(Konstruksi Hukum Islam masa Rasulullah Saw)
I. Pendahuluan
Istilah “Hukum Islam” sebenarnya merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan al-fiqh al-islamy atau dalam konteks tertentu dari al-syariah al-Islamy Istilah ini dalam wacana ahli hukum Barat digunakan Islamic law. sedangkan di dalam al-Qur’an maupun Sunnah istilah tersebut tidak dijumpai (Rofiq, 2013: 3, Lihat juga, Rofiq, 2001: 1). Sedangkan Hukum Islam dalam pandangan ahli ushul adalah titah Allah SWT yang berkaitan dengan aktivitas para mukallaf, baik bentuk perintah (suruhan dan larangan), pilihan maupun ketetapan (Zahra, t.t h: 24) hokum Islam tersebut digali dari dalil-dalil yang terinci (al-Qur’an dan Sunnah).
Tidak ada gagasan baik yang terlembagakan dalam bentuk agama maupun ideologi-ideologi sekuler, muncul dari ruang hampa. Kemunculan suatu gagasan pasti diawali dengan serangkaian peristiwa yang melatar-belakanginya. Islam sebagai suatu agama juga tidak terlepas dari aksioma tersebut. Hukum Islam juga lahir dari serangkaian dialog antara keabadian firman Allah yang universal dan eternal dengan kondisi lokal dan aktual di Bumi (Arab) empat belas abad yang lalu. Oleh karena itu gambaran situasi dan kondisi masyarakat Arab pra-Islam menjadi sangat penting untuk dikaji agar dapat dilihat sejauh mana dialog yang terjadi, serta seperti apa bentuk akhir dari hasil dialog tersebut.
Untuk itu melihat Islam mulai dari madinah yang merupakanembriosebuah Negara dan sebagai Negara tentunya harus mempunya lembaga hukum, untuk mengatur hidup kemasyarakatan warganya. Hukum yang dipakai dalam Islam berdasarkan pada wahyu dan kalau diperhatikan sejarah turunnya wahyu, akan kelihatan bahwa ayat-ayat mengandung dasar hukum, baik mengenai ibadah mahdzoh maupun mengenai ibadah Sosial kemasyarakatan. (Nasution, 2002: 1)
Berpijak dari hal tersebut, maka permasalahannya bagaimana refleksi ketika Islam yang sudah diturunkan menjadi suatu agama harus mempunyai seperangkat aturan-aturan. Apakah diturunkannya misi kerasulan Muhammad saw. itu menjadi titik awal untuk mengukur segala bentuk prilaku masyarakat, ataukah prinsip-prinsip dialogis itu akan tetap dijadikan model dalam legislasi Hukum Islam pada saat itu?
Pendekatan yang digunakan dalam makalah ini adalah pendekatan historis yang kemudian akan diramu dengan pendekatan sosiologis[1]. Pendekatan historis ini digunakan untuk mengelaborasi keadaan dan perkembangan interaksi hukum Islam dengan ruang-ruang budaya yang melingkupinya. Selain itu, pendekatan sosiologis akan dimanfaatkan untuk mempertajam dan meneropong keadaan masyarakat pada masa Rasulullah.
II. Pembahasan
A. Pergulatan Tradisi Pra-Islam dan Respon Samawi
Konsep tentang tradisi telah dibawa jauh, dan ajaran-ajaran tradisional diekspresikan dalam tradisinya secara total. Secara pasti adalah apa yang diambil tempat selama penggunaan sejarah manusia belakangan ini. Dalam dunia Arab pra-Islam tiap agama adalah juga pusat atau awal tradisi, yang memperpanjang prinsip-prinsip agama terhadap wilayah-wilayah yang berbeda. Tidak ada tradisi yang bermakna secara tepat traditio, sebagaimana istilah ini digunakan oleh katolikisme, meskipun ia mencakup ide tentang transmisi doktrin dan praktek yang diilhami yang pada akhirnya menampakkan sifat yang diimplikasikan oleh traditio. Kenyataannya kata tradisi dihubungkan secara etimologis dengan transmisi dan berisi tentang spektrum makna gagasan tentang pengetahuan, praktek, teknik, hukum, dan bentuk dan sejumlah elemen, baik bersifat oral maupun tertulis. (Nasr, 68-69)
Dalam paradigma sebagian masyarakat, Islam dianggap sebagai agama yang lahir dengan membawa risalah baru. Dalam hal ini, Islam dianggap sebagai sebuah agama yang muncul untuk merubah seluruh sistem kebudayaan, khususnya Arab pra-Islam. Dalam konsep yang ada, masa pra-Islam seringkali dianggap sebagai masa kebodohan (jahiliyyah). Bila jahiliyah terkait dengan sistem etika sosialnya yang tidak manusiawi, mungkin bisa dianggap benar. Akan tetapi bila jahiliyyah ditujukan untuk seluruh sistem budaya yang berkembang di masyarakat Arab, maka hal tersebut tidak bisa dibenarkan. Sebab Kata al- jahl (jahil) terdapat dua pengertian. Pertama, al-Jahl lawan dari kata al-ilm yang artinya mengetahui. Ini menyangkut kaedaan akal. Dan lawan dari kata al-hilm yang artinya sopan santun, ini menyangkut kejiwaan dan perilaku. (Quhtb, 1995: 53).
Thaha Husain menolak anggapan bahwa pra-Islam dianggap sebagai masa jahiliyah dengan asumsi, pertama, al-Qur’an menantang bangsa Arab dengan retorika untuk mendatangkan surat yang sepadan dan menyamai al-Qur’an (Q.S.Yunus (10): 38. Q.S.Hud (11):13).
Tantangan ini tentunya tidak ditujukan kepada orang lemah. Dengan demikian tantangan al-Qur’an mengindikasikan bahwa masyarakat Arab telah berada pada tingkat kemajuan fantastik dalam stilistika, epistemik, dan peradaban, sebagai sebuah sisi yang menjadi tema tantangan al-Qur’an. Kedua, dalam faktanya, Islam banyak mewarisi peninggalan-peninggalan bangsa Arab serta mengadopsi sistem (pranata) yang berkembang dikalangan mereka (Karim, 2003: x-xi).
Dari fakta yang ada, banyak budaya yang ada di masa pra-Islam diadopsi dan dipraktekkan oleh nabi Muhammad. Hal ini mengindikasikan bahwa Islam lahir tidak dalam rangka menghilangkan seluruh kebudayaan yang berkembang dan dijalankan oleh masyarakat Arab pra-Islam. Nabi Muhammad banyak menciptakan aturan-aturan yang melegalkan hukum adat masyarakat Arab, sehingga memberi tempat bagi praktek hukum Adat di dalam sistem hukum Islam (Khadduri, 2002: 19)
Namun celakanya banyak kalangan kurang obyektif dalam melihat masa lalu, banyak para sejarawan (muarrikhun) menjadikan gap antara Islam dan tradisi Arab pra Islam dengan demarkasi moral dan ideologis yang sangat kontras. Masyarakat Arab pra-Islam adalah masyarakat jahiliyah, kemudian Islam datang sebagai juru selamat yang membebaskan. Untuk beberapa hal, klaim tersebut memang tidak sepenuhnya salah. Akan tetapi generalisasi ini telah memberikan pengaruh negatif dalam menumbuhkan kritisisme sejarah. Ketersambungan tradisi antara masyarakat pra Islam dan pasca Islam menjadi fakta sejarah yang terabaikan. Akibatnya proses inkulturasi dan akulturasi tradisi Arab pra Islam dengan Islam dianggap sebagai fakta sejarah yang tidak penting untuk dikaji. Atau, kalaupun dikaji, terkadang terjadi kekeliruan verifikasi dan penafsiran.
Kekeliruan dalam melakukan generalisasi fakta sejarah ini seringkali terlihat dalam bentuk klaim-klaim apologetik yang sering muncul dari kalangan Muslim puritan. Islam muncul sebagai jawaban atas kondisi masyarakat Arab yang jahiliyah. Karenanya dalam melakukan penafsiran sejarah pun tidak ada pilihan lain kecuali mengkontraskan antara Islam dan pra Islam seperti mengkontraskan warna hitam dan putih. Islam dianggap sebagai agama yang komprehensif dan sempurna, memiliki segala-galanya baik terkait dengan pranata sosial, moral maupun ideologi. Segala sesuatu yang ada pada masa pra- Islam dianggap terhapus semua dengan kehadiran Islam. Islam seakan-akan sebuah paket samawi yang muncul dalam ruang hampa dan harus dijadikan titik awal dalam mengembangkan segala bentuk aturan yang menyangkut pranata sosial.
Bahwa Islam adalah agama yang sempurna, memang tidak diragukan. Tidak seorang pun bisa dikatakan sebagai Muslim yang baik jika masih menyisakan keraguan atas kesempurnaan Islam. Akan tetapi jika klaim kesempurnaan ini sampai pada taraf menafikan arti penting memahami tradisi pra-Islam, sama halnya dengan memanipulasi sejarah. Padahal Umar bin Khattab sendiri, sebagaimana dikutip Khalil Abdul Karim (1990:1), mengatakan bahwa Arab adalah bahan baku Islam. Artinya, tradisi pra-Islam ini telah banyak diadopsi dan kemudian diintegrasikan menjadi bagian dari Islam baik yang terkait dengan ritus, sosial kemasyarakatan, politik, ekonomi, hukum dan sebagainya. Dalam hal yang menyangkut ritual keagamaan, misalnya pelaksanaan ibadah haji, umrah, pengagungan terhadap Ka’bah, kesucian bulan-bulan haram dan pertemuan umum pada hari Jum’at, merupakan contoh-contoh ritus pra Islam yang kemudian diadopsi oleh Islam setelah dilakukan modifikasi melalui ijtihad Nabi maupun wahyu al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah kitab suci yang diwahyukan Allah kepada nabi Muhammad yang “akomodatif” terhadap hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat Arab pra-Islam. Dalam al-Qur’an terdapat tawaran perbaikan yang berupa pembatalan dan perubahan (Mubarak, et al, 2002: 41). Dalam konstruksi yudisial Islam (baca: fiqh), pada bagian-bagian tertentu dapat kita temui praktek-praktek keagamaan, baik ubudiah maupun muamalah, yang mengadopsi pra-Islam. Untuk sekedar memberikan ilustrasi, berikut ini penulis akan memaparkan beberapa contoh. Sebelum kehadiran Islam, pembagian harta pusaka telah dilakukan arab pra-Islam. Dalam tradisi nenek moyang mereka terdapat ketentuan bahwa anak yang masih kecil (belum dewasa) dan perempuan tidak berhak mendapatkan harta pusaka. Adapun persyaratan mendapatkan harta pusaka pada zaman Arab pra-Islam adalah hubungan kekerabatan (al-Qarabah), karena perjanjian kesetiaan (muhalafah), adopsi (tabanni). Dua persyaratan yang pertama telah diakomodasi dalam al-Qur’an, dan hanya terakhir (adopsi) yang di batalkan. Oleh Allah dalam al-Qur’an (al-Ahzab [33]: 4-5).
Tradisi penghormatan terhadap bulan-bulan tertentu, yang dalam al-Qur’an disebut dengan ‘arab’ata hurum juga bermula dari tradisi masyarakat Arab pra-Islam. Bulan-bulan yang dimaksud adalah bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharam dan Rajab. Dalam rentang waktu tiga bulan pertama, masyarakat Arab pra Islam menjadikannya sebagai waktu untuk berhaji, sementara bulan Rajab mereka manfaatkan untuk ibadah umrah. Itulah karenanya mereka mendeklarasikan bahwa pada bulan-bulan tersebut tidak boleh ada peperangan. Ketika Islam datang, tradisi pensucian keempat bulan itu pun dilanjutkan sebagaimana terekam dalam al-Qur’an, al-Baqarah : 2.
Selain tradisi yang terkait dengan ritus, Islam juga banyak melakukan adopsi hukum-hukum baik pidana maupun perdata. Nikah, misalnya, dalam tradisi Arab pra-Islam merupakan lembaga yang sah untuk menyatukan laki-laki dan perempuan dalam ikatan keluarga. Banyak ragam pernikahan yang telah menjadi tradisi masyarakat Arab, beberapa model ditolak oleh Islam karena tidak sejalan dengan nilai-nilai kehormatan wanita. Diantara model nikah yang kemudian diterima total oleh Islam adalah nikah ba’ulah. Pernikahan model ini diawali oleh pihak laki-laki mengajukan pinangan terlebih dahulu yang biasanya dilakukan oleh ayahnya sendiri, pamannya, kakaknya atau boleh langsung dilakukan oleh calon mempelai. Pada saat nikah kemudian disyaratkan ada pernyataan ijab dan qabul. Pada saat pelaksanaan nikah mas kawin merupakan persyaratan yang mutlak harus ada. (as-Sirjani, 2009: 34-45), dan al- Qur’an, al-Baqarah: 235 pun memberikan justifikasi.
Disamping hukum perdata, ada juga hukum pidana yang berlaku pada masa arab pra-Islam adalah hukum potong tangan bagi pencuri. Ini adalah tradisi Arab Badui karena mencuri dianggap kejahatan yang melukai nilai-nilai kesucian hak milik dan melanggar etika solideritas yang berlaku dalam kehidupan suku (Supena, 2008: 65). Terlepas dari adanya pro-kontra dikalangan ahli hukum Islam tentang potong tangan yang dianggap mengerikan, hokum ini juga diakomodasi oleh hukum Islam (Qs. Al-Maidah [5]: 38).
Apa yang telah digambarkan di atas tentu saja hanya merupakan bagian kecil dari sekian luas tradisi pra Islam yang seharusnya diketahui oleh setiap orang yang ingin memahami Islam dalam konteks sosio-historis yang benar. Untuk mengetahui gambaran tradisi pra Islam yang kemudian diadopsi oleh Islam memang memerlukan kajian kesejarahan tersendiri baik melalui pendekatan ilmu-ilmu sosial maupun humaniora. Meski demikian target penulis hanya ingin menegaskan bahwa mengetahui tradisi pra-Islam itu penting untuk tujuan menumbuhkan kesadaran kolektif akademik sehingga pengembangan Islam khususnya Hukum Islam ke depan tidak lagi diwarnai oleh sikap-sikap apologetik dan romantik.
Dengan demikian jelas bahwa al-Qur’an itu merupakan respon Ilahi terhadap situasi sosial masyarakat Arab dan personalitas Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, disamping memahami situasi dan tradisi Arab, memahami personalitas Nabi juga tidak bisa dilepaskan dari setiap usaha untuk memahami al-Qur’an. Mempertahankan cara menafsirkan makna literal al-Qur’an dengan mengesampingkan arti penting tradisi pra-Islam dalam membentuk tradisi Islam, akan berakibat pada lahirnya anggapan bahwa Nabi hanyalah merupakan “robot samawi” yang sama sekali tidak berperan dalam pembentukan tradisi (hukum Islam). Ini tentu saja akan mengakibatkan pada sikap yang fatalistik. Allah menciptakan situasi sosial Arab termasuk setiap jenis tindakan Nabi, kemudian Allah menurunkan wahyu, dan begitu seterusnya setiap kali Allah akan menurunkan ayat al-Qur’an.
B. Sumber Hukum Islam pada masa Rosulullah
Kata “sumber” merupakan terjemahan dari bahasa arab mashdar bentuk jamak dari mashadir. kata “sumber” dalam konteks hukum Islam hanya digunakan oleh sebagian kecil penulis kontemporer, sebagai ganti dari istilah hukum Islam.
Kata yang seakar dengan sumber adalah dalil, dikalangan fuqaha’ kata dalil diartikan sebagai sesuatu yang didalamnya terdapat petunjuk pengajaran, baik yang menyampaikan pada suatu yang menyakinkan atau pada dugaan yang kuat dan tidak meyakinkan. (Ismatullah, 2011: 167).
Sementara kalangan Ushul fiqh seperti abd. Wahab Khallaf mendefinisikan dalil sebagai sesuatu yang dapat menyampaikan pada hokum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia yang didasarkan pada pandangan yang benar bersifat amali secara meyakinkan, baik bersifat qath’iy maupun zanny. (Khallaf, 1978: 24)
Dari uraian di atas, dapat diketahui dalil-dalil hukum Islam berikut pembagiaanya berdasarkan pengertiannya. Menurut aswadi syukur sebagaimana dikutip Ismatullah (2011: 168) sumber—dalil hukum—Islam ada dua macam; pertama, sumber formal (asli) yaitu berasal dari wahyu (syariat), baik berasal dari nash al-Qur’an maupun Sunnah. Kedua yaitu sumber assesoir (tambahan), yaitu berasal dari ijtihad manusia seperti, ijma’ qiyas dan sebagainya.
1. Al-Qur’an
Ketika nabi Muhammad Saw masih hidup, para sahabatnya selalu mendapatkan bimbingan langsung dari Nabi. Wahyu Allah juga turun ke bumi sebagai petunjuk-Nya (hudan), yang kita kenal dengan nama al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang turun secara mutawatir Dengan berbahasa Arab dan memperoleh pahala bagi siapa yang membacanya. (Azizy, 2003: 19, Ash-Shiddieqy, 2012: 2, Lihat juga al-Ghazali, 1991: 188).
Kumpulan pernyataan-pernyataan al-Qur’an adalah universal dan cukup konkrit untuk menamakan sikap yang pasti terhadap hidup; ia tidak hanya memberikan prinsip-prinsip moral dan spiritual yang langgeng saja, tetapi juga menjadi pedoman nabi Muhammad dan masyarakat kaum muslimin yang awal dalam perjuangan mereka melawan musuh-musuh mereka orang-orang Mekah, Yahudi dan orang-orang munafik. Dan dalam tugas mereka menyusun masyarakat dan Negara mereka yang baru lahir. Perjuangan dan intruksi-instruksi konstuktif ini memiliki sifat yang khusus. Sekalipun demikian, bagian al-Qur’an yang benar-benar bersifat hukum relative sedikitsekali (Rahman, 2000: 91)
Menurut angka yang diberikan Khallafhanyaada 5,8 % yang merupakan ayat berkaitan dengan hukum. Dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi, menjawab pertanyaan-pertanyaan, menyikapi berbagai kasus yang memerlukan penanganan hukum, Nabi Muhammad Saw senantiasa berpedoman pada al-Qur’an. Itulah sebabnya al-Qur’an diturunkan secara beransur-ansur (munajjaman), yang pada umumnya sesuai pada konteksnya. Karena itulah kita memperoleh pengetahuan tentang asbabun nuzul hanya saja selama ini asbabun nuzul dipahami hanya yang berupa teks hadis. Padahal semestinya dapat pula dipahami dengan memasukkan sejarah social (Azizy, 2003: 19).
2. Sunnah
Selain bersandar pada al-Qur’an dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi, rosulullah berpegang pada wahyu Allah sebagai penjelasan terhadap al-Qur’an. Wahyu Allah yang bukan al_Qur’an dan merupakan bayan terhadapnya disebut as-Sunnah atau Hadis.
Hadis atau sunnah adalah segala perkataan, perbuatan atau taqrir yang disandarkan kepada nabi. Berbeda dengan Schacht (1969: 89) yang membedakan antara hadis dan sunnah. Ia menyatakan bahwa sunnah hanyalah sekedar preseden, cara hidup. Yang diambil dari tradisi arab pra-Islam yang di sesuaikan oleh Islam. Jadi sunah sebagai sebuah dasar hokum semula bermakna kebiasaan ideal atau kebiasaan normative masyarakat dan baru kemudian memperoleh makna yang terbatas pada preseden-preseden yang diberikan oleh nabi. Sedangkan mengenai hadis Salah satu kesimpulan Schacht yang paling penting dan menyakitkan bagi bagi seorang Muslim yang saleh, pernyataan Schacht tersebut adalah “rujukan hadis-hadis dari para sahabat merupakan prosedur yang lebih tua, dan teori tentang otoritas hadis dari nabi yang berkuasa adalah sebuah inovasi” (Schacht, 30).
3. Ijtihad Nabi
Konsep ijtihad sebenarnya melekat pada kitab-kitab fiqh (Azizy, 2004: 67). Sangat mengada-ada ketika berbicara tentang fiqh tanpa menyertakan proses memproduksi, karena fiqh adalah produk jadi, proses itulah yang dinamakan ijtihad. Ditelisik dari sisi etimologi, ijtihad merupakan bentuk dari kata benda dari konjungsi (tasyrif) kata ijtihada-yajtahidu-ijtihadan yang mengandung pengertian usaha keras dan pengerahan segala kemampuan untuk mencapai maksud tertentu. (Haq, 2009: 8). sedangkan Al-‘Utsaimun (2007: 133) mendefinisikan ijtihad yaitu “Badlu al-juhdi li idraaki hukmin syar’iyin” (mengerahkan kesungguhan untuk mengetahui hukum syari’).
Dalam hal nabi melakukan ijtihad para ahli ushul berselisih faham, apakah nabi boleh menetapkan hokum dengan ijtihad terhadap suatu soal yang tidak diterima nash dari Tuhan atau tidak boleh. (ash-Shiddiqy, 1997: 134)
Pertama, Boleh menurut akal. Ini adalah pendapat mayoritas ahli ushul dari Ahlussunnah, diantaranya Ibnul Hajib, Al-Amidi, dan seluruh pengikut Imam Hanafi. al-Amidi, (2003:200), Begitu juga semua pengikut Imam Hanbali, dan sebagian pengikut Imam Syafii seperti Al-Baidhowi. Bahkan Al-Asnawi menisbatkan pendapat ini kepada Asy-Syafii, katanya: Jumhur ulama berpendapat boleh, demikian dinukil oleh Imam Al-Razi dari Asy-Syafii. Al-Amidi juga menisbatkan pendapat ini ke Asy-Syafii. Ia mengatakan: As-Syafii di dalam Al-Risalahnya membolehkan hal itu tanpa memastikan. Dan pendapat ini lah yang diikuti sebagian pengikut As-Syafii, Qadhi Abdul Jabbar, dan Abul Husain Al-Bashri dari Mu’tazilah.
Kedua, Mutlak tidak boleh. Imam Ibnu Hazm berpendapat tidak boleh secara mutlak. Beliau mengatakan: Orang yang menyangka bahwa ijtihad boleh bagi para Nabi di dalam syariat yang bukan wahyu adalah kekafiran yang besar. Pendapat itu dapat dibantah dengan perintah Allah swt kepada Nabi-Nya SAW untuk mengatakan: “Aku semata-mata mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku” (Hazm, tth: 699).
diferensiasi pendapat ini nampaknya dapat diakhiri apabila semua pihak yang berbeda pendapat melihat fakta sejarah, bahwa dalam urusan-urusan muamalah tentang keduniaan bahkan dalam sedikit urusan keagamaan, nabi melakukan ijtihad. Salah satu contoh ijtihad nabi adalah pada suatu hari ada lelaki dari kabilah Ju’tsum datang kepada nabi, seraya berkata “ayah saya masuk Islam, namun ia sudah sangat tua, dan tidak bisa menaiki kendaraan dan melaksanakan haji yang diwajikan kepadanya. Apakah saya boleh menghajikannya? Rosulullah menjawab “Apakah engkau anak yang paling besar? Ai menjawab ya! Rosul menjawab lagi, apakah yang akan engkau lakukan jika ayahmu berhutang? lalu engkau membayarnya, apakah itu boleh? Ia menjawab “Tentu”. Nabi bersabda; “hajikan ayahmu” rosul disini mengkiaskan, haji dengan utangnya untuk diwakilkan dengan pelaksanaannya. (Khalil, 2009: 50)
Kemudian tentang ketentuan adzan. Lahirnya ketentuan adzan ini bermula dari diskusi beberapa sahabat. Sebagian sahabat berpendapat untuk memanggil orang sholat, sebaiknya menggunakan lonceng, sebagaimana gereja (nasrani). Sebagian sahabat lainnya menganjurkan untuk menggunakan trompet seperti di sinagog-sinagog (yahudi). Kemudian umar bin khatab bertanya kepada nabi saw: mengapa Tuhan tidak mengutus seorang untuk mengajak shalat? Nabi Saw bersabda “hai Bilal, Berdirilah dan ajaklah shalat”. (Ismatullah, 2011: 180)
C. Garis Perundang-Undangan pada masa Nabi
Yang dimaksud dengan qonunisasi (khittah Tasyri’iyah) ialah metode yang ditempuh oleh pemuka-pemuka tasyri untuk mengembalikan permaslahan pada sumber-sumber tasyri dan prinsip-perinsip umum yang mereka pelihara. Karena periode ini merupakan periode pembentukan hukum dan peletakan dasar-dasar perundang-undangan, maka garis perundangan-undangan dalam periode ini ialah berupa pola dasar untuk pembentukan undang-undang Islam. Adapun metode yang ditempuh oleh Rosulullah dalam mengembalikan persoalan pada sumber-sumber tasyri’ dilakukan dalam beberapa tahap. Kalau timbul masalah yang membutuhkan ketentuan hukum, beliau menantikan datangnya wahyu Allah, yang memuat hukum Allah yang dimaksud (Khallaf, tt: 23).
Dalam kajian khusus mengenai sejarah sosial yang ikut andil dalam kelahiran dan pembinaan hukum Islam adalah asbabun nuzul yang sedikitnya sudah penulis sampaikan diatas. Sebab, dengan ilmu ini faktor-faktor sosio-historis yang melatar belakangi turunnya al-Qur’an yang menjelaskan hukum tertentu dapat diketahui dengan pasti dan dapat dipahami maksud-maksud yang terkandung dalam penetapan hukum tersebut (maqasyid al-syari’ah). Adapun prinsip-prinsip umum yang menjadi dasar perundang-undangan pada periode pembentukannya (ibid. Lihat juga Beik, dalam Tarikh tasyri’ al-Islamy) adalah sebagai berikut;
1. At-tadarruj fi at-tasyri; Gradual dalam menetapkan hukum. Tidak sekaligus tetapi bertahap disesuaikan dengan berbagai situasi dan kondisi, baik situasi kultural maupun kondisi psiko-sosialnya.
2. Taqlil at-takallif; tidak terlalu banyak beban daan tuntutan sehingga merepotkan manusia. Oleh karena itu jumlah ayat yang mengandung hukum tidaklah banyak antara 230-500 ayat. Sebagai bukti bahwa prinsip hukum Islam tidak terlalu banyak beban, baik perintah maupun larangan.
3. ‘adam al-haraj; tidak memberatkan dan tidak menyusahkan manusia. Artinya hukum Islam ditetapkan sesuai dengan kesanggupan manusia. Tidak ada satu hukum pun dalam al-Qur’an yang ditetapkan di luar kesanggupan manusia.
4. Li maslahat al-‘ammah; diorientasikan untuk kemaslahatan umat. Bukti danya prinsip ini adalah bahwa syari’ (pembuat undang-undang) banyak sekali memberikan ta’lilul ahkam (memeriksa sebab hukum yang mendasarkan penetapan hukum pada illat atau sebab tersebut), dengan kemaslahatan manusia.
D. Legislasi Hukum Islam masa Rasulullah
Rasulullah menerima wahyu berlangsung hanya beberapa tahun saja yaitu kurang-lebih dari 22 tahun 2 bulan 22 hari. Akan tetapi periode ini membawa pengaruh-pengaruh yang besar dan hasil-hasil yang gemilang. Periode ini terdiri dari dua fase yang berlainan , yaitu periode makkah dan madinah. Fase Makkah atau fase pengkaderan terjadi sekitar 13 tahun, fase Makkah ditandai dengan pernyataan kebenaran dari realitas dan intensitas dengan manusia individual dengan Allah. Fase Makkah adalah fase “kebergantungan kepada Allah” yaitu semata-mata menunggu dan mengikuti wahyu untuk mendapatkan pengarahan dan tujuan bagi keyakinan yang baru diterima dari turunnya wahyu kepada Nabi Saw. (Fatwa, t.th: 68).
Kedua fase Madinah 1-11 H/622-632 M (fase Legislasi hukum). Periode legislasi Islam bermula dari tahun hijriyah/perpindahan nabi ke Madinah dan berakhir saat wafatnya Nabi pada tahun 11 H/632 M. pada periode inilah aturan-aturan hokum ditetapkan dengan ayat-ayat dan hadis-hadis Nabi, al-Qur’an adalah kitab yang berisi wahyu-wahyu yang diturunkan kepada Nabi, dalam kedudukannya sebagai utusan Tuhan-wahyu ini adalah Firman Tuhan sendiri yang disampaikan dari waktu ke waktu dalam ragam yang disebut ayat-ayat, banyak ayat merupakan aturan hokum dengan rujukan kasus-kasus yang benar-benar timbul (Muslehudin, 1980: 23). Pada saat itu misi beliau mulai ditunjukkan tidak semata-mata pembentukan jiwa, tetapi beranjak kepada pengaturan manusia didalam masyarakat, dengan kata lain benbentuakan hukum (Fatwa, t.th: 69).
Bagi pemeluk Islam jelas akan akan mengatakan bahwa pembentukan hukum Islam itu sejak agama Islam itu sendiri lahir. Yaitu sejak masa kenabian saw. Dan wujud hukum Islam itu dari sumber; al-Qur’an hadis serta praktek atau sunnah Nabi itu sendiri. Itu semua dikembangkan dengan sangat menghargai penggunaan akal untuk melakukan ijtihad, disatu sisi; dan sangat toleran bahkan juga adaptif terhadap adat kebiasaan lokal atau kedaerahan, disisi yang lain (Azizy, 2004: 15).
Dengan di turunkannya wahyu kepada Rasulullah, dalam bentuk al-Qur’an dan sunnah tersebut, mulailah timbul sejarah hukum Islam. Ayat-ayat berkenaan dengan hukum kebanyakan ayat madaniyah yang jumlahnya lebih sedikit ketimbang ayat makiyah, yang di turunkan secara beransur-ansur (tadrij). Selain kedua sumber diatas nabi sendiri memberikan contoh berijtihad apabila tidak ada nash al-Qur’an, sedangkan persoalan harus diselesaikan. Untuk itu pada zaman ini nabi memiliki multi tugas; tugas pembuatan hukum sekaligus pelaksanaannya, imam al-ummah, hakim, mufti akbar, mubalig dan sebagainya (al-Munawar, 2006: 8). Melihat turunnya wahyu pada masa kenabian, dari situ nampaknya sudah ada proses legislasi hukum Islam. Karena pada konsepsi hukum Islam terletak ide bahwa hukum esensinya adalah religious dan berjalin berkelindan secara religious. Itulah sebabnya mengapa sejak dari awal mula sejarah Islam, hukum Islam sudah dipandang bersumber dari syariah (pola perilaku yang diberikan Tuhan untuk menjadi tuntunan bagi manusia) atau sebagai bagian dari padanya. Artinya hukum Islam sudah ada sejak awal di turunkannya wahyu (Rahman, 91).
Sudah barang tentu hal ini berbeda dengan kajian kritis di barat, setidaknya sebagian pemikir atau yang menjadi mainstream dalam dunia kajian kritis di barat. Banyak memberi pernyataan yang sangat miring dikemukakan Joseph Schacht (1965: 21) yang mengatakan bahwa legislasi Nabi merupakan sebuah inovasi dalam konteks hukum Arab. Secara umum, Muhammad hampir tidak mempunyai alasan untuk mengganti hukum adat yang sudah ada. tujuan Muhammad sebagai rosul bukanlah menciptakan sebuah system hukum yang baru, namun tujuannya adalah; mengajarkan kepada manusia bagaimana bertindak, apa yang harus dikerjakan, dan apa yang harus dihindari supaya lolos dari perhitungan dihari kiamat dan agar masuk surga. Inilah mengapa Islam pada umumnya dan hukum Islam pada khususnya merupakan sebuah sistem kewajiban (ritual, hukum, moral) di atas dasar yang sama dan membawa mereka semua di bawah otoritas keagamaan yang sama. Apakah ukuran-ukuran keagamaan dan etika telah diharapkan secara menyeluruh pada semua pada aspek semua perilaku manusia, dan apakah mereka telah mengikuti secara konsisten dalam praktek, tidak akan ada ruangan dan kebutuhan bagi sistem hukum dalam arti sempit makna hukum itu.
Lebih jauh lagi, dalam bukunya yang lain “The Origin Of Muhammadan Jurisprudence” Schach (1959: 291-292) mengatakan bahwa bagian-bagian pokok yurisprudensi Islam (Muhammadan Jurisprudence), seperti konsep tradisi yang hidup (Living Tradition) dalam madzhab-madzhab hokum kuno; sejumlah doktrin umum yang menandai sistematisasi awal. Kaidah-kaidah hukum yang sering kali merefleksikan suatu masa yang lebih akhir; dan suatu intisari penting hadis-hadis hukum-semua hal ini dapat ditetapkan masanya, kira-kira sesuai urutan ini, sejak awal ke-2 H dan setelahnya. Bagaimanapun juga, adalah tepat untuk mengatakan bahwa ilmu hukum Islam (Muhammadan Legal Science) di mulai pada bagian akhir periode umayah.
Dalam konteks ini, Schacht menilai praktek administrasi pemerintahan dinasti Umayah dan bahkan juga praktek masyarakat pada waktu itu ditransformasikan menjadi hukum Islam. Namun dalam kesempatan lain ketika Schacht membuat tesis pemisahan antara hukum Islam yang dikembangkan oleh fuqaha’ yang bersifat swasta atau sukarela, di satu pihak; dan praktek pemerintahan beserta lembaga peradilan yang didominasi oleh kepentingan politik, di pihak lain, Schacht menulis tampak lain, sebagai berikut;
“Hukum Islam mewakili suatu kasus ekstrim dari seorang ahli hukum; ia dikembangkan oleh private specialists ilmu hukum dan bukan Negara berperan sebagai legislator, dan buku pegangan mempunyai kekuatan hukum. Hal ini menjadi mungkin karena hukum Islam berhasil mengklaim dirinya sebagai berdasarkan otoritas ketuhanan, dan sebab hukum Islam telah memberikan jaminan akan kesetabilan dan keberlanjutan hukum Islam itu sendiri” (Schacht, 6).
N. j Coulsen mempunyai pandangan berbeda dengan Schach tentang legislasi hukum Islam bahwa Muhammad pasti menghadapi berbagai persoalan hukum dan posisinya sebagai juru penengah (hakam), tidak diragukan merupakan kesinambungan dari kebiasaan pra-Islam. Muhammad juga telah menandai permulaan perkembangan struktur hukum dari prinsip-prinsip etis yang terdapat dalam al-Qur’an. Karena pada masa peradaban mekah sebelum Muhammad adalah kasar dan sederhana, merosot dalam beberapa hal dan tidak berkembang. Namun demikian adalah benar bahwa sistem hukum pra-Islam membentuk sebagian besar hukum Islam sesudah itu, dan institusi hakam merupakan indikasi yang sangat jelas. Qur’an sendiri mamakai istilah-istilah qadha (keputusan) dan fatwa (fatwa hukum) yang sangat mungkin memenuhi sistem hukum yang sudah ada.
S.D. Goitein sebagaimana di kutip Minhaji (1992: 52) menyatakan asal-usul hukum Islam, dalam melakukan hal itu Goitein menganalisis beberapa kandungan ayat Qur’an yang berhubungan dengan karir Muhammad, baik di makkah maupun Madinah. Ia setuju bahwa Qur’an tidak memiliki lebih dari 500 ayat yang “dapat dianggap mempunyai maksud hukum”. Meski demikian, penting di catat, menurutnya bahwa “permasalahan hukum menduduki bagian Qur’an yang jauh lebih luas dari pada yang diasumsikan oleh perkiraan tersebut diatas.
Goitein juga mengemukakan pendapat yang sama dengan para pendapat yang para sarjana yang menyakini bahwa hukum Islam tidak membedakan antara persoalan hukum murni dengan kewajiban-kewajiban keagamaan. Hukum Islam, ia mencatat “bukan merupakan aturan mati yang diadakan dan dijalankan oleh kekuatan masyarakat yang terorganisir dan tidak perlu diciptakan oleh seorang raja atau majlis hukum.” Sebagai sebuah kebenaran hukum tersebut ada selama-lamanya dan hanya ditemukan oleh seorang yang bijak (seorang hakam). sesuai dengan tradisi pra-Islam yang ada keraguan bahwa, menjadi figure spiritual yang menonjol di masyarakatnya, Muhammad seharusnya bertindak sebagai hakam, tidak hanya bagi orang-orang yang tidak beriman. Adalah di dukung oleh fakta, kata Goitein, bahwa berbagai persoalan hukum telah diajukan kepada Muhammad dan ia memutuskan dengan dirinya sendiri pada saat itu. Meski demikian, sekali lagi harus diakui bahwa karirnya di makkah Muhammad bertindak sendiri sebagai seorang pengkhutbah dan seorang nabi, dan di Madinah-lah ia sadar akan kenyataan bahwa Qur’an berisi tidak hanya perintah-perintah keagamaan dan moral, tetapi juga hokum-hukum yang terperinci.
Oleh sebab itu, semasa huidupnya Muhammad dianggap sebagai figure ideal dalam menyelesaikan segala persoalan. Saat memerintah di Madinah, beliau banyak menghadapi berbagai masalah hukum. Ini adalah petanda permulaan dari pertumbuhan struktur hukum di luar prinsip-prinsip etis yang disebanding al-Qur’an. Pada masa nabi, memang harus diakui tidak ada pemisah antara hukum Islam, disatu sisi, dan hukum masyarakat disisi lain. Ketika nabi menyebut dan mempraktekkan hukum, maka hukum tersebut adalah hukum Islam. Sehingga mengenai wujud hukum Islam, ada semacam kesepakatan bahwa pada masa Nabi, hukum Islam itu belum tersistematisasikan. Ada yang berpendapat baru pada masa tabi’in hukum Islam baru tersistematisasir (Azizy, 2004: 18-19).
III. Penutup
Hukum Islam tetap mengapresiasi tradisi lokal. Karakter ini dibangun dari kenyataan sejarah bahwa Islam tidak dapat dilepaskan dari tradisi masyarakat pra-Islam. Bahkan dalam faktanya, Islam telah mengadopsi tradisi-tradisi lokal yang berkembang di masyarakat Arab. Dengan demikian, Islam memposisikan tradisi lokal bukan dalam posisi obyek yang harus ditaklukan, tetapi Islam memposisikannya dalam dimensi dialogis.
Hal tersebut, dalam kenyataannya seringkali dilupakan. Implikasinya, hukum Islam masa nabi Muhammad dipahami sebagai konstruksi hukum yang datang dari langit dan terlepas dari konteks sosio- kultural yang ada di masyarakat Arab. Bahkan lebih dari itu, hukum Islam zaman Nabi dipahami sebagai citra ideal yang harus diaplikasikan di seluruh kondisi zaman dan tempat.
Dari uraian diatas juga nampak jelas bahwa, Legislasi hukum Islam pada masa Rosulullah sudah muncul, hal itu terbukti dari praktek hukum yang di jalankan oleh Nabi menggunakan hukum Islam, namun demikian masih dalam sebatas praktek. Praktik-praktik ini merefleksikan sebagian adat/kebiasaan masyarakat setempat yang juga mengandung sebuah gagasan-gagasan teoritis atau elemen ideal yang kemudian menjadi sunnah normatif. Artinya bahwa hukum tersebut belum terlembagakan secara sistematis.
Daftar Pustaka
Ash-Siddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, 1997, Pengantar Hukum Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
-------------, 2012, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran dan Tafsir, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Azizy, A. Qodri, 2003, Pengembangan Ilmu-ilmu Ke-Islaman, Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam. Depag RI.
-------------, 2004, Elektisime Hukum Nasional; Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum,Yogyakarta: Gema Insani.
-------------, 2004, Reformasi Bermadzhab; Sebuah Iktisar Menuju Ijtihad Saintific Modern, Jakarta: Teraju.
As-Sirjani, Raghib, 2009, Madza Qaddamal Muslimuna lil ‘alam Is-hamaatu al-Muslimin fi aal-hadlarah al-Insaniyah, Muassasah Iqra.
Al-Munawar, said agil husein, 2006, sejarah perkembangan pemikiran hokum islam, dalam Abu Dinata (ed). Masail al-fiqhiyah, Jakarta: UIN Jakarta Press.
Al-Ghazali, Muhammad, 1996, Kayfa nata’ammal ma’al Qur’an,, Terj Masykur Hakin, Bandung: PT. MIzan PUstaka.
Al-Amidi, Ali bin Muhammad, 2003, Al-Ihkam fii Ushulil Ahkam, Riyadh: Daarussomayyi, juz 4
Bek, Muhammad Khudori, tt, Tarikh al-Tasri’ al-Islamy, Sankapura: al-Haromain.
DepartemenAgama RI, Al-Qur’an dan terjemahannya, Diterjemahkan oleh yayasan Penerjemah Al Qur’an, ed. Revisi, (Semarang: Toha Putra, 1995).
Fatwa. A. M, tth, Agama dan Negara dalam Konstelasi Politik Orde Baru.
Hazm, Ibnu, tth. Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, Cairo: Mathba’ah Al-Ashimah. Juz 5
Haq, abdul,et al, 2009, Formulasi Nalar Fiqh, Surabaya: Kalista. Jilid 2.
Ismatullah, Dedi, 2011, Sejarah Sosial Hukum Islam, Bandung: Pustaka Setia.
Khallaf, Abdul Wahab, 1978, Ilmu Ushul Fiqh, terj, Moh. Zuhri et al, Semarang: Dina Utama.
-------------, 1968, Khulasoh Taarikh Tasyri’ al-Islami, ttp
Khlail, Rasyad Hasan, 2009, Tarikh Tasyri al-Islami,terj. Rasyad, Jakarta: Amzah.
Karim, Khalil Abdul. 2003. Syari’ah Sejarah Perkelahian Pemaknaan, terj. Kamran As’ad. Yogyakarta: LKiS.
Khadduri, Majid . 2002. Perang dan Damai Dalam Hukum Islam, terj. Kuswanto. Yogyakarta: Tarawang Press.
Minhaji, akhmad, 1992, Joseph Schacht’s Contribution of the Study of Islamic Law. Ali masrur, Yogyakarta: UII Press.
Michael S. Northcott, “Pendekatan Sosiologis” dalam Peter Connoly (ed.). 1999. Aneka Pendekatan Studi Agama, terj. Imam Khoiri. Yogyakarta: LKiS.
Muslekhudin, Muhammad, 1980, Islamic Jurisprudence and the rule of Law of Necessity and Need, Islamabad: Islamic Resech Institu.
Mubarak, Jaih, et al, 2002, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Nasution, Harun, 2002, Islam ditinjau dari berbagai aspek, Jakarta: UI Press. Jilid II.
Natsir, Nanat Fatah, 2010, dalamsebuahpengantar, SejarahSosialHukum Islam.
Nasr, sayyed Hosein, 2004, Knowledge and The sacred,, Terj. Suharsono et al, Jakarta: Inisiasi Press.
Rahman, Fazlur, 2000, Islam, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka.
Rofiq, Ahmad, 2001, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media Offset,.
-------------, 2013, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Rajawali Press. Cet ke I. (ed) Revisi.,
Schacht, Joseph, 1965, An introduction to Islamic Law,, terj. Joko Supomo, Bandung: Imperium.
-------------, 1969, The Origin of Muhammadan Jurisprudence,, Terj. Joko Supomo, Yogyakarta: Insan Madani.
Supena, Ilyas, 2008, Desain Ilmu-Ilmu Ke-Islaman; dalam pemikiran Hermeneutika Fazlur rahman, Semarang: Walisongo Press.
[1] Sejarah soasial (social history) dalam pemikiran dan studi Hukum Islam, pada dasarnya merupakan hasil interaksi pemikir hukum Islam dengan lingkungan sosial kultural atau sosial politik yang mengitarinya. Pendekatan ini memperkuat alasan kenyataan sejarah yang menunjukkan bahwa produk-produk pemikiran yang sering dianggap sebagai hukum Islam sebenarnya tidak lebih dari hasil interaksi tersebut. Pendekatan sosiologis memfokuskan diri pada interaksi antara agama dan masyarakat. Pra-anggapan dasar sosiologis adalah concern-nya pada struktur sosial, konstruksi pengalaman manusia dan kebudayaan termasuk agama. Pendekatan sejarah-sosial ini penting artinya untuk (1) meletakkan produk pemikiran hukum Islam pada tempat yang proporsional, dan (2) memberikan keberanian kepada para pemikir hukum Islam agar tidak ragu-ragu, bila mereka merasa perlu melakukan perubahan suatu produk pemikiran. Pendekatan sejarah sosial berfungsi menelusuri bukti sejarah itu dan sebagian dari bukti-bukti sejarah itu adanya pengaruh faktor lingkungan sosial budaya. Dengan pandangan seperti ini, respon al-Qur’an terhadap situasi sosial Arab saat itu, ijtihad Nabi, tidak terlepas dari faktor sosial dan politik. Lihat: MichaelS. Northcott, dalam Peter Connoly (1999: 267), Lihat juga: Atho Muzhar (1998: 103-125) dikutip oleh Prof. Nanat Fatah Natsir.