Dari Fikih Normatif Menuju Fikih Etik
Pohon ilmu (fikih dan tasawuf) sejak dari sumber pertamanya, sebagaimana dijelaskan oleh Juhaya S. Praja (2002: 122) adalah wahyu (al-fitrah al-munazzalah) yang terdapat di dalam al-Qur’an dan hadis. Wahyu dapat dipahami oleh umat Islam dengan menggunakan penalaran akal, indera dan pengalamannya, sehingga melahirkan ilmu-ilmu al-Qur’an dan hadits. Selanjutnya menurut Ibnu Taymiyah, dalam filsafat Islam dikenal dua cabang ilmu. Pertama, ilmu tentang agama (al-‘ilm bi al-di>n), yang disebut dengan Ilmu Agama dan kedua, ilmu tentang kealaman (al-‘ilm bi al-ka’inat).
Pohon ilmu (fikih dan tasawuf) sejak dari sumber pertamanya, sebagaimana dijelaskan oleh Juhaya S. Praja (2002: 122) adalah wahyu (al-fitrah al-munazzalah) yang terdapat di dalam al-Qur’an dan hadis. Wahyu dapat dipahami oleh umat Islam dengan menggunakan penalaran akal, indera dan pengalamannya, sehingga melahirkan ilmu-ilmu al-Qur’an dan hadits. Selanjutnya menurut Ibnu Taymiyah, dalam filsafat Islam dikenal dua cabang ilmu. Pertama, ilmu tentang agama (al-‘ilm bi al-di>n), yang disebut dengan Ilmu Agama dan kedua, ilmu tentang kealaman (al-‘ilm bi al-ka’inat).
Ilmu-ilmu kealaman kemudian berkembang menjadi berbagai
cabang ilmu tersendiri, seperti fisika, kimia, matematika dan lain-lain.
Sedangkan ilmu agama yang berkembang di atas dasar sumber ilmu-ilmu di atas
(al-Qur’an dan hadis) kemudian menurut Ibnu Taymiyah melahirkan dua cabang ilmu
agama. Pertama, disebut dengan al-fiqh al-akbar atau ilmu us{ul
al-din atau ilmu kalam. Kedua,al-fiqh al-ashgar, atau ilmu fikih dan
ushul al-fikih. Sementara itu, disiplin keilmuan tradisional Islam yang telah
tumbuh dan menjadi bagian tradisi kajian tentang agama Islam ada empat: ilmu
kalam, fikih, tasawuf dan falsafah. Ilmu-ilmu tersebut menurut Sayyed Hossein Nasr
(2004: 135), sebenarnya tidak lain adalah hasil pengetahuan suci yang berada
dalam jantung setiap wahyu, ia adalah pusat yang meliputi dan menentukan
tradisi keilmuan. Pada perkembanganny fuqaha>sebagai ahli
syari’ah sangat mengutamakan amal-amal lahiriah, sedangkan kaum sufi sebagai
ahli haqiqah sangat mengutamakan amal-amal batiniah (Khoiri, 2012: 192).
Sampai saat ini, aspek fikih
terasa sekali kesan bahwa fikih yang berkembang selama ini adalah semata-mata
bersifat normatif dan sui-generis. Kesan demikian ini sesungguhnya tidak
terlalu berlebihan, karena jika kita cermati dari awal dan mendasar,
fikih—selalu saja—didefinisikan sebagai majmu>’at al-ah}ka>m
al-syar’iyyah al-‘amaliyah al-mustafa>dah min adillatiha>
al-tafsi>liyyah(kumpulan hukum syar’i yang berkaitan dengan perbuatan
yang diambil dari dalil-dalilnya yang spesifik). (Khallaf, 1987: 11).
Istilah yang tidak pernah lepas
tertinggal dari semua definisi al-fiqh tersebut adalah
kalimat min adillatiha>
al-tafsi>liyyah, ini memberi kesan sekaligus membuktikan bahwa
kajian hukum Islam memang terfokus dan tidak lebih dari pada analisis
teks. Lemahnya analisis sosial empiris (lack
of empiricism) inilah yang disinyalir oleh banyak pihak menjadi satu
kelemahan mendasar dari cara berpikir dan pendekatan dalam metode penemuan
hukum Islam selama ini. Namun, seharusnya lebih dari sekedar membahas
metode-metode klasik, untuk mengidentifikasi sumber-sumber keterbatasannya,
berdasarkan ilmuan muslim klasik yang kaya akan teknik dan analisis tekstual (Safi,
2001: 32). ilustrasi nyata akan semua asumsi tersebut menandakan sulitnya
kajian fikih memberi proporsi yang seimbang bagi telaah empiris. Studi fikih
pada akhirnya masih berputar pada pendekatan doktriner-normatif-deduktif dan
tetap saja bersifat sui-generis.
Dalam dunia modern, misalnya N.J Coulsen (1964: 203)
mengatakan “Adopting the usual recourse of legal analysts in such
circumtances, we may classify this type of reform under the head of
quasi-ijtihad and consider as an example it the rule of [obligatory bequests]
introducet in the egyptian law of Testamentary Dispositions of 1946” (dengan
mengambil penerapan hukum diberbagai tempat, kita boleh mengklasifikasikan
bentuk pembaharuan mesih bercorak ijtihad quasi
(semu), dan sebagai contohnya adalah undang-undang hukum Mesir tahun 1946
tentang wasiat wajibah). Dari pemaparan tersebut terlihat masih bersifat
parsial.
Dari apa yang diilustrasikan oleh Coulsen, menunjukkan
betapa orientasi fikih yang bersifat esoterik. Aspek lain dari keterbatasan
tersebut adalah ketika studi fenomena sosial mengharuskan pendekatan holistik
yang dengan cara demikian relasi-relasi sosial disistematisasikan menurut
aturan-aturan universal, justru metode klasik bersifat atomistik yang pada dasarnya disandarkan pada penalaran
analogis (Safi, 2001: 36). Konsekuensi dari semua itu adalah produk hukum
(fikih) yang bersifat formalistik dan mempunyai oerientasi hanya pada wilayah
eksoterik tidak menyemtuh aspek batin.
Sementara itu
tasawuf diambil dari sh}uf atau wool kasar. Ada juga yang mengatakan sifah
(sifat) Karena menurut Amin Syukur kata itu diambil karena seorang sufi
merupakan seorang yang menghisasi diri dengan sifat terpuji dan meninggalkan
sifat tercela (Syukur, 2012: 395). Dari pengertian tersebut dapat diartikan
bahwa tasawuf menyangkut masalah rohani dan batin manusia yang tak dapat
dilihat, maka ia amat sulit ditetapkan definisinya untuk menyatakan apa hakekat
tasawuf itu. Ia termasuk masalah kejiwaan, oleh karena itu ia dapat dipahami
bukan mengenai hakekatnya, melainkan gejala-gejala yang tampak dalam ucapan, cara,
dan sikap hidup para sufi (Khoiri, 2012: 86).
Bagi para sufi hal ini merupakan sebuah persoalan
penting. Seorang sufi yang berpendirian demikian rela untuk mati demi kelezatan
cinta yang sudah ia rasakan (Qarib, 2010: 147). Di sini, sufi melihat persatuan
manusia dengan Tuhan, perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan (Siradj, 2010:
155).
Dengan demikian, kedua ilmu tersebut mempunyai orientasi
berbeda meskipun sama-sama berasal dari penafsiran atas kedua sumber ajaran
Islam.namun pada dasarnya al-Qur’an dan al-Hadits juga mengandung ilmu lahir
dan ilmu batin. Oleh karena itu, fikih pada mulanya juga mengandung ilmu lahir
dan ilmu batin. Namun dalam perkembangan selanjutnya fikih yang mengandung
kedua unsur, baik ilmu lahir maupun ilmu batin itu, kemudian mengadakan semacam
spesialisasi sehingga fikih lebih menekankan pada ilmu lahir, sedangkan ilmu
batin dikembangkan oleh ilmu tasawuf. Terjadinya pengembangan spesialisasi
kedua ilmu ini disebabkan oleh adanya perbedaan kecenderungan antara keduanya.
“Fiqh tends to use ratio and commond sense [logic] in discussing the text of
Qur’an and Hadi>ts to meke legal provisions, whereas mysticism tend to use
sense [dzauq] in the praktice of Qur’an and Hadi>ts” (fikih cenderung menggunakan ratio dan logika
akal dalam membahas dalil-dalil al-Qur’an dan al-Hadits untuk membuat ketetapan
hukum, sedangkan tasawuf cenderung menggunakan rasa (dzauq) dalam mengamalkan
al-Qur’an dan al-Hadits) (Khoiri, 2012: 95)
Secara ontologi, tasawuf sebenarnya sama seperti fikih
yakni keberagamaan atau pengalam keagamaan. Untuk membuktikan bahwa tasawuf
merupakan pengalaman keberagamaan—seperti halnya fikih—yang terdiri dari tiga
bentuk, yaitu pemikiran (thought), perbuatan (action) dan
persekutuan (followship).
Pengalaman keagamaan dalam bentuk pemikiran adalah sebuah
pengalaman yang dibangun melalui pemikiran atau pemahaman, utuh atas realitas
empirik dan nilai-nilai kepercayaan dan kultus (dimensi teologis).Pengalaman
keagamaan dalam bentuk perbuatan adalah suatu bentuk perbuatan amaliyah nyata
sebagai aktualisasi nilai-nilai kepercayaan dan kultus (dimensi
praktis).Pengalaman keagamaan dalam bentuk persekutuan adalah suatu bentuk
keagamaan yang tercermin melalui hubungan yang harmonis antara individu atau
aliran agama sebagai konsekuensi dari fungsionalisasi nilai-nilai kepercayaan
dan kultus (dimensi sosial) (Rosyid, 2007: 68).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tasawuf
adalah produk ijtihad yang bersifat ideografik dan merupakan bentuk respons
kemanusiaan kepada Tuhan sehingga dapat dimasukkan dalam lingkup
keberagamaan.Jelasnya tasawuf adalah wujud keberagamaan sebagai produk ijtihad
yang terikat oleh ruang dan waktu.Oleh karena itu agaknya Mahmoud Mohammad
Thaha membuat terobosan dengan merumuskan paradigma baru melakukan ijtihad
dengan menggabungkan nalar baya>ni dan irfa>ni (Haris,
2012: 16).
Dari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa tasawuf yang
berdimensi ruhaniyah memerlukan jasad sebagai wadah dari ruh tersebut, yakni
fikih yang berdimensi lahiriyah yang bersifat profan, oleh sebab itu, perlu
diintegrasikan dengan tasawuf yang berdimensi batiniyah yang bersifat
transenden sehingga, terjadi keselarasan antar keduanya. Sebagaimana yang
dikatakan Imam Anas bin Malik, yang dikutip Abu Yasid (2010:iii):
مَنْ تَصَوَّفَ وَلَمْ يَتَفَقَّهُ فَقَدْ تَزَنْدَقَ
وَمَنْ تَفَقَّهُ وَلَمْ يَتَصَوَّفَ فَقَدْتَفَسَّقَ وَمَنْ جَمَعَ
بَيْنَهُمَافَقَدْ تَحَقَّق
Artinya: orang yang bertasawuf tanpa mempelajari fiqh, maka ia berlaku
zindik, dan orang yang mengamalkan fiqh tanpa tasawuf, maka ia menjadi fasiq,
dan barang siapa mengamalkan keduanya maka ia berupaya mencapai hakikat.
Al-Ghaza>li> (tt: 3) menyampaikan bahwa hidayah
(petunjuk) yang merupakan buah suatu ilmu, mempunyai permulaan dan
akhiran aspek lahir (syarat rukun) dan aspek batin (esoteris). Tidak semua
orang bisa mencapai akhir itu tanpa menyelesaikan awalnya dan tidak ada seorang
pun menemukan aspek batin tersebut tanpa menguasai aspek lahir. Oleh karena
itu, pencapaian ilmu hakikat meniscayakan pemaduan ilmu z}ahir (fikih) dan ilmu
batin (tasawuf). Jika hanya ilmu lahirnya saja, maka hakekat tidak bisa diraih
dan ia tidak akan mencapai tujuan sebab ibadah akan menjadi sempurna dengan
penyatuan keduanya (al-Jailani, 2014: xv). Setiap syariat (baca: fikih) yang kehadirannya
tidak diikat dengan hakikat tidak dapat diterima, dan setiap hakikat yang
perwujudannya tidak dilandasi syari’at tidak akan berhasil (al-Qusyairi, 2007:
104).
Berdasarkan pendapat-pendapat ulama di atas, terlihat secara jelas bahwa fikih dan tasawuf
merupakan dua ilmu yang saling berhubungan sangat erat. Pengamalan kedua ilmu
tersebut merupakan perwujudan kesadaran iman yang mendalam, yakni fikih
mencerminkan perwujudan pengamalan iman pada aspek lahiriah sedangkan tasawuf
mencerminkan perwujudan pengamalan iman pada aspek batiniyah. Dengan demikian
antara fikih dan tasawuf merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisah-pisahkan.
Hal tersebut, karena penghayatan dan pengamalan seseorang
terhadap nilai-nilai sufisme dalam ajaran-ajaran agama membawa pengaruh yang
signifikan terhadap perilaku keseharian. Islam menghendaki katerpaduan antara
aspek-aspek lahiriyah yang diatur oleh fikih dengan penghayatan aspek-aspek
amal batiniyah yang diatur dalam tasawuf. Dengan penghayatan tasawuf nilai-nilai
yang menyangkut aspek imani dan akhlaki dapat berjalan secara terpadu dan utuh
dengan sistem norma syariah. Semua itu karena
kehidupan senantiasa berjalan dinamis, mencari tingkat-tingkat
kesempurnaan lahir (fikih) dan batin (tasawuf). (Thaha, 2001: 59). Dengan
demikian, dalam wacana keagamaan diperlukan adanya integrasi antara fikih
sebagai representasi dimensi antroposentris dan pengamalan sufistik
sebagai representasi theosentrism.
Dari integrasi tersebut maka muncullah sebutan fikih
sufistik mengandaikan dua bentuk fikih.Pertama, fikih yang bercorak
tasawuf. Jalaludin Rakhmat (1998: 6-7)
dalam bukunya Renungan-Renungan Sufistik mengartikan kata sufistik
dengan kesufi-sufian, mirip dengan kata tasawuf yang berarti bersufi sufian.
Itu berarti istilah sufistik pada kata fikih menegaskan sifat fikih, sehingga
fikih sufistik berarti fikih yang memiliki unsur-unsur sufistik,dapat juga
dimaknai sebagai fikih yang bercorak tasawuf. Kedua, integrasi antara
fikih dan tasawuf. Secara katagoris fikih dan tasawuf dibedakan, meskipun dapat
dipersatukan. Fikih hanya bersifat tekstual lahiriah (eksoteris) dan
hanya mengurusi aspek ibadah. sedangkan tasawuf lebih menekankan aspek
batiniyah (esoteris) dan membimbing perjalanan rohani (the way of
spiritual) menuju kesucian jiwa (Meier, 2004: 12).
Jika dalam fikih penalaran rasional merupakan bagian
penting dalam proses is}tinba>th al-ah}ka>m maka
hati (qalb) dalam tasawuf merupakan alat penting untuk menemukan
kebenaran hakiki. Karena itu upaya pembersihan dan penyucian jiwa (tazkiyah
al-nafs) suatu yang niscaya dalam tradisi sufi yang oleh Ibn Hazm disebut ‘ilm
al-nafs atau ilmu jiwa dan terkadang disebut indera keenam (Himayah, 2001:
208). Dengan demikian baik fikih maupun
tasawuf, keadaannya berupa menemukan realitas kebenaran, meskipun dengan
pendekatan dan metode yang berbeda.
Pendekatan dalam fikih adalah tekstual (baya>ni)
lewat penalaran akal[1],
kebenaran fikih bersifat dialektik dan profan, sedangkan para sufi lewat
pengembangan intuisi, di samping teks. Oleh karena itu menurut Ali
(2012:102) hal tersebut identik dengan pengetahuan esoterik dan kebenaran
tasawuf bersifat experience. Meminjam istilah al-Jabiri, yang pertama
termasuk epistemologi baya>ni dan yang terakhir merupakan
epistemologi irfa>ni[2]. Ketika berbicara salat misalnya, bagian lahiriah berupa
persyaratan dan rukun (elemen-elemen) yang membentuk kerangka sholat, itu
adalah ranahnya fikih, sementara masalah kehadiran hati, khusyu, khudu’ dan
lainnya adalah ranahnya para sufi atau tasawuf.
Oleh kerena itu dua pendekatan dalam beragama tersebut
tidak dapat dipisahkan, meskipun dapat dibedakan. Sebagaimana ditegaskan oleh
Ibn Hazm, persoalan-persoalan intuisi tersebut dipandang sebagai ukuran-ukuran
rasional (maqa>yis ‘aqliyah) yang tidak keluar dari intuisi (Himayah,
2001: 208). Fikih adalah jasad dari sebuah ibadah, dan tasawuf merupakan jiwa
atau ruhnya. Fikih menjadi kering jika meremehkan aspek spiritualitasnya.
Sebaliknya fikih tasawuf akan menjadi hampa jika meremehkan aspek legalitas formal
fikih.
Dalam kaitannya dengan pesoalan di atas, maka dinamika
seperti itu mendapatkan pembanarannya dalam Islam. Sebagai produk ulama yang
hidup disuatu zaman yang tidak sama dengan zaman sebelumnya, sekarang maupun
setelahnya, maka wajar jika dilakukan elaborasi atau bahkan rekontruksi atas
teori lama yang telah mapan. Wacana (fikih) Islam membolehkan melakukan hal-hal
semacam itu, sepanjang didasarkan pada kaidah yang telah ditetapkan. Untuk
memperoleh tradisi pengetahuan tersebut, ada dua sumber pengetahuan, yakni
wahyu dan inteleksi atau intuisi intelektual. Ia hadir sebagai pengetahuan yang
segera dan bersifat langsung, yang dapat dirasakan dan dialami, ruhaniah, atau
dalam tradisi Islam disebut sebagai al-‘ilm al-huduri. (Nasr, 2004: 135)
Kartanegara (2003: 28) melihat
persoalan penggalian hukum Islam, selain metode demonstratif (burha>ni)
dan empiris yang masing-masing menggunakan observasi indrawi dan penalaran
rasional, ilmuan muslim juga menggunakan metode lain yang disebut intuitif (irfa>ni).
Seperti dikatakan Sham C. Inati, ada dua modus memperoleh pengetahuan (ilmu)
yang diakui ilmuan-ilmuan muslim, pertama bergerak dari objek-objek
diketahui menuju objek-objek yang tidak dikenal, kedua semata-mata hasil
iluminasi langsung dari sang Ilahi. Modus pengetahuan yang pertama adalah
metode demonstratif atau penalaran logik, sedangkan yang kedua melalui jalan
intuitif (irfa>ni).
Pendekatan intuitif bersifat presensial, karena objeknya
hadir dalam jiwa seseorang, sehingga modus ilmu seperti itu disebut al-‘ilm
al-h}ud}uri (knowlewdge by presence). Lebih lanjut Amin Abdullah
(2010: 210) menambahkan bahwa hubungan antara subjek dan objek bukannya
bersifat subjektif (seperti yang biasa terjadi dalam tradisi bayani) dan bukan
pula objektif (seperti yang ditanamkan dalam tradisi burha>ni), tetapi lebih pada intersubjektif. Kebenaran apa pun,
khususnya dalam hal-hal yang terkait dengan kehidupan sosial keagamaan adalah
bersifat intersubjektif.
Disinilah perlunya rekonstruksi dan pemahaman ulang
terhadap pendekatan yang hanya bercorak bayani dan burhani, akan tetapi harus
ada dalam pemahaman fikih Islam yang bercorak irfa>ni. Dalam pengertian dan pemahaman seperti itulah
keberadaan agama-agama dapat dimaknai dan diinterpretasikan ulang secara lebih
mendalam, esoterik batiniyah rohaniyah. Jika dalam pemahaman fikih tidak
memiliki pola irfa>ni akan sangat kesulitan menghadapi realitas
pluralitas keberagamaan umat manusia baik internal maupun eksternal (Abdullah,
2010: 211).
Dengan demikian, hubungan berfikir metodologis dan irfa>ni
sangat dekat, bahkan ketidakmungkinan berfikir tentang keberagamaan, bisa
dilakukan seseorang melalui cara keduanya itu, bila hati dan nurani orang
tersebut tidak terlibat. Ketidakmungkinan tersebut dipertimbangkan beberapa hal
berikut: pertama, ciri khas berfikir metodologi adalah: (1)
komprehenshif, dari pemikiran awal sampai pencapaian tujuan akhir; (2) komitmen
yang jelas terhadap instrumen-instrumen formal yang perlu dilalui; (3)
perumusan sasaran yang perlu dicapai pada setiap instrumen formal; dan (4)
tujuan akhir merupakan komulasi dari pencapaian setiap sasaran dalam instrumen
formal. Kedua, ciri khas berfikir ‘Irfa>ni, adalah: (1)
substantif; (2) aspek batin dari setiap aturan formal sangat diperhatikan, guna
membangun spirit; (3) meminij setiap aturan formal itu seimbang dengan capaian
batinnya (religious experience), agar sasaran dan tujuan akhir
bisa dicapainya secara seimbang pula di antara lahir maupun batin, individu
maupun kolektif.
Dari kedekatan metodologi antar keduanya, tidak
mengherankan jika kemudian Harun Nasution (1996: 108-109),
memberikan rumusan arti ijtihad begitu longgar.Menurutnya, ijtihad juga berlaku
pada bidang selain hukum Islam, misalnya Ibnu Taimiyah yang menjelaskan bahwa
ijtihad juga digunakan dalam lapangan tasawuf, ia mengatakan “sebenarnya kaum
sufi adalah mujtahid-mujtahid dalam masalah kepatuhan, sebagaimana
mujtahid-mujtahid lain”, dan sebenarnya kaum sufi di Basrah dalam masalah
ibadah dan hal ihwal ini adalah mujtahid-mujtahid, seperti halnya dengan
tantangan mereka di Kufah yang juga mujtahid-mujtahid dalam masalah hukum,
politik, aqidah tasawuf, falsafah, dan tata negara.
[1] Lihat
misalnya at-Tufi, yang menggunakan penalaran ia cenderung melandaskan
konstelasi maslahah pada superioritas akal. Visi akal lebih obyektif dalam
memposisikan kriteria maslahah ketimbang antagonisme nash antara yang satu
dengan yang lainnya. Ini berarti posisi antara akal dan wahyu sejajar atau
bahkan di atas nash dalam batas-batas tertentu. Saefudin Zuhri, 2011,Akal
Sebagai Sumber Hukum Islam.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.,
[2]Al-Jabiri
melalui proyek “Kritik Nalar Arab” melihat warisan pendekatan intelaktual masa
lalu (Arab-Islam) dalam tiga corak epistemologi Islam menjadi tiga katagori;
pertama, epistemologi bayani, yang menggunakan penggunaan pendekatan bahasa
dengan metode qiyas dan istinbath. Epistemologi ini didukung oleh fuqaha’ ushuliyyun dan
mutakallimun. Kedua, epistemologi burhani dan irfani
adalah logika dan psiko-gnostik dengan metode bathsiyyah-tahliliyah dan
riyadhah. Epistemologi ini didukung para filsuf dan sufi. Dalam
epistemologi bayani penalaran akal sebagai justifikasi, sedangkan dalam
epistemologi burhani dan irfani, sebagai heuristic danpartisipatif-intersubjektif.
Lihat lebih lanjut kedua karya monumentalnya, takwin al-‘Aql al-‘Arabi dan
Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi: Dirasah tahliliyah Nahdiyah li Nuzhum al-Makrifah
fi al-Tsaqafah al-‘Arabiyah.Keduanya diterbitkan oleh Markaz Dirasah al-Wihdah
al-‘Arabiyah, Beirut, 1989.Lihat juga Amin Abdullah, Islamic Stdies di
Perguruan Tinggi... hlm. 208-214