PANORAMA PENEGAKKAN NEGARA TUHAN:
NKRI DALAM BAYANG-BAYANG ISLAM FUNDAMENTAL
Abstract
Currently
Indonesia is sandwiched in the middle of two
major currents. The
first flow is the flow of globalization and neo-liberalization of the economy and the globalization
of Islam. This second bore rigid fundamental
Islam is patterned. The group has a considerable
effect on the appearance of some
Muslims in this country who
desire to uphold the legitimacy
of the state of God by using the text of
the Koran (la
hukma ilallah) in a pluralistic society, undermine the authority of Pancasila and the Homeland, as
well as a determinant passionate
theological truth, Now the attitude and view
of the above has been generated
through a certain mass
organizations and even political parties in this country. It means that Indonesia under threat, because it is in the shadow of Islamic fundamentalism
حاليا، وتقع اندونيسيا في وسط اثنين من التيارات الرئيسية. تدفق الأول
هو تدفق العولمة والجدد تحرير الاقتصاد وعولمة الإسلام. هذا التجويف الثاني الإسلام
الأساسية جامدة غير منقوشة. المجموعة لها تأثير كبير على ظهور بعض المسلمين في هذا
البلد الذين يرغبون في الحفاظ على شرعية الدولة من الله باستخدام نص القرآن الكريم
(لا حكم إلا الله) في مجتمع تعددي، تقويض سلطة البانشاسيلا و تم إنشاء وطن، فضلا
عن المحددات عاطفي الحقيقة اللاهوتية، والآن موقف وبالنظر إلى ما سبق من خلال بعض
المنظمات الجماهيرية والأحزاب السياسية حتى في هذا البلد. وهو ما يعني أن
إندونيسيا تحت التهديد، لأنه في ظل الأصولية الإسلامية
Kata Kunci: NKRI, Islam Fundamental, Negara Tuhan, Ambisi
Pendahuluan
Salah satu fenomena paling mengejutkan di akhir abad
ke-20 adalah munculnya apa yang disebut fundamentalisme dalam tradisi keagamaan
dunia. Dalam Islam, ekspresi fundamentalisme ini terkadang cukup mengerikan.
Para fundamentalis menembaki jamaah yang sedang solat di masjid, membunuh para
dokter dan perawat, membunuh presiden dan bahkan mampu menggulingkan
pemerintahan yang kuat (Karen Amstrong, 2004: IX). Kelompok fundamentalis Islam juga
berusaha mengubah wajah NKRI—yang umumnya, santun dan toleran, humanis—agar
seperti wajah mereka yang sombong, garang, kejam, penuh kebencian dan merasa
berhak menguasai. Dengan menggunakan agama (Islam) sebagai topeng mereka
mendirikan negara Islam.
Jika menengok negara-negara yang sudah menerapkan
syariah seperti Arab Saudi, Iran, Sudan, Afghanistan, Pakistan Nigeria dll.
Maka penerapan syariah sebenarnya sama sekali tidak menjanjikan atau sama
dengan ilusi. Puluhan ribu orang mati
di Sudan Selatan karena perang sipil ketika sistem syariah diperkenalkan tahun
1983. Di Pakistan dan Afghanistan hampir setiap saat bom meledak karena
pemahaman yang kaku terhadap syariah. Konflik berdarah di Nigeria utara terjadi
karena kelompok garis keras yang diinspirasi Wahabi ingin memberlakukan
syariah, sementara Nigeria adalah negara plural, seperti Indonesia.
Berangkat dari titik itulah maka pertanyaan
refleksi yang harus dikemukakan segenap bangsa Indonesia adalah apakah dengan
berdirinya Negara Islam dapat menciptakan “kebahagiaan”
yang sebenarnya bagi negara Indonesia jika sudah terbukti gagal di negara lain? Tulisan ini merupakan
suatu deskripsi historis-kritis-analitis tentang gerakan fundamentalisme Islam
yang berhasrat menegakkan negara Tuhan. Artinya deskripsi tulisan ini akan
mengacu pada fakta-fakta yang terdapat di sejarah Islam, dan sejarah dunia. Di
saat merujuk fakta-fakta historis tersebut, tulisan ini menggunakan perspektif
pilihan penulis sebagai angle ulasan,
yaitu historis-kritis-analisis. Sehingga berimplikasi pada subyektivitas
penulis, yang (mungkin) berbeda dengan tulisan lain yang membahas topic serupa
di tempat lain, yaitu historis analitis kritis.
Menelisik Genealogi Fundamentalisme
Banyak pendapat yang mengatakan bahwa
fundamentalisme adalah fenomena baru, namun sebagian sejarahwan Protestan di
Amerika berusaha untuk tidak mengakui bahwa fundamentalisme di Amerika itu
hasil dari abad dua puluhan, yang pada masa itu terdapat perdebatan tentang
teori evolusi dan asal-usul manusia. Maka, Marsden berusaha untuk menarik akar sejarah
fundamentalisme dari mulai munculnya gerakan
suci yang ada sebelum lahirnya istilah fundamentalisme itu sendiri.
Watt menegaskan istilah fundamentalisme pada
dasarnya merupakan suatu istilah Inggris kuno yang ditujukan kepada kalangan
Protestan yang berpandangan bahwa al-Kitab harus diterima dan ditafsirkan
secara rigid dan harfiah (William Montgomery Watt, 1997: 3-4). Untuk itu
Karen Amstrong memandang istilah tersebut memberikan kesan bahwa kaum
fundamentalis pada dasanya konservatif dan dekat dengan masa lampau, meskipun
ide-ide mereka sebenarnya sangat modern dan inovatif (Karen
Amstrong, 2004: XI).
Bagaimana dengan Islam? Adakah Fundamentalisme dalam Islam?
Sebagian pembahas melihat bahwasanya
fundamentalisme adalah inti dari agama-agama Semit (Yahudi, Kristen dan Islam),
maka secara langsung agama-agama inilah yang melahirkan fundamentalisme.
Fundamentalisme merupakan doktrin kekuasaan suci, atau
ideologi kitab dan nash, dan pemikiran Islam mencakup ideologi ini khususnya
dalam interaksinya dengan Al Quran sebagai wahyu Tuhan dan penyempurna bagi
agama-agama yang lain.
Abdul Jabbar berpendapat; gerakan Islam
fundamentalis adalah salah satu fenomena penentangan akan kondisi irrasional
bagi masyarakat sekarang, dan mempunyai watak politik ideologi. Pergerakan
fundamentalisme dalam dunia Arab selalu berusaha untuk mengembalikan
kecenderungan sosial masa lalu dalam bentuknya yang baru, di mana pergerakan
politik lebih dominan dari pada ilmiah (Falih Abdul Jabar, 1992:
80). Dalam lingkup Islam politik dan
pergerakan sendiri di situ ada penolakan dengan penamaan ini, namun kadarnya
berlainan, namun ada juga yang menerima secara tersirat.
Ahmad Syafi’i Ma’arif (2009: 8-9) menyebutkan,
ada tiga teori yang telah membahas fundamentalisme yang muncul di dunia Islam. Pertama, kegagalan umat Islam menghadapi
arus modernitas yang di nilai telah banyak menyudutkan Islam. Kedua, didorong rasa kesetiakawanan
terhadap nasib yang menimpa saudara-saudara mereka di Pakistan, Kashmir,
Afghanistan, dan Irak. Ketiga, khusus untuk Indonesia, maraknya
fundamentalisme di Nusantara lebih disebabkan oleh kegagalan negara mewujudkan
cita-cita kemerdekaan berupa tegaknya keadilan sosial dan terciptanya
kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat.
Jika
istilah ini diterima, menurut Achmad Jainuri (2004: 73),
secara periodik,
fundamentalisme Islam dibedakan menjadi dua tahapan. Pertama, Fundamentalisme tradisional,atau dalam istilah Azyumardi Azra fundamentalisme pra-modern, ini dapat dilihat dari awal sejarah
Islam gerakah Khawarij yang muncul pada masa akhir pemerintahan Ali. Golongan
ini bertindak secara radikal dengan dalil misalnya, la hukma illa lillah yang dielaborasi berdasarkan ayat al-Qur’an
yang berbunyi: wa man la yahkum bima
anzalallah faulaika hum al-kafirun (siapa yang tidak berhukum dengan apa
yang diturunkan Allah, maka mereka adalah kafir). Karena alasan itu Khawarij
tak mau tunduk kepada Ali maupun Mu’awiyah.
Pada periode selanjutnya,
kecenderungan paham seperti ini dapat kita lihat dalam gerakan ahl al-Hadis yang dipelopori oleh Ahmad
bin Hambal yang menentang mu’tazilah, praktik penyimpangan kaum sufi dan Shi’i.
Di samping ada kelompok literalis Mazhab ad-Dzahiri yang di-inisiasi oleh Ibn
Hazm Ad-Dzahiri. Di India pada abad ke 17 Ahmad Sirhindi menentang menentang
kebijakan sultan Akbar, yang dinilai banyak mengadopsi tradisi Hindu. Sama
halnya pada abd ke 18, di semenanjung Arabia Muhammad bin Abdul Wahab juga
menentang penerimaan tradisi lokal, penghormatan (berlebihan) terhadap tokoh
agama dan sufi. Pncaknya pada
tahun 1143 H, Abdul Wahab menyebarkan paham pemurnian tauhid yang berujung pada
“ekstrimisme” beragama (Abu Salafy, 2009: 16-19).
Kedua,
Fundamentalisme modern.
Tidak seperti fundamentalisme tradisional, fundamentalisme modern merupakan
jawaban terhadap tantangan modernisasi. Upaya penting yang dilakukan gerakan
ini adalah merumuskan sebuah alternatif Islam (al-Badil al-Islami)
menghadapi idiologi sekuler modern seperti liberalisme, marxisme dan
nasionalisme. Pada awal abad ke 20 kebanyakan pemimpin gerakan ini, bukan
merupakan alumni lembaga pendidikan terkenal. Seperti halnya Hasan al-Bana
(1906-1949 M) pada April 1928 mendirikan Ihwanul Muslimin (IM), yang menjadi
pengembangan dari Pan-Islamisme Jamaluddin al-Afghani (Imdadun
Rahmat, 2007: 31-32) dan Abul
A’la al-Maududi (1903-1979 M), Sayyed Qutb (1909-1966 M) yang kebanyakan
belajar otodidak. Baru kemudian di akhir abad 20, seperti Nabani, Turabi, lahir
dari jebolan pendidikan tinggi ternama.
Demikian juga fundamentalis dikalangan Shi’i
seperti Ayatullah al-Komaeni (1902-1989 M), tahun 1979
ia berhasil menggulingkan kekuasaan Pahlevi dan menggantikannya dengan system
Islami berfahan Shi’i dengan wilayat
al-Faqih. System ini menurut Tedi Kholiludin, pada mulanya ingin
menggabungkan pemahaman konstitusi Islam (kedaulatan tuhan) dan demokrasi Barat
(kedaulatan rakyat). Kedaulatan Islam dipahami dengan pengakuan ulama’ sebagai
wakil Tuhan (pengganti imam yang hilang dan dinanti) sebagai penguasa pasca
Muhammad, Ali dan semua Imam Shi’i.
Isu penting dari fundamentalis modern adalah berkaitan
dengan kehidupan publik. Persoalan tentang keimanan dan ubudiyah tidak begitu
menonjol apabila dibandingkan dengan peran Islam dalam politik, ekonomi, sosial
dan budaya. Martin E. Martsy and R. Scott Appelby dalam
http://www.moshereiss.org/ memberikan
ciri-ciri kelompok ini sebagai berikut. Pertama,
Menetang modernisme termasuk di dalamnya otonomi individual, hegemoni nalar
dan ideologi kemajuan, termasuk di dalamya paham empirisme, scientism dan
meritokrasi. Kedua, meyakini bahwa kitab suci itu tak bisa dan
tak akan pernah salah termasuk penafsiran mereka sendiri akan teks-teks suci
itu. Hanya penafsiran kelompoknya sajalah yang benar sementara yang lain salah.
Ketiga, hanya meyakini kelompoknya
saja yang benar dan selamat. Dalam kacamata penganut fundamentalisme, hanya ada
dua pilihan, jadi pelayan Tuhan atau pelayan setan. Keempat, cenderung bersikap eksklusif terhadap kelompok lain. Kelima, bersikap reaktif, defensive dan
selektif serta tak segan-segan menggunakan jalan kekerasan untuk merealisir
tujuannya.
Pada umumnya gerakan ini dapat dikaitkan sebagai
gerakan yang mempunyai kecenderungan yang mengajak untuk mengaplikasikan
syari’ah Islam dalam semua aspek kehidupan secara rigid. Ajakan ini termasuk upaya untuk mendirikan negara Islam.
Lebih lanjut Bassam Tibbi menyebutnya sebagai ideologi politik yang didasarkan
pada politisasi agama untuk tujuan-tujuan sosio politik dan ekonomi dalam
rangka menegakkan tatanan Tuhan. Jadi sesuai wataknya fundamentalisme bersifat
absolutis, dan karena kita bergerak ke abad yang akan datang, fundamentalisme
itu tampak sedang menempatkan jejaknya pada politik (Islam) dunia (Bassan
Tibbi, 2000: 23).
Kelompok ini memiliki semangat untuk mendirikan
negara Islam yang berlandaskan syari’ah melalui organisasi-organisasi dan atau
partai-partai politik Islam. Namun akibat framework
kelompok-kelompok fundamentalisme Islam mengalami kegagalan dalam menyediakan blueprint negara Islam yang efektif,
maka gerakan fundamentalisme Islam kemudian berevolusi menjadi
neofundamentalisme Islam, yang lebih dekat, skriptualis, berpandangan
konservatif, menolak negara dan lebih cenderung pada konsepsi komunitas Muslim
universal (ummah), berlandaskan syari’ah
(Islamic Law) (Oliever Roy, 2004: 1). Dengan demikian kelompok fundamentalisme Islam
ialah mereka yang merupakan kelompok ekstrimis Islam yang bertujuan untuk
mewujudkan negara Tuhan, mereka tak segan-segan melakukan kanibalisme agama
demi tercapainya tujuan yang dianggap mereka sebagai titah Tuhan.
Epistemologi Islam
Fundamental
Di mana-mana perlawanan melahirkan perlawanan,
baik dalam bentuk perlawanan terbuka (perang, pemberontakan, aksi politik, dll)
maupun perlawanan terselubung atau silent
protest (Sartono Kartodirjo) atau kontrapunk
(William Wertheim). Dalam melakukan perlawanan, seringkali menggunakan
legitimasi teks (baik teks keagamaan maupun teks cultural) sebagai penopangnya.
Untuk kasus gerakan fundamentalisme Islam yang merebak hampir di seluruh
kawasan Islam (termasuk Indonesia) juga menggunakan teks-teks keislaman
(al-Qur’an hadis dan classical sources—the
yellow thomes)[1]
sebagai basis legitimasi teologis.
Peran kitab suci, dalam hal ini al-Qur’an selalu
disebut sebagai sumber legitimasi/basis keterlibatan politik komunitas
fundamentalis muslim. Lagi-lagi dikarenakan keragaman yang ada di tubuh
fundamen muslim, ayat-ayat yang digunakan beragam. Meminjam istilah Abraham S
Wilar, secara garis besar ada dua jenis ayat yang bertentangan, yaitu: 1.
Ayat-ayat cinta 2. Ayat-ayat (politik) kekerasan.
Pertama,
Ayat-ayat cinta dapat
dilihat misalnya, pada surat 41: 34, berbunyi: tindakan kebaikan dan kejahatan
tidak sejajar. Buatlah kebaikan agar seorang yang melawan dirimu dapat menjadi
kawan inti”. Bahkan dalam berdebat, ada ayat dalam al-Qur’an yang mengarahkan
perdebatan dilakukan dengan jalan kebijaksanaan (QS. 16: 125). Kedua, Di
sisi lain ada ayat-ayat (politik) kekerasan menjadi sumber inspirasi dan
legitimasi. Contoh QS. At-taubah: 36 yang berbunyi: ....ini agama yang benar,
jangan membuat dirimu salah di tengah mereka; tetapi perangi bersama-sama para
politis seperti mereka memerangi kalian; ketahuilah, Allah di posisi orang yang
benar. Contoh lain QS. Al-Baqarah: 190 yang berbunyi; Bunuh dia di mana kau
temukan mereka. Ayat-ayat inilah yang menjadi rool model bagi kelompok fundamentalis muslim.
Ketika Osama bin Laden saat diwawancarai john
Miller—koresponden WNCB-TV, New York—tentang keberaniaannya menentang salibis
dan Zionis (sebutan Osama untuk AS dan Yahudi), selain menyinggung isu
Palestina dan dominasi AS di kawasan teluk, ia juga dengan tegas menjawab, “kami meyakini benar bahwa kami dapat menang melawan Amerika dan
kaum yahudi sebagaimana dijanjikan oleh Rasulullah bahwa hari kiamat itu akan datang sampai kaum muslim memerangi kaum yahudi,
saat mereka bersembunyi di belakang pohon-pohon dan bebatuan, dan pohon ini
berbicara, ‘wahai muslim di belakang saya ada yahudi. Kemari dan bunuh dia”. Juga
sebuah ayat al-Qur’an: “dan perangilah di jalan-jalan Allah orang-orang yang
memerangi kamu (tetapi) jangan kamu melampoui batas karena sesungungguhnya
allah tidak menyukai orang-orang yang melampoui batas. Dan bunuhlah di mana
saja kamu jumpai dan usirlah dari tempat mereka telah mengusir kam...” (Qs. 2:
190-191).
Demikian pandangan Osama terhadap kelompok non-muslim disertai untuk
“menegakkan negara Tuhan” sebagai [symbol] identitas keislaman baik secara
politik, ekonomi maupun kebudayaan. Lebih jauh lagi, Sumanto al-Qurtuby (2009: 50)—Penulis
buku laris yang menggetarkan, Arus Cina-Islam-Jawa & buku Lubang hitam
Agama—menyatakan gerakan ini tidak hanya menjadikan agama sebagai penyaring
dari tradisi dan cultur local yang tidak sesuai dengan “Garis-garis Besar
haluan Islam”. Di tolak karena bid’ah
(tidak sesuai dengan nabi) dan bertyentangan dengan al-Qur’an dan hadis. Jika
lokalitas saja di tolak apalagi kebudayaan Barat?.
Bagi muslim progresif ayat-ayat politik kekerasan
di atas, tak langsung ditelan mentah-mentah. Pasti akan dilihat sesuai
konteksnya atau asbab al-nuzul
setelah itu akan dilihat dalam kerangkan lebih besar yaitu kemuliaan tujuan
Islam, sehingga ayat-ayat itu tidak dilihat sebagai penggalian aktif, tetapi
bagian dari syarat-syarat yang dipenuhi terlebih dahulu sebelum ayat-ayat itu
dilihat sebagai panggilan aktif. Di pihak lain, di tengah komunitas muslim
penganut “politik agresi-pembela Tuhan”
ayat-ayat (politik) kekerasan itu dipandang sebagai suatu yang sudah qaht’iy, absolut karena itu tinggal
menjalankan.
Dengan mengambil contoh di atas, tulisan ini ingin
menunjukkan bahwa ada aspek epistemologi keislaman yang dimiliki fundamentalis
muslim untuk menegakkan negara Tuhan. Syafi’i Anwar menyebutnya sebagai gerakan
Salafi radikal. kelompok fundamen Islam radikal melakukan ideologisasi krisis
struktural dan krisis kultural, dan mempertemukan dengan syariah (al-Qur’an)
dan pertemuan itu menghasilkan aksi-aksi radikal.oleh karena itu, gerakan
fundamentalisme Islam umumnya menganggap demokrasi sebagai sistem kufr dan
kafir, karena tidak sesuai dengan al-Quran Hadis yang mereka pahami.
Kelompok ini tak segan segan-segan melakukan
kekerasan bahkan di level tertentu ia bisa membunuh manusia, bila perlu. Bagi
kelompok ini, untuk mencapai suatu tujuan adalah menjatuhkan secara paksa suatu
negara yang dianggap tidak sesuai dengan syariat Islam, kemudian mendirikan
negara Islam, kelompok ini menggunakan konsep takfir. Yakni mengkafirkan semua orang Islam di luar kelompok
mereka dan menghalalkan darah dan benda mereka. Berdasarkan ajaran-ajaran
tersebut, kelompok ini juga dikenal dengan nama Khawarij al-Judud (neo-Khawarij) (Ramadhan, 1993: 152).
Jihad (Semu) Menegakkan
Negara Islam Indonesia
Agama, selain sumber makna bagi etos sebuah
masyarakat, juga berpotensi sebagai sumber konflik. Agama menanamkan kepada
manusia apa yang disebut oleh mendian Clifford Greertz sebagai ”vitalitas
moral” dan vitalitas moral ini lahir oleh karena komitmen yang total tentang
apa yang diyakini sebagai ”hakikat realitas yang fundamental”. Keyakinan akan
adanya ” hakikat realitas yang
fundamental” inilah yang menjadi ”sumber makna” bagi umat beragama. Di
satu sisi. Akan tetapi, dapat juga menjadi inspirator lahirnya sebuah tindak
kekerasan atas nama Tuhan dan konflik sosial masyarakat, yang disebabkan
sempitnya pemahaman agama sehingga—lebih spesifik—terjadi eksklusifisme,
fanatisme, keunggulan doktrin, truct
claim dan semangat ”nasionalisme religius” (Sumanto al-Qurtuby, 2009: 26).
Sebagaimana di sebutkan di atas.
Jauh dari itu dalam
bentuk gerakan, Islam fundamental menegasikan batasan-batasan ruang dan negara
dengan mengakomodir seluruh umat muslim dunia di bawah panji Khilafah Islamiyah. Kelompok Islam fundamental
berjuang menegakkan Negara Islam di seluruh kawasan dunia. Cara-cara yang di
tempuh untuk menegakkan itu, kemudian ditafsirkan sebagai jihad[2]
dengan berbagai saluran yang ada, dari politik, pendidikan, ekonomi, dan di
antaranya dengan kekerasan. Sementara itu menurut Agus Maftuh setidaknya ada
tiga poros kekuatan teologi-politik yang menumbuh suburkan gerakan ini,. Pertama, gerakan fundamentalisme
pra-modern oleh Muhammad bin Ibn abdul Wahab yang belakangan di sebut kelopok
Wahabi. Kedua, fundamentalisme
kontemporer, yang banyak mengadopsi pola gerak Ikhwan al-Muslimin di Mesir. Ketiga,
model neo-fundamentalisme Islam revolusi Iran. Model ini memunculkan
Jema’ah Islamiyah (JI). Dalam Indonesia
Background: How The Jamaah Islamiyah Terrorist Network Operates, ICG
(Interational Crisis Group) Asia Report, No. 43, 11 Desember (2002: 32), JI
baru berdiri di Malaysia sekitar tahun 1990-an oleh Abdullah Sungkar
bersama-sama dengan veteran perang Afghanistan yang terlibat dengan Al Qaeda, namun menurut sebagian
pengamat, akar kumpulan JI telah bermula sejak tahun 1970-an.
Dalam analisis Abdurahman
Wahid (2000: 138), gerakan fundamentalis tersebut muncul sebagai
kelanjutan dari pan-Islamisme yang dipelopori oleh Jamaludin al-Afghani dan
Muhammad Abduh, pada abad ke-19 M. Pengaruh al-Afghani sangat kuat, utamanya di
Iran. Suksesnya Imam Khomaeni dalam menumbangkan “ikon sekuler” rezim Pahlevi dalam sebuah “Revolusi Islam Iran” tahun 1979 menjadi titik awal bangkitnya
gerakan keagamaan yang menusung symbol-simbol, ideology dan identitaskeislaman.
Nilai-nilai konservatisme Shi’ah ini dilestarikan oleh para rezim politik pasca
Khomaeni.
Kesuksesan Khomaeni ini disusul oleh gemilangnya pasukan mujahidin
di bawah komando Abdullah Azam (pendiri Hammas) dan para “landlord” Afghan seperti Ahmad Sjah Massoud, Gulbuddin, Hekmatyar,
Abdul Rasul Sayyaf, dll. Mereka mampu memukul mundur “tentara merah” Uni Soviet
dari Afghanistan dan Pakistan pada akhir tshun 1980-an. Kekalahan telak Uni
Sofyet menyebabkan bercokolnya kaum Islamis impor dari Arab di negara-negara
yang mendapat sebutan “jalan raya penaklukan” itu. Sejak itulah Osama bin Laden
mulai menanamkan otoritasnya dengan menjadikan Taliban dan mullah Omar sebagai
“pion”-nya. Kemenangan tentara Mujahiddin ini memberi inspirasi munculnya sayap
“Islam garis keras” yang membentang dari Mesir sampai Philipina Selatan, dari
Saudi Arabia sampai Indonesia (Sumanto al-Qurtuby, 2009: 90-91).
Bagaimana di indonesia? Setidak dapat kita
telusuri mulai abad ke-17 sampai abad ke-18. Prof. Azumardi Azra dalam Jaringan Ulama’ Timur
tengah dan Kepulauan Nusantara, Abad XVII-VIII, Akar Pembaharuan Islam
Indonesia, pada abad
tersebut hubungan komunikasi Nusantara dengan Timur tengah begitu harmonis.
Banyak ulama Nusantara yang berpengaruh di Makah atau Madinah. Diantara mereka
adalah al-Palimbani, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Nurudin ar-Raniri,
Abdur Rauf al-sinkili, Muhammad Yusuf Tajul Khalwati al-Maqasari, Ahmad Rifa’i
Kalisalak, Imam Nawawi Bin Umar al-Bantani, KH. Kholil Bangkalan dan
sebagainya. Bahkan kedu perdiri Ormas Islam terbesar di Nusantara yakni KH.
Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul Ulama, NU) dan KH Ahmad Dahlan (pendiri
muhammadiyah) juga pernah belajar, berdialog berbagi pengetahuan di Saudi
Arabia.
Kemudian setelah kepulangannya kedua ulama (Hasyim
Asyari dan Ahmad Dahlan) tersebut membawa perubahan sosial (social change) yang luar biasa di
Indonesia. Meskipun kedua organisasi yang digagas keduanya jelas berbeda, namun
keduanya tetap toleran dan saling menghorrmati, mengakui perbedaan sebagai
keragaman dan kekayaan tradisi intelektual.
Hal ini kontras dengan gerakan Padri yang digagas
oleh Haji Miskin, Haji Abdurahman dan Haji Muhammad Arif yang telah menunaikan
ibadah haji ketika Wahabi menguasai kedua kota suci pada awal abad kesembilan
belas. Virus Wahabi yang menjangkiti ketiga haji tersebut terbawa ke Sumatera
Barat dan telah memicu tragedi yang amat sadis, perang saudara dan sesama
muslim yang sangat tragis dalam sejarah Islam Nusantara. Konstruksi ini adalah
warisan yang sifatnya genetis, yang menitis kepada para pegiat negara Tuhan,
seperti IM, DI/TII, HTI, FPI dll. Mereka ini adalah sesungguhnya antek-antek
Wahabi.
Ketika negara Indonesia hendak dirumuskan diantara
mereka ada yang menyerukan negara Indonesia berasakan Islam. Hal tersebut dapat
dilihat ketika, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
yang terdiri dari 62 tokoh itu, sempat terpecah dalam dua kubu; 45 suara
menghendaki bentuk negara persatuan berasaskan kebangsaan, sementara sisanya 15
suara menginginkan Islam sebagai dasar negara (Bernard
J Boland, 1971, Ahmad Syafi’I Ma’arif, 1987, Endang Anshori, 1981). Di antara tokoh yang berada pada garis
terdepan adalah; Soekarno, M. Hatta, KH.
Wachid Hasyim, Mohammad Yamin, Achmad soebardjo, Abikoesno Tjokrosoejoso, Haji
Agus salim, Abdul Kahar Muzakkir, dan Alexander Andreas Maramis. Namun, pada
perkembangannya, muncullah piagam Jakarta (Jakarta
Charter). Piagam inilah yang memang disiapkan untuk menjadi preambule UUD
hasil rapat Panitia sembilan yang ditandatangani di Jakarta pada 22 juni 1945[3].
Setelah Indonesia mendapatkan kedaulatan dan
pengakuan dari Kerajaan Belanda, pada tahun 1949 lewat perjanjian di meja
bundar di Den Haag. Kemudian pada 1950 Indonesia kembali menjadi negara
kesatuan, dengan UUDS 1950 sebagai konstitusinya. Kemudian pada tahun 1955
Indonesia menggelar pemilihan umum yang pertama. Tercatat beberapa partai
(Islam) tampil seperti; Masyumi (20,92%), NU (18,41%) Pergerakan Tarbiayah
Islamiyah atau Perti (1,28%). Jika dihitung partai
Islam mendapatkan 230 kursi di Parlemen atau sebagai penyokong suara terbanyak,
sementara kalangan nasionalis yang terdiri dari partai-partai (nasionalis,
sosialis dan komunis dan non-Islam) memperoleh 286 kursi (Syarifuddin Jurdi,
2008: 243-244).
Partai Masyumi saat di pimpim M. Natsir menyatakan
diri menggunakan ideologi Ikhwanul Muslimin sebagai dasar partainya. Partai ini
dengan kekuatan 112 dari total 514 kursi, amat getol memperjuangkan
pemberlakuan piagam Jakarta, sebagai dasar negara dalam sidang konstituante.
Mekipun pada tahun 1959 mereka gagal. Seiring dengan dekrit presiden, yakni
kembali pada UUD 1945. Klimaksnya terjadi pada tahun 1960, Masyumi dilarang dan
dibubarkan Soekarno, lantaran diindikasikan terlibat pemberontakan
PRRI/Permesta.
Tak patah arang, para petinggi partai masyumi
kemudian banting setir ke jalan
dakwah dengan mendirikan DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia) pada 1967. Gerakan
ini muncul dengan wajah yang lebih ”sangar” yakni menggelorakan pemberontakan
kepada Negara. DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang di pimpin
Kartosoewiryo memberontak diberbagai daerah dan mengajukan dua tuntutan utama:
RI dirubah menjadi Negara Islam Indonesia (NII) dan Soekarno tidak sah menjadi
presiden. Berikut adalah Proklamasi NII:
PROKLAMASI Berdirinja NEGARA ISLAM INDONESIA
Bismillahirrahmanirrahim
Asjhadoe anla ilaha ilaha illallah wa asjhadoe anna moehammadar rosoeloellah
kami, Oemat Islam Bangsa Indonesia Menjataken: berdinya ”Negara Islam
Indonesia”.
Maka hoekoem jang berlakoe
atas Negara Islam itoe, ialah: HOEKOEM ISLAM Allahoe Akbar! Atas nama Oemat
Islam bangsa Indonesia Imam Negara Indonesia Ttd (SM Kartosoewirjo)
Madinah-Indonesia, 12 Sjawal 1368/ 7 Agoestoes 1949.[4]
Semua ini merupakan reaksi politik yang lebih
didasarkan pada kepentingan jangka panjang. Menjelang dan setelah Orde Baru
Tumbang, Indonesia menyaksikan begitu banyak kelompok-kelompok garis keras
lokal yang tumbuh. Beberapa di antara kelompok ini antara lain Fron Pembela
Islam (FPI), Forum Umat Islam (FUI), Laskar Jihad, Jama’ah Islamiyah (JI),
Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), PKS, Komite Persiapan Penerapan Syari’ah
Islam (KPPSI) di beberapa daerah dan lain-lain. Dalam momen inilah, Ikhwanul
Muslimin (yaitu PKS) dan Hizbut Tahrir menampakkan diri secara terbuka di
Indonesia. Hingga saat ini, gerakan kelompok-kelompok garis keras sudah menyebar
seperti kanker ke seluruh tubuh bangsa, mereka menyusup dari istana negara
hingga ke pegunungan (Abdurahman Wahid, 2009: 96-97). Hal tersebut menunjukkan
bahwa gerakan ini sangat sistematis, terencana. Ini ancaman serius dan menjadi
permasalahan seluruh masyarakat Indonesia, untuk menjihad demi utuhnya
NKRI.
Pada era selanjutnya terjadi penyusupan ke tubuh
pemerintahan, dan ini jauh lebih berbahaya, karena penyusupan tersebut bukan
isapan jempol belaka. Sehubungan dengan ini mantan Panglima TNI mengemukakan “Dulu, ancaman garis keras terhadap NKRI dan Pancasila ada di luar
pemerintahan, seperti DI/NII. Tapi sekarang, garis keras sudah masuk ke dalam
pemerintahan, termasuk perlemen dan menjadi jauh lebih berbahaya dari
sebelumnya (Abdurahman Wahid,
2009: 213-214). Gerakan fundamentalisme Islam terlihat
begitu subur. Meleburkan kedalam partai (PKS) membuat gerakan ini secara
politis mendapat dukungan dari sipil. Sehingga pada gilirannya mereka yang
duduk di Parlemen dapat dengan mudah membuat aturan yang ia sangka sebagai
hukum “Tuhan”.
Ada tiga perjuangan Islam Fundamental dalam usaha menegakkan negara
Islam. Pertama, membangun partai (hizb). Pada tahap ini para agen
melakukan rekrutmen anggota baru, mereka membinanya dalam kurun waktu yang bisa
berlangsung selama enam bulan hingga tiga tahun. Tahap ini dapat dikatakan
sebagai proses cuci otak dan pembentukan pribadi Islami a la Fundamentalis Islam, biasanya dilakukan dalam halaqah-halaqah.
Kedua, berinteraksi dengan masyarakat. Dalam tahap ini anggota yang telah
lulus dari tahap pertama membentuk sel-sel baru dan mulai aktif mengaitkan
kasus-kasus local dengan masalah-masalah global dan membakar massa untuk
membangun ketegangan social antara rakyat dan pemerintah, untuk kemudian mulai
menawarkan jalan Islam sebagai alternative ketegangan yang telah dibangunnya.
Target mereka adalah untuk menyusup ke dalam pemerintah dan militer, agar kelak
dapat melapangkan langkah mereka dalam merebut kekuasaan. Agen ini sudah aktif
di lebih dari 40 negara, termasuk Indonesia di mana mereka mengumpulkan lebih
dari 80 ribu orang di Gelora Bung Karno untuk menyerukan pendirian Negara Islam
dan melenyapkan Pancasila dan NKRI.
Ketiga, merebut kekuasaan. Tahap terakhir ini akan dilancarkan setelah
mereka yakin akan menang dan berhasil merebut kekuasaan, yang antara lain akan
ditandai dengan tingkat keberhasilan mereka menyusup ke dalam pemerintah dan
militer. Setelah berkuasa, mereka siap memaksakan penafsiran tentang Islam a la kelompok ini dalam semua bidang
kehidupan umat manusia (Abdurahman
Wahid, 2009: 86-87). Menurut
doktrin ini, kedaulatan merupakan milik mutlak Allah. Perwujudan doktrin ini
adalah dengan mendirikan negara Islam dalam mana syariat Islam diterapkan. Bagi
pihak yang menolak doktrin ini, dinyatakan kafir kendati memeluk agama Islam
(Solahuddin, 2011: 7-8).
Tentu, jika semua itu terjadi akan sangat berbahaya bagi keutuhan
NKRI yang berimplikasi pada. Pertama,
berubahnya ideology pancasila menjadi ideology Islam “semu” yang ditandai
dengan runtuhnya NKRI. Kedua, Pudarnya
pluralitas budaya dan pluralitas agama yang selama tumbuh berdampingan dengan
angin perdamaian membawa semangat “Kebhinnekaan”. Ketiga, buntut dari semua itu adalah perang budaya, dan
kepercayaan. Dari implikasi di atas tak pelak lagi bahwa sebenarnya apa yang
diperjuangkan kelompok fundamentalisme Islam untuk mendirikan negara Islam
adalah semarata-mata adalah penjajahan dengan menggunakan politik devide et impera yang dilakukan oleh
Amerika dan sekutunya. Mereka juga tak tanggung-tanggung memberikan dukungan
“arus dana”.
Terang bahwa, keinginan mendirikan negara Islam Indonesia merupakan
bukti nyata persekutuan jahat untuk meruntuhkan NKRI yang di danai oleh
negara-negara donor seperti Saudi Arabia dan Amerika Serikat. Dalam artian
bahwa apa yang diperjuangkan HTI, Ikhwanul Muslimin, JI dkk. Merupakan pesanan
dari negara-negara donor yang dimotori oleh Saudi dan Amerika. Dalam rangka
menguasai lini kebijakan pemerintahan NKRI. Untuk selanjutnya dijadikan negara
jajahan secara sistemik dan dieksploitasi segala kekayaan Indonesia.
Jadi, yang mereka perjuangkan sebenarnya bukan syariah Islam seperti
yang dipahami oleh mayoritas umat Islam Indonesia, melainkan syariat Islam
versi Wahabi-Ikhwanul Muslimin. Itu sebabnya, kampanye gerakan syariat oleh
kelompok-kelompok garis keras selalu menimbulkan masalah dan keributan di
mana-mana di kalangan umat Islam sendiri. Hal ini berbeda dengan dakwah Islam
yang lazim disampaikan para ulama’ yang menyampaikan pesan Islam yang esensial
dan universal, yang memberi kesejukan bukan keributan (Abdurahman Wahid, 2009: 133). Prinsip “Bhinneka Tunggal Ika” Mpu Tantular misalnya, telah
mengilhami para penguasa Nusantara dari jaman Hindu-Budha hingga dewasa ini;
dan sunan Kalijogo—yang terkenal akomodatif terhadap tradisi local—mendidik
para penguasa pribumi tentang Islam yang damai, toleran dan spiritual. Melalui
para muridnya, antara lain Sultan Adiwijoyo, juru Martini dan Senopati ing
Alogo, Sunan Kalijogo berhasil menyelamatkan dan melestarikan nilai-nilai luhur
tersebut yang manfaatnya masih bisa kita nikmati hingga dewasa ini (Abdurahman
Wahid, 2009: 14-15).
Ada beberapa alasan mengapa mereka menuntut
penerapan syariah secara legal-formal. Diantara alasan itu adalah Islam agama
sempurna yang meliputi semua cara hidup secara total. Maka Islam harus
dijadikan sebagai satu-satunya referensi dalam memecahkan berbagai permasalahan
bangsa. Lalu lahirlah selogan semacam: “selamatkan
Indonesia dengan syariah” (HTI), atau “Penegakan syariah melalui institusi
negara merupakan satu-satunya jalan keluar untuk mengatasi kemelut bangsa”
(MMI) atau “krisis multidimensi akan berakhir dengan diberkakukannya syariah
Islam” (FPI) atau “Islam adalah solusi” (PKS) yang menjadi obsesi kelompok
garis keras.
Kemudian apa? slogan itu dimanfaatkan oleh orang-orang cerdik untuk
memaklumatkan diri sebagai pemimpin massa. Sungguh, mereka hanya sedang
mengincar kekuasaan, bukan kedamaian akhirat, singgasana dunia, bukan surga,
dan pada dasarnya tujuan mereka adalah dunia, bukan agama. Mereka sengaja
memelintir kalam Allah dengan tujuan tertentu di hatinya, dan menjadikan hadis
Rasulullah sebagai alat untuk melegitimasi kehendak hati mereka (Farag Fauda,
2003: 8-9).
Di sini kita bisa melihat bahwa tujuan para
aktivis KAMMI, HTI dan Jamaah tarbiyah sebenarnya sama, yakni menegakkan negara
Islam di Indonesia, hanya metodenya saja yang berbeda. HTI ingin menegakkan Khilafah secara langsung tanpa mengakui
pemerintahan yang ada, dengan jalur kekuasaan pragmatis. Syariffudin Juhri
(2008: 402) mencatat, ketika Abdurahman
wahid menjabat sebagai Presiden RI ke-4
melaporkan NKRI mendapat tantangan untuk menyelesaikan gerakan sparatisme
yang bergerak di Aceh dan Irian Jaya. Kedua wilayah ini kata Gus Dur, harus
diakui sudah melakukan kampanye anti NKRI yang cukup intensif. Sementara
aktivis Jamaah tarbiyah dengan cara perlahan-lahan dan bertahap, melalui jalur
politik, cultural. Sedangkan KAMMI dengan jalur politik di kampus maupun di
parlemen sebagai sayap politik PKS (Abdurahman Wahid, 2009: 163-164). Karena
itu tidak keliru untuk mengatakan bahwa penegakan negara Islam sudah menjadi
agenda bersama yang membayangi Indonesia.
Perkembangan paling mutakhir di bidang politik
pada 9 Juli 2014, yakni Ketika Pemilihan Presiden, perlu dibaca sebagai bagian
dari rangkaian tahapan-tahapan krusial yang dialami oleh Indonesia selepas dari
rezim Orde Baru. Tahapan paling mutakhir ini merupakan suatu kristalisasi dari
suatu perkembangan yang sempat menimbulkan harapan yang bahkan berlebihan
karena meledaknya euforia di berbagai wilayah, tetapi juga kecemasan sebagai
dampak ganda terbukanya ruang kebebasan setelah dalam tiga dekade lebih dikebiri
oleh rezim Orde Baru. Manifestasi kebebasan terlihat secara jelas dalam ruang
politik yang berkelindan dengan keterbukaan dalam dunia pers. Di bidang
politik, partai politik tumbuh subur seperti cendawan kala musim hujan.
Pembacaan ini seakan mendapatkan pembenaran
karena perbedaan aspirasi antar-elemen masyarakat sipil diikuti dengan
pembelahan dan konflik horizontal, namun kurang bisa diantisipasi oleh
perangkat keamanan yang dimiliki oleh negara sehingga pembelahan dan konflik
mengalami eskalasi. Ruang semacam inilah yang memberi peluang terjadinya aksi
teror yang dirancang oleh kelompok (fundamentalis) keagamaan garis keras.
Kebebasan dalam politik itulah yang memberikan peluang besar kepada kelompok
fundamentalis Islam untuk masuk dalam politik praktis, yang sementara ini
berafiliasi ke dalam Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Meskipun begitu rasanya tak semudah membalikkan telapak tangan untuk
mendirikan negara Islam di Indonesia. Gagasan pendirian negara Islam oleh
kelompok-kelompok Islam garis keras, tidak akan pernah terwujud di Bumi
Indonesia. Pasalnya, akan berhadapan dengan dengan berbagai kesulitan mendasar.
Mengingat negara kita dibangun atas nilai-nilai luhur budaya bangsa yang
berurat berakar sejak dahulu kala.
Kesulitan tersebut, menurut
Abu Hapsin—ketua Tanfidiyah NU Jateng—yang disampaikan dalam seminar “Pilar NU
Dalam Meneguhkan Visi Kebangsaan NKRI” (WWW.NU.or.id)
menurutnya ada tiga alas an kenapa negara
Islam sulit berdiri di Indonesia;
pertama, konsep pendirian negara Islam itu didasarkan atas paradigma
teokrasi yang hanya bekerja dengan baik manakala masyarakat homogen dari sisi
pemahaman keagamaan. Sedangkan negara kita terdiri atas beraneka ragam suku
bangsa dan agama. Kedua, konsep
negara Islam hanya mungkin terwujud jika kehidupan politik Islam mengambil
bentuk imperium. Hal ini seperti terjadi pada masa Nabi dan para khalifah
setelahnya. Kesulitan ketiga, melihat
persebaran umat Islam di berbagai negara yang mayoritas non muslim. Muslim yang
minoritas juga tidak ingin kehilangan hak-haknya sebagai warga negara.
Karenanya tuntutan mereka tidak lain kecuali pelaksanaan demokrasi. Ditambah
lagi meningkatnya gerakan HAM dan kebebasan beragama. Maka tidak ada lain
kecuali memberikan legimitasi pluralisme kegamaan.
Kritik Khilafah
Islamiyyah
Usaha-usaha menjadikan Islam sebagai ideology dan mewujudkan negara
Tuhan di atas, menurut Gus Mus (KH. Mustofa Bisri) di sebabkan adanya semangat
yang berlebihan nemun tidak didukung oleh pengetahuan yang memadai. Akibatnya
semangat yang berlebihan tersebut dapat mendorong seseorang untuk memutlakkan
pengetahuan yang dicapai sekalipun bersifat parsial dan lebih parahnya lagi
pengetahuan yang berbeda dipandang sebagai salah dan harus ditolak. Gus Mus
menganalogkan pengetahuan parsial ini dengan hikayat “Maraba Gajah dalam gelap”
lima orang yang berselisih tentang gajah semata, karena mereka masing-masing
merabanya dalam gelap, dalam keterbatasan jangkauan pengetahuan dan dalam
ketiadaan cahaya (hidayah) (Mustofa
Bisri, 2009: 134). Masing-masing dari mereka bersikeras dan memaksa orang lain
mengakui bahwa gajah seperti pohon, atau ayunan, atau tembok atau pecut atau
kipas.
Lebih lanjut Qasim Amin (1863-1908), tidak hanya mengecam despotism
penguasa dan masyarakat, murid utama Muhammad Abduh ini lebih jauh melangkah.
Ia menganggap syari’at Islam sebagai kendala kemajuan. Lantas ia menyerukan
pembebasan dari “penjara” syari’at Islam (Qasim Amin, 1992). Karena ia
memisahkan Islam dari praktik kekuasaan atas nama Islam, maka praktik khilafah
dalam sejarah dapat dikritik, dicela, dan dibahas dengan menggunakan tolok ukur
ilmu politik, demokrasi, dan hak asasi manusia.
Ali Abdur-Razik dalam bukunya, al-Islam
wa Ushul al-Hukm (Islam dan Dasar-dasar Pemerintahan), ia sangat sepakat
bahwa Islam Khilafah tidak ada dasarnya dalam al-Qur’an, Hadis, maupun Ijma’
ulama. Islam tidak memberikan aturan yang pasti tentang system pengelolaan
negara. Baginya nabi Muhammad hanyalah seorang nabi, buklan penguasa. Beliau
Cuma ditugaskan agama dan akhlak bukan politik dan tata negara. Karena itu
agama tidak mesti dibawa-bawa dalam urusan kenegaraan. Urusan politik, pola
pemerintahan, administrasi negara dan lain-lain, tidak ada sangkut pautnya dan
oleh karena itu tidak perlu dikaitkan dengan agama. Sebagaimana Qasim amin, ia
juga menuding system khilafah bertanggung jawab atas ketertinggalan umat Islam
(Nadav Safran, 1961: 142).
Kritik khilafah
Islamiyah juga datang dari Farag Fouda ia lebih mendukung pemisahan politik
dari agama, antara negara dan Islam. Menurutnya, pemisahan ini perlu dilakukan
demi kebaikan agama dan negara: Agama terhindar dari manipulasi politisi, dan
pemerintahan terlaksana tanpa beban partikularisme keagamaan. Selaras dengan
ini, Fouda menentang penerapan syariat karena menurutnya penerapan syariat
hanya akan mengarah ke negara keagamaan (daulah diniyyah) (Samsu Rizal, 2011:
xx-xxi). Ia menentang segala bentuk kerahiban dan kekudusan dalam dunia politik
karena kehidupan politik didasarkan atas kepentingan dan keharusan sosial. Ia
juga mengecam prioritas beragama yang menekankan hal yang remeh-temeh seperti
jenggot, pakaian model Pakistan, menggunakan siwak, tatacara masuk kamar kecil,
mencari tahu di mana Dajjal akan muncul. Pada saat yang sama, hal-hal yang
lebih esensial dan mendalam tidak dipikirkan tantangan abad ke-21, menuntut
ilmu pengetahuan, menegakkan keadilan, dan menyelesaikan berbagai masalah
sosial dan ekonomi dengan menggunakan ijtihad.
Penutup
Menjamurnya Fundamentalisme Islam dan tekatnya yang
kuat menganggap final pendirian
negara Tuhan di Indonesia membuat kelompok ini mempunyai spirit yang membara, seolah api yang membakar kilang minyak tak
pernah padam walau oleh air hujan deras. Legitimasi teks al-Qur’an yang
dijadikan ideologi khilafah yang
menjelma menjadi radikalisme Islam. Meskipun sebenarnya gerakan ini adalah
pengulangan belaka dari sebuah ideologi besar yang pernah lahir di
tengah-tengah umat Islam yaitu Khawarij. Kelompok Khawarij kemudian mentransformasikan
diri menjadi Islam fundamental (neo-khawarij) kelompok ”ultra-ekstrem” melakukan
penolakan semua ideologi. Siap melakukan berbagai tindakan kekerasan atas nama
Tuhan (la hukma Ilallah). Dalam batas-batas tertentu selogan semacam: “selamatkan
Indonesia dengan syariah” (HTI), atau “Penegakan syariah melalui institusi
negara merupakan satu-satunya jalan keluar untuk mengatasi kemelut bangsa”
(MMI) atau “krisis multidimensi akan berakhir dengan diberkakukannya syariah
Islam” (FPI) atau “Islam adalah solusi” (PKS) dihembuskan dan menjadi obsesi
kelompok fundamentalis Islam di Indonesia. Selogan-selogan semacam itulah yang patut di waspadai
bagi segenap warga masyarakat bangsa Indonesia kalau tidak ingin runtuhnya NKRI.
[*]
DAFTAR PUSTAKA
Amstrong,
Karen, 2004, Berperang Demi Tuhan;
Fundamentalisme dalm Islam, Kristen dan yahudi, Bandung: Mizan. Cet VI.
Anshori,
Endang, 1981, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar
Negara RI (1945-1959), Bandung: Pustaka.,
Azra,
Azyumardi, 1996, Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentalisme, Modernisme
Hingga Past Modernisme, Jakarta: Paramadina.,
_________,
2013, Jaringan Ulama’ Timur tengah dan
Kepulauan Nusantara, Abad XVII-VIII, Akar Pembaharuan Islam Indonesia, Jakarta:
Prenada.,
Boland,
Bernard J, 1971, The Struggle of Islam in
Modern Indonesia, Den Haag: Martinus Nujhoff.,
Fauda,
Farag, 2012, Kebenaran yang Hilang, Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan
dalam Sejarah Kaum Muslimin, Jakarta:
Demokrasi Project.,
Feillard, Andree, 1999, NU vis a vis Negara Pencairan
Isi, Bentuk dan Negara. Yogyakarta: LKIS.
al-Ghazi,
Ibnu Qosim, tt, Fath al-Qarib, dalam catatan pinggir al-Baijuri ‘Ala Ibnu Qasim
al-Ghazi, Surabaya: Maktab al-Syaikh Muhammad bin Ahmad Nahban wa Auladih,
Jilid II.
Jaenuri,
Achmad, 2004, Orientasi Gerakan Islam;
konservatisme, Fundamentalisme, Sekularisme dan Modernisme, Surabaya: Lpam.
Jabar, Falih
Abdul, 1992, Ma’alim Al Aqlaniyah Wa
Al Khurafat Fi Al Fikri Al Siyasi Al Araby, London: Dar Assaqy
Kimball,
Charles,
2003, When religion Become Evil, alih bahasa Nurhadi, Kala Agama Jadi
Bencana, Bandung : Mizan.,
Ma’arif,
Ahmad Syafi’I, 2009, Masa Depan Islam di Indonesia, dalam
Ilusi Negara Tuhan: Ekspansi gerakan Islam transnasional di Indonesia, Jakarta:
The Wahid Institute.,
_________,
1987, Islam dan Masalah Kenegaraan; Studi
Tentang Percaturan dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES.,
Mandzur, Ibnu, 2003, Lisan al-Arab, Kairo: Darul Hadis, Jilid
II.,
Roy, Oliever, 2004, Globalized Islam: The Search for a
New Ummah, New York: Columbia University Press,
al-Qurtuby, Sumanto, 2009, Jihad Melawan Ekstrimisme agama, Membangkitkan Islam Progresif, Semarang:
Borobudur.,
Ramadhan,
1993, Fundamentalist Influince in Egypt:
The Strategies of Muslim Brotherhood and the Takfir Groups
Rahmat, Imdadun, 2007, Arus Balik Islam Radikal, Transmisi
Revivalisme Islam Timur Tengah Indonesia, Jakarta: Erlangga., cet II.
Salafy,
Abu, 2009, Mazhab Wahabi;Monopoli
Kebenaran dan keimanan ala Wahabi, Jakarta: Ihya’ Mozaik Mutiara Islam.
Saoki. 2014. Islam
sebagai Dasar Negara (Perdebatan dalam PPKI dan Konstituante). Dalam http://fish.uinsby.ac.id/?p=1764, di akses, 15 November
2015.,
Siradj, Said Aqil, 1999, Islam Kebangsaan; Fiqh Demokratik Kaum
Santri, Jakarta: Pustaka Ciganjur.,
Solahuddin, 2011, NII sampai JI: Salafy Jihadisme di
Indonesia, Jakarta: Komunitas Bambu.
Tibi,
Bassam, 2000, Ancaman Fundamentalisme
Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Baru, Yogyakarta: Tiara Wacana.,
Watt, William Montgomery, 1997, Fundamentalisme Islam dan Modernitas,
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
Wahid, Abdurahman, 2000, Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta:
LKis.,
Zuhri, Saifuddin, 1987, Berangkat dari Pesantren. Jakarta:
Gunung Agung.
[1] Di dalam “kitab kuning (istilah pesantren Indonesia, untuk menyebut
teks pemikiran keagamaan), masih banyak dijumpai pernyataan yang secara politis
masih merujuk kepada konteks di mana era-politik kilafah klasik. Ibn Qosim
al-Ghazi misalnya, ia mengatakan “apabila orang-orang kafir berada di negaranya
sendiri setiap tahunnya [wajib kifayat] memerangi mereka, sedangkan apabila
orang-orang kafir berada atau hendak negara yang dihuni umat Islam maka perang
baginya fardu ain”. Lihat: Ibnu Qosim al-Ghazi, tt, Fath al-Qarib, dalam catatan pinggir al-Baijuri ‘Ala Ibnu Qasim
al-Ghazi, Surabaya: Maktab al-Syaikh Muhammad bin Ahmad Nahban wa Auladih,
Jilid II. Hal. 262.,
[2] Terjadi kesalah pemahaman yang fatal atas pemaknaan jihad oleh
kelompok fundamentalis muslim, yang sebenarnya jihad tidak selamanya dengan
pedang atau meriam serta ambisi untuk menegakkan negara Tuhan. Kata “jihad” dalam al-Qur’an dengan berbagai
derivasinya disebut sebanyak 41 kali. Jihad berasal dari kata juhd yang berarti kemampuan (al-Taqah) atau jahd artinya berat (al-Masyaqqah).
Namun ada yang berpendapat keduanya merupakan sinonim, bermakna tunggal yakni
kemampuan. Lihat: Ibnu Mandzur, 2003, Lisan
al-Arab, Kairo: Darul Hadis, Jilid II hal. 240-241., sementara itu Said
Aqil Siraj, menyebutkan jihad dalam empat bentuk; pertama, Itsbatu wujudillah, yaitu menegaskan eksistensi Allah di muka bumi,
seperti dengan melantunkan adzan, dzikir dan wirid. Kedua, Iqamatu Syari’atillah, yakni menegakkan nilai-nilai agama Allah
seperti, solat, puasa, zakat, haji, menegakkan nilai-nilai kejujuran, keadilan,
kebenaran dsb. Ketiga, al-Qital fi
Sabilillah, yakni berperang di jalan Allah. Maksudnya adalah jika ada
komunitas memusuhi Islam dengan segala argumentasi yang dibenarkan agama, maka
diperbolehkan berperang namun harus memperhatikan rambu-rambu yang di tetapkan
Allah. Keempat, Daf’u dlarari al-maksumin
Musliman Kana au Dzimmiyyan, artinya mencukupi kebutuhan sandang, pangan,
papan serta memenuhi kepentingan seorang yang harus ditangung oleh pemerintah
(entah muslim, non-muslim). Lihat: Said Aqil Siradj, 1999, Islam Kebangsaan; Fiqh Demokratik Kaum Santri, Jakarta: Pustaka
Ciganjur, hal. 136.,
[3] Kesiapan berkompromi ini nampaknya
didasarkan pada pemahaman yang relative liberal terhadap Piagam Jakarta, K.H.
A. Wahid Hasyim telah menjelaskan sikapnya dengan argumen berikut: Pertama, kondisi
saat itu sangat membutuhkan persatuan untuk menghadapi Belanda yang berusaha
kembali ke daerah jajahan mereka, kedua dia telah menerima dengan
pemahaman, bahwa kewajiban mengikuti syariah Islam bagi umat Islam akan
mendapatkan tempatnya dalam penerapan yang jujur terhadap pasal 29 UUD 1945
yang menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama dan mengamalkan
menurut agamanya masing-masing. Pada pasal yang telah menunjukkan “kebebasan”
sedangkan Piagam Jakarta mengatakan “kewajiban”, nampak bahwa KH. A. Wahid
Hasyim memiliki penafsiran yang fleksibel terhadap Piagam Jakarta yang kabur
batasannya, dan bukan yang lebih kaku yang ditakuti beberapa kalangan akan
dipaksakan Islam. Lihat: Saoki. 2014. Islam
sebagai Dasar Negara (Perdebatan dalam PPKI dan Konstituante). Dalam http://fish.uinsby.ac.id/?p=1764, di akses, 15 April 2015. Hal. 4., Saifuddin Zuhri, 1987, Berangkat dari Pesantren. Jakarta:
Gunung Agung. Hal. 300-302., Andree Feillard, 1999, NU vis a vis Negara
Pencairan Isi, Bentuk dan Negara. Yogyakarta: LKIS. Hal. 8.,