Tuesday, January 22, 2013

KONSEPSI HADD PEMINUM KHAMR DALAM AL-QUR’AN (Pendekatan Tafsir maudlu’iy Abdul Al-Hayyi Al-Farmawy) oleh: Akmal Bashori





I.          PENDAHULUAN
Orang Islam menyakini bahwa al-Qur’an adalah firman Allah yang ada disisi-NYA dalam kekekalan induk al-kitab (Lauh Mahfuzh, QS. [43]: 4), catatan yang terpelihara (QS [85]: 22). Al-Qur’an yang pertama kali diturunkan pada bulan Ramadhan pada malam lailatul qadar (QS [97]: 1) dan disampaikan secara lisan kepada Nabi Muhammad oleh malaikat Jibril AS (QS [2]: 97).
Ketika Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah SAW, para sahabat dengan sabar menekuni dan mendalami kandungan isinya, menghafalkan dengan penuh semangat serta merenungkan dan mendalami lafadz-lafadz dan kandungan maknanya. Bahkan Rasulullah sendiri telah menjadi referensi (maraji’) mereka yang pertama untuk mendapatkan penjelasan lafadz Al-Qur’an yang sukardipahami oleh akal pikiran mereka atau memperoleh penjelasan tentang makna-maknanya, atau tentang hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. (QS. An-Nahl:44).
Maka untuk menafsirkan Al-Qur’an sebenarnya telah dimulai dan dilaksanakan oleh Rasulullah SAW serta beliau sendiri menjadi sumber tafsir pada masa hidupnya. Maka bagaimana halnya dengan kondisi umat sesudah beliau wafat dalam memahami tafsir Al-Qur’an. Padahal tafsir Al-Qur’an adalah kunci untuk membuka gudang simpanan Al-Qur’an guna mendapatkan mutiara dan permata yang ada di dalamnya. (As-Sabuni, 1980:59-60).
Al-Qur’an juga memiliki susunan bahasa yang luar biasa, yang tidak ada seorang pun bisa menirunya. Tidak hanya sekedar itu di dalam al-Qur’an juga terdapat lafal-lafal yang tidak bisa di mengerti pada masa ketika di turunkan tetapi baru terungkap berabad-abad. (IDEA, 2011: 58)
Hal ini membutuhkan suatu pengetahuan tentang keseluruhan kitab bersama dengan satu pengertian tentang dua prinsip dasar yang ditetapkan oleh para penafsir terdahulu. Yang pertama, mengingat bukti bahwa al-Qur’an sendiri (QS. [3]: 7) menunjukkan perbedaan antara ayat-ayat yang maknanya jelas (Muhkamat) dan ayat-ayat yang maknanya tidak jelas bagi kebanyakan orang (Mutasyabihat) ayat-ayat yang kedua harus di pahami dengan pedoman ayat yang pertama. Kedua, kontradiksi yang jelas dalam masalah hukum di jelaskan dengan istilah penghapusan (Nasikh lihat QS [2]: 106). (Robinson, 2001: 104)
Dalam makalah ini (pengharaman khamr) penulis berasumsi bahwa perintah untuk tidak shalat diwaktu mabuk (QS. [4]: 43) telah dihapus dengan larangan total berikutnya terhadap minuman keras (QS. [5]: 90) setelah berusaha memahami al-Qur’an dari sudut pandang al-Qur’an para penafsir harus berganti kepada sunnah yang terpelihara dalam hadist-hadist (laporan tentang apa yang diucapkan, dilakukan dan diamnya nabi untuk menunjukkan persetujuan dan ketidak setujuan beliau) untuk melihat sunnah ini terhadap bagian yang sedang mereka pelajari.
Dalam pembahasan ini akan di uraikan bagaimana tahapan khamr itu di haramkan? Bagaimana had peminum khamr? penulis berusaha mengkaji dengan menggunakan metode pendektan tafsir tematik (al-maudlu’iy). Maka terlebih dahulu sebelum melangkah ke dalam pembahasan, terlebih dahulu penulis akan sedikit mengemukakan tentang tafsir maudlui’iy.
Artinya Maudlu’iy yang dimaksudkan disini adalah yang dibicarakan atau judul atau topik. Sehingga tafsir Maudhu’iy berarti penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an yang mengenai satu judul atau topik pembicaraan tertentu. Adapun menurut pengertian terminologi ialah mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tujuan yang satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sedapat mungkin sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungannya dengan ayat-ayat yang lain, kemudian mengistinbatkan hukum-hukum. (Farmawi,1977: 52)
Kesemuanya di jelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil dan fakta (kalau ada) yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah; baik argumen yang berasan dari al-Qur’an haidist maupun pemikiran rasional. (Baidan, 2002: 72)
Dalam tafsir Maudlu’iy ini terdapat dua bentuk metode kajian sebagaimanaberikut :
1.    Penafsiran satu surat dalam Al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan khusus atau tema sentral surat tersebut, kemudian menghubungkan ayat-ayat yang beraneka ragam itu satu dengan lain dengan tema sentral tersebut.
2.    Menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas masalah tertentu dari berbagai surat Al-Qur’an (sedapat mungkin diurut sesuai dengan masaturunnya, apabila jika yang dibahas adalah masalah hukum) sambil memperhatikan sebab nuzul, munasabah masing-masing ayat, kemudian menjelaskan pengertian ayat-ayat tersebut yang mempunyai kaitan dengan tema atau pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh penafsiran dalam satukesatuan pembahasan sampai ditemukan jawaban-jawaban Al-Qur’an menyangkut tema (persoalan) yang dibahas. (Quraish Shihab, 1992:156).
Metode penafsiran Maudlu’iy meskipun telah ada sejak dahulu (jaman Rasul, Sahabat dan Tabi’in) namun hal itu baru dikatakan hanya suatu usaha untuk melahirkan metode semacam ini. Batasan yang terperinci dan jelas barumuncul pada periode belakangan oleh Al-Ustadz Dr. Ahmad Al-Sayyid Al-Kummi Ketua Jurusan tafsir Universitas Al-Azhar beserta beberapa teman beliau dari para dosen Al-Azhar. tafsir Al-Qur’an yang menggunakan metode Maudlu’iy/topikal pada dasarnya bisa saja memakai sistim penafsiran yang sederhana atau sedang maupun yang lengkap. Namun kebanyakan kitab-kitab tafsir Maudlu’iy menempuh sistematika yang lengkap, yang meliputi beberapa tahap penafsiran. Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :
1.      Mencari judul atau topik Al-Qur’an yang hendak dibahas.
2.      Mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang dibicarakan judul atau topik tersebut.
3.      Menertibkan urutan ayat-ayat sesuai dengan tertib turunnya, makkiyah dan madaniyahnya, sesuai dengan riwayat sebab turunnya.
4.      Menjelaskan munasabah (persesuaian) antara ayat yang satu dengan yang lain dan diantara surat dengan surat.
5.      Berusaha menyempurnakan pembahasan judul atau topik tersebut dengan dibagi dalam beberapa bagian yang berhubungan bagian satu dengan bagian yang lain.
6.      Melengkapi penjelasan ayat dengan hadist Nabi, riwayat sahabat dan lain-lain, sehingga makin terang dan jelas.
7.      Mempelajari ayat-ayat yang satu judul atau topik secara sektoral, dengan menyesuaikan antara yang umum dengan yang khusus, yang mutlak dengan yang muqoyudad, yang global dengan yang terperinci dan memadukan antara ayat-ayat yang kelihatannya bertentangan satu sama lain serta menentukan yang nasakh  dari yang mansukh. Sehingga mencakup semua nash-nash mengenai satu judul atau topik. (Al-Farmawi, 1977: 61-62)

II.       PEMBAHASAN
A.    Diskursus Kemaslahatan dan Kemadharatan Khamr
Bila kita amati di Eropa umpamanya, kita dengan mudah menjumpai minuman keras hampir disetiap meja makan, padahal sebenarnya masyarakat setempat jelas tahu bahaya yang ditimbulkan minuman keras. Mereka juga mengetahui bahaya merokok. Tetapi kenyataan yang patut direnungkan, iklan-iklan rokok seperti yang sering kita saksikan sekarang bersamaan dengan pemberitahuan bahwa merokok dapat menyebabkan kesehatan. Al-Ghazali (1991: 150) menilai jika bukan karena penganut Masehi tidak menghendaki hokum Islam, sudah pasti mereka akan mengharamkan minuman keras. Sebab pada kenyataanya minuman keras banyak di jauhi kaum intelektual di kebanyakan Negara, atau paling tidak mereka mempunyai undang-undang yang melarang seorang meminum minuman keras ketika sedang mengendarai sepeda bermotor. 
Secara epistemologi diharamkannya khamr (minuman keras) bertahap, karena orang-orang pada masa permulaan Islam sangat tergila-gila kepadanya. Sehinnga jika pada masa itu khamr diharamkan dengan tegas tentulah hal itu akan membuat para pecandunya berpaling dari Islam. Sebab itu ia diharamkan secara bertahap. Pertama dalam surat al-Baqarah, diharamkan dengan cara memberi lapangan untuk berijtihad, sehingga orang yang belum kecanduan akan meninggalkannya. Kedua di dalam surat An-nisa’ pengharamannya hanya dalam waktu-waktu menjelang shalat. Sebab mereka dilarang mendekati shalat dalam keadaan mabuk. Dengan demikian orang yang mencandu hanyalah akan minum ketika sesudah waktu shalat isya’, dan ini sedikit sekali bahayanya. Kemudian setelah waktu subuh bagi orang yang tidak punya pekerjaan, sehingga mabuknya tidak akan memanjang hingga waktu dzuhur. Kemudian Allah membiarkan mereka dalam keadaan tersebut untuk beberapa massa, hingga agama menjadi kuat dan banyak terjadi peristiwa yang dengan itu mereka dapat melihat dengan jelas bahaya dan dosa khamr itu. Setelah itu Allah baru mengharamkannya dengan tegas dan ketat. (Al-Maraghiy, 1974: 41-42)
Para Ulama’ (tradisional maupun kontemporer) sepakat bahwa khamr haram hukumnya karena ia merupakan induk segala kejahatan. Ahli kedokteran mengatakan bahwa khamr merupakan bahaya besar yang mengancam kehidupan manusia, ini bukan saja karena keburukan-keburukan yang langsung ditimbulkannya, tetapi juga karena efek-efek yang fatal. Sebab, khamr akan menimbulkan penyakit yang tidak kecil, yaitu paru-paru. Khamr juga melemahkan daya imunitasnya terhadap serangan penyakit-penyakit lain dan berpengaruh terhadap seluruh organ tubuh, khususnya terhadap liver (hati) dan juga bisa melemahkan seluruh saraf.
Oleh karena itu khamr merupakan penyebab utama dari berbagai penyakit saraf. Ia merupakan faktor penting yang menyebabkan kegilaan, kesengsaraan dan perbuatan kriminal, bukan hanya diri sendiri tetapi juga keturunan. Dengan demikian khamr adalah penyebab kesengsaraan, kekacauan, pemborosan, kecanduan dan lain sebagainya. Bila melanda suatu kaum ia akan merusak secara material maupun spiritual, secara fisik dan mental, secara jasad dan akal. (Sabiq, 2004: 274)
     Meskipun begitu, efek dari alkohol ternyata tidak selamanya buruk. Dalam lima tahun terakhir ini manfaat dari konsumsi alkohol dalam jumlah sedang sudah menjadi topik utama berbagai pemberitaan meski masih dianggap kontroversial. Salah satu yang harus digarisbawahi dari berbagai hasil-hasil riset mengenai manfaat alkohol adalah konsumsi dalam jumlah sedang. Beberapa studi juga menyebutkan dampak positif tersebut hanya ditemukan pada orang yang sudah berusia paruh baya. Bahkan, konsumsi alkohol dalam jumlah sedang juga tidak dianjurkan untuk wanita yang sedang hamil atau berencana untuk hamil, atau untuk mereka yang berusia di bawah 21 tahun.
Bukti paling kuat dari konsumsi alkohol dalam jumlah sedang adalah menurunkan risiko penyakit jantung. Riset itu dilakukan dr Kenneth Mukamal, dokter penyakit dalam dan asisten profesor dari Harvard Medical School yang melakukan studi selama 12 tahun. Dalam laporannya di New England Journal of Medicine, ia menuliskan bahwa alkohol berdampak positif pada kolesterol baik (HDL). Selain itu, alkohol diketahui mengencerkan pembekuan darah sehingga mencegah penyumbatan pembuluh darah. (Kompas. com)
Kendati demikian, Mukamal menyebutkan bahwa potensi risiko dan manfaat dari konsumsi alkohol sebenarnya tidak sama pada setiap orang, tergantung pada riwayat kesehatan, usia, jenis kelamin, dan faktor genetik. Sementara itu, dr. Ari menambahkan bahwa meski dikonsumsi dalam jumlah sedikit, toleransi dari penggunaan sedikit itu makin lama semakin tinggi sehingga tetap berisiko menyebabkan ketagihan. (Kompas. com)

B.     Gradualitas Pengharaman Khamr dalam al-Qur’an
Imam Syafi’I (w. 204 H) mengelompokkan ilmu menjadi dua; pertama ia sebut sebagai ilmu ‘ammah (ilmu yang diterima secara umum) dan kedua ilmu khassah (ilmu yang menjadi wilayah orang tertentu [ulama’]). Yang pertama ilmu ‘ammah mempunyai nash dengan tegas dalam al-Qur’an atau sunnah (yang mutawatir) dan jelas diterima umat Islam yang cara penerimaannya secara berkesinambungan oleh umat Islam beruntun dari Nabi serta tidak terjadi perbedaan pendapat dalam periwayatan serta kewajibannya. Yang tergolong kelompok ini adalah kewajiban shalat lima kali sehari, puasa ramadhan, menunaikan Ibadah haji jika mampu, membayar Zakat; kemudian keharaman berzina, membunuh mencuri, minum khamr. Untuk itu semua tidak ada ruang perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin. Selain dari itu masuk dalam kategori ilmu khassah. (al-Syafi’I, tth: 357-360) dari penggolongan ilmu menurut Asy-Syafi’I, dapat kita lihat bahwa keharaman mengkonsumsi khamr termasuk dalam ilmu ‘ammah, artinya hal itu berlaku universal bahwa keharaman khamr selain sudah termaktub dalam al-Qur’an, juga sudah menjadi ijma’ ulama’.
Namun orientasi penetapan hukum (keharaman khamr) dalam al-Qur’an adalah untuk kepentingan manusia, bukan kepentingan Allah. Orientasi tersebut dapat dilihat antara lain pada proses pewahyuan al-Qur’an yang diturunkan secara beransur-ansur sesuai dengan kemampuan manusia. Turunnya al-Qur’an secara beransur-ansur tersebut mempunyai hikmah, antara lain agar manusia mudah memahami hukum-hukum yang ditetapkannya. Pada tahap pertama Allah belum secara tegas mengharamkannya seperti pada ayat berikut, yakni:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُون
Artinya; Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir (QS. Al-Baqarah: 219)

Pada ayat tersebut belum mengharamkan khamr bagi masyarakat Arab yang pada masa itu merupakan tradisi, melainkan mengingatkan kepada mereka meskipun khamr mempunyai manfaat akan tetapi manfaatnya tidak berarti jika dibandingkan dengan dosa yang diakibatkannya.
Setelah itu, turunlah ayat yang selanjutnya untuk memberi peringatan yang kedua kalinya yang sudah mengandung larangan, tetapi belum mencapai tingkat haram. (Shihab, 2005: 409)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ

    Artinya; Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,....(QS. Annisa: 43)

Firman Allah diatas turun sebelum ayat yang menegaskan haramnya khamr secara total. Firman Allah diats menunjukkan bahwa seorang tidak diperkenankan melakukan shalat karena keadaan mabuk. Hal ini kemudian menjadi petunjuk ‘illat pentahriman yang terdapat dalam ayat yang turun sesudahnya, sebagaimana di jelaskan pula oleh hadist Rasulullah bahwa ‘illat di haramkannya khamr ialah karena sifatnya yang memabukkan. (Abu Zahrah, tt: 374)  
Peringatan yang dikandung ayat ini, hanya berkisar pada larangan orang Islam yang meminum khamr ketika menjelang shalat. Sebab dengan minum khamr dapat menjadikan seorang mabuk, sehingga mengakibatkan ucapan seseorang tidak terkontrol. Karena tidak terkontrol bacaan shalatnya bisa salah dan shalatnya sia-sia.
Hal ini dapat diketahui berdasarkan riwayat yang menyebutkan peristiwa turunnya ayat diatas. Bahwa suatu ketika Abdurrahman bin auf mengundang beberapa sahabat untuk makan bersama. Dalam makan tersebut dihidangkan khamr yang menyebabkan mereka mabuk. Ketika waktu shalat tiba, salah seorang diantaranya diangkat menjadi imam, Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ali bahwa ketika itu shalat yang dilakukan adalah shalat magrib, dan ternya keliru membaca surat Al-kafirun menjadi seperti contoh berikut;
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُون
Artinya; “katakanlah: hai orang-orang kafir, kami menyembah apa yang kamu sembah....(QS. [109]: 1-2)
Berdasarkan peristiwa ini, ayat diatas turun membari peringatan supaya orang-orang Islam menjauhi perbuatan bermabuk-mabuk ketika mereka hendak mendirikan shalat. Sebah dengan keadaan mabuk maka dapat mengakibatkan kekacauan dalam bacaan shalat. (Al-Maraghi, 1974: 74)
Ada perbedaan makna antara kedua Uslub; La taqrabus-salata wa antum sukara dengan la taqrabus-salata sukara. Yang pertama mengandung larangan untuk mabuk yang di takutkan akan berketerusan hingga waktu shalat, sehinngga melakukannya dalam dalam keadaan mabuk. Makna ringkasnya, hindarkanlah agar mabuk itu tidak menjadi sifat kalian ketika datang waktu shalat, sehinnga kalian melaksanakan shalat dengan keadaan mabuk. Kepatuhan larangan ini baru bisa terlaksana dengan meninggalkan mabuk pada waktu shalat dan waktu menjelang shalat. Sedangkan yang kedua hanya mengandung larangan shalat dalam waktu mabuk saja.
Peringatan Allah ini belum membuat orang-orang Islam belum bisa berhenti dari kebiasaannya itu dan masih mencari kesempatan antara dua shalat untuk minum khamr miasalnya, antara waktu isya dan subuh. Waktu ini dijadikan kesempatan, sebab meskipun usai mereka minum khamr sebelum tidur, tetapi kondisi mabuk mereka akan kembali normal setelah bangun dari tidurnya. (al-Maraghiy)
Oleh karena itu untuk menghentikan perbuatan minum-minuman keras bagi orang-orang Islam, turunlah ayat selanjutnya untuk menerangkan bahwa perbuatan semacam itu merupakan perbuatan syaitan, yakni;
Dalam ayat-ayat terdahulu , Allah telah melarang mengharamkan parkara-perkara yang baik yang telah di halalkan-Nya dari perkara yang halal lagi baik. Diantara perkara yang di pandang baik oleh manusia diantranya adalah khamr. Karena itu Allah menjelaskan bahwa keduanya tidak termasuk perkara yang dihalalkan, tetapi diharamkan. (al-Maraghiy, 1974: 32)
  Ibnu Jarir dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan mengenai turunnya ayat-ayat ini, bahwa saad bin Abi Waqash ra. Berkata: “Ayat mengenai tentang khamr diturunkan sekaitan dengan saya. Seorang laki-laki anshar membuat makanan, lalu ia mengundang kami. Maka datang seorang kepadanya, lalu makan dan minum hingga mereka mabuk karena meminum khamr. Itu terjadi sebelum pengharaman khamr. Mereka saling menyombongkan diri: orang-orang Anshar berkata “kaum Anshar lebih baik”. Dan orang Quraiys berkata “kaum Qurays lebih baik” kemudian seorang lelaki memegang tulang dagu saya, lalu memukul dagu saya sampai koyak. Maka saya datang kepada nabi saw. Untuk memberitahukan kejadian tersebut, maka turunlah ayat;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya; Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-Maidah: 90)

‘Abad bin humaid, Ibnu Jarir, ibnu Mundzir, Baihaqi dan Ibnu Mardawaih meriwaytkan dari Ibnu Abbas; ayat tentang pengharaman khamr berkaitan dengan kabilah diantara kabilah anshar yang minum-minum. Tatkala kaum itu mabuk, maka mereka saling baku hantam. Dan tatkala mereka sadar, salah satu diantara mereka melihat bekas-bekas pada muka, kepala dan janggutnya dan berkata “saudara-ku si fulan telah melakukan ini kepadaku. demi Allah jika ia adalah seorang yang penyantun dan penyayang tentulah dia tidak akan melakukan itu terhadapku”. Begitulah kemudian mereka saling mendengki.
Ayat terakhir ini sudah tegas mengharamkan khamr dan dikategorikan sebagai perbuatan syaitan yang harus di jauhi orang Islam. Suatu kaidah menyebutkan bahwa setiap perbuatan yang di nisbahkan kepada syaitan, menunjukkan keharaman untuk dilaksanakan. (Umar Shihab, 410)
Diharamkannya khamr adalah sesuai dengan ajaran-ajaran islam yang meginginkan terbentuknya pribadi-pribadi yang memiliki kekuatan fisik, jiwa dan akal pikiran. Tidak diragukan agi khamr melemahkan kepribadian dan menghilangkan potensi-potensi terutama sekali akal. Apabila akal seseorang telah hilang maka akan menjadi binatang yang jahat dan timbul juga darinya kejahatan dan kerusakan yang tak terperikan. Pembunuhan permusuhan, membuka rahasia dan penghianatan terhadap tanah air adalah beberapa bentuk pengaruh negatif khamr. (Sabiq, 2004: 271)
   
C.       Hadd Sesuatu yang Memabukkan Selain Khamr
Dewasa ini khamr tidak hanya diartikan sebagai minuman keras saja akan tetapi lebih dari itu, devinisi secara sempit, hanya sebatas yang memabukkan saja, Khamr yang berupa minuman: Bir jenis, Wine Brandy Whyski Vodka, Mansion House, Tape ketan minggu pertama,Tape ketan minggu kedua, Tape singkong minggu pertama, Tape singkong minggu kedua Kadar alkohol. Maka muncul pertanyaan mengenai suatu yang muncul dari yang memabukkan selain minuman keras (minuman yang memabukkan). Zaman yang serba modern ini telah melahirkan berbagai hal (selain khamr) yang dapat memabukkan seperti Heroin, Putaw, Sabu-sabu, Pil (dengan macam-macam nama dan kadarnya) dan lain sebagainya, lalu bagaimana hukum terhadapnya? Apakah dapat di analogikan dengan khamr?
Kata khamr diambil dari akar kata khamara yang secara harfiah berarti menutup, maksudnya adalah menutupi akal.  Secara terminologi para pakar hukum Islam berbeda pendapat. Sabiq (2004:276) Khamr adalah cairan yang dihasilkan dari peragian biji-bijian atau buah-buahan dan mengubah sari patinya menjadi alkohol dengan menggunakan katalisator (enzim) yang mempunyai kekuatan untuk memisahkan unsur-unsur tertentu yang berubah melalui proses peragian. Imam Abu hanifah  dalam Quraiys Sihab khamr  adalah jenis minuman yang terbuat dari buah perasan anggur sesudah di masak sampai mendidih serta mengeluarkan buih dan kemudian menjadi bersih kembali. Sari dari itulah yang mengandung unsur memabukkan dan karena itulah ia haram/terlarang. (Quraiys; 2011: 171)
Mayoritas ulama termasuk Imam Malik, Syafi’i dan Hanafi menolak pendapat diatas. Khamr menurut mereka adalah; semua minuman yang mengandung unsur memabukkan, sekalipun tidak terbuat dari perasan anggur. Untuk memperkuat berikut dikemukakan beberapa hadist;
1.      Dari Annas bin malik, dia menceritakan kepada manusia bahwa sesungguhnya khamr telah diharamkan. Dan yang namanya khamr pada waktu itu ialah yang terbuat dari korma ”. (Bukhary, hadist no. 5305)
2.      Dari Abu Salmah bin Abdurahman; sesungguhnya Aisyah ra. Mengatakan:  “Rosulullah saw pernah di tanya tentang al bit’u yaitu khamr dari madu, yang biasa diminum oleh orang-orang Yaman, dan beliau menjawab: setiap minuman yang memabukkan hukumnya adalah haram”. (Bukhary, hadist no. 5306)
3.      Dari Ibnu Umar ra. Dia berkata: suatu hari umar berdiri diatas mimbar dan berpidato: “selanjutnya ayat yang menyatakan keharaman khamr sudah turun. Dan khamr itu terdiri dari lima macam; dari anggur dari kurma, dari madu, dari biji gandum, dan dari gandum. Khamr adalah sesuatu yang bisa menutupi akal”. (Bukhary, hadist no. 5302)
 Dari beberapa hadits diatas menunjukkan bahwa Khamr terbuat dari apapun, jika ada ‘illat yang memabukkan maka dihukumi haram. Di era modern sekarang ini khamr tidak hanya berbentuk minuman, banyak jenis seperti Brandy, wisky, martini, Liquor dan lain sebagainya, itu semua di haramkan karena dilihat secara etimologi khamr menurut ahli-ahli bahasa diambil dari akar kata khamara yang secara harfiah berarti menutup, maksudnya adalah menutupi akal riwayat lain menyebutkan mengacaukan akal. Oleh karena itu secara bahasa, khamr meliputi semua benda yang dapat mengacaukan akal. (Sabiq, 2004: 280)
Apa yang dibahas diatas adalah hukum-hukum tentang khamr. Adapun benda-benda yang dapat menghilangkan akal selain minuman seperti; Cloroform, ganja, sabu-sabu dan lain-lain hukumnya juga haram. Sebab benda-benda tersebut memabukkan. Dalam hadist muslim nabi bersabda; “Setiap yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr adalah haram”. (HR. Muslim).
Adapun khamr yang diubah menjadi cuka, Ibnu Rusyid mengatakan bahwa ulama’ telah bersepakat tentang memakan atau boleh meminum cuka yang terjadi dari khamr apabila khamr itu berubah dengan sendirinya. Akan tetapi terjadi ikhtilaf tentang khamr yang sengaja dijadikan cuka. Dalam hal ini terbagi menjadi tiga; pertama mengharamkan, kedua menghukumi makruh ketiga, membolehkan[1]. (Sabiq, 2004: 286)
Adapun perbedaan pendapat tersebut ada dua. Pertama adanya kontradiksi analogi (qiyas) dengan atsar. Kedua adanya pemahaman memahami hadist yang di keluarkan oleh Abu Dawud dari Anas bin Malik yang menceritakan bahwa Abu talhah bertanya kepada nabi saw. Tentang anak yatim yang mendapatkan warisan berupa khamr. Rasulullah bersabda “Tumpahkan khamr tersebut”. Abu talhah bertanya lebih lanjut, “Apakah tidak boleh aku olah khamr itu menjadi cuka? Maka nabi berkata lagi, “jangan”.
Siapa yang mengartikan larangan diatas sebagai pembendung kejahatan, maka hal itu akan membawanya menghukumkan “makruh”. Dan siapa yang memahami larangan itu sebagai larangan tanpa sebab/’illat, maka ia akan menghukumkan “haram”. Berdasarkan ini juga tidak ada pengharaman bagi orang-orang yang menganggap larangan itu tidak berlaku dengan musnahnya apa yang dilarang. (Shabiq)
Pertimbangan untuk menghukumkan kehalalan cuka dan tidak menharamkannya ialah kenyataan syariat yang mengajarkan kita barmacam-macam hukum itu disebabkan oleh bermacam-macam hukum itu disebabkan oleh bermacam-macamnya zat atau benda itu sendiri dan zat khamr bukan zat cuka. Cuka adalah halal menurut ijma’ ulama’ . apabila zat khamr berubah menjadi zat cuka, maka ia mesti halal bagaimanapun ia berubah. (Rusyid, 1988: 438)      

D.    Penetapan Hadd  Peminum Khamr
Setelah al-Qur’an menyatakan dan memberikan komitmen tentang adanya tahapan sampai pada titik diharamkannya khamr, maka kemudian para Sahabat melakukan ijtihad dan menetapkan hadd kepada para peminum khamr. Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk sesuai dengan apa yang dikehendaki dalam penciptaan mereka dan terhadap mereka, sebagaimana yang telah lebih dahulu ilmu-Nya. Tidak ada yang berhak memproses hokum-Nya dan Dia maha cepat perhitungan-Nya. Allah menurunkan al-Qur’an kepada mereka sebagai penjelas segala sesuatu, petunjuk dan Rahmat. Dia juga menetapkan kewajiban-kewajiban, meringankan dan memudahkan mereka, sebagai tambahan atas nikmat yang telah diberikan. Dia memberi pahala surga dan keselamatan dari siksa-siksanya kepada orang yang mau mengikuti Hukum-hukum yang telah Dia tetapkan.  
Dalam hal ini Syirazi (2004: 51) menyebutkan dalam Islam ada dua jenis hukuman yang ditetapkan, yang dikenal dengan hadd dan Ta’zir. Hadd bentuk jamak dari hudud. Secara bahasa hadd berarti cegahan sedangkan menurut istilah syara’ hadd adalah pemberian hukuman dalam rangka hak Allah. (Shabiq, 2004: 255)
Imam Izzudin Abdussalam berkata, “sesungguhnya penerapan sanksi hukum semata mata ditegakkan bukan hanya untuk menghindari kerusakan belaka, namun lebih bertujuan untuk merealisasikan maslahat bersama. Seperti hukum potong tangan bagi hukum rajam, cambuk, penjara bagi para pezina demikian pula bagi sanksi yang lainnya. Syariat Islam menetapkan bentuk hukuman tersebut dengan menimbang maslahat yang dihasilkannya. Dalam hal ini terdapat dua hukuman terhadap orang yang meminum khamr;
a)      Hadd Peminum khamr didunia
Ulama’ fiqh telah sepakat bahwa menghukumi peminum khamr adalah wajib dan bahwa hukuman itu berbentuk deraan. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang deraan tersebut. Dalam suatu riwayat ada yang berpendapat 40 seperti hadist dibawah ini; 

أنّ النبيّ صلى الله عليه وسلم أتي بر جل قد شر ب الخمرفجلدّه بجريد تين نخو أربعين.

Artinya: Bahwa Nabi saw. pernah didatangkan seorang lelaki yang telah meminum khamar, lalu beliau menderanya dengan dua tangkai pohon korma sebanyak empat puluh kali. (Shahih Muslim No.3218)

Anas mengatakan hal itu juga dilakukan oleh Abu bakar.  Ketika Umar sedang bermusyawarah dengan orang-orang Abdur Rahman berkata “hadd paling ringan sebanyak 80 kali”. Maka umar memerintahkan hal itu. Di dalam Ash-Shahihain diriwayatkan dari Ali, tidak mungkin saya menegakkan hadd terhadap seorang sampai mati, sedang saya merasa ada mengganjal didalam jiwa saya, terhadap peminum khamr. Sebab, kalau dia mati saya harus membayar diatnya. Hal itu disebabkan karena Rasulullah tidak pernah mensunnahkannya. Di dalam shahih Muslim di riwayatkan ustman datang membawa walid, sedangkan dia baru saja melaksankan shalat subuh dua rakaat. Dia berkata, “saya menambahkan kepada kalian”. Beberapa saksi untuk memberikan kesaksian terhadapnya, bahwa dia telah meminum khamr. Utsman memerintahkan supaya menjilid dan menghitungnya. Ketika sampai 40 kali Ali berkata “Hentikan” lalu katanya, nabi dan Abu bakar menjilid sebanyak 40 kali dan umar 80 kali. Semuanya itu adalah sunnah, sedangkan saya lebih menyukai yang ini (40 kali). (Al-Maraghiy, 1974: 46)
Pendapat tersebut didasarkan kepada hadist yang diriwayatkan oleh imam Muslim;
قا ل علي: جلد ر سو ل الله صلى الله عليه وسلم أربعين وأبو بكر أربعين وعمر ثما نين وكل سنة وهذا أحب إلي (رواه مسلم)
               Rasulullah telah menghukum dengan empat puluh pukulan, Abu Bakar (ra) juga empat puluh kali pukulan, dan Umar (ra) menghukum dengan delapan puluh kali pukulan. Hukuman ini (empat puluh kali pukulan) adalah hukuman yang lebih saya sukai”.  (HR. muslim)

Perbuatan Rasulullah adalah hujjah yang tidak boleh ditinggalkan hanya karena adanya perbuatan atau contoh lain, sementara ijma’ tidak diakui manakala bertentangan dengan apa yang dilakukan nabi, Abu bakar dan Ali. Adapun ijtihad umar yang menambah jumlah pukulan itu adalah untuk menandaskan celaan terhadap pelakunya dan hal ini memang boleh saja dilakukan jika Imam melihat urgensinya. Pandangan ini dikuatkan oleh kasus bahwa Umar pernah menghukum laki-laki yang gagah dan selalu minum khamr dengan hukuman sebanyak delapan puluh pukulan, sedang dengan seorang laki-laki yang lemah lagi kurus umar menghukum dengan empat puluh kali pukulan. Ituilah dasar Umar bin khatab menetapkan dasar hadd peminum khamr sebanyak delapan kali pukulan. (Shabiq, 2004: 297-298)
 Nabi Muhammad tidak pernah mensunnahkan hadd khamer sebab, pukulannya sebanyak 40 kali dan pukulannya satu kali tidak dipandang sebagai sunnah yang terbatas, karena dalam beberapa kesempatan, beliau menyalahi hal itu. Akan tetapi, itu menjadi sunnah yang di berlakukan oleh Abu bakar.
Ringkasnya, hukuman yang disyariatkan terhadap peminum khamr adalah pukulan yang dimaksudkan untuk menghinakan si peminum, menghardiknya dan membuat orang-orang menjauhi perbuatan itu. Sedangkan pukulan sebanyak 40 atau 80 kali adalah ijtihad dari para khalifah. Abu bakar memilih 40 kali, sedangkan umar 80 kali berdasarkan kesapakatan Abdu ‘r-Rahman bin ‘auf yang menyerupakan dengan hadd menuduh wanita-wanita muhshanat (yang memelihara diri).  (al-Maraghiy)
Dalam hal mengeksekusi hadd peminum khamr para sahabat menderanya dengan menggunakan pelepah kurma, sebagaimana dalam riwayat Imam Bukhari;
عن عقبة بن الحرث قال جئ بالنعيمان اوابن النعيمان شاربا فأمررسول لله صلى لله عليه وسلم من كا ن فى البيت ان يضر بوا قال فكنت انا فيمن ضربه فضربناه بالنعا ل والجريد (رواه بخرء)
“Dari Ukubah bin Harist ra, katanya, Nu’aiman bin nuaiman, karena itu minum yang memabukkan, maka Rasulullah memerintahkan kepada orang yang didalam rumah supaya memukulnya, maka uqbah saja juga diantara orang-orang yang memukulnya lalu ia pukul dengan terompah dan pelapah kurma”. (HR. Bukhary)

b)      Hadd peminum Khamr di Akhirat
Diriwayatkan dalam beberapa hadist orang yang minum khamr tidak hanya mendapatkan hukuman dalam dunia, namun diakhirat kelak juga akan dimintai pertanggung jawaban, sebagai mana dalam beberapa riwayat;
Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa minum khamr semasa di dunia dan belum sempat bertaubat maka diharamkan untuknya minum di akhirat kelak” (HR Bukhari no. 5575 dan Muslim no. 2003).
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah r.a, bahwasanya seorang lelaki datang dari Jaisyan (negeri Yaman) lalu ia bertanya kepada Nabi saw. tentang hukum minuman dari jagung yang sering mereka minum di negeri mereka. Minuman tersebut bernama mirz. Lalu Nabi saw. bertanya, “Apakah minuman itu memabukkan?” Lelaki itu menjawab, “Benar.” Lalu Rasulullah saw. bersabda, “Setiap yang memabukkan itu haram hukumnya dan sesungguhnya Allah SWT telah berjanji bahwa orang yang minum minuman memabukkan akan diberi minuman thinah al-khahal.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud dengan thinah al-khahal?” Beliau menjawab, “Keringat penghuni neraka atau air kotoran penghuni neraka”  (HR Muslim no. 2002).
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa minum khamr, maka Allah tidak akan menerima shalatnya selama empat puluh hari. Namun jika ia bertaubat maka Allah akan menerima taubatnya. Apabila mengulanginya kembali maka Allah tidak akan menerima shalatnya selama empat puluh hari. Jika ia kembali bertaubat maka Allah akan menerima taubatnya. Apabila mengulanginya kembali maka Allah tidak akan menerima shalatnya selama empat puluh hari. Jika ia kembali bertaubat maka Allah akan menerima taubatnya. Apabila untuk yang keempat kalinya ia ulangi lagi maka Allah tidak akan menerima shalatnya selama empat puluh hari dan jika ia bertaubat Allah tidak akan menerima lagi taubatnya dan akan memberinya minuman dari sungai al-khahal”. Ditanyakan, “Wahai Abu Abdurrahman apa yang dimaksud dengan sungai al-khahal?” Ia menjawab, “Sungai yang berasal dari nanah penghuni neraka,” (Shahih, HR. at-Tirmidzi no. 1862).
c)      Dasar pengambilan Hadd (Hukuman)
Sebelum menyatakan atau menghukum pemabuk hamat penulis sebaiknya, melakukan pembuktian terlebih dahulu. Sabiq (2004: 298) Pembuktian ini pun dapat dilakukan, Hukuman ditetapkan berdasarkan salah satu antara dua hal berikut;      
1.      Pengakuan Adanya pengakuan dari pelaku, pengakuan ini cukup sekali dan tidak perlu diulang-ulang.
2.      Saksi Jumlah saksi minimal dua orang yang memenuhi syarat-syarat persaksian (adil).
3.      Dengan tanda; a). Bau minuman b). Mabuk c). Muntah
4.       Test urine
d)      Syarat melakukan Hadd (Hukuman)
a.       Peminum adalah orang yang berakal, karena akal merupakan tatanan taklif (Tuntutan tuhan).
b.      Peminum itu sudah baligh.
c.       Di lakukan atas kehendak sendiri.
d.      Mumayiz, Peminum mengetahui bahwa apa yang diminum itu memabukkan. (sabiq, 2004: 298-299)

E.     Hukum Atas Pedagang Pemasok Dan Pengedar Khamr
Syariat Islam tidak hanya menjatuhkan hukuman atas pengguna barang memabukkan semata, namun seluruh pihak yang terlibat dalam kasus penyalahgunannya juga terkena saksi hukum. Abu daud meriwayatkan dalam sunannya dari Ibnu Umar ia berkata, “Rasulullah bersabda;
 
لعن الله في الخمر شاربها وساقيها وبائعها ومبتاعها وعاصرها ومعتصرها وحاملها والمحمولةإليه

Artinya: “Allah melaknat pemabuk khamer, penuang, penjual, pembeli, pemeras anggur, yang meminta diperaskan, yang membawa dan yang dibawakan”.

Perlu diketahui, dalam kitab fiqih klasik tidak disebutkan hukuman tertentu atas pemasok, pengedar dan pedagang obat terlarang. Namun sebagian ahli fikih kontemporer cenderung menjatuhkan hukuman seberat beratnya terhadap pemasok, pengedar dan pedagang narkoba. Hingga mereka menetapkan hukum orang yang memerangi Allah dan RasulNya, yaitu dibunuh, disalib atau dipotong tangan dan kakinya secara bersilangan. Dalam hal ini pemerintah boleh mengambil tindakan sepenuhnya untuk menjaga ketahanan masyarakat dan melindungi mereka dari mara bahaya. Pemerintah boleh menetapkan sanksi yang berat, seperti hukuman penjara, denda, penyitaan dan tindakan lain dapat mewujudkan maslahat bersama dalam rangka menjaga stabilitas kamtibmas. Dengan demikian oknum perusak dapat dieyahkan sekalipun dengan tindakan tegas seperti tembak ditempat dan hukuman mati jika dibutuhkan. Dalilnya sebagai berikut;
a.       ketetapan ahli fiqih bahwa pemerintah boleh menjatuhkan hukuman seberat-beratnya bahkan hukuman mati atas oknum yang menyebar kejahatan ditengah umat manusia, baik berbentuk ta’zir atau berbentuk kebijaksanaan politik.
b.      Sekiranya hukuman dijatuhkan lebih ringan, maka dia pasti akan melanjutkan aksi perusakan. Kejahatannya tidak dapat dibendung kecuali dengan hukuman mati. Berdasar hal itu, maka pemerintah yang berwenang boleh menjatuhkan hukuman mati sebagai bentuk ta’zir maupun dalam bentuk kebijaksanaan politik.
c.       Hadist shahih rasulullah berupa perintah membunuh peminum khamer pada ke empat kalinya, bila sebelumnya hukuman telah dijatuhkan atasnya dalam kasus sama, sementara ia tidak juga insaf dari perbuatan itu.
من شرب الخمر فاجلدوه فإن عاد فاجلدوه فان عاد فاجلدوه فان عاد فاقتلوه

Artinya: “Barangsiapa yang meminum khamer, hendaklah kamu mencambbuknya, jika diulangi, hendaklah kamu cambuk. Jika ia masih mengulaginya, hendaklah kamu cambuk, jika pada keempat kalinya ia masih juga mengulangi, maka bunuhlah ia.

Dari hadist diatas jika kita cermat, bahwa peminum khamr yang madharatnya yang ditimbulkannya hanya sebatas dirinya saja, keempat kalinya ia harus dihukum mati. Tentunya yang lebih dari itu, yaitu bagi para pedagang atau pemasok yang sudah jelas jelas menimbulkan madharat lebih luas tidak hanya menimpa perorangan, lebih layak mendapat vonis mati dari pada peminum khamr.

III.    Analisis Sebagai Kesimpulan
Asas –asas terpenting dalam melandasi ketetapan Hukum Islam (at-Tasyri al-Islami) antara lain; penegasan kesulitan (harj), keminiman pembebanan hokum, keberansuran dalam ketetapan hokum, kesulitan dengan kemaslahatan manusia, dan keadilan mutlak (wasil et al, tt: 224).
Legislator hokum Islam sangat mempertimbangkan unsur gradualitas (penahapan dan keberansuran) dalam ketetapan-ketetapan hukumnya agar lebih mengena ke dalam diri manusia dan lebih dekat pada ketundukan, dan agar jiwa manusia siap meninggalkan ketetapan hokum yang lama dengan ketetapan hokum yang baru dan ia lebih mudah menerimanya. Khamr (Minuman keras) misalnya tidak ditetapkan keharamannya dalam satu tahap, akan tetapi pengharamannya berlangsung dalam beberapa tahapan dimana nash-nash turun mengenai masalah ini dalam beberapa fase sebagai berikut.
Pertama Allah menurunkan firman-Nya “Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan. (QS [16]: 67). Kata “Sakaran” pada ayat ini berarti unsur memabukkan dari perasan buah kurma dan anggur dimana Asy-Syari’ mengisyaratkan dan memberikan tanda-tanda hokum bagi orang yang berakal bahwa pengolahan buah-buahan menjadi sesuatu yang memabukkan adalah pengolahan sesuatu tidak pada maksud penciptaannya. Ini adalah tindakan yang membahayakan dan tidak dituntut untuk dilakukan karena mengandung unsur bahaya. Sementara yang dianut adalah unsur pengolahannya pada suatau yang mendatangkan manfaat. Dan ini sesuai dengan rancangan penciptaan Tuhan terhadapnya. Sebab manfaat esensial tidak sempurna dengan hal tersebut. Buah-buahan adalah rezeki yang baik dan diharapkan dan diharapkan manusia agar dapat memelihara keberlangsungan eksistensi hidupnya. Disebutkan “yang baik” (hasan) pada yang keduanya bukan yang pertama dalam ayat tersebut merupakan petunjuk bahwa yang pertama tidak baik. Oleh karena itu, bagi orang yang berakal tentu dapat memahami makna ini dan berhenti melakukan hal yang dibenci asy-Syari’.
Setelah memberi peringatan ini dan setelah memberi isyarat bsgi orsng-orsng yang berskal secara riil dari kandungan titah pembuat hokum syara’  dan manusia mulai bertanya tentang kandungan kehendak syari’ secara nyata agar mereka dapat menjalankan kehendak tersebut, maka pada tahap kedua diturunkan firman Allah:
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan”. (QS. Al-Baqarah: 219)
itsm kabir” di sini berarti bahaya besar yang dapat mengakibatkan kerusakan akal, jiwa dan harta. Sedangkan “manafi’” dalam ayat tersebut adalah apa yang diperkirakan manusia mengandung berbagai manfaat yaitu kenikmatan mabuk itu sendiri. Konsep manafi’ ini bersumber dari sudut pandang pelaku minum, tidak dari sudut pandang pembuat hokum syara’. Oleh karena itu syari’ menitahkan kepada mereka dari sudut pandang mereka dan menjelaskan kepada manusia bahwa bahaya yang di timbulkan oleh khamr lebih besar dari manfaat yang mereka asumsikan.
Kemudian setelah itu pada tahap ketiga ketika diri manusia telah siap menerima bahwa mayoritas ketentuan mengarah pada keharaman yang dikehendaki oleh pembuat hokum syara’ maka dilakukan pencegahan secara lebih nyata bagi seorang yang minum khamr (minuman keras). Disini Allah pun menurunkan firman: hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sholat, sedang kamu dalam keadaan mabuk. (QS. An-Nisa: 43).
Terakhir dan setelah munculnya kerinduan dari jiwa-jiwa yang suci terhadap nash pasti tentang keharaman dan setelah jiwa manusia telah siap secara totalitas menerimanya, turunlah firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-Maidah: 90).
Ayat-ayat hokum yang diturunkan secara graduatif ini bertujuan untuk mencabut akar kebiasaan minum khamr dari komunitas masyarakat yang telah mengalami ketergantungan khamr, bahkan telah mendarah daging dan terlembagakan dalam komunitas social tersebut. Ketentuan hokum diberlakukan agar jiwa tiap individu didalamnya telah siap melalui gradualitas ketetapan hokum agar dapat menerima syariat baru yang diturunkan kepada mereka setelah dengan rela mengikuti ketetapan hokum sebelumnya yang ditetapkan untuk kemaslahatan dan manfaat bagi diri mereka sendiri.
Oleh karena itu terdapat hukuman kapada orang yang meminumnya,  sebut saja dalam syariat Islam klasik terjadi ikhtilaf di kalangan para ulama’ dalam menentukan Hadd khamr. pendapat yang pertama mengatakan cukup hanya 40 kali cambukan dan perdapat yang kedua 80 kali campukan. Dan pensyariatan hukuman tersebut agaknya berhenti hanya sampai pada Negara yang yang mempunyai ideology syariat Islam (Dar al-Islam).
Dewasa ini penulis melihat bahwa hadd khamr tidak-lah secara tegas di praktek-kan di Negara-negara Islam. Di Indonesia katakana-lah yang sebagian besar beragama Islam, Namun untuk menerapkan nilai-nilai Islam sangatlah susah diganjal disana sini. Seperti halnya di kota Solo. Untuk mengusulkan sebuah aturan (perda) tentang miras saja begitu susah. Sejak tahun 2007 elemen umat  Islam sudah mengajukan sebuah draf yang berisi aturan mengenai larangan adanya miras namun sampai sekarang perda itu bolak balik dari eksekutif dan yudikatif. Mensikapi hal itulah maka Selasa (20/12) LUIS (Laskar Umat Islam Surakarta) beserta elemen Islam lain mendatangi DPRD Solo.  Sesampainya di ruang dewan elemen umat Isam ditemui ketua DPRD Solo YF Sukasno dan anggota Asih Sunyoto.
Dalam membacakan sikapnya ketua LUIS, Edi Lukito menyampaikan bahwa LUIS beserta elemen Islam di Solo menolak Raperda Minuman Keras dengan pertimbangan bahwa dalam raperda tersebut terdapat beberapa keberpihakan pemerintah kepada Produsen miras dengan bukti membolehkan produsen, distribusi, penyedia dengan membolehkan beredar di Solo dan juga diberikan ijin dengan mudah. Padahal dengan kebijakan seperti itu Raperda bertentangan dengan UU tahun 2002 tentang kepolisian pasal 15 ayat 1 huruf c tentang menanggulangi pekat. Selain itu Raperda juga bersebrangan dengan UU No 36 tahun 2009 tentang kesehatan karena tidak memenuhi standard dan komposisi minuman. Tak cukup sampai disitu kejanggalan Raperda Miras ini juga terletak pada pembahasan bahwa peminum tidak diberi sanksi. (http://www.muslimdaily.net)
 Secara yuridis tidaklah terdapat pelarangan mutlak untuk miras. Yang ada adalah pengadaan, pengedaran, penjualan, pengawasan, dan pengendalian minuman beralkohol. Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 43/M-DAG/PER/9/2009, Minuman Beralkohol dikelompokkan dalam golongan sebagai berikut:
1.      Minuman Beralkohol golongan A adalah minuman beralkohol dengan kadar ethanol (C2H5OH) diatas 0% (nol perseratus) sampai dengan 5% (lima perseratus);
2.      Minuman Beralkohol golongan B adalah minuman beralkohol dengan kadar ethanol (C2H5OH) lebih dari 5% (lima perseratus) sampai dengan 20% (dua puluh perseratus); dan
3.      Minuman Beralkohol golongan C adalah minuman beralkohol dengan kadar ethanol (C2H5OH) lebih dari 20% (dua puluh perseratus) sampai dengan 55% (lima puluh lima perseratus).
Miras yang sering dikenal di masyarakat adalah minuman beralkohol golongan B dan C (dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997). Produksi, pengedaran dan penjualan minuman keras ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan. Selama ini miras dijerat dengan UU Tindak Pidana Ringan, akibatnya mendapat hukuman ringan. Hal itu tak membuat efek jera bagi pembuatnya. Untuk menimbulkan efek jera maka UU Kesehatan juga digunakan untuk menjerat pelanggaran dalam minuman keras.
Peraturan tentang minuman keras secara lebih detail dirumuskan dalam Peraturan Daerah. Daerah satu dengan daerah yang lainnya tentu memiliki kajian tersendiri dengan berbagai pertimbangan kondisi dan situasi daerahnya dalam menyusun Perda tentang miras ini. Solusi yang dapat ditawarkan untuk mengatasi efek negative yang ditimbulkan miras adalah dengan menggunakan UU yang memiliki sanksi lebih besar (seperti UU Kesehatan) sehingga menimbulkan efek jera. Kedua adalah dengan memperketat lagi Perda yang mengatur tentang pengadaan, pengedaran, penjualan, pengawasan, dan pengendalian minuman beralkohol.
Mengingat besarnya madharat khamr tersebut, maka hukuman itu  tidak hanya di dunia an sich melainkan banyak hadist yang riwayat bahwa khamr dan sejenisnya juga mempunyai implikasi hukuman di akhirat. Bagi umat Islam (khususnya Indonesia) penulis melihat orientasi hukuman peminum khamr lebih kepada pelanggaran nilai etika social (social etic), dari situ menjadi konstruk social yang mempunyai pandangan bahwa seorang peminum khamr bukan-lah orang muslim yang baik. Sehingga implikasi dari pandangan semacam itu lebih mengembalikan itu semua kepada Allah Swt, yaitu lebih tepatnya hukuman akhirat (dosa).  
 

IV.    PENUTUP
Demikian makalah yang dapat penulis sajikan, kritik dan saran yang konstruktif sangatlah penulis harapkan demi tercapainya suatu makalah yang baik. Semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua dan dapat memperkaya khazanah Intelektual kita.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar, Bahrudin, et al, Ahmad Musthafa Al-Maraghiy, Tafsir Al-Maraghiy Terj. Tafsir al-Maraghiy, Semarang: Toha Putra, juz VII, 1987.


Al-Naisabuny, Abi husain Muslim Bin Hallaj al-Kusairy, Sahih Muslim, Beirut: Dar al-kutb, 1992.

Al-bukhary, abi abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Shahih Bukhary,  Beirut: Dar al-kutb al-Ilmiah, 1992.

Ash-ShabunyAly, Muhammad, Al-Tibyan Fi Ulumi Al-Qur’an, Bairut : Dar Al-Irsyad, 1970.

Baidan, Nasirudin, Metode Penafsiran Al-Qur’an (Kajian kritis terhadap ayat-ayat yang beredaksi mirip), Yogyakarta: Pustaka pelajar Offset, 2002.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahannya, Diterjemahkan oleh yayasan Penerjemah Al Qur’an, ed. Revisi, (Semarang: Toha Putra, 1995).

Al-Ghazali, Muhammad, Kayfa Nata’amal ma’al Qur’an, al-Ma’had al-alami lil-fikr al-Islami, 1991



Majalah IDEA, Diskursus Transformasi Sosial “Haji Tak Haji”, Majalah Edisi 30, tahun 2011.


Ma’sum, Saefullah, et al, Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, terj. Ushul Fiqih, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2010.


Rusyd, Ibnu, Bidayah al-Mujtahid Wa Nihayah al-Muqtashid, Beirut: Dar al-Qalam,  juz I, 1988.


Sabiq, Sayyid, Fiqhus Sunnah, Dar al-Fath, 2004.

Shihab, Umar, Kontekstualita al-Qur’an,(Kajian Tematik atas ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an), Jakarta: Penamadani, 2005.

Shihab, Quraysh, “Membumikanal-Qur’an; fungsi dan peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, T.tp, t. th.

______________, Membumikan Al-Qur’an jilid II, Jakarta: Lentera Hati, 2011.

Sutopo, anam et al, Neal Robinson,Islam, a Conscise Introduktions terj. Pengantar Islam Komprehensif, Yogyakarta: PT. Fajar pustaka baru, 2001.

Al-Syafi’I, al Risalah, Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiyyah. Tth

Taufiqurrahman, Syirazi, Imam Muhammad, The Right of Prisoners According to Islamic teachings, terj. Islam Melindungi Hak-hak Tahanan, Jakarta: Pustaka Rizki, 2004.

Wasil, nashr farid Muhammad, et al, al-madkhal fi al-qawaidul fiqhiyah wa atsaruhaa fi al-ahkam al-syariyah, tth.


Internet:





 


[1] Mereka yang membolehkan ini antara lain; Umar bin khatthat, Syafi’i, Ahmad, Sufyan ats-tsauri, Ibnul Mubarak, ‘Atha bin Abu Rabah, Umar bin abdul Aziz dan Abu Hanifah.