Friday, October 23, 2015

Suara Rindu Dari Lereng Gunung Kembar



Sinar surya sudah memancar menyinari alam, menebar kehangatan. Sinar itu menyapa dengan ramah daun-daun yang hijau royo-royo, menghampar bagai permadani nan luas. Burung burung pipit beterbangan ke sana ke mari dengan riang. Alam semakin hangat. Semakin benderang. Sinar matahari pagi itu terus bergerak menerobos menyingkirkan kegelapan. Aku buka tirai kamarku, merasakan kesejukan udara pagi nan sejuk. 

Dari jendela kamar kost “sederhana” ini aku dapat menyaksikan dari dekat betapa indahnya ciptaan Tuhan, gunung Kembar (Sindoro, Sumbing) yang gagah perkasa menjulang ke langit, menjaga keseimbangan alam terlihat dengan jelas di-depan pelupuk mata, dataran tinggi Dieng yang di atasnya terdapat candi Arjuno, dinilai mempunyai peradaban (cukup) tua yakni peninggalan dynasty Sylindra terlihat begitu memesona. Subhanallah, betapa indah ayat-ayat kauniyah-NYA itu. 

Di aktifitasku yang sekarang ini, Kauman adalah tempat tinggalku sementara waktu. Kauman, sebuah nama yang sangat familiar ditelinga. pasalnya, hampir dipastikan tiap kota pasti ada sebuah kota namanya Kauman., jika kita mendengan nama ini pasti yang terbesit dalam benak kita adalah pemukiman yang kental dengan tradisi Arab, karna pemukiman ini hampir rata-rata dulunya dihuni oleh pendatang Arab dan keturunannya. Begitu juga di wonosobo, ada juga nama Kauman, yang letaknya ±300 meter sebelah utara alun-alun kota Wonosobo.  

Meskipun dapat dikatakan kota, namun kota ini belum begitu maju seperti kota-kota yang ada di pesisir lor. Masyarakat di sini sebenarnya sudah mulai hidup dengan cara kota meskipun orang gunung terkenal dengan orang desa, “di manapun gunung ya desa”demikian kata sebagian orang. Namun, di sini hampir tidak lagi menggunakan cara dusun yang sebenarnya. Desa yang sudah tidak orisinil dengan perawan kedusunannya. Gadis-gadis dan para pemudanya tidak lagi lugu dan polos. Sudah banyak yang bertingkah mengada-ada dan sok kota. Sebagian mereka bahkan tidak mau dicap sebagai orang desa, meskipun gunung. Mereka ingin dianggap sebagai orang kota. Faktor Kontak budaya yang begitu massif dan tekhnologi yang luar biasa dinamis membuat cara pandang dan bergaul masyarakat gunung ini tak mau dikata desa. 

Wonosobo merupakan nama kota yang terdiri dari dua suku kata wana yang artinya hutan dan saba yang dikunjungi. Jadi wonosobo adalah kota yang dikunjungi. Pada kenyataan kota ini memang banyak dikunjungi oleh wisatawan, baik local maupun mancanegara. Saya sendiri sering menjumpai turis asing yang berasal dari Belgia, Inggris, amerika dll.  Memang saya akui kota ini sangat menarik dengan keindahan alamnya, mulai dari gunung Sindoro, Sumbing dan dataran tinggi Dieng yang di atasnya terdapat telaga warna dan candi arjuno, dan juga di sebelahnya ada gunung prau yang menjadi favorit para pendaki, baik pemula maupun tingkat advance. Jika liburan di atas gunung prau banyak sekali terdapat orang yang kemping di atasnya, di samping itu karena di puncak gunung prau dapat menampung hingga 2500-an orang.

Di lihat dari beberapa bangunan yang terdapat di tengah kota, nampaknya sejak dulu kota ini memang sudah mempunyai daya tarik tersendiri bagi para turis asing, terbukti ada hotel yang berdiri kokoh dan megah meskipun usianya cukup tua, yakni hotel Kresna. Hotel ini dibangun oleh pemerintah Belanda tahun 1917 dan bangunannya sampai sekarang masih asli, begitu juga dengan design interiornya, hanya kamar mandinya yang sudah direnovasi dan disesuaikan dengan zaman sekarang. Ketika saya berkesempatan bermalam di hotel tersebut, Nampak lukisan-lukisan tua yang memang sengaja di buatkan galeri khusus di hotel tersebut. Oleh karena itu jika kita ingin bermalam di hotel tersebut harus merogoh kocek cukup mahal yakni, 800 ribu/malam. Hal itu menunjukkan bahwa sejak zaman dahulu kota ini sering dikunjungi oleh wisatawan. Demikian kota Wonosaba atau yang lebih nyentrik dengan istilah, Negri SABA’. 
 
Tak hanya itu, kota ini juga banyak dikunjungi oleh para pelajar dan santri., mereka dengan sengaja menuntut ilmu di kota ini, misalnya sebut saja dengan nama Ari satu dari sekian ribu santri yang sengaja belajar di kota ini, ia nyantri dengan Kyai As’ad al-Hafidz sekaligus sebagai mahasiswa UNSIQ angkatan 2012. Meskipun di kota ini banyak daerah yang terdapat pondok pesantren, namun yang menjadi tujuan para murid untuk mencari ilmu adalah Kec. Kali beber, terletak di sebelah barat daya kurang lebih 4 km dari pusat kota.,  di situ terdapat ribuan santri menuntut ilmu, baik agama maupun umum. Dari mulai pelajar hingga Perguruan Tinggi, yakni Universitas Sains al-Qur’an (UNSIQ) berdiri pada tahun 1989 yang di prakarsai oleh alm KH. Munthaha al-Hafidz (Allah yarham) hingga sekarang masih berdiri kokoh bahkan terus berkembang dan tak kalah dengan kampus (elit) yang berada dikota-kota besar, terlihat jumlah mahasiswanya lumayan funtastis. tidak kurang 10 ribu-an.

Di negeri yang dingin ini, belum banyak aktivitas yang saya lakukan di tempat baru ini, kecuali di kampus—Universitas Sains al-Qur’an (UNSIQ)—bersama mahasiswa yang Kental dengan tradisi akademik. Di kampus yang mempunyai slogan Humanis, Saintis yang berwawasan al-Qur’an inilah saya belajar “mengabdi” sekarang. Meskipun mempunyai kesamaan dalam hal penyelenggaraan perkuliahan, namun terdapat perbedaan yang cukup mendasar dengan tradisi akademik di kota-kota lain atau bahkan kota-kota besar lainnya. Jika tradisi akademik di kota lain hanya mengkaji akademik saja, kalau di sini kental dengan tradisi pesantren khususnya hufad (para penjaga Qur’an). Oleh karena itu kampus yang di kelilingi banyak pondok pesantren Tahfid ini, mensyaratkan minimal mahasiswa (harus) hafal 4 juz al-Qur’an.   

Di tengah lalu-lalang ramainya akademik, aktivitas berfikirku terhenti sejenak tertuju kepada dua sosok yang sangat aku kenal dan tak mungkin akan ku lupakan dalam hidupku. Di samping itu, aku juga harus bersiap menjemput musim dingin yang mulai datang, hamparan bumi-pun akan di tumbuhi bunga aneka warna yang menebarkan wewangian yang  membius hatiku... Pesona tersebut adalah pesona ayah-ibuku, mereka selalu memberikan yang terbaik bagi-ku, mereka selalu mendo’akan supaya aku menjadi seorang yang dapat bermanfaat. Ibu yang mengandung dan melahirkanku merawat dengan penuh sabar dan berharap aku tumbuh menjadi orang yang baik. Ayah yang tak kenal lelah dan tak kenal waktu mencari uang demi menghidupi keluarganya.    

Mereka yang mendidikku dari kecil, menyekolahkanku hingga aku bisa baca tulis sampai umurku seper empat abad. Setiap kali aku pulang dan mencium tangan beliau tahun berganti taun aku dapati tangan keduanya semakin keriput, kerutan-kerutan di wajah mulai terlihat jelas uban dikepala yang sudah mulai tumbuh sebagai tanda kebijaksanaan. Namun meskipun begitu, laksana matahari terbit, dari ufuk timur setiap pagi datang, Menyinari kegelapan jiwa dan mengusir embun dingin dengan kehangatan cinta kalian. tanpa aku sadari Jiwaku menjelma taman indah yang berhiaskan kicauan burung, dengung lebah gemericik air sungai, deruan angin, goyang rerumputan dan harum bunga-bunga. itulah citra keindahan-mu cintamu wahai ayah-bunda.

Setelah engkau berikan kepada-ku bekal yang cukup, dalam hatiku selalu beteriak bagaimana cara membalas budimu wahai ayah-bunda? Setelah engkau menyekolahkanku sampai tinggi, aku justru memilih merantau, jauh darimu? Bagaimana jika engkau sakit? Siapa yang membantumu? Pikiranku terbang keangkasa melintasi awan khayalan, menggapai rembulan dan bintang gemilang. Dan bagaikan burung patah sayap, aku merasakan terkapar tanpa daya.

Namun inilah hidup, mau tidak mau saya harus memilih apakah seperti falsah jawa “mangan ora mangan sing penting ngumpul”? atau merantau membangun peradaban baru? Tentu itu bukan sesuatu sekedar kata tanpa makna, itu adalah sebuah pilihan yang harus aku pilih dan jalani. aku putuskan harus memilih berpisah untuk berkumpul dengan harapan akan lebih baik dari yang sekarang.

Tak sadar ternyata waktu sudah cukup terik, aku harus bangkit dan kembali ke aktivitas nyata. Tiba-tiba bunyi pesang singkat, aku raba ponselku kudapati ternyata dari kedua orang tuaku. Surat singkat, orangtuaku, seolah menjadi mentari bagiku. Di tengah gelap dan dinginnya gunung sahara kerinduan kepada kalian, suratmu adalah Obat kedinginan sekaligus selimut jiwa yang menghangatkan..



*LOVE YOU ma-pa MISS You
20 October 2015