Saturday, October 26, 2013

Ilmu Falaq



DISKURSUS PENENTUAN HARI RAYA MADZHAB INDONESIA
(Kritik dan Upaya Solusi Terhadap Permasalahan Hisab Rukyah)




A.       Pendahuluan
Permasalahan penentuan awal bulan kamariah merupakan sebuah wacana yang sudah usang namun masih selalu up-date seiring berjalannya waktu. Indonesia dengan konsep wilayatul hukmi yang telah dijunjung, ternyata tidak mampu menyatukan perbedaan tersebut. Masih saja perbedaan hari raya idul fitri maupun idul adha serta perbedaan penentuan awal bulan ramadhan ternyata masih saja terjadi. Dan dampak dari perbedaan ini sangat konkrit terlihat di seluruh penjuru Indonesia. Dua desa yang sangat berdekatan, harus saling mendahului dalam pelaksanaan hari raya. Desa yang satu telah terdengar gema suara takbir sedangkan desa yang lainnya masih khusyu’ dengan shalat tarawihnya. Bahkan fenomena ini tidak hanya terjadi antar desa melainkan juga terjadi bagi mereka yang hanya berada dalam satu desa.
Fenomena perbedaan hari raya (khususnya Idul Fitri) yang terjadi dikalangan umat Islam Indonesia menunjukkan terdapat variasi pemahaman dalam menetapkan awal bulan hijriyah diantaranya adalah penetapan awal apakah penetapan bulan hijriyah di dasarkan pada hisab atau rukyat? Dalam hal rukyah (untuk menghindari kemungkinan terjadi salah lihat), apakah menggunakan imkanur rukyah atau tidak? Dan pengaruh penggunaan metode hisab dan akurasinya. Penyelasaian masalah yang terkait dengan penentuan awal bulan hijriyah tersebut di atas, tidak berarti dengan sendirinya menyelesaikan keseluruhan permasalahn yang menjadi problem hisab dan rukyah.
            Problem perbedaan prinsip penggunaan metode (yang merupakan salah satu dari beberapa persoalan yang masih diperdebatkan) secara syar’I adalah apakah bunyi teks dari nas hadis yang menerangkan tentang penetapan awal bulan hijriyah menunjukan atas keberlakuaan hasil rukyat secara akurat? Fenomena perbedaan prinsip penggunaan ini menyebabkan perbedaan Idul Fitri dan Idul Adha (tidak terjadi pada hari yang sama).
            NU dan Muhammadiyah 1 Dzulhijah pada hari selasa tanggal 11 Desember 2007 M, NU dan Muhammadiyah menetapkan  1 Syawal 1429 jatuh pada hari rabu 1 Oktober 2008 M. NU menetapkan 1 Dzulhijah 1431 H jatuh pada hari senin 8 Nopember 2010 M, Muhammadiyah menetapkan 1 Dzulhjah 1431 H jatuh pada hari Ahad tanggal 10 November 2010 M. pemerintah, NU dan Muhammadiyah, menetapkan 1 Ramadan 1432 H jatuh pada hari senin pada tanggal 1 Agustus 2011 M. muhammadiyah menetapkan syawal 1432 H jatuh pada hari selasa 30 Agustus 2011 M sedangkan pemerintah dan NU menetapkan 1 syawal 1432 H jatuh pada hari rabu tanggal 31 Agustus 2011 M. pemerintah NU dan Muhammadiyah menetapkan 1 Dzuhijah 1432 H Jatuh pada Hari Jum’at 28 Oktober 2011 M. Dan sampai tahun 2012 kemaren pun terjadi perbedaan waktu.
            Dari fenomena tersebut dapat dilihat bahwa terjadi khilafiyah, dalam menetapkan hari raya (idul Fitri dan Idul Adha), maka dari situ yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana tipologi dalam penggunaan dalil yang digunakan, sehingga menimbulkan hasil yang berbeda dalam menetapkan hari Raya? Setidaknya itulah yang akan menjadi focus kajian dalam makalah ini, dengan pendekatan perbandingan, penulis akan mencoba untuk meliahat dan kemudian mengambil dalil yang paling diunggulkan. Dalam hal ini yang akan diuraikan terlebih dahulu adalah konsep matlak menurut fih, hal ini penting karena menyangkut dengan pemberlakuan rukyah, yang mana hal itu harus diikuti oleh semua atau tidak. Ini menjadi pijakan dalam menentukan batas wilayah (wilayat al-hukmy) dimulainya berpuasa atau sampai penentuan 1 syawal. Yang kedua adalah tipologi pemikiran madzhab Indonesia yang penulis akan mengkomparasikan (madzhab Hisab dan Rukyah), kemuadian di bagian yang selanjutnya adalah upaya mengkompromikan dua pendapat yang saling bertentangan dalam menentukan waktu awal bulan qomariyyah.   

B.     Hisab Rukyat dan Matlak
1)      Hisab
Hisab secara etimologi bermakna menghitung (adda), kalkulasi (ahsa), dan mengukur (qaddara). (Majma’  Lughah,  t.th: 149.)  Dimaksud dalam hal ini adalah menghitung pergerakan    posisi hilal (bulan) diakhir    bulan-bulan Kamariah untuk         menentukan awal bulan (khususnya Ramadan-Syawal) dengan menggunakan alat-alat perhitungan.
Jenis hisab dalam ilmu falak (ilmu astronomi) meliputi perhitungan     astronomis     khusus menyangkut posisi bulan dan matahari untuk mengetahui kapan dan di permukaan mana terjadi peristiwa astronomis itu terjadi. Hisab pada mulanya hanya di gunakan  untuk  penentuan  awal bulan Kamariah, namun seiring maju pesatnya ilmu pengetahuan, ilmu hisab terus berkembang, di antaranya yang masih ada kaitanya dengan ibadah, misalnya hisab waktu shalat dan imsakiyah, hisab arah kiblat, hisab gerhana bulan dan matahari, hisab konversi penanggalan Hijriah-Masehi, hisab visibilitas hilal dari sebuah tempat,  hisab bayang kiblat.
Imam Taqiyuddin al-Subki (w.756) dalam fatwanya menyatakan terdapat beberapa ulama besar yang mewajibkan atau setidaknya membolehkan berpuasa berdasarkan hasil hisab yang menyatakan bahwa hilal telah mencapai ketinggian yang memungkinkan  untuk  terlihat  (imkan  al-ruyah).    Menurut  al- Subki, pendapat ini yang disebut wajh, memandang imkan al- rukyah  sebagai  sebab  wajibnya  puasa  dan  hari  raya,  berbeda dengan wajh ashah yang tetap mengaitkannya dengan nafs al- ruyah  atau   ikmal al-iddah.
Selanjutnya beliau mengemukakan bila pada suatu kasus ada   orang   yang   mengkhabarkan   atau menyaksikan  bahwa  hilal  telah  tampak,  padahal  hisab dengan muqaddimat-nya yang qat’iy menunjukkan bahwa hilal tidak mungkin terlihat misalnya karena posisinya yang terlalu dekat dengan matahari maka informasi tersebut harus dianggap keliru dan kesaksian tersebut harus ditolak. Hal ini beliau kemukakan mengingat nilai khabar dan kesaksian bersifat dzan sedang hisab  bersifat  qat’iy,  telah  diketahui  bahwa sesuatu  yang qat’iy  tidak dapat didahului atau dipertentangkan  dengan sesuatu Yang zhanny (al-Subki, t.th: 217).
Pernyataan  al-Subki  ini  selanjutnya  mendapat  dukungan dari   beberapa   ulama   yang   datang kemudian seperti imam al- Syarwani, al-Abbadi dan al-Qalyubi (w.1069). Al-Qalyubi mengatakan:
yang benar, Rukyat hanyalah sah pada waktu hilal memang mungkin terlihat, yaitu meskipun ia tetap mendasarkan pada Rukyat tetapi juga menempatkan hisab pada posisi cukup penting. Secara lebih tegas al- Syarwani dan al-Abbadi mengatakan: “seyogyanya, jika menurut hisab qat’iy  hilal telah berada pada posisi   memungkinkan   terlihat   setelah matahari   terbenam,   kiranya   hal   itu   telah   cukup   dijadikan   acuan meskipun dalam kenyataan (zahir) hilal tidak tampak. (al-Syarwani, t.th: 382.  Lihat  juga  al-Qalyubi,  t.th: 49)
Perhitungan-perhitungan yang dilakukan para ulama falak menunjukkan bahwa data yang  dihasilkan  dipandang  lebih  dari  cukup   dan   akurat   menurut   syara’,   diperkuat   lagi   dengan kenyataan bahwa perhitungan hisab-falak selalu memberikan hasil yang sangat akurat tanpa menyisakan   perbedaan   yang   berarti. Karena alasan ini,   tidak   berlebihan bilamana banyak   ulama kontemporer mendukung  bahkan  mewajibkan  penggunaan  data hisab-falak   dalam   menentukan   awal   bulan Kamariah, secara khusus  bulan Ramadan-Syawal.
Tantawi   Jauhari   dalam   tafsirnya   al-Jawhar fi Tafsir   al- Qur’an al-Amim   secara  panjang  lebar  menyatakan  kemestian menggunakan data hisab-falak dalam memulai puasa dan hari raya, hal ini dapat disimak dalam pandangan nya ketika mengomentari surat   Yunus   (10):   5   serta   ayat-ayat   yang   berkaitan   dengan perhitungan gerak siang-malam. (Jauhari, 1991: 3-42)
Dalam kitab tafsir al-Manar, Rasyid Ridha juga menyerukan (membolehkan)   untuk   menggunakan data hisab-falak dalam komentarnya terhadap ayat-ayat puasa dan perhitungan gerak bulan dan matahari. (Ridha, t.th: 303) Pendapat Rasyid Ridha ini juga dikutip al-Qaradhawi dalam mendukung pendapatnya dalam Fiqh al-Shiyam-nya. Selanjutnya Ahmad Muhammad  Syakir, (adalah   seorang   muhaqqiq   sekaligus muhaddis asal Mesir, pentahkik pertama kitab al-Risalah Imam al-Syafi’i)  juga  menyatakan demikian   dalam   salah   satu karyanya , Awa’il    al-Syuhur   al-Arabiyyah,    Hal   Yajuz   Syar’an  Isbatuha   bi al-Hisabat al- Falakiyyah. Bahkan ia mengatakan cukup banyak fuqaha’  dan muhaddisin yang tidak mengetahui ilmu falak, bahkan kebanyakan mereka tidak mempercayai para pakar ilmu itu, terlebih- lebih mereka menganggap itu adalah sesuatu yang bidah (Syakir, 1407 H: 8-9).

2)      Rukyat

Rukyat  secara  etimologis berarti  melihat, yaitu  bermakna melihat  dengan  mata  (bi  al-ain), dapat  pula bermakna melihat dengan ilmu (bi al-ilm). (al-Razi,  2003 M: 133) Rukyat dimaksud dalam hal ini adalah melihat hilal di akhir Syakban/Ramadan untuk menentukan tanggal 1  Ramadan/Syawal. Cukup banyak hadis yang menyatakan tentang rukyat hilal terkait dengan penetapan Ramadan dan Syawal, antara lain: “Shumu li-ru’yatihi fain ghuma alaihi fa istakmiluhu tsalatsina yauman”
Dari  makna  zahir contoh hadis di atas,  jelas bahwa dalam memulai dan mengakhiri   puasa   dan   hari   raya   hanya   dengan rukyat al-hilal   saja,   yaitu   terlihatnya   hilal   di   awal Ramadan dan   Syawal   sesuai   dengan   keumuman   dan   keliteralan   dari hadis   di   atas.   Dengan kriteria, jika awan dalam keadaan cerah pada  saat  terbenam  matahari  tanggal  29  Syakban  maka  esok harinya  adalah  awal  puasa.  Demikian  pula,  jika  hilal  terlihat pada   tanggal   29   Ramadan,   esok harinya adalah hari raya dan rukyat hilal mutlak dilakukan. Namun demikian, jika terdapat penghalang yang menutupi hilal seperti mendung maka pelaksanaan puasa dan atau hari raya harus ditunda sehari dengan menggenapkan (istikmal) bilangan bulan Syakban dan atau Ramadan menjadi 30 hari.
Selanjutnya,   dalam penerapan   rukyat terdapat   keragaman di kalangan  fuqaha dalam  hal berapa  orang  jumlah  minimal dalam melihat hilal tersebut. Hanafiyah menetapkan jika awan dalam keadaan cerah, maka dengan rukyat kolektif (ru’yat al- jama’ah) dan tidak mengambil kesaksian orang per-orang menurut pendapat yang rajih, dengan alasan dalam keadaan cuaca cerah tentu  tidak  ada  penghalang  bagi  seseorang  untuk  tidak  dapat melihat hilal, sementara yang lain melihat. Namun demikian, jika hilal    dalam    keadaan    tidak    memungkinkan    untuk    dilihat, mencukupilah  kesaksian  satu  orang  dengan  syarat  ia  beragama Islam, adil, berakal, dan dewasa (al-Jaziri, 2001: 421)
Sementara itu, Syafi’iyah  dan   Hanabilah   menetapkan minimal    dengan    kesaksian   satu    orang,    baik  cuaca   dalam keadaan  cerah  atau  ada  penghalang,  dengan  catatan,  pe-rukyat (al-ra’i)  beragama Islam, dewasa, berakal, merdeka, laki-laki dan adil. Selanjutnya pula kesaksian (rukyat) tersebut harus dipersaksikan dihadapan qadhi (Pemerintah). Hal ini bedasarkan hadis dari Ibnu Umar ra. :
Demikian  juga  dengan  kesaksian  seorang  Arabi  bahwa dia  melihat  hilal,  lantas  Nabi  saw. bertanya:

Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah” ia menjawab ya”, lantas Nabi saw. bertanya lagi “apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad itu adalah utusan Allah ia menjawab “ya”, lantas Nabi saw. bersabda wahai Bilal, umumkanlah kepada manusia dan hendaklah mereka berpuasa esok hari (HR. Abu Dawud dari Ikrimah dari Ibnu Abbas). (Lihat Asy-Syaukhani, Nailul Autar, sebagaimana dikutip Kemenag RI, 2010)

Selanjutnya wajib pula terhadap orang yang melihat hilal untuk  berpuasa  meskipun  tidak dipersaksikan  dihadapan   qadhi (Pemerintah), begitu pula terhadap orang yang percaya dan meyakininya  (li man saddaqahu)  meskipun  orang  yang  melihat hilal    tersebut    anak-anak    (sabi),  wanita,  hamba,  orang  fasik, bahkan orang kafir sekalipun (al-Jaziri, 2001: 425)

3). Matlak
a)      Pengertian Matlak
Istilah matlak dalam studi kalender hijriyah adalah batas geografis keberlakuan rukyat. Matlak secara bahasa adalah tempat terbitnya benda-benda langit (rising Place). Dalam istilah ilmu falak matlak adalah batas daerah berdasarkan jangkauan keberhasilan pengamatan hilal, batas geografis keberlakuan hasil rukyat, atau terbitnya hilal (bulan sabit) untuk menentukan wal dan akhir bulan hijriyah.
Pembahasan tentang matlak senantiasa muncul terkait apakah terlihatnya hilal Ramadan atau hilil Syawal di suatu wiyah, harus pula diikuti oleh wilayah lain yang belum melihat hilal atau tidak? (apakah perbedaan tempat munculnya hilal berpengaruh pada perbedaan memulai puasa dan hari raya untuk seluruh wilayah di bumi atau tidak?), sehingga apabila suatu wilayah telah hilal muncul atau terlihat, maka wilayah lain wajib mengikuti hasil rukyah wilayah tersebut ataukah hasil rukyat suatu daerah hanya berlaku pada derah yang bersangkutan.  
b)      Matlak Regional
Keberhasilan pengamatan pada bulan sabit pertama dipersepsikan oleh sebagian ulama’ hanya berlaku untuk daerah tersebut dan beberapa daerah yang masih dalam kesatuan hokum. Pendapat tersebut mengatakan rukyat berlaku untuk daerah masing-masing karena perbedaan matlak (ikhtilaful matlak).
Menurut az-Zuhaily, (1997: 1660-1661) dalil yang dijadikan dasar madzhab Syafi’I adalah:
a.       Sunnah
Hadis Ibnu Umar
عن عبد الله بن عمر رضى الله عنهما قال: قال رسو ل الله صلى الله عليه وسلم: الشهر تسع و عشرون فاذا رايتم الهلا ل فصوموا واذا رايتمواه فافطروا فان غم عليكم فاقدروا له (رواه المسلم)
b.      Qiyas; Mengkiaskan perbedaan matlak (tempat terbit) dengan perbedaan waktu-waktu sholat karena perbedaan matlak matahari.
c.       Menentukan perbedaan awal bulan karena sebab berbeda Negara dan jarak berjauhan, sehingga menjadi perbedaan mulai puasa karena bedanya Negara tersebut.
Sedangkan Syafi’iyah menyatakan bahwa suatu kawasan melihat suatu bulan, maka daerah dengan lingkungan 24 fasakh (sekitar 120 km) dari pusat rukyah, boleh mengikuti hasil rukyah daerah tersebut. sedangkan daerah diluar radius itu boleh melakukan rukyah sendiri, dan tidak harus mengikuti hasil rukyat tadi (al-Juzairi, 1995: 550, lihat juga al-Abadi, 1990: 45) 
c)      Matlak Global
Menurut aliran ini, penampakan hilal Ramadan atau hilal Syawal di suatu wilayah, harus pula di ikuti oleh wilayah lain yang belum melihat hilal. Dengankata lain bahwa hasil rukyah bersifat global, artinya perbedaan tempat atau wilayah tidak berpengaruh pada perbedaan mulai puasa atau hari raya untuk seluruh wilayah di bumi ini, sehingga apabila suatu wilayah sudah melihat hilal, maka wilayah lain berpedoman pada hasil rukyah wilayah tersebut, tanpa membedakan jauh dekatnya antar wilayah, persoalan geografis dan astromi lainnya.
Adapun yang dijadikan dasar oleh jumhur ulama’ menurut az-Zuhaili (1997: 1661-1662) adalah;
a.       Sunnah; Keumuman Hadis riwayat Abu Hurairah
b.      Imam as-Syaukhani berpendapat bahwa yang dapat dijadikan hujjah adalah sabda nabi saw bukan pada ijtihadnya Ibnu abbas dengan menyandarkan kepada nabi saw yang di tujukan kepada pernyataan Ibnu Abbas “هكذا أمرنا رسول لله صلى الله عليه وسلم  dan “فلا نزال تصومه حتى نكمل ثلا ثين  kemudian juga hadis Umar r.a tersebut juga bukan mengindikasikan hasil rukyah yang bukan bersifat personal (lokal) bahkan khitobnya berlaku untuk seluruh kaum muslimin sehingga hasil rukyat suatu tempat (negara) berlaku untuk tempat (Negara) lain.
c.       Menurut imm Ahmad, Malik dan hanafi, bahwa penetapan hari raya hanya didasarkan pada sampainya berita tentang rukyatul hilal tanpa memperhatikan perbedaan matlak. Rukyatul hilal berlaku untuk semua wilayah baik yang dekat maupun yang jauh. Hilal yang terlihat disuatu daerah tertentu maka untuk suatu daerah yang lain (yang mendapatkan informasi keberhasilan rukyatul hilal) wajib berpuasa dan mengikuti hasil rukyah tersebut.
   
C.    Diskursus Madzhab (Hisab vs Rukyah) Indonesia
Persoalan penentuan hisab rukyah dalm hal awal bulan komariyah berbeda dengan persoalan-persoalan yang lain, terutama pada bulan Ramadhan Syawal, dan Dzulhijjah. Persoalan ini sering kali muncul adanya perbedaan, bahkan kadang menyulut adanya permusuhan yang mengusik jalinan ukhuwah Islamiyah. Karena dua madzhab dalam hal fiqh hisab rukyah di Indonesia secara institusi di simbolkan pada dua organisasi besar kemasyarakatn Islam di Indonesia. Nahdlatul Ulama’ di simbolkan sebagai madzhab rukyat dan Muhammadiyah secara institusi di simbolkan sebagai madzhab hisab (Hambali, 2003: 25-26)
Sehingga persoalan yang semestinya klasik itu, menjadi selalu actual terutama disaat menjelang penentuan awal bulan-bulan tersebut melihat fenomena tersebut sebagaimana dalam majalah Tempo (26 maret 1994) yang dikutip Slamet Hambali, Snouck Hurgronje seorang orientalis berkebangsaan Belanda mengatakan “tak usah heran jika di Negeri itu tiap tahun timbul perbedaan di awal dan akhir puasa. Bahkan hal itu terjadi dikampung-kampung yang berdekatan ”.

1)      Pemikiran PP Muhammadiyah
Secara formal pemikiran hisab rukyahnya tertuang pada putusan Majlis tarjih Muhammadiyah sebagai dikutin Izzudin (108-109) berikut;
“Berpuasa dan Idul Fitri itu dengan rukyah dan tidak berhalangan dengan hisab. Menilik hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori bahwa Rosulullah SAW bersebda: berpuasalah kalian karena melihat tanggal dan berbukalah karena melihatnya. Maka bilamana sudah terlihat hilal olehmu maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban 30 hari. Dan firman Allah: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu) (QS, Yunus: 5). Apabila ahli hisab menetapkan bahwa bulan belum tampak (tanggal) atau sudah wujud tetapi tidak kelihatan, padahal kenyataannya orang yang melihat pada malam itu juga, manakah yang muktabar? Majlis tarjih memutuskan bahwa rukyah-lah yang muktabar. Menilik hadis dari Abu Hurairah: berpuasalah kalian karena melihat tanggal dan berbukalah karena melihatnya. Bila kamu tertutup oleh mendung maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban 30 hari”.
Mengenai kalimat sudah wujud dalam keputusan majlis tarjih Muhammadiyah mengandung pengertian:
1.   Sudah terjadi ijtimak qabla ghurub
2.   Posisi bulan sudah positif diatas ufuk
Sedangkan putusan majlis tarjih bahwa rukyahlah yang muktabar hal ini dengan syarat hilal sudah wujud. Bila hilal belum wujud maka ketentuan rukyah yang muktabar tidak berlaku. Ini merupakan pemikiran yang sudah disepakati sejak tahun 1969 oleh para pakar astronomi Muhammadiyah, sampai hal itu ditinjau kembali oleh mukhtamar Tarjih th. 1972 di pencongan Wiradesa, Pekalongan. Kemudian mengenai hisab yang menurut majlis ini memenuhi persyaratan adalah metode yang dikembangkan oleh Sa’adoeddin Djambek. Datanya diambil dari Almanak Nautika yang dikeluarkan oleh TNI AU Dinas oceanografi yang terbit setiap tahun. Sehingga bagi muhammadiyah, menentukan tanggal dengan perhitungan matematik (hisab qathiy) adalah ijtihad paling tepat. Dengan dasar Tafsir al-Mannar II:
“hisab astronomi yang terkenal dimasa kita ini memberikan penyempurnaan yang pasti. Sebagaimana yang diterangkan pada pemimipin umat Islam dan pemerintahannya yang mempunyai ketepatan tentang hisab tersebut, boleh mengeluarkan keputusan untuk mempergunakan perhitungan tersebut perhitungan ini menjadi petunjuk atas masyarakat. Rukyatul hilal untuk pelaksanaan puasa seperti halnya meliahat matahari tatkala akan sholat bukan merupakan ta’abudi. Adapun Rosul, sahabat dan ulama’ salaf melaksanakan rukyat karena pada saat itu belum bisa melaksanakan perhitungan (hisab) yang belum memberikan kepastian, jadi untuk menentukan awal Ramadhan cukup dengan hisab tidak perlu dengan rukyah”. (Ridha, 187)
Dari pemikiran yang dikembangkan itu, maka system penentuan awal bulan qamariyyah bagi Muhammadiyah adalah hisab wujudul hilal atau hisab miladul hilal. Hisab wujudul hilal yang dimaksud adalah sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Wardan (Mantan PP Muhammadiyah) bahwa wujudul hilal adalah matahari terbenam terlebih dahulu dari pada terbenamnya bulan (hilal) walaupun hanya 1 menit atau kurang. Dimana dalam menentukan tanggal 1 bulan baru berdasarkan hisab dengan tiada batasan tertentu, pokoknya asalkan hilal sudah wujud, maka menurut kalangan ahli hisab sudah berdasarkan hisab wujudul hilal, maka dapat ditentukan hari esok adalah sudah awal bulan qomariyyah.        
Majlis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiayah (2009: 73-82) menggunakan dasar untuk menggunakan metode hisab adalah:
1.      Al-Qur’an
a.       Surat  ar-Rahman [55]: 5
الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ
Artinya: Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungannya”.
b.      Qs. Yunus [10]: 5
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ
Artinya: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).

2.      Sunah
a.       Hadis Buhari dan Muslim
إذا رايتموه فصوموا وإذارايتموه فافتروا فإن غم عليكم فاقدرواله (رواه البخرى والفظ له ومسلم)
Artinya; apabila kamu melihat hilal maka berpuasalah, dan apabila kamu melihatnya maka beridul fitri-lah jika bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah (HR Bukhari dan lafal diatas adalah lafalnya, dan diriwayatkan Muslim).
b.      Hadis tentang keadaan umat yang masih ummi;
إنا أمة امية لا نقتبو ولا نحسب الشهرو هكذا وهكذا يعنى مرة تسعة و عشرين ومرة و ثلا ثين
(رواه البخرى ومسلم)

Artinya; sesungguhnya kami adalah ummat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh Sembilan dan kadang-kadang tiga puluh hari (HR. Bukhari Muslim).

Cara memahaminya (wajh al-istidlalnya) adalah pada surat ar-Rahman ayat 5, Allah swt menegaskan bahwa benda-benda langit berupa matahari dan bulan beredar dalam orbitnya dengan hokum-hukum yang pasti sesuai dengan ketentuannya. Oleh karena itu peredaran benda-benda langit itu dapat di hitung (di hisab secara tepat).
Pada zamannya Nabi Muhaamad dan para sahabatnya tidak menggunakan hisab untuk menentukan masuknya bulan baru komariyah, melainkan menggunakan rukyat seperti terdapat dalam hadis poin a diatas dan beberapa hadis lainnya yang memerintahkan melakukan rukyat. Praktik dan perintah nabi saw agar melaksanakan rukyat itu adalah praktik yang disertai illat (kuasa hukum). Majlis Tarjih Muhammadiyah mendasarkan Illat-nya pada Hadis butir b, yaitu keadaan ummat yang pada waktu itu masih ummi. Belum mengusai baca tulis dan ilmu hisab (astronomi), sehingga tidak mungkin melakukan penentuan awal bulan dengan hisab seperti isyarat yang dikehendaki oleh surat ar-rahman dan Yunus. Cara yang mungkin dilakukan pada saat itu adalah dengan melihat hilal secara langsung; bila hilal terlihat secara fisik berarti bulan baru dimulai pada malam itu dan keesokan harinya dan bila hilal tidak terlihat, bulan berjalan digenapkan 30 hari dan bulan baru dimulai lusa. Sesuai dengan kaidah fiqh yang berbunyi;
الحكم يدرمع علته وسببه وجوداوعدما
Artinya; hokum itu berlaku ada atau tidak adanya illat dan sebabnya   (Qoyyim, 1973: 105).
Maka ketika ‘illat sudah tidak ada lagi, hukumnya pun tidak berlaku lagi. Artinya ketika keadaan ummi itu sudah hapus, karena tulis baca sudah berkembang dan pengetahuan hisab astronomi sudah maju, maka rukyah tidak diperlakukan lagi. Dalam hal ini muhamadiyah melakukan perhitungan (hisab) untuk menentukan awal bulan baru (komariyah).
Demikianlah pemikiran hisab rukyah muhammadiyyah yang intinya adalah menekankan pada hisab wujudul hilal.
    
2)      Pemikiran PB Nahdlatul Ulama (NU)
Basis utama yang membentuk tradisi pemikiran dan tradisi keagamaan maupun pola relasi-relasi social, budaya dan politik dalam komunitas Islam tradisional (khususnya NU) adalah system pendidikan dan pengajaran pesantren (Hasan, 2009: 41). Oleh karena itu metode bahsul masail di lingkungan NU sangat bernuansa pada teks kitab kuning yaitu condong mencari jawaban hanya lewat al-ibarat al-kutub al-mu’tabarah ‘inda al-Nahdiyyin (Izzudin, 2003: 88).
Disebutkan dalam ART NU pasal 16 butir 7, maka Lajnah Bahsul Masail yang merupakan ladang produksi pemikiran (production of knowlige) masalah-masalah keagamaan dalam NU baik waqi’iyah maupun maudlu’iyah termasuk didalamnya pemikiran hisab rukyah. Secara formal pemikiran hisab rukyah NU tertuang dalam keputusan Muktamar NU ke-27 di Situbondo 1984. Munas alim ulama’ di Cilacap tahun 1987 dan rapat kerja Lajnah Falakiyah NU di pelabuhan Ratu (1992). Namun perbahasan yang terkait dengan hisab rukyah NU itu kiranya sudah muncul pada waktu Muktamar NU ke-20 di Surabaya tanggal 8-13 september 1954 dimana pembahasan muncul dari pertanyaan NU cabang banyuwangi dengan redaksi pertanyaan:

“bagaimana hukumnya mengumumkan awal Ramadhan atau Syawal untuk umum dengan menggunakan hisab atau orang yang memercayainya sebelum penetapan hakim atau saran dari pemerintah? Boleh atau tidak?”

Pertanyaan itu dijawab dalam muktamar NU ke-20 di Surabaya dengan dasar pegangan kitab al-Bughyah: 110 dan kitab al-Fatawa Kubro LV/164, sebagai berikut:

“sesungguhnya mengabarkan tatapnya awal Ramadhan atau awal Syawal dengan hisab tidak terdapat di Rasulullh dan khulafaurrasidin. Sedang orang yang pertama-tama membolehkan puasa dengan menggunakan hisab adalah Imam Mutharik guru Imam Bukhari. Adapun mengumumkan tetapnya awal Ramadhan/Syawal belum ada penetapan/siaran dari pemerintah, maka Muktamar memutuskan tidak boleh. Sebab untuk menolak keguncangan dalam kalangan umat Islam dan Muktamar mengharap kepada Pemerintah supaya melarangnya”.

Selanjutnya dalam Munas alim ulama’ NU di Situbondo tanggal 6 Rabiul awal 1404 H/21 Oktober 1983 M ditetapkan bahwa:

“penetapan pemerintah tentang awal Ramadhan/awal Syawal dengan menggunakan dasar hisab, tidak wajib diikuti. Sebab menurut junhur salaf bahwa terbit awal Ramadhan dan awal Syawal itu hanya bir rukyah au itmamil adadi salasina yauman”.

Keputusan itulah yang menjadi salah satu pemikiran hisab rukyah yang dikukuhkan dalam Munas alim Ulama’ di Cilacap 1987 dan rapat kerja Lajnah Falakiyah NU di Pelabuhan ratu 1992:           
1.   Dalam hal penentuan awal bulan, NU menetapkan harus dengan rukyatul hilal bil fili, dengan melihat hilal secara langsung. Bila berawan atau menurut hisab hilal masih di bawah ufuk, mereka tetap merukyat untuk kemudian mengambil keputusan dengan menggenapkan (istikmal) bulan berjalan menjadi 30 hari. Demikianlah ketentuan syariat yang diyakininya. Hisab hanya sebagai alat bantu, bukan sebagai penentu masuknya awal bulan qamariyah.

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين
Artinya: “berpuasalah kamu karena melihat hilal dan beridul fitrilah karena melihat hilal pula. Jika bulan terhalang oleh awan terhadapmu maka genapkanlah bilangan bulan sya’ban tiga puluh hari. [HR. Bukhori Muslim]

2.   Bahwa isbatul Aam (penetapan secara umum) oleh qadhi oleh penguasa mengenai awal ramadhan, Idul Fitri atau Idul Adha, atas dasar hisab tanpa dihasilkan rukyatul hilal atau istikmal adalah tidak dibenarkan oleh madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali).
3.    Bahwa NU sebagai ormas Islam berhaluan ahlussunnah wal jamaah berketetapan mencontoh Rasulullah dan para sahabatnya dan mengikut ijtihad para ulama madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali).
4.   Bahwa munas alim ulama’ NU tanggal 13-16 Rabiul awal 1404H/18-21Des 1983 M di Situbondo telah mengambil keputusan mengenai awal penetapan Ramadan dan Idul fitri yang intinya bahwa NU menggunakan dasar rukyatul hilal atau istikmal. Keputusan ini telah dikukuhkan oleh muktamar NU ke-27 th. 1405H/1984M.
5.   Dan untuk keseragaman warga NU dalam melaksanakan keputusan yang dimaksud dalam hal mengenai penetapan Idul Adha, maka Munas Alim Ulama’ yang berlangsung di Pondok Pesantrn ilya’ Ulumudin Kesugihan, Cilacap Jawa Tengah, telah mengambil keputusan sebagai berikut:
a.       Menegaskan bahwa penetapan awal Ramadhan, Idul FItri dan Idul Adha, oleh Qadhi atau penguasa yang diberlakukan kepada masyarakat setempat (Ithbatul Aam) dapat dibenarkan jika berdasarkan rukyatul hilal.
b.      NU telah lama mengikuti pendapat ulama’ yang tidak membedakan matlak dalam penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha, yakni rukyatul hilal disalah satu empat di Indonesia yang di terima oleh pemerintah yang dijadikan dasar penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha, berlaku diseluruh Indonesia walaupun berbeda matlak-nya.
c.       Melakukan rukyatul hilal untuk penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha, adalah fardu kifayah menurul madhahibil arba’ah kecuali Hambali yang berpendapat bahwa rukyah hukumnya sunah. Pelaksanaan rukyatul hilal yang dilakukan pemerintah/ Kementrian Agama adalah sudah cukup sebagai pelaksanaan fardlu Kifayah tersebut bagi seluruh umat Islam di Indonesia.
d.      Lajnah falakiyah dan Rukyah PBNU perlu malakukan upaya bagi terlaksananya prinsip rukyatul hilal atau istikmal antara lain dengan cara:
i.        Membuat kepastian awal syakban dengan rukyatul hilal dan istikmal untuk keperluan ramadhan.
ii.      Melakukan rukyatul hilal pada malam 30 syakban dan 30 Dzulhijah selanjutnya menyatakan hasil rukyatul hilal tanggal satu Dzulhijjah kepada pemerintah.
e.       Untuk keperluan memulai puasa Ramadhan, melaksanakan idul Fitri, dan menyelenggarakan idul Adha maka kepada warga NU dari tingkat pusat sampai tingkat ranting diinstruksikan agar menyimak pengumuman dan penetapan pemerinta/Kementrian Agama RI melalui media Televisi maupun Radio mengenai tiga hal ini. Jika pengumumannya berdasarkan rukyatul hilal atau istikmal, maka warga NU wajib mengikuti dan mentaatinya. Tepai jika pengumuman atau penetapannya hanya semata-mata berdasarkan hisab maka warga NU tidak wajib mengikuti dan mentaatinya, selanjutnya menyuruh puasa ramadhan, melaksanakan idul fitri, dan menjalankan idul Adha pada hari berikutnya. Sikap demikian ini sesuai dengan pendapat jumhur salaf, sesuai dengan keputusan musyawarah Nasional Alim Ulama’ NU th 1983 M dan keputusan Muktamar ke-27 th 1984 M dan dilindungi UUD 1945 pasal 29 ayat 2.



D.    Kajian Kritis Terhadap Madzhab (Hisab vs Rukyah) di Indonesia
1.      Kritik
Mengenai persoalan hisab rukyah awal bulan komariyah ini pada dasarnya berpangkal pada hadis hisab rukyah “ Shumu li-ru’yatihi fain ghuma alaihi fa istakmiluhu tsalatsina yauman artinya berpuasalah kalian karena melihat hilal (tanggal) dan dan berbukalah (berlebaran) karena kamu melihat tanggal. Bila tertutup oleh mendung maka sempurbakanlah bilangan bulan syakban 30 hari ”. demikianlah hadis Abu Hurairah yang sangat terkenal itu.
Dalam memahami dan memenuhi perintah hadis tersebut, dalam setiap awal menentukan bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijah, selalu saja mengundang kontroversi. Kontroversi itu tidak hanya dalam wacana, tetapi berimplikasi pada awal dimulainya  pelaksaannya ibadah puasa dengan segala pernak-pernik ibadah yang ada di dalamnya, penentuan idul Fitri Idul Adha bahkan tidak jarang, berpengaruh pada harmonitas social antar pemeluk Islam (Rofiq, 2003: t.h).
Dalam hal ini, keputusan Musyawarah Tarjih Muhammadiyah 1932 menegaskan bahwa datangnya awal bulan bukan hanya dengan rukyat, tetapi juga dengan hisab. Hisab bisa berdiri sendiri sebagai sumber pengetahuan datangnya Ramadhan dan bulan-bulan qamariyah lainnya. Muhammadiyah mendefinisikan hisab sebagai perhitungan astronomis tentang posisi hilal. Namun, hisab tidak mungkin membuat keputusan tanpa adanya kriteria yang disebut hilal. Tidak ada satu pun dalil dalam hadits atau Alquran yang menyebutkan secara tegas apa itu hilal yang bisa diterjemahkan secara kuantitatif dalam kriteria hisab.
Pendekatan   yang   dilakukan   Muhammadiyah   adalah   dengan   pendekatan astronomis bahwa hilal adalah penampakan bulan yang paling kecil yang menghadap bumi  beberapa saat  setelah ijtimak.  Inilah  yang kemudian  menjadi  kriteria hisabnya bahwa awal bulan baru ditandai dengan wujudnya hilal. Tandanya adalah bila matahari terbenam lebih dahulu daripada bulan.
Dalam perkembangan saat ini berbagai argumentasi dikemukakan untuk mendukung kriteria wujudul hilal, termasuk dari penafsiran QS 36: 39-40. Bahkan ada juga yang mencari pendekatan dari awal bulan secara astronomis yang diharapkan kesimpulannya akan sama dengan awal bulan dengan kriteria wujudul hilal. Pendekatan murni astronomis, bisa menyesatkan bila digunakan untuk pembenaran penetapan awal bulan yang harus mempertimbangkan syariat. Ijtimak yang disebut pula dengan iqtirann, yaitu apabila matahari dan bulan berada pada bujur astronomi (dawairul buruj) yang sama. Dalam dunia astronomi dikenal dengan konjungsi. Ijtimak oleh para ahli hisab dijadikan oleh para ahli hisab dijadikan pedoman untuk menentukan bulan komariyyah. Dalam ilmu hisab juga disebut Ijtima’ul Nayyirain (Kementrian Agama RI, 2010), tidak ada dasar hukumnya untuk diambil sebagai batas awal bulan qamariyah. Sementara itu, posisi bulan di atas ufuk dalam definisi sesungguhnya wujudul hilal tidak punya arti secara astronomis, karena tidak mungkin teramati. Wujudul hilal hanya ada dalam teori. Apalagi  kalau  wujudul  hilal  tidak  mempertimbangkan  ijtimak  qablal  ghurub,  hilal” teoritik pun mungkin tidak ada karena belum terjadi ijtimak.
Sementara itu konsep mathlak wilayatul hukmi kontradiksi kalau diterapkan pada hisab murni, tanpa mengadopsi kriteria rukyat. Konsepsi mathlak berangkat dari ketidakpastian  rukyat.  Di  satu  daerah  hilal  tampak,  sedangkan  di  daerah  lain  tidak tampak. Pada zaman Ibnu Abbas mathlak dapat diterapkan tanpa masalah karena komunikasi antar daerah masih sangat buruk. Tetapi dengan makin baiknya komunikasi, kesaksian rukyatul hilal disuatu daerah segera tersebar. Dalam hal ini konsep mathlak diperlukan untuk memberikan kepastian keberlakuan rukyatul hilal itu. Dengan hisab murni, mathlak tidak diperlukan lagi. Garis tanggal dapat digunakan sebagai pembatas daerah yang mana yang masuk tanggal lebih dahulu dari daerah lainnya. Tentu dengan konsekuensi kemungkinan satu wilayah hukum terpecah dua. Muhammadiyah telah berijtihad mengambil hisab secara mandiri tanpa tergantung rukyat secara fisik (bil fi'li) karena rukyat telah direpresentasikan dalam bentuk kriteria wujudul hilal. Dalam perkembangannya, kriteria wujudul hilal saja tidak cukup, perlu kriteria ijtimak qablal ghurub. Kini Muhammadiyah perlu juga terbuka untuk mengkaji ulang ijtihadnya, dengan memasukkan faktor transparansi atmosfer dan kepekaan mata manusia yang lazim dalam telaah astronomis tentang visibilitas hilal (imkanurrukyat). Sehingga definisi hilal bukan lagi hilal teoritik yang tidak punya landasan qathiy dari syariat dan tidak punya dukungan astronomis, melainkan hilal yang benar-benar terbukti dapat dirukyat.
NU sebagai ormas Islam berhaluan ahlussunnah wal jamaah berketetapan mencontoh Rasulullah dan para sahabatnya dan mengikut ijtihad para ulama madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali). Dalam hal penentuan awal bulan, NU menetapkan harus dengan rukyatul hilal bil fili, dengan melihat hilal secara langsung. Bila berawan atau menurut hisab hilal masih di bawah ufuk, mereka tetap merukyat untuk kemudian mengambil keputusan dengan menggenapkan (istikmal) bulan berjalan menjadi 30 hari. Demikianlah ketentuan syariat yang diyakininya. Hisab hanya sebagai alat bantu, bukan sebagai penentu masuknya awal bulan qamariyah.
Kesaksian dapat diyakini karena saksi perlu disumpah. Sering kali, sumpah dianggap lebih kuat dari argumentasi ilmiah berupa hasil hisab. Dalam beberapa kasus, bulan yang masih di bawah ufuk menurut perhitungan astronomi dilaporkan terlihat dan diambil  sebagai  dasar  penetapan  awal  bulan,  misalnya  pada  penetapan  Idul  Fitri 1413/1993. Namun sejak 1994, PBNU telah membuat pedoman bahwa kesaksian hilal bisa ditolak bila semua ahli hisab sepakat menyatakan hilal tidak mungkin dirukyat. Secara lebih tegas dinyatakan kesaksian rukyatul hilal dapat ditolak bila tidak didukung ilmu pengetahuan atau hisab yang akurat.
Prinsip penolakan itu telah dilakukan dalam sidang itsbat penentuan Idul Fitri 1418/1998 yang menolak kesaksian di Cakung dan Bawean. Saat itu hilal masih di bawah kriteria   imkanur   rukyat   2   derajat.   Namun   prinsip   itu   belum   secara   konsisten dilaksanakan, karena PWNU Jawa Timur justru menerima kesaksian tersebut.  Termasuk komentar negatif dari beberapa tokoh NU atas pernyataan Lajnah Falakiyah PBNU yang mengisyaratkan Idul Fitri jatuh pada 6 Desember 2002 sebelum ada rukyatul hilal, hanya mendasarkan pada kriteria yang sebenarnya telah menjadi pedoman PBNU. Tampaknya kriteria imkanurrukyat 2 derajat belum diterima di seluruh jajaran NU atau belum disosialisasikan. Padahal kriteria itu didasari oleh hasil rukyat sebelumnya tentang batas minimal ketinggian hilal yang teramati secara meyakinkan.
Hal ini bisa dirujuk dari pengamatan hilal awal Ramadhan 1394/16 September 1974  yang dilaporkan oleh 10 saksi dari 3 lokasi yang berbeda. Tidak ada indikasi gangguan planet Venus. Perhitungan astronomis menyatakan tinggi hilal sekitar 2 derajat dengan beda azimut 6 derajat dan umur bulan sejak ijtimak 8 jam. Jarak sudut bulan- matahari 6,8 derajat, dekat dengan limit Danjon yang menyatakan jarak minimal 7 derajat untuk mata manusia rata-rata. Kriteria tinggi 2 derajat dan umur bulan 8 jam ini yang kemudian diadopsi sebagai kriteria imkanurrukyat MABIMS (negara-negara Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) pada 1996.
NU telah berijtihad menerima batasan imkanurrukyat 2 derajat, walau pun sosialisasi ke semua jajaran belum berjalan baik. Lagi-lagi, sebagai bagian proses ijtihad penetapan imkanur rukyat 2 derajat patut dihargai. Ini lebih baik daripada tanpa kriteria seperti kasus Idul Fitri 1413/1993 yang menerima kesaksian rukyatul hilal padahal bulan sudah di bawah ufuk menurut hisab astronomi yang akurat. Namun pedoman didukung ilmu pengetahuan atau hisab yang akurat” masih membuka peluang yang lebih luas. Kriteria imkanurrukyat 2 derajat yang telah diterima, masih harus dikaji lagi secara ilmiah. NU juga harus terbuka mengkaji ulang ijtihadnya agar sesuai dengan ilmu pengetahuan atau hisab yang akurat sesuai pedoman yang ditetapkan. Sehingga definisi hilalnya bukan semata-mata hilal syariat yang diyakini benarnya dari sumpah pengamatnya, melainkan hilal sesungguhnya yang dapat dibuktikan secara ilmiah. (Djamaludin, 2003: 3-6).

2.    Perbedaan Hanya dalam Masalah Ijtihadiyah
Perbedaan adalah bagian dari kebebasan ijtihadiyah yang dijamin dalam Islam.Masing-masing kelompok punya pendapat yang dianggapnya paling kuat. Dalam kaidahijtihad, tidak ada pihak yang boleh mengklaim paling benar dan menyalahkan pihak lainnya. Islam mengajarkan, kesalahan dalam ijtihad masih mendapatkan pahala karenakesungguhannya dalam mencari solusi hukum. Tentu saja ijtihad yang dimaksud dalam hal ini adalah ijtihad yang berdasarkan dalil-dalil yang benar.
Penentuan dan penetapan waktu dalam pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut itumenjadi sangat penting artinya untuk kemantapan; keyakinan serta menghapuskan keragu-raguan apa lagi dalam hal pelaksanaan ibadah mahdhah. Dan masyarakat tidak dibuat bingung dengan beranekaragamnya praktek yang terdapat di tengah-tengahmasyarakat. Mengkaji lebih lanjut tentang perbedaan-perbedaan di atas dapat diurai sebagai berikut. Menurut penulis pembicaraan tentang perbedaan dalam penentuan berhari rayaadalah dalam lingkup kajian ilmu Falak atau astronomi. Tanpa bermaksud untuk mengklaim kebenaran suatu kelompok dan menyalahkan yang lain. Tapi kita akanmelihat persoalan ini secara proposional dalam lingkup kajian ilmu Falak atau astronomi.Berdasarkan tinjauan tersebut, kemudian kita dapat melakukan analisa terhadap perbedaan-perbedaan yang ada.
Penentuan awal bulan Kamariah yang kemudian dapat dijadikan panduan penanggalan Hijriah adalah yang berdasarkan hisab Hakiki. Perhitungan dalam penanggalan Hijriah yang berdasarkan hisab Hakiki didasarkan pada posisi Matahariyang sebenarnya; sesuai dengan posisi riil hilal pada awal buan tersebut. Penanggalan Hijriah yang berdasarkan hisab Hakiki inilah yang disepakati oleh para ulama ahli Falak yang dapat dijadikan landasan dalam pelaksanaan ibadah-ibadah dalam Islam. Dengan demikian penanggalan yang tidak didasarkan pada hisab Hakiki tidak sahdan tidak boleh dijadikan landasan dalam pelaksanaan ibadah. Dengan demikian penentuan awal bulan Kamariah yang didasarkan pada hisab Urfi tidak sah dan tidak  boleh dijadikan landasan dalam pelaksanaan ibadah. Ada pun perbedaan-perbedaandalam penentuan awal bulan Kamariah yang masih dalam lingkup hisab Hakikilah yang dapat difahami dalam lingkup lapangan ijtihadiyah. Namun alangkah lebih baik jika perbedaan-perbedaan tersebut dapat disatukan. Mengurai persamaan-persamaan yang ada dan mendiskusikan perbedaan-perbedaan sehingga ditemukan satu titik temu yang dapat mempersatukan semua golongan.
Sebenarnya perbedaan itu terletak pada pemahaman Hadis Tersohor Dalam Dunia Hisab Rukyah Rasulullah SAW bersabda:
A). Hadis Buhari dan Muslim (Yang dipakai Madzhab Hisab)
إذا رايتموه فصوموا وإذارايتموه فافتروا فإن غم عليكم فاقدرواله (رواه البخرى والفظ له ومسلم)
Artinya; apabila kamu melihat hilal maka berpuasalah, dan apabila kamu melihatnya maka beridul fitri-lah jika bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah (HR Bukhari dan lafal diatas adalah lafalnya, dan diriwayatkan Muslim).

B). Hadis Buhari dan Muslim (Yang dipakai Madzhab Rukyat)

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين

Artinya: Berpuasalah kalian karena melihat (ru’yah) hilal, dan berbukalah karena melihat hilal. Maka jika ia tertutup awan bagimu, maka sempurnkanlah bilangan Sya’ban tiga puluh.” (HR.Bukhori dan Muslim)

Dalam hadits tersebut digunakan kata kerja perintah (fi’il amar) “صوموﺍ” (berpuasalah) dan “ﻭﺃﻔﻁﺭﻭا” (berbukalah atau berlebaranlah) dan indikasi (qarinah)-nya “لرﺅيته” (karena melihat bulan). Dalam kajian Ushul Fiqh, “melihat bulan” ini disebut dengan sebab. Dan kata “صوموﺍ”dan “ﻭﺃﻔﻁﺭﻭا” ini secara umum ditujukan untuk umat muslim seluruhnya. Para ulama’ sepakat bahwa “perintah itu menunjukkan suatu kewajiban” (al-ashl fi al-amar li al- wujub). Dan perintah hadits itu ditujukan pada seluruh umat Islam di dunia. Namun pelaksanaan rukyahnya tidak diwajibkan kepada seluruhnya bahkan mungkin hanya perseorangan.
Secara lahiriah hadits di atas menunjukkan bahwa perintah melakukan rukyah itu ditujukan bagi setiap umat Islam. Namun dalam realitasnya tidak demikian, tidak semua orang muslim memulai puasa dengan melihat hilal terlebih dahulu, bahkan mayoritas orang berpuasa berdasarkan pada berita tentang terlihatnya hilal dari orang lain. Dengan kata lain, berdasarkan seseorang atau beberapa orang yang mengaku melihat hilal. Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan bahwa sabda Rasuluulah SAW itu tidaklah mewajibkan rukyah untuk setiap orang yang hendak memulai puasa Ramadhan. Akan tetapi, hanyalah ditujukan kepada salah seorang atau sebagian orang dari mereka. Rukyah hilal cukup dilakukan oleh seseorang yansliming adil, demikian pendapat jumhur ulama’.
Pendapat lain mengharuskan dua orang yang adil.  As-San’ani mengatakan, bahwa menurut lahirnya hadits itu mengisyaratkan rukyah bagi segenap orang, tetapi telah terjadi ijma’ yang menetapkan bahwa rukyah itu cukup dicapai pleh seseorang atau dua orang yang adil. An-Nawawi juga menerangkan bahwa rukyah itu cukup dicapai oleh dua orang yang adil di antara kaum muslimin tidak disyaratkan setiap orang harus melakukan rukyah. Pertanyaannya sekarang adalah apakah ru’yah di sini harus dengan mata “telanjang” atau dengan bantuan teknologi? Sementara bumi tempat manusia berada berbentuk bulat, bagaimana jika dalam rukyah dilakukan dengan bantuan pesawat dengan ketinggian tertentu yang dapat dipastikan akan melihat hilal? Belum lagi jika di dalam kenyataannya, jika hisab saja digunakan tanpa rukyah, tentu hasilnya spekulatif atau hipote. Apalagi jika standar hilal dapat dilihat sekurang-kurangnya 2 derajat. Tapi jika rukyah dilaksanakan, sudah pasti menggunakan hisab berdasarkan imkanur-ru’yah dan hasilnya memiliki tingkat akurasi yang tinggi.
Seperti juga dalam seleksi validitas hadits, dalam rukyah ke-tsiqah-an saksi (syahid) yang terpercaya, yang menyaksikan hilal dalam rukyah, menjadi “kata kunci” keabsahan rukyah dilakukan. Karena itu, di dalam menyikapi persoalan kontroversi atau khilafiah di dalam menentukan awal bulan kamariah, maka dengan merujuk kepada perintah Rasulullah SAW diatas, maka rukyah dilakukan tidak semata-mata pemahaman tekstual hadits, tetapi juga sebagai bentuk akurasi pemahaman sebab, ketika suatu perintah ibadah itu dijalankan.
Tetapi ada juga yang menyatakan bahwa perintah rukyah itu dikeluarkan Rasulullah SAW pada saat itu, karena teknologi dan sains belum maju. Jawabannya tentu saja ya, tetapi ibadah adalah ibadah, yang rumusnya secara aksiomotik adalah kepatuhan (al-ta’abbud). Sebagaimana dinyatakan Imam Abu Ishaq al-Syatiby dalam al-muwafaqat fi ushul al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, sebagai berikut “al-ashl fid al-‘ibadat bi al-nisbah ila al-mukallaf al-ta’abbud duna al-iltifat ila al-ma’any” (prinsipnya dalam urusan ibadah bagi mukallaf adalah penghambaan bukan berpaling pada rasionalisasi makna). Menurut ulama’ kontemporer, Wahbah al-Zuhaily dalam al-Fiqh al-Islamy wa Adilatahu, mayoritas ulama’ menegaskan bahwa kewajiban puasa dan berbuka bagi seluruh kaum muslimin digantungkan pada rukyah secara mutlak (muthlaq al-ru’yah).

3.      Tarjih
Dari uraian di atas dapat terlihat jelas bahwa perbedaan (khilaf) tentang menentukan awal bulan qamariyyah (Ramadhan dan Syawal) berpangkal dari ketidak samaan dari hasil yang diperoleh dari metode-metode tersebut. namun demikian penulis sendiri sebenarnya “antipasti” ketika berbicara mana yang lebih diunggulkan, akan tetapi dalam kajian akademik penulis berusaha memandang objektif walaupun sulit rasanya untuk menemukan keobjektifan dari pendapat tersebut. dengan mendasar pada teori dan kajian tipologi pemikiran madzhab penulis berupaya untuk mengambil dalil yang paling unggul diantara pendapat tersebut. Karena yang menjadi kondrat alami manusia bahwa perbedaan kerap kali datang akibat adanya perbedaan sudut pandang, terutama dalam lapangan ijtihad.
Dalam hal penentuan awal bulan (Ramadhan dan Syawal) yang dilakukan oleh madzhab Indonesia penulis lebih mengunggulkan pendapat yang mengikuti jumhur salafuss-salih yakni dengan rukyah, karena selain mendasarkan pada pendapat yang berdasarkan hadis sahih dalam menetapan awal syawal;

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين
Artinya: “berpuasalah kamu karena melihat hilal dan beridul fitrilah karena melihat hilal pula. Jika bulan terhalang oleh awan terhadapmu maka genapkanlah bilangan bulan sya’ban tiga puluh hari. [HR. Bukhori Muslim]

Kalimat صوموا لرؤيته jika ditafsirkan secara maknawi, “rukyat” berarti melihat dengan mata telanjang. Melihat disini bisa diartikan dengan melihat hilal secara langsung dengan mata maupun dengan alat yang memungkinkan kita untuk melihat wujud hilal tersebut. Hal ini bisa di tafsirkan juga dengan melihat hakikat dari hilal tersebut sehingga kalimat صوموا لرؤيته bisa di tafsirkan dengan qaidah fiqhiyah:
الأصل في الكلام الحقيقة
“hukum asal dalam memahami kalimat adalah hakikat”. (QAque, 2005: 159)
Hal ini terkait dengan kedudukan hilal yang mana saat hilal telah berada diatas ufuk, pada dasarnya hilal memang sudah ada namun hakikat dari hilal tersebut tidak dapat dilihat dengan mata manusia, sehingga meskipun hilal tersebut sudah dianggap ada namun hakikatnya belum ada. Sehingga dengan merujuk kepada dalil فإن غم عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين dan dalil-dalil yang semakna dengan dalil ini, maka bulan sebelumnya digenapkan 30 hari.
Alasan penulis selanjutnya yang mengakui rukyah dan kemudian (istikmal jika diperlukan) sebagai metode penetapan puasa dan idul fitri diikuti oleh seluruh madhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali). Hanya saja kalangan syafiiyah yang masih mengakomodasi metode hisab dan memperbolehkannya, sebagai dasar para ahli hisab itu sendirir dan mereka mempercayai kebenarannya. Artinya dalam pendapat inipun hisab tidak dapat digunakan sebagai dasar penetapan yang mengikat umat  secara umum maupun dalam lingkup yang lebih terbatas. Jadi hisab merupakan metode pendamping, sekedar untuk memperkirakan (secara teoritik) apakah rukyah dapat dilakukan atau tidak, adapun hasil akhirnya tetap didasarkan pada rukyah langsung.
Selain itu madzhab rukyah dalam hal ini bersifat ta’abudi ghair al-ma’qul ma’na. artinya tidak dapat dirasionalkan maka pengertiannya tidak dapat diperluas dan dikembangkan. Itulah yang mempuat penulis untuk lebih mengunggulkan madzhab rukyah, karena spirit of belief-nya.  
    
E.     Rekomendasi
Demi persatuan ummat, keputusan Idul Fitri kita tunggu dari hasil sidang itsbat (penetapan) pada 7 Agustus sore. Mengapa harus menunggu sidang itsbat, padahal kita sudah mempunyai hasil hisab IR? Ya, kita harus menghargai saudara-saudara kita pengamal rukyat yang menantikan hasil rukyat untuk penetapan akhir Ramadhan. Mereka mempunyai hasil hisab juga, tetapi untuk ibadah mereka meyakini perlunya bukti rukyat. Pemerintah mewadahi kepentingan semua ummat Islam, karenanya diadakan sidang itsbat untuk menghimpun semua hasil hisab dan hasil rukyat. Karena kriteria yang digunakan masih beragam dan belum sepenuhnya menggunakan kriteria astronomi, maka potensi perbedaan sangat terbuka. Untuk penentuan awal Syawal 1434 kebetulan hasil hisabnya sama, tetapi mengingat kondisi cuaca yang tak menentu kemungkinan gagal rukyat bisa terjadi.
Nah, sidang itsbatlah yang nanti memutuskan ketika terjadi perbedaan. Kalau terjadi perbedaan antara hisab IR dengan hasil rukyat, kemungkinan akan dipertimbangkan juga  penggunaan Fatwa MUI No. Kep/276/MUI/VII/1981 yang membolehkan penetapan awal bulan berdasarkan hisab saja bila bulan sudah imkan rukyat (mungkin dirukyat), walau hilal tidak terlihat. Hal itu pernah terjadi saat sidang itsbat 1987.  Karena hasil hisab IR sepakat bahwa Idul Fitri jatuh pada 8 Agustus 2013 dan mengingat Fatwa MUI 1981, kemungkinan besar Idul Fitri jatuh pada 8 Agustus 2013. Namun, kepastiannya kita harus menunggu hasil sidang itsbat. Demi persatuan, kita harus menghargai adanya otoritas tunggal (Pemerintah) dan mematuhi keputusannya yang sudah mempertimbangkan aspek ilmiah dan fikih dalam musyawarah yang dihadiri para ulama, pakar hisab rukyat, dan perwakilan ormas-ormas Islam.
Meskipun belum ada kesamaan dalam penentuan awal bulan qamariyah namun pada dasarnya telah ada kesepakatan bersama akan kriteria penentuan awal bulan qamariyah. Sehingga jika kemaslahatan umat yang diharapkan, hendaknya kesepakatan yang telah ada tersebut di patuhi sehingga perbedaan dalam pelaksanaan hari raya maupun puasa bisa dihindarkan. Merujuk pada kaidah

حكم الحاكم إلزام ويرفع الخلاف
Artinya: “keputusan pemerintah itu mengikat (wajib dipatuhi) dan menghilangkan silang pendapat”.

Qaidah ini senada dengan pemberlakuan mathla’ fi wilayatil hukmi dimana keseragaman dalam pelaksanaan hari raya maupun puasa ramadlan menjadi alasan utama akan usaha penyatuan awal bulan tersebut. Sehingga diharapkan umat Islam di seluruh penjuru Indonesia bisa melaksanakan hari raya dan puasa pada hari dan jam yang sama. Dengan demikian, tidak ada lagi shalat tarawih beriring takbir hari raya.
Kemudian dalam menghadapi fenomena perbedaan tersebut, pemerintah menawarkan sebuah formulasi penyatuan, yakni madzhab –Imkanurrukyah- (system rukyah yang bersendikan hisab). Dengan madzhab imkanurrukyah ini pada dasarnya pemerintah berupaya untuk memadukan antara madzhab hisab dan madhab rukyah di Indonesia. Dengan penerapan jika menurut data hisab imkanurrukyah sudah mungkin untuk di rukyah, tetapi praktik dilapangan tidak dapat di rukyah bukan karena mendung (ada gangguan cuaca) maka dasar yang dipakai adalah istikmal. Dan jika dinyatakan tidak munggkin dirukyah maka dasarnya adalah rukyah. Yakni disempurnakan tiga puluh hari (Izzudin, 2003: 155)
Hanya saja madzhab ini kurang mendapat respon positif dari madhab hisab dan rukyah (masih setengah hati menerimanya). Disamping persoalan kriteria imkanurrukyah yang secara ilmiah dapat diterima semua pihak. Berdasarkan lembaran sejarah, embia (kalau tidak dikatakan madzhab secara utuh) madzhab imkanurrukyah yang berupaya menyatukan dua madzahab besar tersebut sudah wujud sejak awal perkembangan hisab rukyat, hanya saja kriteria imkanurrukyah belum ada kesepakatan bersama (ahli hisab dan rukyah). Sullam al-Nayyirain (kitab yang diakui sebagai kitab hisab tertua di Indonesia) kitab ini ditulis pada tahun 1995 oleh Syaikh Muhammad Mansyur bin Abdul Hamid bin Mohammad Damiri al-Batawi. Ia disusun berdasarkan metode hisab dan table astronomi yang disusun oleh Turghay Ulughbek al-Samarkandy sekitar Abad XV dengan penggunaan markas Batawi atau Jakarta (Azhari, 2002: 99).
Melihat pentingnya kriteria imkanurrukyah tersebut, pemerintah (Kementrian Agama) telah berusaha menghasilkan kriteria yang akurat dengan musyawarahnya dengan berbagai pihak terkait, namun belum menghasilkan kesepakatan bulat. Hal ini wajar jika dasar kriterianya tidak jelas (hanya berdasarkan adat kebiasaan yang tidak berlandaskan pada penelitian ilmiah). Karena itu, sebagai solusi alternatifnya adalah harus ditentukan kriteria imkanurrukyah yang berdasarkan penelitian yang sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini penelitian Thomas djamaludin dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam memberikan kriteria imkanurrukyah. Berdasarkan penelitiannya, kriteria imkanurrukyah qadhi (pemerintah) masih perlu direvisi, yakni jarak bulan dari matahari semula minimal 3 derajat menjadi 5.6 derajat, kemudian ketinggian hilal minimal tidak lagi selalu 2 derajat, tetapi seharusnya memperhatikan beda azimuth bulan matahari.
Namun demikian, untuk mendapatkan yang akurat dalam formulasi madzhab imkanurrukyat ini, manakala diadakan penelitian setiap tahun secara continu bahkan setiap saat ada perubahan gejala alam. Mengingat secara astronomis umur bulan (sebagai fenomena alam) akan mengalami perubahan. Hal ini dapat dipahami sejalan dengan perubahan alam raya dan posisinya sekalipun sangat halus. Sehingga secara penerapan keilmiahan didapatkan data hisab dapat sesuai dengan praktik rukyah di lapangan dan rukyah pun tepat sasaran sesuai dengan data hisab. Oleh karena itu formulasi yang lebih tepat adalah madzhab imkanurrukyah kontemporer. Dalam artian bahwa kriteria imkanurrukyahnya berdasarkan data yang kontemporer dan penelitian yang kontemporer sehingga menghasilkan data yang akurat.


F.     PENUTUP
Demikian kiranya, antara madzhab hisab dan rukyah, dapat diambil beberapa poin yang menurut penulis penting untuk disikapi, hal tersebut dikarenakan antar keduanya (ahli hisab dan rukyah) mempunyai metode yang berbeda walaupun pada awalnya keduanya banyak dipengaruhi oleh paradigma Saadoe’ddin Djambek. Tetapi antar keduanya mempunyai perberbedaan konsep yang sangat mendasar dalam menentukan awal bulan qomariyyah (khususnya awal ramadhan dan syawal). Bagi madzhab rukyah meskipun sudah memanfaatkan jasa hisab akan tetapi dalam soal awal ramadhan dan syawal masih tetap berpegang pada makna hadis secara harfiah. Bagi madzhab ini, upaya melihat bulan (rukyah) harus tetap dilakukan karena didalamnya ada unsur ibadah.
Sedangkan madzhab hisab lebih mengedepankan teori wujudul hilal dalam penentuan awal bulan qomariyyah (awal Ramadhan dan Syawal). Artinya jika menurut perhitungan (hisab) bulan sudah berada diatas ufuk maka keesokan harinya dianggap tanggal baru dan tidak diperlukan rukyah.
Sebagai upaya solusi terjadinya diferensiasi antara madzhab mulcullah madzhab imkanurrukyah sebagai alternative dan juga tawaran atas terjadinya ta’arudl antar madzhab tersebut. toh tidak ada yang berani menjamin, bahwa tidak akan ada lagi perbedaan dalam penentuan madzhab hisab rukyah telah dicoba dan dilakukan. Namun sekurang-kurangnya, makin masyarakat mengetahui dan memahami perbedaan madzhab tersebut (hisab rukyah dan imkanurrukyah) maka kalau pada kenyataannya terjadi perbedaan, maka perbedaan tersebut disikapi dan aplikasikan dengan nuansa keharmonisan serta persaudaraan.
Pepatah bijak Rosulullah SAW. Ikhtilafu ummati rahmah (perbedaan umatku adalah kasih sayang) atau dalam riwayat lain ikhtilafu aimmah amah (perbedaan para imam adalah kasih sayang) kiranya dapat dijadikan di dalam upaya membangun semangat persaudaraan di dalam perbedaan, bagaikan simfoni dari sebuah alunan music orchestra yang indah dan menyejukkan. Wallahu ‘alam                

***********
DAFTAR PUSTAKA

Azhari, Susiknan, 2002, Pembaharuan Pemikiran Hisab di Indonesia; Studi atas Pemikiran Saadoe’ddin Djambek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Djamaluddin, Thomas, Pengertian dan perbandingan madzhab tentang hisab rukyat dan mathlak (kritik terhadap teori wujudul hilal dan mathlak wilayatul hukmi), Disampaikan padaMusyawarah Nasional Tarjih ke-26, PP Muhammadiyah, Padang 1 5 Oktober 2003
Depag RI, al-Qur’an dan terjemahannya, Toha Putra.
Hambali, Slamet, 2003, Melacak Penentuan Poso dan Riyoyo Kalangan Kraton Yogyakarta, Penelitian Individu.
Hasan, Nur, 2010, Ijtihad Politik NU; Kajian Filosofis Visi Sosial dan Moral Politik NU Dalam Upaya Pemberdayaan Civil Society, Yogyakarta, Manhaj, Kerja sama dengan PMII cabang Jember.
Haq, Abdul, et al, 2005, Formulasi Nalar Fiqh; Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, Surabaya: Kalista
Izzudin, Ahmad, 2003, Fiqih Hisab rukyah di Indonesia; Upaya penyatuan madzhab hisab dan Rukyah, Yogyakarta: Logung Pustaka, Kerjasama Walisongo Press.
Jauhari, Tantawi, 1991, al-Jawhar fi Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Beirut: Dar Ihya’  al-Turaa al-Arabi, vol. V, cet. ke-4.
al-Jaziri, Abd al-Rahman, 2001, Kitab al-Fiqhala al-Madzahib al Arba’ah, Kairo: Muassasah al-Mukhtar, vol. I, cet. Ke-1.   
Kemenag RI, 2010, almanak Hisab Rukyah, Dirjen. BIMAS Islam.
Majlis Tarjih dan Tajdid PP MUhammadiyah, 2009, Pedoman Hisab Muhammadiyah, Yogyakarta: MTTPPM
Majma’  Lughah, t.th,  al-Arabiyah  Republik  Arab  Mesir,    al-Mujam  al-Wajiz  (t.t. t.p).,
al-Qalyubi, Syihab  al-Din, t.th,  Hasyiyatani  al- Qalyubi  wa Umairah, Indonesia: Mathba’ah Karya Insan, vol. II.
al-Razi, Muhammad  Ibn  Abi  Bakr  Ibn  Abd  al-Qadir, 2003,    Mukhtar  al-Sahhah, Kairo: Dar al-Hadis.
Ridha, Rasyid, t.th,  Tafsir al-Manar, Beirut: Dar al-Fikr, vol. XI. cet. ke-2.
Rofiq, Ahmad, 2003, Mungkinkah Hisab dan Rukyah di satukan, dalam Ahmad Izzudin.
al-Subki, Taqiyudin Ali, t.th, Fatawa al-Subki, (Maktabah al- Qudsi), vol. I 
al-Syarwani, Abd al-hamid, t.th,  Hasyiyah al-Syarwani, (t.t: t.p),  vol. III
Sykir, Ahmad Muhammad, 1407 H,  Awa’il al-Syuhur al-Arabiyyah, Hal Yajuzu Syar’an Isbatuha bi al-hisabat al-falakiyyah, Kairo: Maktabah Ibn Taimiyah, cet. ke-2.
Az-Zuhaily, Wahbah, 1997, al-fihu al-islam wa Adilatuhu, Juz III, cet 4, Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’asarah.