksi sosial tersebut interaksi dilakukan dengan
nurani (kodrati), organis (terorgisir) dan mekanis atau dilakukan berdasarkan
keinginan hati.
2. Fungsi hukum sebagai pengawas
apabila terjadi reaksi ( perubahan sosial). Perubahan sosial yang menjadikan
hukum mengawasi adalah perubahan sosial terarah, maju, mengambang, dan mundur.
3. Fungsi hukum sebagai
penyelesaian masalah. Peranan hukum dalam menyelesaikan masalah apabila terjadi
permasalahan sosial. Permasalahan sosial terbagi atas beberapa kategori yakni,
permasalahaqn sosial sangat berat, amat berat, berat, dan tidak berat.
Dari fungsi hukum dalam
menyelesaikan masalah, apabila terjadi permasalahan sosial. Permasalahan sosial
tidak terlepas dari perubahan sosial, karena permasalahan sosial akan timbul
dengan sendirinya berdasarkan pola atau kategori perubahan sosial. Perubahan
sosial terarah maka permasalahan sosialnya tidak berat. Perubahan sosial maju
maka permasalahan sosialnya berat. Perubahan sosial mengambang maka
permasalahan sosialnya amat berat. Sedangkan perubahan sosial mundur maka yang
terjadi permasalahan sosialnya menjadi sangat berat. Dengan demikian hukum
berdampingan dengan masyarakat, karena terjadinya suatu interaksi sosial hukum berperan
sebagai pengatur masyarakat.
D.
Aspek-aspek perubahan social yang berhubungan
dengan perubahan hokum
Secara historis, perubahan sosial
terlalu sangat lambat untuk menjadi kebiasaan sebagai sumber utama dari hukum.
Hukum dapat merespons perubahan sosial setelah puluhan tahun atau setelah
berabad-abad. Bahkan di masa awal revolusi industri, perubahan-perubahan
yang terjadi karena ditemukannya mesin uap atau ditemukannya listrik hanya
secara gradual telah mempengaruhi respons hukum yang sah selama satu
generasi. “Namun saat ini tempo dari perubahan sosial telah sedemikian
cepat pada suatu titik dimana asumsi-asumsi yang ada pada saat ini tidak akan
sah lagi bahkan dalam beberapa tahun ke depan” (Friedman, 1972: 13).
Hubungan
antara hukum dengan perubahan sosial menurut Hobel memerlukan alat dan alatnya adalah kita temukan dalam bentuk konsep yang menjelaskan
secara fungsional tempat hukum dalam masyarakat, pekerjaan itu adalah:
1. Merumuskan perubahan yang
boleh dan tidak boleh
2. Mengalokasikan dan menegaskan
siapa-siapa yang boleh menggunakan kekuasaan dan atas siapa yang kekuasaan itu
serta bagaimana prosedurnya,
3. Mempertahankan adopsi
masyarakat dengan mengatur kembali hubungan-hubungan ketika terjadi perubahan (Rahardjo, 1986: 27)
Saifullah
(2007: 31-34) menyatakan bahwa Perubahan hukum dengan perubahan sosial
merupakan dua hal yang tidak dapat dipisah satu sama lain. Kaitan perubahan
hukum dengan perubahan sosial akan melahirkan dua paradigma, yaitu:
1. Paradigma hukum penyesuai kebutuhan
Paradigma
ini hukum berfungsi sebagai pelayan kebutuhan masyarakat, agar hukum tidak
ketinggalan karna lajunya perkembangan masyarakat. Ciri-ciri paradigm ini,
perubahan cendrung diikuti oleh sistem lain, perubahan social lebih cepat
dibanding hukum, penyesuain yang cepat dari huku ke keadaan baru, hukum
berfungsi sebagai pengabdian, hukum mengikuti peristiwa bukan sebaliknya,
seperti kejahatan teknologi canggih. Paradigma ini yang paling sering terjadi,
ini menunjukkan bahwa masyarakat membutuhkan hukum setelah adanya konflik,
sengketa, dll.
2. Paradigm hukum antisipasi masa depan
Paradigma
yang kedua ini memfungsikan hukum sebagai yang dapat menciptakan perubahan atau
setidak-tidaknya sebagai pemicu perubahan masyarakat. Ciri dari paradigma yang
kedua ini adalah, law is a tool social engineering, law as a tool of direct
social change, berorientasi ke masa depan (forward looking), ius
constituendum, hukum berperan aktif, dan tidak hanya menciptakan ketertiban
akan tetapi menciptakan dan mendorong perubahan dan perkembangan tersebut.
Seperti adanya UU tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya.
Perubahan telah menyapu melalui
negara-negara industri maju dengan gelombang-gelombang dankecepatan yang amat
sangat tinggi serta berdampak yang amat sangat tidak terduga”. Dalam
arti, orang dalam masyarakat modern terperangkap ke dalam gelombang (maelstrom)
perubahan soaial, hidup dalam serangkaian revolusi yang kontras dan saling
terkait dalam demografi, urbanisasi, birokratisasi, industrialisasi, sains,
transportasi, pertanian, komunikasi, riset biomedis, pendidikan, dan hak asasi
manusia. Setiap revolusi ini telah membawa perubahan yang spektakuler
dalam serangkaian akibat, dan telah mentransformasi nilai-nilai masyarakat,
sikap, perilaku, dan institusi.
Banyak pakar sosiologi dan pakar hukum
menyatakan bahwa teknologi adalah salah satu dari kekuatan pengubah besar (great
moving forces) untuk perubahan hukum (Miller, 1979: 10). Hukum telah
dipengaruhi oleh teknologi dalam sekurangnya tiga cara, “Yang paling jelas adalah
kontribusi teknologi kepada perbaikan teknik hukum dengan memberikan instrumen
yang harus digunakan dalam menerapkan hukum (misalnya, melalui sidik jari atau
penguji kebohongan). Yang kedua, yang tidak kurang signifikan adalah, efek
teknologi dalam proses formulasi dan penerapan hukum sebagai akibat dan
perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh teknologi dalam iklim sosial dan
intelektual dimana proses hukum dieksekusi (misalnya, dengar pendapat melalui
televisi). Yang terakhir, teknologi mempengaruhi substansi dari hukum dengan
menghasilkan masalah baru dan persyaratan baru yang harus diurus oleh hukum”
(Stoner, seperti dikutip oleh Miller, 1979:14). Gambaran dari perubahan
teknologi yang mengarah kepada perubahan hukum telah sangat banyak
ditemui.
Perubahan hukum dapat dimulai oleh
perubahan gradual dalam nilai-nilai dan sikap-sikap masyakarat.
Masyarakat akan berpikir bahwa kemiskinan adalah hal yang buruk dan hukum harus
dibuat untuk menguranginya dengan satu atau berbagai cara. Masyarakat
dapat menghujat penggunaan hukum karena lebih lanjut telah menambah
praktek-praktek diskriminasi rasial di dalam pemilihan suara (sebelum 1963,
masyarakat kulit hitam dan keturunan Spanyol tidak boleh memilih di Amerika
Serikat penerjemah), perumahan, lapangan kerja, pendidikan, dan semacamnya, dan
akan mendukung perubahan-perubahan yang melarang penggunaan hukum untuk maksud-maksud
ini. Masyarakat akan berpikir bahwa pebisnis tidak akan begitu bebas
untuk menjual semua jenis makanan ke pasar tanpa adanya inspeksi pemerintah
yang memadai, atau terbang dengan pesawat yang belum memenuhi standar
keselamatan pemerintah, atau mempertontonkan apa saja di televisi semau yang
punya stasiun televisi. Sehingga hukum harus diundangkan semestinya, dan
lembaga-lembaga regulatori harus berfungsi seperti seharusnya. Dan
masyarakat akan berpikir bahwa praktek aborsi adalah tidak jahat, atau praktek
kontrasepsi adalah diinginkan, atau bahwa perceraian adalah tidak amoral. Oleh
karena itu, hukum dalam topik-topik ini harus ditinjau kembali atau direvisi.
Perubahan-perubahan dalam kondisi
social, teknologi, pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap, oleh karena itu, dapat
mengarah kepada perubahan hukum. Dalam hal ini, hukum bersifat reaktif
dan mengikuti perubahan sosial. Namun perlu dicatat, bahwa perubahan
hukum adalah salah satu dari banyak respons terhadap perubahan sosial. Namun
perubahan hukum sangatlah penting, karena hukum merepresentasikan kewenangan
negara dan kekuasaan pemberian sanksinya. Hukum baru sebagai respons
terhadap masalah sosial atau masalah teknologi baru mungkin dapat memperbesar
masalah tersebut atau mungkin dapat menyelesaikan masalah dan membantu
menyelesaikan masalah tersebut. Seringkali, respons hukum terhadap
perubahan sosial, yang sudah pasti melalui suatu tenggang waktu (time lag),
akan menyebabkan perubahan sosial baru. Sebagai contoh, hukum yang dibuat
sebagai respons terhadap adanya polusi udara dan air yang dikarenakan perubahan
teknologi akan berakibat adanya pengangguran di area-area tertentu, dimana
perusahaan yang menyebabkan polusi tidak mau atau tidak bisa untuk memasang
alat pencegah polusi. Pada gilirannya, pengangguran dapat berakibat ke
perpindahan penduduk (relocation), dapat mempengaruhi tingkat
kriminalitas di dalam masyarakat, atau dapat berakibat adanya tekanan penekan
dari pihak yang terkena. Korelasi dan reaksi berantai ini dapat diperluas
lagi menjadi tak terhingga. Oleh karena itu, hukum dapat dipandang
sebagai faktor reaktif (yang menolak) dan proaktif (yang setuju) dalam
perubahan sosial.
E.
Dua kerja hokum dalam hubungan dengan perubahan
social; sarana control social dan social engineering
Melihat hubungan antara perubahan hukum dengan perubahan social, tentunya
tidak akan terlepas dari dua pandangan yang pada bahasan sebelumnya saling
bertolak belakang, yaitu pandangan tradisional yang menyatakan bahwa hukum itu
akan mengalami perubahan setelah terjadi perubahan
sosial, dan pandangan modern yang menyatakan bahwa perubahan hukum itulah yang
terjadi terlebih dahulu dari perubahan sosial, dimana dalam pandangan modern,
hukum difungsikan sebagai alat rekayasa sosial (law a tool of social egineering). Dalam pandangan
ini juga dinyatakan bahwa perubahan masyarakat terjadi bila seorang mendapat
kepercayaan, dari masyarakat sebagai peminpin lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Pelopor perubahan meminpin masyarakat dalam mengubah sistem sosial di dalam
melaksanakan perubahan sosial tersebut. Selain itu hukum juga berfungsi sebagai
kontrol sosial di masyarakat, sehingga hukum dianggap memilki fungsi untuk
menetapkan tingkah laku yang baik dan tidak baik atau prilaku yang menyimpang
dari hukum, dan sanksi hukum terhadap orang yang mempunyai prilaku yang tidak
baik tersebut (Ali, 2006: 27).
Masalah mengenai hubungan hukum dan perubahan social jelas merupakan sebuah persoalan sentral dalam
teori yang sudah dipelajari, tetapi dalam masyarakat barat kontemporer (dan
banyak masyarakat yang mewakilinya saat ini) persoalannya kini mendapatkan
bentuk barunya. Roger Cotterrell mengatakan hukum sekarang dikenal sebagai agen
kekuasaan; sebuah instrument pemerintah. Karena pemerintah tersentralisasi pada
Negara, hokum secara ekslusif terlihat seperti hokum yang dibuat Negara seperti
norma-norma. Dalam pandangan praktisi hokum dan pandangan khalayak luas, hokum
kemudian dipandang sebagai terpisah dari masyarakat yang diaturnya. Kini
menjadi mungkin untuk membicarakan tentang hokum yang bertindak atas nama
masyarakat. Sehingga hokum menjadi di pandang sebagai sebuah agen independen control
social dan tuntunan social (Cottorrell, 2004: 63-64).
Social control biasanya diartikan
sebagai suatu proses, baik yang direncanakan maupun tidak, yang bersifat
mendidik mengajak atau bahkan memeksa warga masyarakat agar mematuhi system
kaidah dan nilai yang berlaku. Perwujudan dari social control tersebut mungkin
berupa pemidanaan kompensasi, maupun konsiliasi. Setiap kelompok masyarakat
selalu memiliki problem sebagai akibat adanya perbedaan akan adanya yang ideal dan
yang actual, antara yang standar dan yang praktis antara yang seharusnya dan
yang diharapkan untuk dilakukan dan yang dalam kenyataan dilakukan. (Ali, 2006:
22-23)
Sementara masyarakat berjuang ke arah
kebebasan, orang-orang terkenal yang menempatkan diri mereka dikepalanya ini
dipenuhi dengan semangat. Mereka hanya berfikir tentang menundukkan manusia pada
tirani filantropis dari penemuan-penemuan social mereka sendiri. Seperti
Rousseau, mereka berhasrat untuk memaksa umat dengan patuh menanggung belenggu kesejahteraan
public yang telah mereka impikan dalam imajinasi mereka sendiri. Setelah rezim
lama tersebut dihancurkan masyarakat tunduk pada tatanan-tatanan artifisial yang
lain, yang selalu bermula dari titik yang sama; kemahakuasaan hokum (Frederic
Bastiat, 1998: 51-52).
Lebih lanjut Bastiat juga mengutip
sebuah puisi yang bertajuk hokum dari Saint Just; “Si pembuat hokum memerintah masa depan.
Ia-lah yang menginginkan kebaikan umat manusia, ia membentuk manusia
sebagaimana ia inginkan”. Dan juga puisi Robespierre “Fungsi pemerintah
adalah mengarahkan kekuatan fisik dan moral bangsa kearah tujuan yang menjadi
alasan keberadaan bangsa tersebut” (Bastiat, 52).
Fungsi hokum dalam kelompok dimaksud di
atas adalah menerapkan mekanisme social control yang akan membersihkan
masyarakat dari sampah-sampah masyarakat yang tidak dikehendaki sehingga suatu
ukum mempunyai fungsi untuk mempertahankan eksistensi kelompok. Suatu kelompok
masyarakat pada suatu tempat akan hencur, bercerai-berai atau punah bukanlah
disebabkan hokum gagal difungsikan untuk
melaksanakan tugasnya, melainkan tugas hokum harus dijalankan untuk menjadi
social control dan social enginerring di dalam kehidupan masyarakat. Sebab
tugas dan fungsi hokum tidak murupakan tugas dan tujuan itu sendiri, melainkan
instrument yang tidak dapat digantikan mencapai keseimbangan dalam aktivitas
yang dilakukan oleh manusia (Ali, 2006: 23-24).
Selain sebagai control social hokum
juga sebagai pelopor perubahan memimpin masyarakat dalam mengubah system social
dan didalam melaksanakan hal itu langsung tersangkut dalam tekanan-tekanan untuk
perubahan bahkan mungkin menyebabkan perubhan-perubahan pada lembaga
kemasyarakatan lainnya. Suatu perubahan social yang dikehendaki atau
direncanakan, selalu berada didalam pengendalian serta pengawasan pelopor perubahan
tersebut. cara untuk mempengaruhi masyarakat dengan system yang teratur dan direncanakan
terlebih dahulu dinamakan social engineering (Seokanto, 2009: 122).
Pengakuan (recognition) peranan
hukum sebagai suatu instrumen dari perubahan sosial telah semakin menguat di masyarakat
kontemporer. “Hukum melalui respons legislatif dan administratif terhadap
kondisi-kondisi sosial dan ide-ide baru, selain melalui interpretasi kembali
dari konstitusi, statuta atau preseden secara meningkat tidak hanya
mengartikulasikan/mengambil peranan penting tetapi juga menentukan arah dari perubahan-perubahan
sosial besar” (Friedman, 1972: 513). Sehingga, “Perubahan sosial yang
dicoba, melalui hukum, adalah suatu jejak (trait) dasar dari dunia
modern” (Friedman, 1975: 277).
Dari hal tersebut dapat dimungkinkan dalam
mendorong terjadinya perubahan social, hokum mempunyai dua pengaruh yaitu
pengaruh langsung dan tidak langsung. Sebagaimana yang banyak dikutip Yeheskel
Dror (1959) dalam Cottereell membedakan antara penggunaan hukum secara langsung
dan tak langsung dalam mendorong perubahan.
Pertama pengaruh hokum secara tidak
langsung misalnya suatu peraturan yang menentukan
sistem pendidikan tertentu bagi warga Negara mempunyai pengaruh secara tidak
langsung yang sangat penting bagi terjadinya perubahan social. Karena hokum terentang
dalam masyarakat dimana sebagian orang memiliki pengetahuan dan sebagian yang
lain tidak. Dimana sebagian warga perlu belajar dan sebagian yang lain bisa
mengajar (Bastiat, 1998: 28).
Seperti di Indonesia sejak kemerdekaan
pada tahun 1945, semua sekolah Dasar (SD) harus menggunakan bahsa Indonesia
sebagai bahasa pengantar. Contoh lain adalah tentang jumlah universitas dan
mahasiswa di Indonesia. Sebelum UU No. 22/1961 ditetapkan, terdapat 14
universitas Negeri dengan 65.000 mahasiswa. Terlepas dari sisi baik beruknya,
sejak undang-undang tersebut ditetapkan, jumlah universitas negeri naik 34 buah
dengan 158000 mahasiswa. Contoh ini untuk membuktikan bahwa suatu keputusan
hokum dapat memper banyak jumlah lembaga-lembaga pendidikan dan selanjutnya
lembaga-lembaga tersebut merupakan alat sosialisasi, akulturasi perubahan,
mobilitas atau gerak social, dan pendidikan bagi golongan elit potensiil.
Kedua hukum yang mempunyai pengaruh
yang langsung terhadap lembaga-lembaga kemasyarakatan yang artinya adalah bahwa
terdapat hubungan langsung antara hokum dan perubahan-perubahan social. Suatu
kaidah hokum yang menetapkan bahwa janda dan anak-anak tanpa memperhatikan jenisnya
dapat menjadi ahli waris mempunyai pengaruh langsung terhadap terjadinya perubahan-perubahan
social, sebab tujuan utamanya adalah untuk mengubah pola perikelakuan dan
hubungan antara warga masyarakat. Kaidah-kaidah hokum tersebut ditetapkan dalam
ketetapan MPRS No. II/1960 yang mencoba membentuk suatu system hokum waris yang
seragam di Indonesia (Seokanto, 2009: 124).
Menurut Zaenudddin Ali (2006: 39) untuk
mengubah masyarakat Setidaknya ada
empat factor yang perlu diperhatikan dalam hal penggunaan hokum sebagai alat
pengubah masyarakat;
1.
Mempelajari efek social yang nyata dari lembaga-lembaga serta ajaran-ajaran
hokum.
2.
Melakukan studi sosiologis dalam mempersiapkan peraturan perundang-undangan
serta dampak dari undang-undang yang ditimbulkan tersebut.
3.
Melaksanakan studi tentang pengaturan perundang-undangan yang efektif.
4.
Memperhatikan sejarah hokum tentang bagaimana suatu hokum itu muncul dan
bagaimana diterapkan dalam masyarakat.
F. Penutup
Perubahan sosial terjadi dengan
seketika walaupun dengan laju yang berbeda-beda pada masyarakat kontemporer,
dan hal itu mempengaruhi kehidupan individu-individu dalam berbagai cara.
Perubahan di dalam masyarakat adalah suatu produk dari berbagai faktor dan
dalam banyak kasus adanya keterkaitan atau faktor-faktor tersebut. Selain
hukum, ada sejumlah mekanisme tentang perubahan sosial. Semua mekanisme
ini saling terkait, dan kita harus hati-hati untuk tidak memberikan bobot yang
sama kepada salah satu dari “penyebab” ini.
Hukum adalah peubah/variabel bebas dan
peubah tak bebas di dalam perubahan sosial. Hubungan antara hukum dan
perubahan masih kontroversial. Beberapa orang berpendapat bahwa hukum
adalah reaktor/akibat dari perubahan sosial, sedangkan orang-orang lainnya
berargumen bahwa hukum adalah inisiator/sebab dari perubahan sosial. Dalam
banyak bidang kehidupan, seperti pendidikan, hubungan rasial, perumahan,
transportasi, penggunaan energi, dan perlindungan lingkungan, hukum telah
digadang-gadang sebagai instrumen perubahan. Hukum mempengaruhi perubahan
sosial secara langsung maupun tidak langsung. Hukum mendefinisikan
kembali aturan normatif, memperluas hak-hak formal, dan digunakan untuk
maksud-maksud perencanaan.
Terlihat jelas bahwa disatu sisi dapat
dikatakan bahwa hukum itulah yang berfungsi sebagai kontrol sosial, dan alat
rekayasa sosial yang berperan untuk melakukan perubahan sosial. Tapi di sisi
lain, perubahan sosial juga bisa dinyatakan sebagai langkah utama yang
menentukan terjadinya perubahan hukum, dimana hukum itu difungsikan sebagai gejala
sosial, yang apabila terjadi perubahan sosial maka akan terjadi pula perubahan
hukum menyertainnya untuk memenuhi kebutuhan manusia (masyarakat).
**********
Daftar Pustaka
Ali, Zainuddin, 2006, Sosiologi Hukum, Jakarta:
Sinar Grafika. Cet I.
Bastiat, Frederic, 1998, The Law, Freedom
Institute.
Cotterrell, Roger, 2004, The
Sosiologi of Law; an Introduction, London: Buttersworths.
Friedman, 1975, The Legal Sistem; A
social Science Perspective, New York: Russell Sage Foundation.
________, 1972, Law State and
Society, London: Croom Helm.
Fuady, Munir, 2011, Teori-teori
dalam Sosiologi Hukum, Jakarta: Prenada Media Group.
Manan, Abdul, 2009. Aspek-Aspek Pengubah Hukum, jakarta:
Kencana, Cet-3.
Mertokusumo, Sudikno, 2005. Mengenal Hukum, Yogyakarta:
Liberty, Cet-2.
Miller, D, 1979, Social Justice, Oxford: Oxford
University Press.
Rahardjo, Satjipto, 2009, Hukum dan Prilaku, Jakarta:
PT Kompas Media Nusantara,
______________, 2007, Biarkan Huum Mengalir; Catatan Kritis
Pergulatan Hukum dan Manusia, Jakarta: PT. Kompas Media Nuasantara.
______________, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: Citra
Aditiya Bakti,
______________, 1986, “Hukum dalam Persfektif Sejarah
dan Perubahan Sosial”, dalam Artidjo Alkostar dan M. Sholeh Amir (editor), Pembangunan
Hukum dalam Perfektif Politik Hukum Nasional, Jakarta: PT. Rajawali,
Saifullah, 2007, Refleksi Sosiologi Hukum, T.tp: PT Refika
Aditama,
Salman, Otje, 1989, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Bandung:
Alumni.
Soekanto, Soerjono, 2009, Pokok-pokok Sosiologi Hukum,
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Artikel, “Hukum dan Perubahan Sosial”, Diakses
pada 11/05/2013, dari: http://mjrsusi.wordpress.com hukum-dan-perubahan-sosial.