Friday, September 11, 2015

Pendekatan Studi Fikih

Dari Fikih Normatif Menuju Fikih Etik

Pohon ilmu (fikih dan tasawuf) sejak dari sumber pertamanya, sebagaimana dijelaskan oleh Juhaya S. Praja (2002: 122) adalah wahyu (al-fitrah al-munazzalah) yang terdapat di dalam al-Qur’an dan hadis. Wahyu dapat dipahami oleh umat Islam dengan menggunakan penalaran akal, indera dan pengalamannya, sehingga melahirkan ilmu-ilmu al-Qur’an dan hadits. Selanjutnya menurut Ibnu Taymiyah, dalam filsafat Islam dikenal dua cabang ilmu. Pertama, ilmu tentang agama (al-‘ilm bi al-di>n), yang disebut dengan Ilmu Agama dan kedua, ilmu tentang kealaman (al-‘ilm bi al-ka’inat).
Ilmu-ilmu kealaman kemudian berkembang menjadi berbagai cabang ilmu tersendiri, seperti fisika, kimia, matematika dan lain-lain. Sedangkan ilmu agama yang berkembang di atas dasar sumber ilmu-ilmu di atas (al-Qur’an dan hadis) kemudian menurut Ibnu Taymiyah melahirkan dua cabang ilmu agama. Pertama, disebut dengan al-fiqh al-akbar atau ilmu us{ul al-din atau ilmu kalam. Kedua,al-fiqh al-ashgar, atau ilmu fikih dan ushul al-fikih. Sementara itu, disiplin keilmuan tradisional Islam yang telah tumbuh dan menjadi bagian tradisi kajian tentang agama Islam ada empat: ilmu kalam, fikih, tasawuf dan falsafah. Ilmu-ilmu tersebut menurut Sayyed Hossein Nasr (2004: 135), sebenarnya tidak lain adalah hasil pengetahuan suci yang berada dalam jantung setiap wahyu, ia adalah pusat yang meliputi dan menentukan tradisi keilmuan. Pada perkembanganny fuqaha>sebagai ahli syari’ah sangat mengutamakan amal-amal lahiriah, sedangkan kaum sufi sebagai ahli haqiqah sangat mengutamakan amal-amal batiniah (Khoiri, 2012: 192).
Sampai saat ini, aspek fikih terasa sekali kesan bahwa fikih yang berkembang selama ini adalah semata-mata bersifat normatif dan sui-generis. Kesan demikian ini sesungguhnya tidak terlalu berlebihan, karena jika kita cermati dari awal dan mendasar, fikih—selalu saja—didefinisikan sebagai majmu>’at al-ah}ka>m al-syar’iyyah al-‘amaliyah al-mustafa>dah min adillatiha> al-tafsi>liyyah(kumpulan hukum syar’i yang berkaitan dengan perbuatan yang diambil dari dalil-dalilnya yang spesifik). (Khallaf, 1987: 11).
Istilah yang tidak pernah lepas tertinggal dari semua definisi al-fiqh tersebut adalah kalimat min adillatiha> al-tafsi>liyyah, ini memberi kesan sekaligus membuktikan bahwa kajian hukum Islam memang terfokus dan tidak lebih dari pada analisis teks.  Lemahnya analisis sosial empiris (lack of empiricism) inilah yang disinyalir oleh banyak pihak menjadi satu kelemahan mendasar dari cara berpikir dan pendekatan dalam metode penemuan hukum Islam selama ini. Namun, seharusnya lebih dari sekedar membahas metode-metode klasik, untuk mengidentifikasi sumber-sumber keterbatasannya, berdasarkan ilmuan muslim klasik yang kaya akan teknik dan analisis tekstual (Safi, 2001: 32). ilustrasi nyata akan semua asumsi tersebut menandakan sulitnya kajian fikih memberi proporsi yang seimbang bagi telaah empiris. Studi fikih pada akhirnya masih berputar pada pendekatan doktriner-normatif-deduktif dan tetap saja bersifat sui-generis.
Dalam dunia modern, misalnya N.J Coulsen (1964: 203) mengatakan “Adopting the usual recourse of legal analysts in such circumtances, we may classify this type of reform under the head of quasi-ijtihad and consider as an example it the rule of [obligatory bequests] introducet in the egyptian law of Testamentary Dispositions of 1946” (dengan mengambil penerapan hukum diberbagai tempat, kita boleh mengklasifikasikan bentuk pembaharuan mesih bercorak ijtihad quasi (semu), dan sebagai contohnya adalah undang-undang hukum Mesir tahun 1946 tentang wasiat wajibah). Dari pemaparan tersebut terlihat masih bersifat parsial.
Dari apa yang diilustrasikan oleh Coulsen, menunjukkan betapa orientasi fikih yang bersifat esoterik. Aspek lain dari keterbatasan tersebut adalah ketika studi fenomena sosial mengharuskan pendekatan holistik yang dengan cara demikian relasi-relasi sosial disistematisasikan menurut aturan-aturan universal, justru metode klasik bersifat atomistik  yang pada dasarnya disandarkan pada penalaran analogis (Safi, 2001: 36). Konsekuensi dari semua itu adalah produk hukum (fikih) yang bersifat formalistik dan mempunyai oerientasi hanya pada wilayah eksoterik tidak menyemtuh aspek batin.
 Sementara itu tasawuf diambil dari sh}uf  atau wool kasar. Ada juga yang mengatakan sifah (sifat) Karena menurut Amin Syukur kata itu diambil karena seorang sufi merupakan seorang yang menghisasi diri dengan sifat terpuji dan meninggalkan sifat tercela (Syukur, 2012: 395). Dari pengertian tersebut dapat diartikan bahwa tasawuf menyangkut masalah rohani dan batin manusia yang tak dapat dilihat, maka ia amat sulit ditetapkan definisinya untuk menyatakan apa hakekat tasawuf itu. Ia termasuk masalah kejiwaan, oleh karena itu ia dapat dipahami bukan mengenai hakekatnya, melainkan gejala-gejala yang tampak dalam ucapan, cara, dan sikap hidup para sufi (Khoiri, 2012: 86).
Bagi para sufi hal ini merupakan sebuah persoalan penting. Seorang sufi yang berpendirian demikian rela untuk mati demi kelezatan cinta yang sudah ia rasakan (Qarib, 2010: 147). Di sini, sufi melihat persatuan manusia dengan Tuhan, perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan (Siradj, 2010: 155).
Dengan demikian, kedua ilmu tersebut mempunyai orientasi berbeda meskipun sama-sama berasal dari penafsiran atas kedua sumber ajaran Islam.namun pada dasarnya al-Qur’an dan al-Hadits juga mengandung ilmu lahir dan ilmu batin. Oleh karena itu, fikih pada mulanya juga mengandung ilmu lahir dan ilmu batin. Namun dalam perkembangan selanjutnya fikih yang mengandung kedua unsur, baik ilmu lahir maupun ilmu batin itu, kemudian mengadakan semacam spesialisasi sehingga fikih lebih menekankan pada ilmu lahir, sedangkan ilmu batin dikembangkan oleh ilmu tasawuf. Terjadinya pengembangan spesialisasi kedua ilmu ini disebabkan oleh adanya perbedaan kecenderungan antara keduanya. “Fiqh tends to use ratio and commond sense [logic] in discussing the text of Qur’an and Hadi>ts to meke legal provisions, whereas mysticism tend to use sense [dzauq] in the praktice of Qur’an and Hadi>ts”  (fikih cenderung menggunakan ratio dan logika akal dalam membahas dalil-dalil al-Qur’an dan al-Hadits untuk membuat ketetapan hukum, sedangkan tasawuf cenderung menggunakan rasa (dzauq) dalam mengamalkan al-Qur’an dan al-Hadits) (Khoiri, 2012: 95)
Secara ontologi, tasawuf sebenarnya sama seperti fikih yakni keberagamaan atau pengalam keagamaan. Untuk membuktikan bahwa tasawuf merupakan pengalaman keberagamaan—seperti halnya fikih—yang terdiri dari tiga bentuk, yaitu pemikiran (thought), perbuatan (action) dan persekutuan (followship).
Pengalaman keagamaan dalam bentuk pemikiran adalah sebuah pengalaman yang dibangun melalui pemikiran atau pemahaman, utuh atas realitas empirik dan nilai-nilai kepercayaan dan kultus (dimensi teologis).Pengalaman keagamaan dalam bentuk perbuatan adalah suatu bentuk perbuatan amaliyah nyata sebagai aktualisasi nilai-nilai kepercayaan dan kultus (dimensi praktis).Pengalaman keagamaan dalam bentuk persekutuan adalah suatu bentuk keagamaan yang tercermin melalui hubungan yang harmonis antara individu atau aliran agama sebagai konsekuensi dari fungsionalisasi nilai-nilai kepercayaan dan kultus (dimensi sosial) (Rosyid, 2007: 68).           
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tasawuf adalah produk ijtihad yang bersifat ideografik dan merupakan bentuk respons kemanusiaan kepada Tuhan sehingga dapat dimasukkan dalam lingkup keberagamaan.Jelasnya tasawuf adalah wujud keberagamaan sebagai produk ijtihad yang terikat oleh ruang dan waktu.Oleh karena itu agaknya Mahmoud Mohammad Thaha membuat terobosan dengan merumuskan paradigma baru melakukan ijtihad dengan menggabungkan nalar baya>ni dan irfa>ni (Haris, 2012: 16).
Dari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa tasawuf yang berdimensi ruhaniyah memerlukan jasad sebagai wadah dari ruh tersebut, yakni fikih yang berdimensi lahiriyah yang bersifat profan, oleh sebab itu, perlu diintegrasikan dengan tasawuf yang berdimensi batiniyah yang bersifat transenden sehingga, terjadi keselarasan antar keduanya. Sebagaimana yang dikatakan Imam Anas bin Malik, yang dikutip Abu Yasid (2010:iii):
مَنْ تَصَوَّفَ وَلَمْ يَتَفَقَّهُ فَقَدْ تَزَنْدَقَ وَمَنْ تَفَقَّهُ وَلَمْ يَتَصَوَّفَ فَقَدْتَفَسَّقَ وَمَنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَافَقَدْ تَحَقَّق
Artinya: orang yang bertasawuf tanpa mempelajari fiqh, maka ia berlaku zindik, dan orang yang mengamalkan fiqh tanpa tasawuf, maka ia menjadi fasiq, dan barang siapa mengamalkan keduanya maka ia berupaya mencapai hakikat.

Al-Ghaza>li> (tt: 3) menyampaikan bahwa hidayah (petunjuk) yang merupakan buah suatu ilmu, mempunyai permulaan dan akhiran aspek lahir (syarat rukun) dan aspek batin (esoteris). Tidak semua orang bisa mencapai akhir itu tanpa menyelesaikan awalnya dan tidak ada seorang pun menemukan aspek batin tersebut tanpa menguasai aspek lahir. Oleh karena itu, pencapaian ilmu hakikat meniscayakan pemaduan ilmu z}ahir (fikih) dan ilmu batin (tasawuf). Jika hanya ilmu lahirnya saja, maka hakekat tidak bisa diraih dan ia tidak akan mencapai tujuan sebab ibadah akan menjadi sempurna dengan penyatuan keduanya (al-Jailani, 2014: xv). Setiap syariat (baca: fikih) yang kehadirannya tidak diikat dengan hakikat tidak dapat diterima, dan setiap hakikat yang perwujudannya tidak dilandasi syari’at tidak akan berhasil (al-Qusyairi, 2007: 104). 
Berdasarkan pendapat-pendapat ulama di atas, terlihat secara jelas bahwa fikih dan tasawuf merupakan dua ilmu yang saling berhubungan sangat erat. Pengamalan kedua ilmu tersebut merupakan perwujudan kesadaran iman yang mendalam, yakni fikih mencerminkan perwujudan pengamalan iman pada aspek lahiriah sedangkan tasawuf mencerminkan perwujudan pengamalan iman pada aspek batiniyah. Dengan demikian antara fikih dan tasawuf merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
Hal tersebut, karena penghayatan dan pengamalan seseorang terhadap nilai-nilai sufisme dalam ajaran-ajaran agama membawa pengaruh yang signifikan terhadap perilaku keseharian. Islam menghendaki katerpaduan antara aspek-aspek lahiriyah yang diatur oleh fikih dengan penghayatan aspek-aspek amal batiniyah yang diatur dalam tasawuf. Dengan penghayatan tasawuf nilai-nilai yang menyangkut aspek imani dan akhlaki dapat berjalan secara terpadu dan utuh dengan sistem norma syariah. Semua itu karena  kehidupan senantiasa berjalan dinamis, mencari tingkat-tingkat kesempurnaan lahir (fikih) dan batin (tasawuf). (Thaha, 2001: 59). Dengan demikian, dalam wacana keagamaan diperlukan adanya integrasi antara fikih sebagai representasi dimensi antroposentris dan pengamalan sufistik sebagai representasi theosentrism.
Dari integrasi tersebut maka muncullah sebutan fikih sufistik mengandaikan dua bentuk fikih.Pertama, fikih yang bercorak tasawuf. Jalaludin Rakhmat (1998:  6-7) dalam bukunya Renungan-Renungan Sufistik mengartikan kata sufistik dengan kesufi-sufian, mirip dengan kata tasawuf yang berarti bersufi sufian. Itu berarti istilah sufistik pada kata fikih menegaskan sifat fikih, sehingga fikih sufistik berarti fikih yang memiliki unsur-unsur sufistik,dapat juga dimaknai sebagai fikih yang bercorak tasawuf. Kedua, integrasi antara fikih dan tasawuf. Secara katagoris fikih dan tasawuf dibedakan, meskipun dapat dipersatukan. Fikih hanya bersifat tekstual lahiriah (eksoteris) dan hanya mengurusi aspek ibadah. sedangkan tasawuf lebih menekankan aspek batiniyah (esoteris) dan membimbing perjalanan rohani (the way of spiritual) menuju kesucian jiwa (Meier, 2004: 12).
Jika dalam fikih penalaran rasional merupakan bagian penting dalam proses is}tinba>th al-ah}ka>m maka hati (qalb) dalam tasawuf merupakan alat penting untuk menemukan kebenaran hakiki. Karena itu upaya pembersihan dan penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) suatu yang niscaya dalam tradisi sufi yang oleh Ibn Hazm disebut ‘ilm al-nafs atau ilmu jiwa dan terkadang disebut indera keenam (Himayah, 2001: 208).  Dengan demikian baik fikih maupun tasawuf, keadaannya berupa menemukan realitas kebenaran, meskipun dengan pendekatan dan metode yang berbeda.
Pendekatan dalam fikih adalah tekstual (baya>ni) lewat penalaran akal[1], kebenaran fikih bersifat dialektik dan profan, sedangkan para sufi lewat pengembangan intuisi, di samping teks. Oleh karena itu menurut Ali (2012:102) hal tersebut identik dengan pengetahuan esoterik dan kebenaran tasawuf bersifat experience. Meminjam istilah al-Jabiri, yang pertama termasuk epistemologi baya>ni dan yang terakhir merupakan epistemologi irfa>ni[2]. Ketika berbicara salat misalnya, bagian lahiriah berupa persyaratan dan rukun (elemen-elemen) yang membentuk kerangka sholat, itu adalah ranahnya fikih, sementara masalah kehadiran hati, khusyu, khudu’ dan lainnya adalah ranahnya para sufi atau tasawuf.
Oleh kerena itu dua pendekatan dalam beragama tersebut tidak dapat dipisahkan, meskipun dapat dibedakan. Sebagaimana ditegaskan oleh Ibn Hazm, persoalan-persoalan intuisi tersebut dipandang sebagai ukuran-ukuran rasional (maqa>yis ‘aqliyah) yang tidak keluar dari intuisi (Himayah, 2001: 208). Fikih adalah jasad dari sebuah ibadah, dan tasawuf merupakan jiwa atau ruhnya. Fikih menjadi kering jika meremehkan aspek spiritualitasnya. Sebaliknya fikih tasawuf akan menjadi hampa jika meremehkan aspek legalitas formal fikih.
Dalam kaitannya dengan pesoalan di atas, maka dinamika seperti itu mendapatkan pembanarannya dalam Islam. Sebagai produk ulama yang hidup disuatu zaman yang tidak sama dengan zaman sebelumnya, sekarang maupun setelahnya, maka wajar jika dilakukan elaborasi atau bahkan rekontruksi atas teori lama yang telah mapan. Wacana (fikih) Islam membolehkan melakukan hal-hal semacam itu, sepanjang didasarkan pada kaidah yang telah ditetapkan. Untuk memperoleh tradisi pengetahuan tersebut, ada dua sumber pengetahuan, yakni wahyu dan inteleksi atau intuisi intelektual. Ia hadir sebagai pengetahuan yang segera dan bersifat langsung, yang dapat dirasakan dan dialami, ruhaniah, atau dalam tradisi Islam disebut sebagai al-‘ilm al-huduri.  (Nasr, 2004: 135)
Kartanegara (2003: 28) melihat persoalan penggalian hukum Islam, selain metode demonstratif  (burha>ni) dan empiris yang masing-masing menggunakan observasi indrawi dan penalaran rasional, ilmuan muslim juga menggunakan metode lain yang disebut intuitif (irfa>ni). Seperti dikatakan Sham C. Inati, ada dua modus memperoleh pengetahuan (ilmu) yang diakui ilmuan-ilmuan muslim, pertama bergerak dari objek-objek diketahui menuju objek-objek yang tidak dikenal, kedua semata-mata hasil iluminasi langsung dari sang Ilahi. Modus pengetahuan yang pertama adalah metode demonstratif atau penalaran logik, sedangkan yang kedua melalui jalan intuitif (irfa>ni).
Pendekatan intuitif bersifat presensial, karena objeknya hadir dalam jiwa seseorang, sehingga modus ilmu seperti itu disebut al-‘ilm al-h}ud}uri (knowlewdge by presence). Lebih lanjut Amin Abdullah (2010: 210) menambahkan bahwa hubungan antara subjek dan objek bukannya bersifat subjektif (seperti yang biasa terjadi dalam tradisi bayani) dan bukan pula objektif (seperti yang ditanamkan dalam tradisi burha>ni), tetapi lebih pada intersubjektif. Kebenaran apa pun, khususnya dalam hal-hal yang terkait dengan kehidupan sosial keagamaan adalah bersifat intersubjektif.
Disinilah perlunya rekonstruksi dan pemahaman ulang terhadap pendekatan yang hanya bercorak bayani dan burhani, akan tetapi harus ada dalam pemahaman fikih Islam yang bercorak irfa>ni. Dalam pengertian dan pemahaman seperti itulah keberadaan agama-agama dapat dimaknai dan diinterpretasikan ulang secara lebih mendalam, esoterik batiniyah rohaniyah. Jika dalam pemahaman fikih tidak memiliki pola irfa>ni akan sangat kesulitan menghadapi realitas pluralitas keberagamaan umat manusia baik internal maupun eksternal (Abdullah, 2010: 211).    
Dengan demikian, hubungan berfikir metodologis dan irfa>ni sangat dekat, bahkan ketidakmungkinan  berfikir tentang keberagamaan, bisa dilakukan seseorang melalui cara keduanya itu,  bila hati dan nurani orang tersebut tidak terlibat. Ketidakmungkinan tersebut dipertimbangkan beberapa hal berikut:  pertama, ciri khas berfikir metodologi adalah:  (1) komprehenshif, dari pemikiran awal sampai pencapaian tujuan akhir; (2) komitmen yang jelas terhadap instrumen-instrumen formal yang perlu dilalui; (3) perumusan sasaran yang perlu dicapai pada setiap instrumen formal; dan (4) tujuan akhir merupakan komulasi dari pencapaian setiap sasaran dalam instrumen formal.  Kedua, ciri khas berfikir ‘Irfa>ni, adalah: (1) substantif; (2) aspek batin dari setiap aturan formal sangat diperhatikan, guna membangun spirit; (3) meminij setiap aturan formal itu seimbang dengan capaian batinnya (religious experience), agar  sasaran dan tujuan akhir bisa dicapainya secara seimbang pula di antara lahir maupun batin, individu maupun kolektif.
Dari kedekatan metodologi antar keduanya, tidak mengherankan jika kemudian Harun Nasution (1996: 108-109), memberikan rumusan arti ijtihad begitu longgar.Menurutnya, ijtihad juga berlaku pada bidang selain hukum Islam, misalnya Ibnu Taimiyah yang menjelaskan bahwa ijtihad juga digunakan dalam lapangan tasawuf, ia mengatakan “sebenarnya kaum sufi adalah mujtahid-mujtahid dalam masalah kepatuhan, sebagaimana mujtahid-mujtahid lain”, dan sebenarnya kaum sufi di Basrah dalam masalah ibadah dan hal ihwal ini adalah mujtahid-mujtahid, seperti halnya dengan tantangan mereka di Kufah yang juga mujtahid-mujtahid dalam masalah hukum, politik, aqidah tasawuf, falsafah, dan tata negara.


[1] Lihat misalnya at-Tufi, yang menggunakan penalaran ia cenderung melandaskan konstelasi maslahah pada superioritas akal. Visi akal lebih obyektif dalam memposisikan kriteria maslahah ketimbang antagonisme nash antara yang satu dengan yang lainnya. Ini berarti posisi antara akal dan wahyu sejajar atau bahkan di atas nash dalam batas-batas tertentu. Saefudin Zuhri, 2011,Akal Sebagai Sumber Hukum Islam.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.,
[2]Al-Jabiri melalui proyek “Kritik Nalar Arab” melihat warisan pendekatan intelaktual masa lalu (Arab-Islam) dalam tiga corak epistemologi Islam menjadi tiga katagori; pertama, epistemologi bayani, yang menggunakan penggunaan pendekatan bahasa dengan metode qiyas dan istinbath. Epistemologi ini  didukung oleh fuqaha’ ushuliyyun dan mutakallimun. Kedua, epistemologi burhani dan irfani adalah logika dan psiko-gnostik dengan metode bathsiyyah-tahliliyah dan riyadhah. Epistemologi ini didukung para filsuf dan sufi. Dalam epistemologi bayani penalaran akal sebagai justifikasi, sedangkan dalam epistemologi burhani dan irfani, sebagai heuristic danpartisipatif-intersubjektif. Lihat lebih lanjut kedua karya monumentalnya, takwin al-‘Aql al-‘Arabi dan Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi: Dirasah tahliliyah Nahdiyah li Nuzhum al-Makrifah fi al-Tsaqafah al-‘Arabiyah.Keduanya diterbitkan oleh Markaz Dirasah al-Wihdah al-‘Arabiyah, Beirut, 1989.Lihat juga Amin Abdullah, Islamic Stdies di Perguruan Tinggi... hlm. 208-214