Akhir-akhir ini diskursus jilbab terdengar
lagi. Di Denpasar, seorang siswa dilarang berjilbab, sedangkan hampir di
seluruh Indonesia banyak sekolah mewajibkan berjilbab. Ketika dilarang, banyak
Muslim mengatakan itu melanggar Hak Asasi Manusia dan itu memang betul adanya.
Tapi juga perlu ditambahkan, mewajibkan berjilbab juga melanggar Hak Asasi
Manusia.
Berjilbab atau tidak adalah pilihan individu
yang harus dihormati, sebagaimana pilihan individu yang lain misalnya
bertanktop atau tidak, berhotpants atau tidak, berkemeja atau tidak. Pelarangan
dan pemaksaan adalah sama-sama pelanggaran atas hak individu
Bahkan dalam Islam pun, fardhu 'ain seseorang
berjilbab masih menjadi perdebatan. Alqur'an menyinggung jilbab hanya di satu
ayat (QS al-Ahzab:59), itupun bukan dalam rangka mewajibkan, tapi
demi menjaga kesopanan. Dan tanpa jilbab pun banyak cara untuk menjadi sopan.
Sebenarnya dalam hal pakaian wanita yang terpenting adalah bagaimana seorang
wanita mampu berpakaian secara terhormat sesuai adat, budaya dan kondisi
tertentu. Pada dasarnya jilbab adalah budaya wanita Arab. Sementara,
masing-masing daerah mempunyai budaya yang berbeda dan memaksakan budaya lain
pada sebuah daerah tertentu tidaklah tepat.
Dapat kita lihat tokoh-tokoh cendikiawan
muslim (red: ulama) besar baik di Indonesia seperti halnya (KH. Sahal Mahfudz,
KH. Abdurahman Wahid, KH, Qurays Sihab dsb) tidak memberikan penekanan yang
ketat terhadap jilbab. Itu semua dibuktikan dengan Istri dan anak-anak beliau
yang jarang memakai jilbab secara formal. beliau-beliau lebih memberikan ruang
gerak yang bebas, karena jilbab bukanlah kebudayaan Indonesia melainkan Arab.
Dalam QS. al-Ahzab: 59, sebenarnya ‘illat hukum pada ayat ini, atau
tujuan dari penguluran jilbab
adalah agar wanita-wanita merdeka dapat dikenal dan dibedakan dengan
wanita-wanita yang berstatus hamba sahaya dan wanita-wanita yang tidak
terhormat, agar tidak terjadi kerancuan menyangkut mereka dan agar
masing-masing dikenal, sehingga wanita-wanita merdeka tidak mengalami gangguan
dan dengan demikian terpangkas segala kehendak buruk terhadap mereka. Akan
tetapi ‘illat hukum itu kini
telah tiada, karena masa kini tidak ada lagi hamba-hamba sahaya, dan dengan
demikian tidak ada lagi keharusan membedakan antara yang merdeka dengan yang
berstatus hamba sahaya. Di samping itu, wanita-wanita mukminah tidak lagi
keluar ke tempat terbuka untuk buang air dan tidak juga mereka diganggu oleh
lelaki usil. Nah, akibat dari ketiadaan ‘illat
hukum itu, maka ketetapan hukum dimaksud menjadi batal dan tidak wajib
diterapkan berdasarkan syariat agama.
Dalam pandangan Syahrur—pemikir liberal asal Syria—batas minimal aurat wanita
muslimah adalah “Juyuub”, yakni
lubang atau celah dari badan seseorang yang tersembunyi yang memiliki dua
lapisan, bukan satu lapisan. “Al-Juyuub”
pada wanita memiliki dua lapisan, atau dua lapisan beserta lubangnya, yakni
antara dua payudara, di bawah dua payudara, di bawah dua ketiak, kemaluan dan
dua pantat. Sedangkan mulut, hidung, mata dan telinga termasuk “Juyuub Zhahirah” yang biasa
terlihat karena terletak di bagian wajah yang merupakan identitas seseorang.
Menurutnya, perempuan muslimah hanya wajib menutup “Juyuub al-Makhfiyah” yakni perhiasan tersembunyi saja
bukan “Juyuub Zhahirah”.
Jadi sebaiknya kita posisikan jilbab ini sebagai sebuah tradisi
(budaya) yang tidak ada ukuran kewajiban mengenakannya bagi muslimah yang sudah
aqil baligh.
Sepertinya itu lebih arif dari pada kita harus menyurakan dengan lantang harus
memakai jilbab. Siklus
tuding menuding, saling curiga, saling paksa dan saling larang. Biarkan semua
perempuan bebas memilih mau berjilbab atau tidak, dan kalau perlu diciptakan
kelas jilbab agar jelas tujuan jilbab itu apa.
Berilah merek/kelas dalam menciptakan jilbab,
apakah jilbab koruptor, jilbab sopan, jilbab petani (sekedar kerudung agar tidak
kepanasan di sawah) , atau jilbab seksi (jilbab tapi kaos dan celana ketat). Jika
anda memang mensyariatkan jilbab, sebaiknya membuat batasan-batasan tentang
jilbab itu sendiri.,
Jilbab itu hanya sekedar pakaian, lebih mengarah kepada kesalehan sosial, yang lebih
penting adalah akhlaq keseharian. Oleh karena itu berjilbab atau tidak itu hak,
bukan kewajiban.[]