Saat Ini…
Aku ingin
bungkam seperti hadirnya rembulan yang ditunda hujan. Menjadi gelap menyayat
namun rintikan gerimis hujan yang konstan seolah mampu menggantikan sinar
benderangnya yang lenyap itu di suatu malam yang sendu, bila tiba. Mulai
kulenyapkan rasaku, satu-persatu menuju kekosongan yang bukan dewasa adanya
melainkan polos kekanak-kanakan seperti dulu.
Kupejamkan
ingatanku jauh dari puji-pujian semacam apa saja dari orang yang pernah aku
terima sebelumnya. Dan kurasakan sungguh bahwa aku belum berbuat apa-apa.
Persetan dengan sanjungan, lalu sudah mulai ku acuhkan pula mimpiku yang
sewaktu-waktu akan tersendat hebat memekatkan ketidak jernihan pikiran ini
sampai nanti.
Terlalu jauh
cerita hidupku jika sengaja diputar dari ingatan ini, sendiri. Karena
hanya aku dan Tuhan yang mengerti, termasuk borok hidupku kini. Berhati-hati,
kupesankan batinku untuk bersabar menanti keajaiban hidup. Yang aku yakini,
memang seperti “Ada”.
Entah,
kenapa itu enggan terjadi?
Barangkali
tak tergubris oleh Ilahi karena kerak-kerak dosa yang meracuni menjadi
penghalang rejeki. Setan-setan yang menggandrungiku datang dan hilang, pergi
tak permisi kemudian bersembunyi, pelan-pelan menyelinap, melebur bergumul
dengan sepi, sesepi kalbu ini jauh dari dzikir-Mu sepanjang hari ya Robbi…
Hidup untuk
dijalani dengan sepenuh kecitaannya yang hakiki. Tak perlu takut; gensi, caci,
obsesi dan dibenci. Toh, kadang hidup memang mesti terselingi dengan hal begini.
Orang bilang, hidup itu: “Baiknya dibikin heppi aja…”.
Ehm, namun
entah aku?
Mataku
terpejam dahsyat, ingin kutemukan sesuatu yang dapat kupegang erat (wanita yang
betul-betul menyayangiku tanpa syarat) sebelum betul-betul aku nanti mati
sekarat. Dalam hatiku berkata aku ingin berhenti mempedulikan diriku sendiri.
Agar seluruh dunia tak ada lagi yang sudi mempersoalkan tentang siapa diriku
yang teramat lugu.
Oh..Tapi itu
keliru,
Karena
kumasih punya bapak-ibu. Sefatalnya apa bentuk kepribadianku, secacatnya apapun
kelakuanku, tetap membahagiakan mereka di usia senja hingga sepanjang waktu
setelah itu adalah cita-cita besarku. Aku mau ini, mau itu. Ada yang mampu
kudapat dan ada beberapa sesuatu yang harus aku tunggu serta usahakan dulu.
Biar hafal mana yang patut digugu atau dihempas demikian saja seperti debu
berwarna abu-abu..
Dan taukah
kamu, apa itu abu-abu?
Keberlangsungan
hidupku yang terpenting demi orang tuaku tidak merasa terpukul, dari itulah aku
berjanji untuk tidak memutus urat nadi sendiri, sekeji apapun aku ini.
Kebosanan hidup lebih sering bersahabat denganku, ketimbang aku bersemangat
karena materi. Entah berapa nama orang lain yang kini satu-persatu mulai
kukenali. Hingga pada akhirnya diantara mereka sangat tulus dan baik padaku,
ada yang ingin memanfaatkan kebodohanku, ada yang bermuka dua padaku, dan ada
yang suka menertawaiku setiap kali aku terjatuh.
Ehm. Satu,
dua, tiga orang datang menawarkan diri untuk menjadi mentor (motifasi) hidupku.
Betapa beruntungnya aku sebenarnya. Seolah ada jalan yang terang untuk
memperbaiki reputasi. Sayang, kekuasaan Tuhan berhak menang untuk menjadikan
aku yang sekarang.
Hahaha. Aku
sudah muak meributkan diri sendiri.Yang jelas, kehidupan hari ini akan terus
berlanjut seiring kapan Tuhan akan mengijinkanku tutup umur. Di mana nanti aku
akan dikubur, entahlah...
Tuhan, di tempat ini. Aku masih menunggu
kepastian-Mu.
Wonosobo, 23 Mei 2016