Tuesday, January 26, 2016

Fundamentalisme Islam



PANORAMA PENEGAKKAN NEGARA TUHAN:
NKRI DALAM BAYANG-BAYANG ISLAM FUNDAMENTAL

Abstract

Currently Indonesia is sandwiched in the middle of two major currents. The first flow is the flow of globalization and neo-liberalization of the economy and the globalization of Islam. This second bore rigid fundamental Islam is patterned. The group has a considerable effect on the appearance of some Muslims in this country who desire to uphold the legitimacy of the state of God by using the text of the Koran (la hukma ilallah) in a pluralistic society, undermine the authority of Pancasila and the Homeland, as well as a determinant passionate theological truth, Now the attitude and view of the above has been generated through a certain mass organizations and even political parties in this country. It means that Indonesia under threat, because it is in the shadow of Islamic fundamentalism

حاليا، وتقع اندونيسيا في وسط اثنين من التيارات الرئيسية. تدفق الأول هو تدفق العولمة والجدد تحرير الاقتصاد وعولمة الإسلام. هذا التجويف الثاني الإسلام الأساسية جامدة غير منقوشة. المجموعة لها تأثير كبير على ظهور بعض المسلمين في هذا البلد الذين يرغبون في الحفاظ على شرعية الدولة من الله باستخدام نص القرآن الكريم (لا حكم إلا الله) في مجتمع تعددي، تقويض سلطة البانشاسيلا و تم إنشاء وطن، فضلا عن المحددات عاطفي الحقيقة اللاهوتية، والآن موقف وبالنظر إلى ما سبق من خلال بعض المنظمات الجماهيرية والأحزاب السياسية حتى في هذا البلد. وهو ما يعني أن إندونيسيا تحت التهديد، لأنه في ظل الأصولية الإسلامية



Kata Kunci: NKRI, Islam Fundamental, Negara Tuhan, Ambisi



Pendahuluan
Salah satu fenomena paling mengejutkan di akhir abad ke-20 adalah munculnya apa yang disebut fundamentalisme dalam tradisi keagamaan dunia. Dalam Islam, ekspresi fundamentalisme ini terkadang cukup mengerikan. Para fundamentalis menembaki jamaah yang sedang solat di masjid, membunuh para dokter dan perawat, membunuh presiden dan bahkan mampu menggulingkan pemerintahan yang kuat (Karen Amstrong, 2004: IX). Kelompok fundamentalis Islam juga berusaha mengubah wajah NKRI—yang umumnya, santun dan toleran, humanis—agar seperti wajah mereka yang sombong, garang, kejam, penuh kebencian dan merasa berhak menguasai. Dengan menggunakan agama (Islam) sebagai topeng mereka mendirikan negara Islam.
Jika menengok negara-negara yang sudah menerapkan syariah seperti Arab Saudi, Iran, Sudan, Afghanistan, Pakistan Nigeria dll. Maka penerapan syariah sebenarnya sama sekali tidak menjanjikan atau sama dengan ilusi. Puluhan ribu orang mati di Sudan Selatan karena perang sipil ketika sistem syariah diperkenalkan tahun 1983. Di Pakistan dan Afghanistan hampir setiap saat bom meledak karena pemahaman yang kaku terhadap syariah. Konflik berdarah di Nigeria utara terjadi karena kelompok garis keras yang diinspirasi Wahabi ingin memberlakukan syariah, sementara Nigeria adalah negara plural, seperti Indonesia.       
Berangkat dari titik itulah maka pertanyaan refleksi yang harus dikemukakan segenap bangsa Indonesia adalah apakah dengan berdirinya Negara Islam dapat menciptakan “kebahagiaan” yang sebenarnya bagi negara Indonesia jika sudah terbukti gagal di negara lain? Tulisan ini merupakan suatu deskripsi historis-kritis-analitis tentang gerakan fundamentalisme Islam yang berhasrat menegakkan negara Tuhan. Artinya deskripsi tulisan ini akan mengacu pada fakta-fakta yang terdapat di sejarah Islam, dan sejarah dunia. Di saat merujuk fakta-fakta historis tersebut, tulisan ini menggunakan perspektif pilihan penulis sebagai angle ulasan, yaitu historis-kritis-analisis. Sehingga berimplikasi pada subyektivitas penulis, yang (mungkin) berbeda dengan tulisan lain yang membahas topic serupa di tempat lain, yaitu historis analitis kritis.     

Menelisik Genealogi Fundamentalisme
Banyak pendapat yang mengatakan bahwa fundamentalisme adalah fenomena baru, namun sebagian sejarahwan Protestan di Amerika berusaha untuk tidak mengakui bahwa fundamentalisme di Amerika itu hasil dari abad dua puluhan, yang pada masa itu terdapat perdebatan tentang teori evolusi dan asal-usul manusia. Maka, Marsden berusaha untuk menarik akar sejarah fundamentalisme dari mulai munculnya gerakan suci yang ada sebelum lahirnya istilah fundamen­talisme itu sendiri.
Watt menegaskan istilah fundamentalisme pada dasarnya merupakan suatu istilah Inggris kuno yang ditujukan kepada kalangan Protestan yang berpandangan bahwa al-Kitab harus diterima dan ditafsirkan secara rigid dan harfiah (William Montgomery Watt, 1997: 3-4). Untuk itu Karen Amstrong memandang istilah tersebut memberikan kesan bahwa kaum fundamentalis pada dasanya konservatif dan dekat dengan masa lampau, meskipun ide-ide mereka sebenarnya sangat modern dan inovatif (Karen Amstrong, 2004: XI). Bagaimana dengan Islam? Adakah Fundamentalisme dalam Islam?
Sebagian pembahas melihat bahwasanya fundamentalisme adalah inti dari agama-agama Semit (Yahudi, Kristen dan Islam), maka secara langsung agama-agama inilah yang melahirkan fundamentalisme. Fundamentalisme  merupakan doktrin kekuasaan suci, atau ideologi kitab dan nash, dan pemikiran Islam mencakup ideologi ini khususnya dalam interaksinya dengan Al Quran sebagai wahyu Tuhan dan penyempurna bagi agama-agama yang lain.
Abdul Jabbar berpendapat; gerakan Islam fundamentalis adalah salah satu fenomena penentangan akan kondisi irrasional bagi masyarakat sekarang, dan mempunyai watak politik ideologi. Pergerakan fundamentalisme dalam dunia Arab selalu berusaha untuk mengembalikan kecenderungan sosial masa lalu dalam bentuknya yang baru, di mana pergerakan politik lebih dominan dari pada ilmiah (Falih Abdul Jabar, 1992: 80). Dalam lingkup Islam politik dan pergerakan sendiri di situ ada penolakan dengan penamaan ini, namun kadarnya berlainan, namun ada juga yang menerima secara tersirat.
Ahmad Syafi’i Ma’arif (2009: 8-9) menyebutkan, ada tiga teori yang telah membahas fundamentalisme yang muncul di dunia Islam. Pertama, kegagalan umat Islam menghadapi arus modernitas yang di nilai telah banyak menyudutkan Islam. Kedua, didorong rasa kesetiakawanan terhadap nasib yang menimpa saudara-saudara mereka di Pakistan, Kashmir, Afghanistan, dan Irak.  Ketiga, khusus untuk Indonesia, maraknya fundamentalisme di Nusantara lebih disebabkan oleh kegagalan negara mewujudkan cita-cita kemerdekaan berupa tegaknya keadilan sosial dan terciptanya kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat.    
 Jika istilah ini diterima, menurut Achmad Jainuri (2004: 73), secara periodik, fundamentalisme Islam dibedakan menjadi dua tahapan. Pertama, Fundamentalisme tradisional,atau dalam istilah Azyumardi Azra fundamentalisme pra-modern, ini dapat dilihat dari awal sejarah Islam gerakah Khawarij yang muncul pada masa akhir pemerintahan Ali. Golongan ini bertindak secara radikal dengan dalil misalnya, la hukma illa lillah yang dielaborasi berdasarkan ayat al-Qur’an yang berbunyi: wa man la yahkum bima anzalallah faulaika hum al-kafirun (siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah kafir). Karena alasan itu Khawarij tak mau tunduk kepada Ali maupun Mu’awiyah. 
Pada periode selanjutnya, kecenderungan paham seperti ini dapat kita lihat dalam gerakan ahl al-Hadis yang dipelopori oleh Ahmad bin Hambal yang menentang mu’tazilah, praktik penyimpangan kaum sufi dan Shi’i. Di samping ada kelompok literalis Mazhab ad-Dzahiri yang di-inisiasi oleh Ibn Hazm Ad-Dzahiri. Di India pada abad ke 17 Ahmad Sirhindi menentang menentang kebijakan sultan Akbar, yang dinilai banyak mengadopsi tradisi Hindu. Sama halnya pada abd ke 18, di semenanjung Arabia Muhammad bin Abdul Wahab juga menentang penerimaan tradisi lokal, penghormatan (berlebihan) terhadap tokoh agama dan sufi. Pncaknya pada tahun 1143 H, Abdul Wahab menyebarkan paham pemurnian tauhid yang berujung pada “ekstrimisme” beragama (Abu Salafy, 2009: 16-19).
Kedua, Fundamentalisme modern. Tidak seperti fundamentalisme tradisional, fundamentalisme modern merupakan jawaban terhadap tantangan modernisasi. Upaya penting yang dilakukan gerakan ini adalah merumuskan sebuah alternatif Islam (al-Badil al-Islami)  menghadapi idiologi sekuler modern seperti liberalisme, marxisme dan nasionalisme. Pada awal abad ke 20 kebanyakan pemimpin gerakan ini, bukan merupakan alumni lembaga pendidikan terkenal. Seperti halnya Hasan al-Bana (1906-1949 M) pada April 1928 mendirikan Ihwanul Muslimin (IM), yang menjadi pengembangan dari Pan-Islamisme Jamaluddin al-Afghani (Imdadun Rahmat, 2007: 31-32) dan Abul A’la al-Maududi (1903-1979 M), Sayyed Qutb (1909-1966 M) yang kebanyakan belajar otodidak. Baru kemudian di akhir abad 20, seperti Nabani, Turabi, lahir dari jebolan pendidikan tinggi ternama.
Demikian juga fundamentalis dikalangan Shi’i seperti Ayatullah al-Komaeni (1902-1989 M), tahun 1979 ia berhasil menggulingkan kekuasaan Pahlevi dan menggantikannya dengan system Islami berfahan Shi’i dengan wilayat al-Faqih. System ini menurut Tedi Kholiludin, pada mulanya ingin menggabungkan pemahaman konstitusi Islam (kedaulatan tuhan) dan demokrasi Barat (kedaulatan rakyat). Kedaulatan Islam dipahami dengan pengakuan ulama’ sebagai wakil Tuhan (pengganti imam yang hilang dan dinanti) sebagai penguasa pasca Muhammad, Ali dan semua Imam Shi’i.
Isu penting dari fundamentalis modern adalah berkaitan dengan kehidupan publik. Persoalan tentang keimanan dan ubudiyah tidak begitu menonjol apabila dibandingkan dengan peran Islam dalam politik, ekonomi, sosial dan budaya. Martin E. Martsy and R. Scott Appelby dalam http://www.moshereiss.org/ memberikan ciri-ciri kelompok ini sebagai berikut. Pertama, Menetang modernisme termasuk di dalamnya otonomi individual, hegemoni nalar dan ideologi kemajuan, termasuk di dalamya paham empirisme, scientism dan meritokrasi. Kedua, meyakini bahwa kitab suci itu tak bisa dan tak akan pernah salah termasuk penafsiran mereka sendiri akan teks-teks suci itu. Hanya penafsiran kelompoknya sajalah yang benar sementara yang lain salah. Ketiga, hanya meyakini kelompoknya saja yang benar dan selamat. Dalam kacamata penganut fundamentalisme, hanya ada dua pilihan, jadi pelayan Tuhan atau pelayan setan. Keempat, cenderung bersikap eksklusif terhadap kelompok lain. Kelima, bersikap reaktif, defensive dan selektif serta tak segan-segan menggunakan jalan kekerasan untuk merealisir tujuannya.
Pada umumnya gerakan ini dapat dikaitkan sebagai gerakan yang mempunyai kecenderungan yang mengajak untuk mengaplikasikan syari’ah Islam dalam semua aspek kehidupan secara rigid. Ajakan ini termasuk upaya untuk mendirikan negara Islam. Lebih lanjut Bassam Tibbi menyebutnya sebagai ideologi politik yang didasarkan pada politisasi agama untuk tujuan-tujuan sosio politik dan ekonomi dalam rangka menegakkan tatanan Tuhan. Jadi sesuai wataknya fundamentalisme bersifat absolutis, dan karena kita bergerak ke abad yang akan datang, fundamentalisme itu tampak sedang menempatkan jejaknya pada politik (Islam) dunia (Bassan Tibbi, 2000: 23).
Kelompok ini memiliki semangat untuk mendirikan negara Islam yang berlandaskan syari’ah melalui organisasi-organisasi dan atau partai-partai politik Islam. Namun akibat framework kelompok-kelompok fundamentalisme Islam mengalami kegagalan dalam menyediakan blueprint negara Islam yang efektif, maka gerakan fundamentalisme Islam kemudian berevolusi menjadi neofundamentalisme Islam, yang lebih dekat, skriptualis, berpandangan konservatif, menolak negara dan lebih cenderung pada konsepsi komunitas Muslim universal (ummah), berlandaskan syari’ah (Islamic Law) (Oliever Roy, 2004: 1). Dengan demikian kelompok fundamentalisme Islam ialah mereka yang merupakan kelompok ekstrimis Islam yang bertujuan untuk mewujudkan negara Tuhan, mereka tak segan-segan melakukan kanibalisme agama demi tercapainya tujuan yang dianggap mereka sebagai titah Tuhan.

Epistemologi Islam Fundamental
Di mana-mana perlawanan melahirkan perlawanan, baik dalam bentuk perlawanan terbuka (perang, pemberontakan, aksi politik, dll) maupun perlawanan terselubung atau silent protest (Sartono Kartodirjo) atau kontrapunk (William Wertheim). Dalam melakukan perlawanan, seringkali menggunakan legitimasi teks (baik teks keagamaan maupun teks cultural) sebagai penopangnya. Untuk kasus gerakan fundamentalisme Islam yang merebak hampir di seluruh kawasan Islam (termasuk Indonesia) juga menggunakan teks-teks keislaman (al-Qur’an hadis dan classical sources—the yellow thomes)[1] sebagai basis legitimasi teologis.
Peran kitab suci, dalam hal ini al-Qur’an selalu disebut sebagai sumber legitimasi/basis keterlibatan politik komunitas fundamentalis muslim. Lagi-lagi dikarenakan keragaman yang ada di tubuh fundamen muslim, ayat-ayat yang digunakan beragam. Meminjam istilah Abraham S Wilar, secara garis besar ada dua jenis ayat yang bertentangan, yaitu: 1. Ayat-ayat cinta 2. Ayat-ayat (politik) kekerasan.
Pertama, Ayat-ayat cinta dapat dilihat misalnya, pada surat 41: 34, berbunyi: tindakan kebaikan dan kejahatan tidak sejajar. Buatlah kebaikan agar seorang yang melawan dirimu dapat menjadi kawan inti”. Bahkan dalam berdebat, ada ayat dalam al-Qur’an yang mengarahkan perdebatan dilakukan dengan jalan kebijaksanaan (QS. 16: 125).  Kedua, Di sisi lain ada ayat-ayat (politik) kekerasan menjadi sumber inspirasi dan legitimasi. Contoh QS. At-taubah: 36 yang berbunyi: ....ini agama yang benar, jangan membuat dirimu salah di tengah mereka; tetapi perangi bersama-sama para politis seperti mereka memerangi kalian; ketahuilah, Allah di posisi orang yang benar. Contoh lain QS. Al-Baqarah: 190 yang berbunyi; Bunuh dia di mana kau temukan mereka. Ayat-ayat inilah yang menjadi rool model bagi kelompok fundamentalis muslim.
Ketika Osama bin Laden saat diwawancarai john Miller—koresponden WNCB-TV, New York—tentang keberaniaannya menentang salibis dan Zionis (sebutan Osama untuk AS dan Yahudi), selain menyinggung isu Palestina dan dominasi AS di kawasan teluk, ia juga dengan tegas menjawab, “kami meyakini benar bahwa kami dapat menang melawan Amerika dan kaum yahudi sebagaimana dijanjikan oleh Rasulullah bahwa hari kiamat itu akan datang sampai kaum muslim memerangi kaum yahudi, saat mereka bersembunyi di belakang pohon-pohon dan bebatuan, dan pohon ini berbicara, ‘wahai muslim di belakang saya ada yahudi. Kemari dan bunuh dia”. Juga sebuah ayat al-Qur’an: “dan perangilah di jalan-jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu (tetapi) jangan kamu melampoui batas karena sesungungguhnya allah tidak menyukai orang-orang yang melampoui batas. Dan bunuhlah di mana saja kamu jumpai dan usirlah dari tempat mereka telah mengusir kam...” (Qs. 2: 190-191).
Demikian pandangan Osama terhadap kelompok non-muslim disertai untuk “menegakkan negara Tuhan” sebagai [symbol] identitas keislaman baik secara politik, ekonomi maupun kebudayaan. Lebih jauh lagi, Sumanto al-Qurtuby (2009: 50)—Penulis buku laris yang menggetarkan, Arus Cina-Islam-Jawa & buku Lubang hitam Agama—menyatakan gerakan ini tidak hanya menjadikan agama sebagai penyaring dari tradisi dan cultur local yang tidak sesuai dengan “Garis-garis Besar haluan Islam”. Di tolak karena bid’ah (tidak sesuai dengan nabi) dan bertyentangan dengan al-Qur’an dan hadis. Jika lokalitas saja di tolak apalagi kebudayaan Barat?.          
Bagi muslim progresif ayat-ayat politik kekerasan di atas, tak langsung ditelan mentah-mentah. Pasti akan dilihat sesuai konteksnya atau asbab al-nuzul setelah itu akan dilihat dalam kerangkan lebih besar yaitu kemuliaan tujuan Islam, sehingga ayat-ayat itu tidak dilihat sebagai penggalian aktif, tetapi bagian dari syarat-syarat yang dipenuhi terlebih dahulu sebelum ayat-ayat itu dilihat sebagai panggilan aktif. Di pihak lain, di tengah komunitas muslim penganut politik agresi-pembela Tuhan”  ayat-ayat (politik) kekerasan itu dipandang sebagai suatu yang sudah qaht’iy, absolut karena itu tinggal menjalankan.
Dengan mengambil contoh di atas, tulisan ini ingin menunjukkan bahwa ada aspek epistemologi keislaman yang dimiliki fundamentalis muslim untuk menegakkan negara Tuhan. Syafi’i Anwar menyebutnya sebagai gerakan Salafi radikal. kelompok fundamen Islam radikal melakukan ideologisasi krisis struktural dan krisis kultural, dan mempertemukan dengan syariah (al-Qur’an) dan pertemuan itu menghasilkan aksi-aksi radikal.oleh karena itu, gerakan fundamentalisme Islam umumnya menganggap demokrasi sebagai sistem kufr dan kafir, karena tidak sesuai dengan al-Quran Hadis yang mereka pahami.
Kelompok ini tak segan segan-segan melakukan kekerasan bahkan di level tertentu ia bisa membunuh manusia, bila perlu. Bagi kelompok ini, untuk mencapai suatu tujuan adalah menjatuhkan secara paksa suatu negara yang dianggap tidak sesuai dengan syariat Islam, kemudian mendirikan negara Islam, kelompok ini menggunakan konsep takfir. Yakni mengkafirkan semua orang Islam di luar kelompok mereka dan menghalalkan darah dan benda mereka. Berdasarkan ajaran-ajaran tersebut, kelompok ini juga dikenal dengan nama Khawarij al-Judud (neo-Khawarij) (Ramadhan, 1993: 152).  

Jihad (Semu) Menegakkan Negara Islam Indonesia
Agama, selain sumber makna bagi etos sebuah masyarakat, juga berpotensi sebagai sumber konflik. Agama menanamkan kepada manusia apa yang disebut oleh mendian Clifford Greertz sebagai ”vitalitas moral” dan vitalitas moral ini lahir oleh karena komitmen yang total tentang apa yang diyakini sebagai ”hakikat realitas yang fundamental”. Keyakinan akan adanya ” hakikat realitas yang  fundamental” inilah yang menjadi ”sumber makna” bagi umat beragama. Di satu sisi. Akan tetapi, dapat juga menjadi inspirator lahirnya sebuah tindak kekerasan atas nama Tuhan dan konflik sosial masyarakat, yang disebabkan sempitnya pemahaman agama sehingga—lebih spesifik—terjadi eksklusifisme, fanatisme, keunggulan doktrin, truct claim dan semangat ”nasionalisme religius” (Sumanto al-Qurtuby, 2009: 26). Sebagaimana di sebutkan di atas.    
Jauh dari itu dalam bentuk gerakan, Islam fundamental menegasikan batasan-batasan ruang dan negara dengan mengakomodir seluruh umat muslim dunia di bawah panji Khilafah Islamiyah. Kelompok Islam fundamental berjuang menegakkan Negara Islam di seluruh kawasan dunia. Cara-cara yang di tempuh untuk menegakkan itu, kemudian ditafsirkan sebagai jihad[2] dengan berbagai saluran yang ada, dari politik, pendidikan, ekonomi, dan di antaranya dengan kekerasan. Sementara itu menurut Agus Maftuh setidaknya ada tiga poros kekuatan teologi-politik yang menumbuh suburkan gerakan ini,. Pertama, gerakan fundamentalisme pra-modern oleh Muhammad bin Ibn abdul Wahab yang belakangan di sebut kelopok Wahabi. Kedua, fundamentalisme kontemporer, yang banyak mengadopsi pola gerak Ikhwan al-Muslimin di Mesir. Ketiga, model neo-fundamentalisme Islam revolusi Iran. Model ini memunculkan Jema’ah Islamiyah (JI). Dalam Indonesia Background: How The Jamaah Islamiyah Terrorist Network Operates, ICG (Interational Crisis Group) Asia Report, No. 43, 11 Desember (2002: 32), JI baru berdiri di Malaysia sekitar tahun 1990-an oleh Abdullah Sungkar bersama-sama dengan veteran perang Afghanistan yang terlibat dengan Al Qaeda, namun menurut sebagian pengamat, akar kumpulan JI telah bermula sejak tahun 1970-an.  
Dalam analisis Abdurahman Wahid (2000: 138),  gerakan fundamentalis tersebut muncul sebagai kelanjutan dari pan-Islamisme yang dipelopori oleh Jamaludin al-Afghani dan Muhammad Abduh, pada abad ke-19 M. Pengaruh al-Afghani sangat kuat, utamanya di Iran. Suksesnya Imam Khomaeni dalam menumbangkan ikon sekuler” rezim Pahlevi dalam sebuah “Revolusi Islam Iran” tahun 1979 menjadi titik awal bangkitnya gerakan keagamaan yang menusung symbol-simbol, ideology dan identitaskeislaman. Nilai-nilai konservatisme Shi’ah ini dilestarikan oleh para rezim politik pasca Khomaeni.
Kesuksesan Khomaeni ini disusul oleh gemilangnya pasukan mujahidin di bawah komando Abdullah Azam (pendiri Hammas) dan para “landlord” Afghan seperti Ahmad Sjah Massoud, Gulbuddin, Hekmatyar, Abdul Rasul Sayyaf, dll. Mereka mampu memukul mundur “tentara merah” Uni Soviet dari Afghanistan dan Pakistan pada akhir tshun 1980-an. Kekalahan telak Uni Sofyet menyebabkan bercokolnya kaum Islamis impor dari Arab di negara-negara yang mendapat sebutan “jalan raya penaklukan” itu. Sejak itulah Osama bin Laden mulai menanamkan otoritasnya dengan menjadikan Taliban dan mullah Omar sebagai “pion”-nya. Kemenangan tentara Mujahiddin ini memberi inspirasi munculnya sayap “Islam garis keras” yang membentang dari Mesir sampai Philipina Selatan, dari Saudi Arabia sampai Indonesia (Sumanto al-Qurtuby, 2009: 90-91).          
Bagaimana di indonesia? Setidak dapat kita telusuri mulai abad ke-17 sampai abad ke-18. Prof. Azumardi Azra dalam Jaringan Ulama’ Timur tengah dan Kepulauan Nusantara, Abad XVII-VIII, Akar Pembaharuan Islam Indonesia, pada abad tersebut hubungan komunikasi Nusantara dengan Timur tengah begitu harmonis. Banyak ulama Nusantara yang berpengaruh di Makah atau Madinah. Diantara mereka adalah al-Palimbani, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Nurudin ar-Raniri, Abdur Rauf al-sinkili, Muhammad Yusuf Tajul Khalwati al-Maqasari, Ahmad Rifa’i Kalisalak, Imam Nawawi Bin Umar al-Bantani, KH. Kholil Bangkalan dan sebagainya. Bahkan kedu perdiri Ormas Islam terbesar di Nusantara yakni KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul Ulama, NU) dan KH Ahmad Dahlan (pendiri muhammadiyah) juga pernah belajar, berdialog berbagi pengetahuan di Saudi Arabia.
Kemudian setelah kepulangannya kedua ulama (Hasyim Asyari dan Ahmad Dahlan) tersebut membawa perubahan sosial (social change) yang luar biasa di Indonesia. Meskipun kedua organisasi yang digagas keduanya jelas berbeda, namun keduanya tetap toleran dan saling menghorrmati, mengakui perbedaan sebagai keragaman dan kekayaan tradisi intelektual.
Hal ini kontras dengan gerakan Padri yang digagas oleh Haji Miskin, Haji Abdurahman dan Haji Muhammad Arif yang telah menunaikan ibadah haji ketika Wahabi menguasai kedua kota suci pada awal abad kesembilan belas. Virus Wahabi yang menjangkiti ketiga haji tersebut terbawa ke Sumatera Barat dan telah memicu tragedi yang amat sadis, perang saudara dan sesama muslim yang sangat tragis dalam sejarah Islam Nusantara. Konstruksi ini adalah warisan yang sifatnya genetis, yang menitis kepada para pegiat negara Tuhan, seperti IM, DI/TII, HTI, FPI dll. Mereka ini adalah sesungguhnya antek-antek Wahabi.
Ketika negara Indonesia hendak dirumuskan diantara mereka ada yang menyerukan negara Indonesia berasakan Islam. Hal tersebut dapat dilihat ketika, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang terdiri dari 62 tokoh itu, sempat terpecah dalam dua kubu; 45 suara menghendaki bentuk negara persatuan berasaskan kebangsaan, sementara sisanya 15 suara menginginkan Islam sebagai dasar negara (Bernard J Boland, 1971, Ahmad Syafi’I Ma’arif, 1987, Endang Anshori, 1981). Di antara tokoh yang berada pada garis terdepan adalah;  Soekarno, M. Hatta, KH. Wachid Hasyim, Mohammad Yamin, Achmad soebardjo, Abikoesno Tjokrosoejoso, Haji Agus salim, Abdul Kahar Muzakkir, dan Alexander Andreas Maramis. Namun, pada perkembangannya, muncullah piagam Jakarta (Jakarta Charter). Piagam inilah yang memang disiapkan untuk menjadi preambule UUD hasil rapat Panitia sembilan yang ditandatangani di Jakarta pada 22 juni 1945[3].
Setelah Indonesia mendapatkan kedaulatan dan pengakuan dari Kerajaan Belanda, pada tahun 1949 lewat perjanjian di meja bundar di Den Haag. Kemudian pada 1950 Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, dengan UUDS 1950 sebagai konstitusinya. Kemudian pada tahun 1955 Indonesia menggelar pemilihan umum yang pertama. Tercatat beberapa partai (Islam) tampil seperti; Masyumi (20,92%), NU (18,41%) Pergerakan Tarbiayah Islamiyah atau Perti (1,28%). Jika dihitung partai Islam mendapatkan 230 kursi di Parlemen atau sebagai penyokong suara terbanyak, sementara kalangan nasionalis yang terdiri dari partai-partai (nasionalis, sosialis dan komunis dan non-Islam) memperoleh 286 kursi (Syarifuddin Jurdi, 2008: 243-244). 
Partai Masyumi saat di pimpim M. Natsir menyatakan diri menggunakan ideologi Ikhwanul Muslimin sebagai dasar partainya. Partai ini dengan kekuatan 112 dari total 514 kursi, amat getol memperjuangkan pemberlakuan piagam Jakarta, sebagai dasar negara dalam sidang konstituante. Mekipun pada tahun 1959 mereka gagal. Seiring dengan dekrit presiden, yakni kembali pada UUD 1945. Klimaksnya terjadi pada tahun 1960, Masyumi dilarang dan dibubarkan Soekarno, lantaran diindikasikan terlibat pemberontakan PRRI/Permesta.
Tak patah arang, para petinggi partai masyumi kemudian banting setir ke jalan dakwah dengan mendirikan DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia) pada 1967. Gerakan ini muncul dengan wajah yang lebih ”sangar” yakni menggelorakan pemberontakan kepada Negara. DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang di pimpin Kartosoewiryo memberontak diberbagai daerah dan mengajukan dua tuntutan utama: RI dirubah menjadi Negara Islam Indonesia (NII) dan Soekarno tidak sah menjadi presiden. Berikut adalah Proklamasi NII:

PROKLAMASI Berdirinja NEGARA ISLAM INDONESIA
Bismillahirrahmanirrahim Asjhadoe anla ilaha ilaha illallah wa asjhadoe anna moehammadar rosoeloellah kami, Oemat Islam Bangsa Indonesia Menjataken: berdinya ”Negara Islam Indonesia”.
Maka hoekoem jang berlakoe atas Negara Islam itoe, ialah: HOEKOEM ISLAM Allahoe Akbar! Atas nama Oemat Islam bangsa Indonesia Imam Negara Indonesia Ttd (SM Kartosoewirjo) Madinah-Indonesia, 12 Sjawal 1368/ 7 Agoestoes 1949.[4] 

Semua ini merupakan reaksi politik yang lebih didasarkan pada kepentingan jangka panjang. Menjelang dan setelah Orde Baru Tumbang, Indonesia menyaksikan begitu banyak kelompok-kelompok garis keras lokal yang tumbuh. Beberapa di antara kelompok ini antara lain Fron Pembela Islam (FPI), Forum Umat Islam (FUI), Laskar Jihad, Jama’ah Islamiyah (JI), Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), PKS, Komite Persiapan Penerapan Syari’ah Islam (KPPSI) di beberapa daerah dan lain-lain. Dalam momen inilah, Ikhwanul Muslimin (yaitu PKS) dan Hizbut Tahrir menampakkan diri secara terbuka di Indonesia. Hingga saat ini, gerakan kelompok-kelompok garis keras sudah menyebar seperti kanker ke seluruh tubuh bangsa, mereka menyusup dari istana negara hingga ke pegunungan (Abdurahman Wahid, 2009: 96-97). Hal tersebut menunjukkan bahwa gerakan ini sangat sistematis, terencana. Ini ancaman serius dan menjadi permasalahan seluruh masyarakat Indonesia, untuk menjihad demi utuhnya NKRI.      
Pada era selanjutnya terjadi penyusupan ke tubuh pemerintahan, dan ini jauh lebih berbahaya, karena penyusupan tersebut bukan isapan jempol belaka. Sehubungan dengan ini mantan Panglima TNI mengemukakan “Dulu, ancaman garis keras terhadap NKRI dan Pancasila ada di luar pemerintahan, seperti DI/NII. Tapi sekarang, garis keras sudah masuk ke dalam pemerintahan, termasuk perlemen dan menjadi jauh lebih berbahaya dari sebelumnya (Abdurahman Wahid, 2009: 213-214). Gerakan fundamentalisme Islam terlihat begitu subur. Meleburkan kedalam partai (PKS) membuat gerakan ini secara politis mendapat dukungan dari sipil. Sehingga pada gilirannya mereka yang duduk di Parlemen dapat dengan mudah membuat aturan yang ia sangka sebagai hukum “Tuhan”.
Ada tiga perjuangan Islam Fundamental dalam usaha menegakkan negara Islam. Pertama, membangun partai (hizb). Pada tahap ini para agen melakukan rekrutmen anggota baru, mereka membinanya dalam kurun waktu yang bisa berlangsung selama enam bulan hingga tiga tahun. Tahap ini dapat dikatakan sebagai proses cuci otak dan pembentukan pribadi Islami a la Fundamentalis Islam, biasanya dilakukan dalam halaqah-halaqah.
Kedua, berinteraksi dengan masyarakat. Dalam tahap ini anggota yang telah lulus dari tahap pertama membentuk sel-sel baru dan mulai aktif mengaitkan kasus-kasus local dengan masalah-masalah global dan membakar massa untuk membangun ketegangan social antara rakyat dan pemerintah, untuk kemudian mulai menawarkan jalan Islam sebagai alternative ketegangan yang telah dibangunnya. Target mereka adalah untuk menyusup ke dalam pemerintah dan militer, agar kelak dapat melapangkan langkah mereka dalam merebut kekuasaan. Agen ini sudah aktif di lebih dari 40 negara, termasuk Indonesia di mana mereka mengumpulkan lebih dari 80 ribu orang di Gelora Bung Karno untuk menyerukan pendirian Negara Islam dan melenyapkan Pancasila dan NKRI.
Ketiga, merebut kekuasaan. Tahap terakhir ini akan dilancarkan setelah mereka yakin akan menang dan berhasil merebut kekuasaan, yang antara lain akan ditandai dengan tingkat keberhasilan mereka menyusup ke dalam pemerintah dan militer. Setelah berkuasa, mereka siap memaksakan penafsiran tentang Islam a la kelompok ini dalam semua bidang kehidupan umat manusia (Abdurahman Wahid, 2009: 86-87). Menurut doktrin ini, kedaulatan merupakan milik mutlak Allah. Perwujudan doktrin ini adalah dengan mendirikan negara Islam dalam mana syariat Islam diterapkan. Bagi pihak yang menolak doktrin ini, dinyatakan kafir kendati memeluk agama Islam (Solahuddin, 2011: 7-8).
Tentu, jika semua itu terjadi akan sangat berbahaya bagi keutuhan NKRI yang berimplikasi pada. Pertama, berubahnya ideology pancasila menjadi ideology Islam “semu” yang ditandai dengan runtuhnya NKRI. Kedua, Pudarnya pluralitas budaya dan pluralitas agama yang selama tumbuh berdampingan dengan angin perdamaian membawa semangat “Kebhinnekaan”. Ketiga, buntut dari semua itu adalah perang budaya, dan kepercayaan. Dari implikasi di atas tak pelak lagi bahwa sebenarnya apa yang diperjuangkan kelompok fundamentalisme Islam untuk mendirikan negara Islam adalah semarata-mata adalah penjajahan dengan menggunakan politik devide et impera yang dilakukan oleh Amerika dan sekutunya. Mereka juga tak tanggung-tanggung memberikan dukungan “arus dana”.
Terang bahwa, keinginan mendirikan negara Islam Indonesia merupakan bukti nyata persekutuan jahat untuk meruntuhkan NKRI yang di danai oleh negara-negara donor seperti Saudi Arabia dan Amerika Serikat. Dalam artian bahwa apa yang diperjuangkan HTI, Ikhwanul Muslimin, JI dkk. Merupakan pesanan dari negara-negara donor yang dimotori oleh Saudi dan Amerika. Dalam rangka menguasai lini kebijakan pemerintahan NKRI. Untuk selanjutnya dijadikan negara jajahan secara sistemik dan dieksploitasi segala kekayaan Indonesia.        
Jadi, yang mereka perjuangkan sebenarnya bukan syariah Islam seperti yang dipahami oleh mayoritas umat Islam Indonesia, melainkan syariat Islam versi Wahabi-Ikhwanul Muslimin. Itu sebabnya, kampanye gerakan syariat oleh kelompok-kelompok garis keras selalu menimbulkan masalah dan keributan di mana-mana di kalangan umat Islam sendiri. Hal ini berbeda dengan dakwah Islam yang lazim disampaikan para ulama’ yang menyampaikan pesan Islam yang esensial dan universal, yang memberi kesejukan bukan keributan (Abdurahman Wahid, 2009: 133). Prinsip “Bhinneka Tunggal Ika” Mpu Tantular misalnya, telah mengilhami para penguasa Nusantara dari jaman Hindu-Budha hingga dewasa ini; dan sunan Kalijogo—yang terkenal akomodatif terhadap tradisi local—mendidik para penguasa pribumi tentang Islam yang damai, toleran dan spiritual. Melalui para muridnya, antara lain Sultan Adiwijoyo, juru Martini dan Senopati ing Alogo, Sunan Kalijogo berhasil menyelamatkan dan melestarikan nilai-nilai luhur tersebut yang manfaatnya masih bisa kita nikmati hingga dewasa ini (Abdurahman Wahid, 2009: 14-15). 
Ada beberapa alasan mengapa mereka menuntut penerapan syariah secara legal-formal. Diantara alasan itu adalah Islam agama sempurna yang meliputi semua cara hidup secara total. Maka Islam harus dijadikan sebagai satu-satunya referensi dalam memecahkan berbagai permasalahan bangsa. Lalu lahirlah selogan semacam: “selamatkan Indonesia dengan syariah” (HTI), atau “Penegakan syariah melalui institusi negara merupakan satu-satunya jalan keluar untuk mengatasi kemelut bangsa” (MMI) atau “krisis multidimensi akan berakhir dengan diberkakukannya syariah Islam” (FPI) atau “Islam adalah solusi” (PKS) yang menjadi obsesi kelompok garis keras.
Kemudian apa? slogan itu dimanfaatkan oleh orang-orang cerdik untuk memaklumatkan diri sebagai pemimpin massa. Sungguh, mereka hanya sedang mengincar kekuasaan, bukan kedamaian akhirat, singgasana dunia, bukan surga, dan pada dasarnya tujuan mereka adalah dunia, bukan agama. Mereka sengaja memelintir kalam Allah dengan tujuan tertentu di hatinya, dan menjadikan hadis Rasulullah sebagai alat untuk melegitimasi kehendak hati mereka (Farag Fauda, 2003: 8-9).
Di sini kita bisa melihat bahwa tujuan para aktivis KAMMI, HTI dan Jamaah tarbiyah sebenarnya sama, yakni menegakkan negara Islam di Indonesia, hanya metodenya saja yang berbeda. HTI ingin menegakkan Khilafah secara langsung tanpa mengakui pemerintahan yang ada, dengan jalur kekuasaan pragmatis. Syariffudin Juhri (2008: 402) mencatat, ketika  Abdurahman wahid menjabat sebagai Presiden RI ke-4  melaporkan NKRI mendapat tantangan untuk menyelesaikan gerakan sparatisme yang bergerak di Aceh dan Irian Jaya. Kedua wilayah ini kata Gus Dur, harus diakui sudah melakukan kampanye anti NKRI yang cukup intensif. Sementara aktivis Jamaah tarbiyah dengan cara perlahan-lahan dan bertahap, melalui jalur politik, cultural. Sedangkan KAMMI dengan jalur politik di kampus maupun di parlemen sebagai sayap politik PKS (Abdurahman Wahid, 2009: 163-164). Karena itu tidak keliru untuk mengatakan bahwa penegakan negara Islam sudah menjadi agenda bersama yang membayangi Indonesia.
Perkembangan paling mutakhir di bidang politik pada 9 Juli 2014, yakni Ketika Pemilihan Presiden, perlu dibaca sebagai bagian dari rangkaian tahapan-tahapan krusial yang dialami oleh Indonesia selepas dari rezim Orde Baru. Tahapan paling mutakhir ini merupakan suatu kristalisasi dari suatu perkembangan yang sempat menimbulkan harapan yang bahkan berlebihan karena meledaknya euforia di berbagai wilayah, tetapi juga kecemasan sebagai dampak ganda terbukanya ruang kebebasan setelah dalam tiga dekade lebih dikebiri oleh rezim Orde Baru. Manifestasi kebebasan terlihat secara jelas dalam ruang politik yang berkelindan dengan keterbukaan dalam dunia pers. Di bidang politik, partai politik tumbuh subur seperti cendawan kala musim hujan.
Pembacaan ini seakan mendapatkan pembenaran karena perbedaan aspirasi antar-elemen masyarakat sipil diikuti dengan pembelahan dan konflik horizontal, namun kurang bisa diantisipasi oleh perangkat keamanan yang dimiliki oleh negara sehingga pembelahan dan konflik mengalami eskalasi. Ruang semacam inilah yang memberi peluang terjadinya aksi teror yang dirancang oleh kelompok (fundamentalis) keagamaan garis keras. Kebebasan dalam politik itulah yang memberikan peluang besar kepada kelompok fundamentalis Islam untuk masuk dalam politik praktis, yang sementara ini berafiliasi ke dalam Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Meskipun begitu rasanya tak semudah membalikkan telapak tangan untuk mendirikan negara Islam di Indonesia. Gagasan pendirian negara Islam oleh kelompok-kelompok Islam garis keras, tidak akan pernah terwujud di Bumi Indonesia. Pasalnya, akan berhadapan dengan dengan berbagai kesulitan mendasar. Mengingat negara kita dibangun atas nilai-nilai luhur budaya bangsa yang berurat berakar sejak dahulu kala.
 Kesulitan tersebut, menurut Abu Hapsin—ketua Tanfidiyah NU Jateng—yang disampaikan dalam seminar “Pilar NU Dalam Meneguhkan Visi Kebangsaan NKRI” (WWW.NU.or.id)  menurutnya ada tiga alas an kenapa negara Islam sulit berdiri di Indonesia; pertama, konsep pendirian negara Islam itu didasarkan atas paradigma teokrasi yang hanya bekerja dengan baik manakala masyarakat homogen dari sisi pemahaman keagamaan. Sedangkan negara kita terdiri atas beraneka ragam suku bangsa dan agama. Kedua, konsep negara Islam hanya mungkin terwujud jika kehidupan politik Islam mengambil bentuk imperium. Hal ini seperti terjadi pada masa Nabi dan para khalifah setelahnya. Kesulitan ketiga, melihat persebaran umat Islam di berbagai negara yang mayoritas non muslim. Muslim yang minoritas juga tidak ingin kehilangan hak-haknya sebagai warga negara. Karenanya tuntutan mereka tidak lain kecuali pelaksanaan demokrasi. Ditambah lagi meningkatnya gerakan HAM dan kebebasan beragama. Maka tidak ada lain kecuali memberikan legimitasi pluralisme kegamaan.

Kritik Khilafah Islamiyyah
Usaha-usaha menjadikan Islam sebagai ideology dan mewujudkan negara Tuhan di atas, menurut Gus Mus (KH. Mustofa Bisri) di sebabkan adanya semangat yang berlebihan nemun tidak didukung oleh pengetahuan yang memadai. Akibatnya semangat yang berlebihan tersebut dapat mendorong seseorang untuk memutlakkan pengetahuan yang dicapai sekalipun bersifat parsial dan lebih parahnya lagi pengetahuan yang berbeda dipandang sebagai salah dan harus ditolak. Gus Mus menganalogkan pengetahuan parsial ini dengan hikayat “Maraba Gajah dalam gelap” lima orang yang berselisih tentang gajah semata, karena mereka masing-masing merabanya dalam gelap, dalam keterbatasan jangkauan pengetahuan dan dalam ketiadaan cahaya (hidayah) (Mustofa Bisri, 2009: 134). Masing-masing dari mereka bersikeras dan memaksa orang lain mengakui bahwa gajah seperti pohon, atau ayunan, atau tembok atau pecut atau kipas.
Lebih lanjut Qasim Amin (1863-1908), tidak hanya mengecam despotism penguasa dan masyarakat, murid utama Muhammad Abduh ini lebih jauh melangkah. Ia menganggap syari’at Islam sebagai kendala kemajuan. Lantas ia menyerukan pembebasan dari “penjara” syari’at Islam (Qasim Amin, 1992). Karena ia memisahkan Islam dari praktik kekuasaan atas nama Islam, maka praktik khilafah dalam sejarah dapat dikritik, dicela, dan dibahas dengan menggunakan tolok ukur ilmu politik, demokrasi, dan hak asasi manusia.
Ali Abdur-Razik dalam bukunya, al-Islam wa Ushul al-Hukm (Islam dan Dasar-dasar Pemerintahan), ia sangat sepakat bahwa Islam Khilafah tidak ada dasarnya dalam al-Qur’an, Hadis, maupun Ijma’ ulama. Islam tidak memberikan aturan yang pasti tentang system pengelolaan negara. Baginya nabi Muhammad hanyalah seorang nabi, buklan penguasa. Beliau Cuma ditugaskan agama dan akhlak bukan politik dan tata negara. Karena itu agama tidak mesti dibawa-bawa dalam urusan kenegaraan. Urusan politik, pola pemerintahan, administrasi negara dan lain-lain, tidak ada sangkut pautnya dan oleh karena itu tidak perlu dikaitkan dengan agama. Sebagaimana Qasim amin, ia juga menuding system khilafah bertanggung jawab atas ketertinggalan umat Islam (Nadav Safran, 1961: 142).
Kritik khilafah Islamiyah juga datang dari Farag Fouda ia lebih mendukung pemisahan politik dari agama, antara negara dan Islam. Menurutnya, pemisahan ini perlu dilakukan demi kebaikan agama dan negara: Agama terhindar dari manipulasi politisi, dan pemerintahan terlaksana tanpa beban partikularisme keagamaan. Selaras dengan ini, Fouda menentang penerapan syariat karena menurutnya penerapan syariat hanya akan mengarah ke negara keagamaan (daulah diniyyah) (Samsu Rizal, 2011: xx-xxi). Ia menentang segala bentuk kerahiban dan kekudusan dalam dunia politik karena kehidupan politik didasarkan atas kepentingan dan keharusan sosial. Ia juga mengecam prioritas beragama yang menekankan hal yang remeh-temeh seperti jenggot, pakaian model Pakistan, menggunakan siwak, tatacara masuk kamar kecil, mencari tahu di mana Dajjal akan muncul. Pada saat yang sama, hal-hal yang lebih esensial dan mendalam tidak dipikirkan tantangan abad ke-21, menuntut ilmu pengetahuan, menegakkan keadilan, dan menyelesaikan berbagai masalah sosial dan ekonomi dengan menggunakan ijtihad.    


Penutup   
Menjamurnya Fundamentalisme Islam dan tekatnya yang kuat menganggap final pendirian negara Tuhan di Indonesia membuat kelompok ini mempunyai spirit yang membara, seolah api yang membakar kilang minyak tak pernah padam walau oleh air hujan deras. Legitimasi teks al-Qur’an yang dijadikan ideologi khilafah yang menjelma menjadi radikalisme Islam. Meskipun sebenarnya gerakan ini adalah pengulangan belaka dari sebuah ideologi besar yang pernah lahir di tengah-tengah umat Islam yaitu Khawarij. Kelompok Khawarij kemudian mentransformasikan diri menjadi Islam fundamental (neo-khawarij) kelompok ”ultra-ekstrem” melakukan penolakan semua ideologi. Siap melakukan berbagai tindakan kekerasan atas nama Tuhan (la hukma Ilallah). Dalam batas-batas tertentu selogan semacam: “selamatkan Indonesia dengan syariah” (HTI), atau “Penegakan syariah melalui institusi negara merupakan satu-satunya jalan keluar untuk mengatasi kemelut bangsa” (MMI) atau “krisis multidimensi akan berakhir dengan diberkakukannya syariah Islam” (FPI) atau “Islam adalah solusi” (PKS) dihembuskan dan menjadi obsesi kelompok fundamentalis Islam di Indonesia. Selogan-selogan semacam itulah yang patut di waspadai bagi segenap warga masyarakat bangsa Indonesia kalau tidak ingin runtuhnya NKRI. [*]
    

DAFTAR PUSTAKA


Amstrong, Karen, 2004, Berperang Demi Tuhan; Fundamentalisme dalm Islam, Kristen dan yahudi, Bandung: Mizan. Cet VI.
Anshori, Endang, 1981, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara RI (1945-1959), Bandung: Pustaka.,
Azra, Azyumardi, 1996, Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Past Modernisme, Jakarta: Paramadina.,
_________, 2013, Jaringan Ulama’ Timur tengah dan Kepulauan Nusantara, Abad XVII-VIII, Akar Pembaharuan Islam Indonesia, Jakarta: Prenada.,
Boland, Bernard J, 1971, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, Den Haag: Martinus Nujhoff.,
Fauda, Farag, 2012, Kebenaran yang Hilang, Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslimin, Jakarta: Demokrasi Project.,
Feillard, Andree, 1999, NU vis a vis Negara Pencairan Isi, Bentuk dan Negara. Yogyakarta: LKIS.
al-Ghazi, Ibnu Qosim, tt, Fath al-Qarib, dalam catatan pinggir al-Baijuri ‘Ala Ibnu Qasim al-Ghazi, Surabaya: Maktab al-Syaikh Muhammad bin Ahmad Nahban wa Auladih, Jilid II.
Jaenuri, Achmad, 2004, Orientasi Gerakan Islam; konservatisme, Fundamentalisme, Sekularisme dan Modernisme, Surabaya: Lpam.
Jabar, Falih Abdul, 1992, Ma’alim Al Aqlaniyah Wa Al Khurafat Fi Al Fikri Al Siyasi Al Araby, London: Dar Assaqy
Kimball, Charles, 2003, When religion Become Evil, alih bahasa Nurhadi, Kala Agama Jadi Bencana, Bandung : Mizan.,
Ma’arif, Ahmad Syafi’I, 2009,  Masa Depan Islam di Indonesia, dalam Ilusi Negara Tuhan: Ekspansi gerakan Islam transnasional di Indonesia, Jakarta: The Wahid Institute.,
_________, 1987, Islam dan Masalah Kenegaraan; Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES.,
Mandzur, Ibnu, 2003, Lisan al-Arab, Kairo: Darul Hadis, Jilid II.,
Roy, Oliever, 2004, Globalized Islam: The Search for a New Ummah, New York: Columbia University Press,
al-Qurtuby, Sumanto, 2009, Jihad Melawan Ekstrimisme agama, Membangkitkan Islam Progresif, Semarang: Borobudur.,
Ramadhan, 1993, Fundamentalist Influince in Egypt: The Strategies of Muslim Brotherhood and the Takfir Groups
Rahmat, Imdadun, 2007, Arus Balik Islam Radikal, Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah Indonesia, Jakarta: Erlangga., cet II.
Salafy, Abu, 2009, Mazhab Wahabi;Monopoli Kebenaran dan keimanan ala Wahabi, Jakarta: Ihya’ Mozaik Mutiara Islam.
Saoki. 2014. Islam sebagai Dasar Negara (Perdebatan dalam PPKI dan Konstituante). Dalam http://fish.uinsby.ac.id/?p=1764, di akses, 15 November 2015.,
Siradj, Said Aqil, 1999, Islam Kebangsaan; Fiqh Demokratik Kaum Santri, Jakarta: Pustaka Ciganjur.,
Solahuddin, 2011, NII sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia, Jakarta: Komunitas Bambu.
Tibi,  Bassam, 2000, Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Baru, Yogyakarta: Tiara Wacana.,
Watt, William Montgomery, 1997, Fundamentalisme Islam dan Modernitas, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
Wahid, Abdurahman, 2000, Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: LKis.,
Zuhri, Saifuddin, 1987, Berangkat dari Pesantren. Jakarta: Gunung Agung.



[1] Di dalam “kitab kuning (istilah pesantren Indonesia, untuk menyebut teks pemikiran keagamaan), masih banyak dijumpai pernyataan yang secara politis masih merujuk kepada konteks di mana era-politik kilafah klasik. Ibn Qosim al-Ghazi misalnya, ia mengatakan “apabila orang-orang kafir berada di negaranya sendiri setiap tahunnya [wajib kifayat] memerangi mereka, sedangkan apabila orang-orang kafir berada atau hendak negara yang dihuni umat Islam maka perang baginya fardu ain”. Lihat: Ibnu Qosim al-Ghazi, tt, Fath al-Qarib, dalam catatan pinggir al-Baijuri ‘Ala Ibnu Qasim al-Ghazi, Surabaya: Maktab al-Syaikh Muhammad bin Ahmad Nahban wa Auladih, Jilid II. Hal. 262.,  
[2] Terjadi kesalah pemahaman yang fatal atas pemaknaan jihad oleh kelompok fundamentalis muslim, yang sebenarnya jihad tidak selamanya dengan pedang atau meriam serta ambisi untuk menegakkan negara Tuhan. Kata “jihad” dalam al-Qur’an dengan berbagai derivasinya disebut sebanyak 41 kali. Jihad berasal dari kata juhd yang berarti kemampuan (al-Taqah) atau jahd artinya berat (al-Masyaqqah). Namun ada yang berpendapat keduanya merupakan sinonim, bermakna tunggal yakni kemampuan. Lihat: Ibnu Mandzur, 2003, Lisan al-Arab, Kairo: Darul Hadis, Jilid II hal. 240-241., sementara itu Said Aqil Siraj, menyebutkan jihad dalam empat bentuk; pertama, Itsbatu wujudillah, yaitu menegaskan eksistensi Allah di muka bumi, seperti dengan melantunkan adzan, dzikir dan wirid. Kedua, Iqamatu Syari’atillah, yakni menegakkan nilai-nilai agama Allah seperti, solat, puasa, zakat, haji, menegakkan nilai-nilai kejujuran, keadilan, kebenaran dsb. Ketiga, al-Qital fi Sabilillah, yakni berperang di jalan Allah. Maksudnya adalah jika ada komunitas memusuhi Islam dengan segala argumentasi yang dibenarkan agama, maka diperbolehkan berperang namun harus memperhatikan rambu-rambu yang di tetapkan Allah. Keempat, Daf’u dlarari al-maksumin Musliman Kana au Dzimmiyyan, artinya mencukupi kebutuhan sandang, pangan, papan serta memenuhi kepentingan seorang yang harus ditangung oleh pemerintah (entah muslim, non-muslim). Lihat: Said Aqil Siradj, 1999, Islam Kebangsaan; Fiqh Demokratik Kaum Santri, Jakarta: Pustaka Ciganjur, hal. 136.,   
[3] Kesiapan berkompromi ini nampaknya didasarkan pada pemahaman yang relative liberal terhadap Piagam Jakarta, K.H. A. Wahid Hasyim telah menjelaskan sikapnya dengan argumen berikut: Pertama, kondisi saat itu sangat membutuhkan persatuan untuk menghadapi Belanda yang berusaha kembali ke daerah jajahan mereka, kedua dia telah menerima dengan pemahaman, bahwa kewajiban mengikuti syariah Islam bagi umat Islam akan mendapatkan tempatnya dalam penerapan yang jujur terhadap pasal 29 UUD 1945 yang menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama dan mengamalkan menurut agamanya masing-masing. Pada pasal yang telah menunjukkan “kebebasan” sedangkan Piagam Jakarta mengatakan “kewajiban”, nampak bahwa KH. A. Wahid Hasyim memiliki penafsiran yang fleksibel terhadap Piagam Jakarta yang kabur batasannya, dan bukan yang lebih kaku yang ditakuti beberapa kalangan akan dipaksakan Islam. Lihat: Saoki. 2014. Islam sebagai Dasar Negara (Perdebatan dalam PPKI dan Konstituante). Dalam http://fish.uinsby.ac.id/?p=1764, di akses, 15 April 2015. Hal. 4., Saifuddin Zuhri, 1987, Berangkat dari Pesantren. Jakarta: Gunung Agung. Hal. 300-302., Andree Feillard, 1999, NU vis a vis Negara Pencairan Isi, Bentuk dan Negara. Yogyakarta: LKIS. Hal. 8.,