Tuesday, May 27, 2014

Apa Kelas Jilbabmu?


Akhir-akhir ini diskursus jilbab terdengar lagi. Di Denpasar, seorang siswa dilarang berjilbab, sedangkan hampir di seluruh Indonesia banyak sekolah mewajibkan berjilbab. Ketika dilarang, banyak Muslim mengatakan itu melanggar Hak Asasi Manusia dan itu memang betul adanya. Tapi juga perlu ditambahkan, mewajibkan berjilbab juga melanggar Hak Asasi Manusia.

Berjilbab atau tidak adalah pilihan individu yang harus dihormati, sebagaimana pilihan individu yang lain misalnya bertanktop atau tidak, berhotpants atau tidak, berkemeja atau tidak. Pelarangan dan pemaksaan adalah sama-sama pelanggaran atas hak individu
Bahkan dalam Islam pun, fardhu 'ain seseorang berjilbab masih menjadi perdebatan. Alqur'an menyinggung jilbab hanya di satu ayat (QS al-Ahzab:59), itupun bukan dalam rangka mewajibkan, tapi demi menjaga kesopanan. Dan tanpa jilbab pun banyak cara untuk menjadi sopan. Sebenarnya dalam hal pakaian wanita yang terpenting adalah bagaimana seorang wanita mampu berpakaian secara terhormat sesuai adat, budaya dan kondisi tertentu. Pada dasarnya jilbab adalah budaya wanita Arab. Sementara, masing-masing daerah mempunyai budaya yang berbeda dan memaksakan budaya lain pada sebuah daerah tertentu tidaklah tepat.
Dapat kita lihat tokoh-tokoh cendikiawan muslim (red: ulama) besar baik di Indonesia seperti halnya (KH. Sahal Mahfudz, KH. Abdurahman Wahid, KH, Qurays Sihab dsb) tidak memberikan penekanan yang ketat terhadap jilbab. Itu semua dibuktikan dengan Istri dan anak-anak beliau yang jarang memakai jilbab secara formal. beliau-beliau lebih memberikan ruang gerak yang bebas, karena jilbab bukanlah kebudayaan Indonesia melainkan Arab.
Dalam QS. al-Ahzab: 59, sebenarnya ‘illat hukum pada ayat ini, atau tujuan dari penguluran jilbab adalah agar wanita-wanita merdeka dapat dikenal dan dibedakan dengan wanita-wanita yang berstatus hamba sahaya dan wanita-wanita yang tidak terhormat, agar tidak terjadi kerancuan menyangkut mereka dan agar masing-masing dikenal, sehingga wanita-wanita merdeka tidak mengalami gangguan dan dengan demikian terpangkas segala kehendak buruk terhadap mereka. Akan tetapi ‘illat hukum itu kini telah tiada, karena masa kini tidak ada lagi hamba-hamba sahaya, dan dengan demikian tidak ada lagi keharusan membedakan antara yang merdeka dengan yang berstatus hamba sahaya. Di samping itu, wanita-wanita mukminah tidak lagi keluar ke tempat terbuka untuk buang air dan tidak juga mereka diganggu oleh lelaki usil. Nah, akibat dari ketiadaan ‘illat hukum itu, maka ketetapan hukum dimaksud menjadi batal dan tidak wajib diterapkan berdasarkan syariat agama.
Dalam pandangan Syahrur—pemikir  liberal asal Syria—batas minimal aurat wanita muslimah adalah “Juyuub”, yakni lubang atau celah dari badan seseorang yang tersembunyi yang memiliki dua lapisan, bukan satu lapisan. “Al-Juyuub” pada wanita memiliki dua lapisan, atau dua lapisan beserta lubangnya, yakni antara dua payudara, di bawah dua payudara, di bawah dua ketiak, kemaluan dan dua pantat. Sedangkan mulut, hidung, mata dan telinga termasuk “Juyuub Zhahirah” yang biasa terlihat karena terletak di bagian wajah yang merupakan identitas seseorang. Menurutnya, perempuan muslimah hanya wajib menutup “Juyuub al-Makhfiyah” yakni perhiasan tersembunyi saja bukan “Juyuub Zhahirah”.
Jadi sebaiknya kita posisikan jilbab ini sebagai sebuah tradisi (budaya) yang tidak ada ukuran kewajiban mengenakannya bagi muslimah yang sudah aqil baligh. Sepertinya itu lebih arif dari pada kita harus menyurakan dengan lantang harus memakai jilbab. Siklus tuding menuding, saling curiga, saling paksa dan saling larang. Biarkan semua perempuan bebas memilih mau berjilbab atau tidak, dan kalau perlu diciptakan kelas jilbab agar jelas tujuan jilbab itu apa.
Berilah merek/kelas dalam menciptakan jilbab, apakah jilbab koruptor, jilbab sopan, jilbab petani (sekedar kerudung agar tidak kepanasan di sawah) , atau jilbab seksi (jilbab tapi kaos dan celana ketat). Jika anda memang mensyariatkan jilbab, sebaiknya membuat batasan-batasan tentang jilbab itu sendiri.,
Jilbab itu hanya sekedar pakaian, lebih mengarah kepada kesalehan sosial, yang lebih penting adalah akhlaq keseharian. Oleh karena itu berjilbab atau tidak itu hak, bukan kewajiban.[]