Tuesday, January 22, 2013

KRITIK HADIS ORIENTALIS



PEMBELAAN ULAMA’ TERHADAP TASYKIK ORIENTALIS  
(Studi Terhadap Pemikiran Fazlur-Rahman dan M. M. Azami) 
oleh: Akmal Bashori


I.          PENDAHULUAN
Sejak pertengahan abad sembilan belas, definisi autoritas Rosulullah menjadi masalah penting bagi para pemikir keagamaan muslim.  Abad ke-19 merupakan hegemoni barat yang berkaitan dengan kelemahan politik dan agama masyarakat muslim yang telah menciptakan dorongan kuat diadakannya reformasi kelambagaan hukum dan sosial Islam. Desakan untuk dilakukan reformasi pada gilirannya menghasilkan tekanan untuk mengkaji kembali fondasi esensial kewenagan agama didalam Islam. Keperhatinan mengenai hadis nabi saw. Menjadi titik pusat dalam proses pengkajian kembali. (Brown, 1996: 37)
     
Hadis adalah ucapan (qauli) dan tindakan (fi’li), serta sikap dan kesan (taqrir) Nabi saw terhadap sesuatu. Hadist dalam risalah Islam merupakan teladan yang wajib diikuti. Sebagian besar hadist diriwayatkan secara lisan oleh sahabat kepada generasi penerus mereka (tabi’in) atau kepada sesama sahabat. Hanya sebagian kecil para sahabat yang meriwayatkan hadist secara tertulis. Karena hadist sebagai teladan, maka hadist dilestarikan dengan cara dihafalkan dan diamalkan dengan pratik ibadah. (Khaeruman, 2004: 3)
Ada dua tipe dasar; musnad: dimana hadist diklasifikasikan berdasarkan pada sahabat yang menyampaikannya dan mushannaf, dimana hadist disusun berdasarkan pokok permasalahannya. Masing-masing hadist mempunyai dua komponen. Pertama isnad atau mata rantai/ jalan periwayatan yang dihubungan kepada sahabat, dan kedua matan atau teks utama. (Robinson, 1999: 135)
Ketika Bukhary dan Muslim mengumpulkan koleksi mereka, banyak hadist palsu yang bermunculan. Beberapa hadist dibuat untuk alasan politis, misalnya untuk mendukung Umayah atau Abassiyah; beberapa dibuat karena kebencian, oleh orang-orang yang ingin mendiskriditkan Islam, beberapa motif dibuat karena golongan/sekte, oleh orang-orang syi’ah, orang-orang yang percaya pada kehendak bebas (kelompok Qadiriyah) atau para rahib yang ingin menganjurkan amal shalih. (Robinson, 1999: 136)
     Hal tersebut yang dijadikan argumen para kaum Orientalis seperti Goldziher yang menggunakan suatu kejadian individual yang bersifat khusus dan terbatas untuk menjadi bukti bagi hal-hal umum yang disinyalirnya, seperti wasiat Muawiyah kepada pengikutnya; jangan ragu-ragu untuk memaki-maki Ali dan menyumpahinya, dan perbanyaklah meminta ampunan Tuhan bagi Utsman. Wasiat itu oleh Goldziher dijadikan bukti bagi kebiasaan pembesar-pembesar bani umayah untuk memasukkan bias politik kedalam pemberitaan mereka, dan karenanya pemberitaan dari mereka tidak dapat diterima kebenarannya. Goldziher tidak membatasi pemberitaan hal-hal yang bersifat politis belaka, melainkan juga mengenai periwayatan hadist dari mereka. Hal ini sebenarnya secara ilmiah tidak boleh dilakuakan. (Khaeruman, 2004: 252-253)
Terdapat satu hal yang patut dicacat bahwa Ignaz Goldziher di kalangan internal Orientalis dipandang sebagai orang yang pertama kali berhasil meletakkan dasar skeptik terhadap hadist, bahkan hasil karyanya Muhamedanische Studien telah menjadi kitab suci bagi para orientalis sendiri. Sedangkan kehadiran Joseph Schacht lebih dikenal sebagai leading authorithy dalam kajian hukum Islam juga telah membawa dampak yang kuat terhadap sejumlah penelitian terhadap hadis oleh para orientalis. Karyanya The Origins of Muhammadan Jurisprudence telah menjadi semacam buku suci kedua dalam penelitian hadist di kalangan orientalis.
  Berangkat dari tesis yang dipaparkan oleh para orientalis Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, Snouck Hourgronje, dan lain-lain. maka center of probem tentang kesahihan sanad pun bergulir. Para sarjana Islam mulai dari M. ‘Ajjaj al-Khatib, Muhammad al-Ghazali, Yusuf  Qardhawi, Fazlur Rahman serta M. M. Azami dengan mati-matian membela keotentikan hadis. Yang dinilai paling komprehensif adalah garis pemikiran yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman (selanjutnya disebut Rahman). Rahman tidak saja sanggup menyanggah serangan kaum orientalis tersebut, tetapi juga membuka cakrawala pemikiran umat Islam tentang sunnah dan hadis itu sendiri. Dengan tanpa mengabaikan kode etik tulisan ilmiah mereka menulis banyak karya yang menggambarkan penyanggahan terhadap serangan kaum orientalis tadi.
  Maka bergulirlah pembelaan dari para sarjana muslim dengan memaparkan data-data yang otentik tentang bagaimana isnad hadis Nabi itu telah berlangsung sejak zaman Nabi (M. M. Azami, 1994: 124), meskipun belumlah secara sistematis. Embrio inilah yang menjadi patokan ulama-ulama Islam permulaan abad II H dalam membuat rancangan syarat-syarat isnad yang diterima (Ismail,1995:53).
Ada banyak orientalis yang memberikan sikap skeptisisme terhadap hadis Nabi, Namun dalam makalah ini akan lebih banyak diuraikan pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schach serta akan sedikit di paparkan pembelaan para sarjana Muslim terhadap sikap skeptisme tersebut (orientalis). Dan penulis juga hanya mengambil dua tokoh pembela dari kalangan Islam yaitu Fazlur Rahman dan M. M. Azami.
         
II.    PEMBAHASAN
A.    Gambaran Umum tentang Orientalis
Sebelum lebih jauh mengkritisi pemikiran para orientalis terlebih dahulu penulis akan sedikit mengulas pengertian orientalis. Secara etimologi Orientalis berasal dari bahasa Prancis yakni orien, artinya “Timur”. Dan secara geografis bermakna dunia belahan timur.  Kata orien itu telah memasuki berbagai bahasa di eropa, termasuk bahasa Inggris. Oriental adalah sebuah kata sifat yang bermakna hal-hal yang bersifat timur. Orientalis adalah kata nama pelaku yang menunjukkan seorang yang ahli tentang hal-hal yang berkaitan dengan timur. Kata “isme” menunjukkan pengertian suatu paham. (sou’yb, 1990: 1)
Orientalisme adalah paham mengenai masalah-masalah timur, khususnya tentang negeri Arab dan Islam. Kaum orientalis adalah para terpelajar yang menjadikan “agama Islam, kebudayaan Islam, negeri dan bahasa Arab” sebagai obyek studi mereka. Lawan orientalise adalah occidentalisme, yaitu penelitian dan pengertian mengenai agama, kebudayaan, dan negeri Barat. (Anshari, 2004: 251)
Pror. Dr. Ali Husni al-Kharbuthli, Guru besar di ‘ain Syams dalam Bukunya al-Mustasyiqun wat-Tarikhul Islami  kaum Orientalis dan sejarah Islam menerangkan bahwa motif orientalisme mempelajari Islam adalah sebagai berikut;
a.          Untuk kepentingan penyebaran agama Kristen
b.         Untuk kepentingan penjajahan
c.          Untuk kepentingan Ilmu pengetahuan semata.
Dr. Mukti Ali, membagi orientalisme menjadi tiga periode: pertama; memandang Islam dengan segala aspeknya dengan pangdangan jijik, permusuhan dan benci. Hal ini dapat dijumpai dalam buku orientalis tentang Islam yang ditulis sejak perang salib (Abad IX-XIV) hingga lahirnya Thomas Carlyle (1979-1851), dengan bukunya Heroes and Herois Worship. Periode Kedua; dunia orientalis memandang Islam dengan segala aspeknya, dengan pandangan yang bimbang dan confution mengenai kebenaran-kebenaran yang terkandung didalamnya. Periode ketiga; orientalisme menghampiri Islam dengan segala aspeknya dengan penghampiran ilmiah, tetapi mempelajari agama. Cinta pada obyek yang diselidiki. Cinta inilah yang cukup sukar terdapat pada kaum orientalis katolik. Dapat diketemukan disini yaitu Prof. Duncan Black McDonald dalam ceramahnya dalam Universitas Cikago (1960) mengatakan bahwa patologi dari nabi muhammad harus diselidiki untuk mendapat kepastian apakah muhammad itu waras atau tidak, jiwa muhammad sakit atau tidak. Juga Prof. H. A. R Gibb, salah seorang orientalis terbesar di benua Amerika dan Kanada, jiwa muhammad harus diselidiki mereka menganggap perlu ada penyelidikan terhadap jiwa dan Rasulnya umat Islam. (Anshari, 2004: 252-254)

B.     Survei Kajian Orientalis Terhadap Hadis
Banyak cendikiawan non-muslim dan kaum muslim modernis skeptis terhadap hadist dan menganggap sebagian besar hadist tersebut tidak otentik. Mereka mencatat pada periode awal hadist jarang digunakan untuk menetapkan hukum dan bahwa pada paruh kedua paruh kedelapan ketika hadist mulai diambil untuk tujuan ini, hadist sering kali diberikan dengan isnad yang tidak lengkap. Karenannya mereka menyatakan bahwa ahli hukum pada masa awal berstandart pada alasan individual; yang menjadi penolong bagi putusan yang dinyatakan oleh para sahabat yang datang kemudian; dan bahwa penekanan pada pentingnya hadis-hadis datang kemudian. (Robinson, 1999: 138)
Dalam pendapat mereka, Risalah Asy-Syafi’i (w. 820) menandai titik pergantian. Sebelum karya tersebut belum ditulis, para kaum muslim berasumsi bahwa peringatan al-Qur’an untuk mematuhi nabi ditunjuk terutama untuk orang-orang dimasa nabi Muhammad dan diterapkan pada situasi-situasi khusus selama hidupnya. Tetapi Asy-Syafi’i menunjukkan hirarki sumber hukum yang teliti, dan kerenanya menyusun teks-teks tersebut sebagai bukti bahwa al-Qur’an sendiri mengindikasikan bahwa hadist harus dianggap sebagai yang berwenang. Setelah pendapat Asy-Syafi’i mendapat penerimaan yang luas. Koleksi hadis-hadis tertentu dikumpulkan dan lebih banyak perhatian diberikan kepada isnad. Karena itu para skeptis menyimpulkan bahwa, kemungkinannya banyak hadis-hadis disusun pada abad ke delapan dan kesembilan oleh para ahli hukum yang ingin menjastifikasi pendapat-pendapat mereka yang mengembalikannya ke masa nabi.
Bisa dibantah bahwa para cendikiawan yang mengembil sikap ini terlalu keras menekankan alasan mereka. Karena satu hal mereka mengabaikan bukti bahwa para sahabat dan para tabiin menyusun koleksi hadist untuk koleksi pribadi mereka. Dan lagi mereka terlalu dini berpendapat bahwa kesalahan pada ahli hukum Islam terdahulu mengutip hadist-hadist yang relevan untuk mendukung argumen yang khusus (penting), menyatakan secara tidak langsung bahwa hadist-hadist tersebut belum ada. Sama halnya, ketika mereka mengambil kesimpulan dari isnad yang tidak lengkap dalam karya-karya seperti karya Imam Malik bin Annas (w. 795) dalam kitab Almuwata’  bahwa isnad tersebut diperbaiki dengan tidak jujur oleh generasi berikutnya, mereka menyatakan tanpa bukti. Para ahli hukum yang mengutip sumber yang diketahui secara luas sering kali melaksanakannya secara tidak langsung tidak masuk ke detail yang tidak penting, dan malik mungkin melakukan hal yang sama. Namun, penelitian yang lebih baru, yang menggunakan metode yang, lebih baru dengan menggunakan metode yang  berbeda, menunjukkan dengan agak tidak menyakinkan bahwa mayoritas isnad  dalam koleksi hadis standart adalah orang yang dicurigai.
Gugatan orientalis terhadap hadis bermula pada pertengahan abad ke-19 M, tatkala hampir seluruh bagian Islam telah masuk dalam cengkraman orientalis kolonialisme bangsa-bangsa eropa. (Arif, 2008: 28) adalah diantara para kaum orientalis yang terkemuka adalah Ignaz Goldziher dan Josep Schacht, mereka dianggap mempunyai kapasitas keilmuan Islam yang karyanya di jadikan Kitab suci bagi kaum orientalis terhadap sikap skeptisme hadis.  
Skeptisisme Ignaz Golziher dan Josep Schach
Sekembalinya Goldziher nyatri di Universitas Al-Azhar, Kairo, setelah kurang lebih setahun (1873-1874), ia di nobatkan menjadi menjadi orientalis yang konon paling mengerti tentang Islam. Meskipun tulisan tulisanya tentang Islam sangat negatif dan distorsif, mengelirukan dan menyesatkan. Pandangan Goldziher tentang hadis dapat kita lihat dalam karya monumentalnya  Mohammedanische Studien yang terbit pada tahun 1890 dalam bahasa Jerman dan kemudian diterjemahkan oleh C. R. Barber dan S. M. Stern  ke dalam bahasa Inggris dengan judul Muslim Studies (London : George Allen & Unwim, 1971).
Dibandingkan dengan pendahulunya, pendapat Goldziher mengenai hadis lebih negatif. Menurut dia dari sekian banyak hadis, sebagian besar dikatakan tidak bisa dijamin keasliannya alias sebagai hadis palsu. Dan karena itu tidak dapat dijadikan sumber informasi mengenai sejarah awal Islam. Menurut Goldziher hadis merupakan lebih kedalam refleksi interaksi dan koflik berbagai aliran dan kecenderungan yang muncul kemudian di masyarakat muslim pada periode kematangannya, ketimbang sebagai dokumen awal sejarahnya. Ini berarti menurut dia hadis adalah produk bikinan orang Islam beberapa abad setelah nabi wafat. (Arif, 2008: 28-29)
Goldziher juga mengatakan, dengan tanpa bukti-bukti otentik tentang hadis, sungguh gegabah-lah untuk mengemukakan pendapat yang sekedar menduga, tentang bagian hadis mana yang merupakan bagian-bagian asli yang tertua, atau tentang manakah di antaranya yang berasal dari Muhammad. (Goldziher, 197: 18-19)
Sementara tentang sunnah ia mengemukakan bahwa konsep ini telah ada pada masa Arab pra-Islam dengan makna tradisi-tradisi, adat istiadat dan kebiasaan nenek moyang bangsa Arab yang menjadi panutan. Tetapi dengan detangnya Islam, konsep ini berubah menjadi model perilaku nabi, dan idealitas sunah-sunah orang Arab pra-Islam berakhir. Selain itu Golziher juga mengemukakan bahwa hadis dan sunnah nabi eksis bersama-sama serta memiliki substansi yang sama yakni keduanya bukanlah hal terpisah, tetapi menyatu. Perbedaan antara keduanya adalah hadis hanya semata-mata merupakan laporan yang bersifat teoritis, sedangkan sunnah adalah laporan senada yang telah memperoleh kualitas normatif dan menjadi prinsip praktis bagi kaum muslimin. Ia juga mencatat bahwa dalam literatur Islam awal terdapat perbedaan antar keduanya, yang terkadang bertabrakan antara yang satu dengan yang lainnya. Pada titik ini Goldziher mendefinisikan sunnah sebagai praktik hidup dan aktual masyarakat muslim awal, berdasarkan tanpa tradisi oral nabi. (Goldziher, 1971: 24-25)              
Goldziher mempertahankan pendapat awal bahwa fenomena hadis berasal dari zaman Islam yang paling awal dan mendukung kemungkinan adanya catatan hadis informal pada masa nabi walaupun ia menyatakan keragu-raguaannya atas beberapa catatan yang dikatakan pada masa itu.   Dengan kedatangan Islam, kandungan konsep sunnah bagi kaum muslimin berubah menjadi model perilaku nabi, yakni  norma-norma praktis yang ditarik dan diucapkan dan tindakan nabi yang diwartakan.
        Pada tahun 1950 muncul karya  baru yang melanjutkan kerangka dasar penelitiah Goldziher yaitu Joseph Schacht (selanjutnya disebut Schacht) adalah seorang orientalis Jerman spesialis dalam kajian fiqih/hukum Islam., lahir pada tanggal 15 Maret 1902 di kota Rottbur. Schacht memulai studi perguruan tinggi dengan mendalami filologi klasik, teologi dan bahsa-bahasa timur di Universitas Prusla dan Leipzig. Termasuk pakar yang cukup produktif. Selain dikenal sebagai pakar fiqih, Schacht juga banyak menulis dalam bidang kajian lain, seperti teologi, sejarah ilmu pengetahuan, filsafat di dunia Islam, serta kajian tentang manuskrip-manuskrip Arab (Badawi, 2003: 270-274).
Era modern, yakni sejak abad ke-19 merupkan periode yang di dalamnya kepercayaan tradisional mulai mendapati dirinya dihadapkan pada berbagai tantangan serius, melalui imperealisme, pengaruh peradaban barat terhadap timur, terutama dunia Islam sangat kuat. Sebagai akibatnya, beberapa aspek ajaran Islam dipertaanyakan, diantaranya adalah otentisitas Hadis dan Hukum Islam. (minhaji, 2001: 16)
Yaitu Schacht, adalah diantara para sarjana barat yang meruntuhkan pemahaman trsdisional tentang hukum Islam. Kajian Schacht tentang persoalan ini tidak bersifat teologis maupun yuristik, tetapi lebih bersifat historis dan sosiologis. Sunah nabi merupakan sunah nabi yang didalamnya Schacht mengalamatkan penelitiannya. Walaupun diakui bahwa Goldziher adalah pelopor kajian kritis terhadap hadis, namun demikian, perkembangan sistematis dari gagasannya (Goldziher), formasi rinci mengenai kriteria untuk mengevaluasi hadis, dan penerapannya terhadap sejumlah besar bahan-bahan dalam sumber-sumber Arab asli, merupakan karya Schacht. Schacht sendiri mengakui bahwa kesimpulannya hanya menguatkan dan mengelaborasi teori besar yang telah diajukan oleh para pendahulunya, Goldziher. (Minhaji)
Menurut Schacht (2001: 58), konsep awal sunah adalah tradisi yang hidup dalam madzab-madzab fiqh klasik, yang berarti kebiasaan atau “kebiasaan yang disepakati secara umum”. Salah satu kesimpulan Schacht yang paling penting dan menyakitkan bagi bagi seorang Muslim yang saleh, pernyataan Schacht tersebut adalah “rujukan hadis-hadis dari para sahabat merupakan prosedur yang lebih tua, dan teori tentang otoritas hadis dari nabi yang berkuasa adalah sebuah inovasi”.  (Schacht, 30) untuk menghadirkan ini ia menghadirkan diskusi yang relatif panjang yang di dalamnya ia menguji, diantara yang lain, perkembangan historis istilah sunnah sebagaimana  telah dipakai masa arab pra-Islam, awal Islam aliran fiqh klasik, oleh ahli hukum yang terkenal seperti syafi’i, khususnya bagaimana istilah itu berkembang sebagaimana konsep sunnah Nabi.
Menurutnya, Asy-Syafi’i merupakan ahli hukum Islam pertama yang secara konsisten memberi batasan terhadap sunah sebagai model perilaku nabi atau sunah nabi, yang identik dengan tradisi Nabi, (Hadis atau dokumen sunah). Selanjutnya Schacht mengemukakan bahwa bagi generasi-generasi sebelum Asy-Syafi’i, sunah mencerminkan kebiasaan tradisional masyarakat yang membentuk “tradisi yang hidup” pada basis yang sama dengan praktek biasa atau disepakati secara umum. (Schacht, 1959: 58)
Schacht mencontohkan pemalsuan sanad dalam kitab “al-Muwwatta” ada hadis yang putus sanadnya, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Malik dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya bahwa umar bin Khattab ketika berada dimimbar pada waktu khutbah jum’at, beliau membaca ayat sajdah (ayat yang dimana pembaca atau pendengarnya disunahkan sujud). Maka lalu beliau turn dari mimbar dan sujud, kemudian orang ikut sujud juga. Pada hari jum’at yang lain beliau juga membaca ayat seperti itu, sehingga orang-orang pun bersiap-siap untuk sujud. Namun ketika beliau melihat hal itu lalu berkata; tenanglah karena Allah tidak mewajibkan bersujud dalam ayat sajdah kecuali apabila kita mau. Dan beliau pun mencegah mereka bersujud. (al-muwwatta)
Kata Schacht; dalam kitab al-Bukhary terdapat sanad lain yang bersambung. Dan dalam satu naskah kuno, kitab al-Muwwatta terdapat kata-kata “dan kami bersujud bersama Umar, dan kata-kata ini tidak pernah diucapkan Urwah, hanya dianggap bahwa hal itu ucapannya. Dan kenyataanya teks asli kitab al-Muwwatta’. Maka hal ini merupakan bukti yang menunjukkan bahwa pembuatan teks hadis itu sudah ada lebih dahulu, kemudian baru dibuatkan sanadnya bersama teks tersebut secara palsu. Kenudian sanad itu dikembangkan dan direvisi sedemikian rupa, sehingga hadis itu disebut sebagai berasal dari masa silam. (Schacht) menyebutkan kitab tersebut tidak ada dasarnya sama sekali. (M. M. Azami, 1978: 566-567)        
Schacht selanjutnya mengatakan bahwa tujuan Muhammad adalah;
“bukan menciptakan hukum baru, tujuannya adalah mengajarkan kepada manusia bagaimana bertindak, apa yang harus dikerjakan, dan apa yang harus dihindari supaya lolos dari perhitungan dihari kiamat dan agar masuk surga. Inilah mengapa Islam pada umumnya dan hukum Islam pada khususnya merupakan sebuah sistem kewajiban (ritual, hukum, moral) di atas dasar yang sama dan membawa mereka semua di bawah otoritas keagamaan yang sama. Apakah ukuran-ukuran keagamaan dan etika telah diharapkan secara menyeluruh pada semua pada aspek semua perilaku manusia, dan apakah mereka telah mengikuti secara konsisten dalam praktek, tidak akan ada ruangan dan kebutuhan bagi sistem hukum dalam arti sempit makna hukum itu. (minhaji, 2001: 20)
Sebagaimana telah disinggung diatas, gugatan Schacht terhadap hadis berkisar pada masalah isnad dan hampir semua hadis tidak ada yang otentik. Bahkan bukan hanya kebanyakan hadis adalah palsu nyaris mustahil untuk diketahui,  jika mengandalkan sumber-sumber sejarah Islam itu sendiri. Meskipun sudah banyak dikritis, teori Schacht masih banyak diadopsi dan dikembangkan diantarany oleh Junboll. Tidak hanya pendekatan kesimpulan orientalis Belanda ini pun tidak berbeda dengan apa yang dikatakan Schacht. (Arif, 2008: 34)
Belakangan muncul juga upaya-upaya dari kalangan orientalis untuk merevisi dan menetralisir pandangan-pandangan Goldziher dan Schacht yang dinilai terlalu keras dan tajam, orientalis Inggris Jhon Burton, misalnya menolak seluruh hadis dan menganggap semuanya palsu adalah keliru. Namun kritik dan revisi yang paling signifikan dilakukan oleh Harald Motzki. Dosen Universitas Nijmegen (Belanda) ini tidak setuju dengan Schacht mengenai awal munculnya hadis. Berdasarkan hasil analisanya atas isnad maupun matan hadis yang terdapat dalam kitab al-Mushannaf  oleh Abdul Razaq an-Shan’ani (w. 211 H/826 M), motzaki menyimpulkan bahwa kecil sekali kemungkinan adanya keberagaman data periwayatan itu merupakan hasil pemalsuan yang terencana. Menurutnya baik matan maupun isnad dalam kitab tersebut layak dipercaya. Kesimpulannya ini berbeda dengan skeptisisme Schacht yang menganggap bahwa semua hadis adalah palsu. (Arif, 2008: 35-36)     

C.       Kritik Metodologi dan Epistemologi Orientalis

1.   Koreksi M. Mustafa al-Azami atas Konsepsi Sunnah dan Hadist menurut Orientalis.

M. M Azami adalah seorang cendikiawan muslim kelahiran India pada tahun 1932. Beliau adalah Guru besar Ilmu Hadist di Universitas King Saud Riyadh Saudi Arabia, yang lebih dikenal dengan nama M. M Azami. Dalam bukunya Studies in Earli Hadith Literature. Azami berupaya untuk melakukan counter-balik terhadap sikap skeptisme para kaum orientalis terhadap hadis. Buku tersebut yang semula merupakan Disertasi M. M Azami di canbridge University, Ingris, pada tahun 1965/1966. Sumbangan pemikiran M. M Azami yang terpenting di paparkan dalam bukunya, apa yang disebut penelitian Hadis itu? Menurut M. M Azami, yang disebut penelitian hadist adalah berbeda dengan penelitian klasik yang sudah menemukan bentuknya yang baku, sepeti yang dipelajari di pesantren-pesantren. (Khaeruman, 2004: 244)
Sebagaimana disinggung diatas, gugatan orientalis dan para pengikutnya terhadap hadis yang telah dijawab dan di tolak oleh para pakar. Berikut ini akan diungkapkan kelemahan-kelemahan dan kesalahan metodologis maupun epistemologis yang terdapat dalam tulisan-tulisan orientalis. Ambil sebagai contoh Josep Schacht, menurut M. M. Azami (1985: 115-153) kekeliruan dan kesesatan schacht ada lima perkara; 1) sikapnya tidak berteori dalam menggunakan rujukan. 2) bertolak dari asumsi-asumsi yang keliru dan metodologi yang tidak ilmiah. 3) salah dalam menangkap dan memahami sejumlah fakta. 4) ketidak tahuannya akan kondisi politik dan geografis yang ia kaji. 5) salah paham atas istilah-istilah yang dipakai oleh ulama’ Islam.    
Lanjut lagi M. M. Azami Sebagaimana dikutip Khaeruman, Titik tolak pemikiran yang dikemukakan dalam bukunya, Studies in Early Hadith Literature, membagi itu semua kedalam dua hal penting;
1.      Penelitian semua hipotesis orientalis, seperti Goldziher dan schacht, penelitian ini difokuskan pada sebab-sebab yang melemahkan teori mereka masing-masing.
2.      Penelitian atas otentisitas bahan-bahan kesejarahan yang digunakan oleh para orientalis, seperti teks-teks yang masih tersimpan dalam tulisan tangan/prasasti.
     Kedua fokus kajian penelitian yang dilakukan M. M. Azami, secara langsung atau tidak langsung mementahkan argumentasi kaum orientalis diatas mengenai hadis. Kritik terhadap teori schacht sesungguhnya telah dirintis melalui penelitian yang dilakukan oleh Nashir al-Din al-asad dari Yordania dalam bukunya; Mashadir al-Ula, yang terbit pertama kali dikairo pada tahun 1962. Al-asad berhasil menyajikan fakta-fakta dan dokumen mengenai perkembangan subur dari seni tulis menulis di jazirah Arab, suatu hal yang tidak diakui oleh Goldziher. Karya al-Asad inilah yang sebenarnya menjadi perintis dari studi yang puncak akhirnya pada karya M. M. Azami yang berhasil melemahkan teori schacht. (Kaeruman, 2004: 249-250)
M. M. Azami melakukan kritiknya dengan cara sebagai berikut;
1. Meneliti tuduhan Goldziher c.s, bahwa hanya sedikit sekali hadis yang terpelihara, karena hadis diturunkan secara lisan dari generasi umat selama abad I H. Penelitian M. M. Azami membuktikan:
a. Hadis turun tidak hanya dengan cara lisan belaka. Ia menunjang pembuktian ini dengan menerbitkan tiga buah corpus hadis yang dieditnya dalam disertasinya, yaitu naskah-naskah  Suhail Ibn Abi salih, Ubaidillah Ibnu Umar, dan Ali al-Yaman al-Hakam, yang kesemuanya berasal dari abad I H. Dengan demikian tuduhan bahwa hadis mudah di palsukan dan tidak dapat diimbangi oleh makna yang otentik dan buatan menjadi tidak terbukti lagi.
b. Penggunaan atas Istilah istilah yang digunakan dalam referensi hadist menunjukkan, berita yang menyatakan Ibn Sihab al-Zuhri adalah orang yang pertama menuliskan hadis pada abad ke II H (Awwaluhu man Dawwana al-Ilma) mengandung arti lain dari pada yang diduga dan diterima secara umum selama ini. Azami membuktikan bahwa al-Zuhri adalah pengumpul dari koleksi naskah-naskah hadis yang telah dibukukan selama tengah abad sebelumnya. Demikian pula dengan istilah-istilah yang selama ini dianggap mempunyai istilah yang dianggap konotasi transmisi hadis secara lisan, oleh Azami dianggap pula memiliki arti tulisan dan tertulis. Azami mendasarkan anggapannya ini adalah dari pembuktian bahasa dan bukti-bukti tertulis sejarah atas istilah bahasa dan bukti-bukti tertulis atas istilah seperti; haddasana, akhbarana, sami’na dan sabagainya. Azami membuktikan kesalahan kaum muslimin selama ini, kesemuanya istilah diatas hanya memiliki konotasi oral belaka.
c. Pembuktian tentang kesalahan dalam memahami hadis-hadis yang melarang penulisan hadis oleh nabi muhammad, sebagaimana secara gencar dikemukakan oleh Imam al-Qahir al-Baghdadi dalam karyanya, taqyid al-‘ilm Azami membuktikan bahwa hanya ada satu saja hadis yang otentik yang berhubungan dengan penulisan hadis, yang memiliki sanad dha’if . adapun hadis yang satu-satunya tidak melarang penulisan hadis secara umum, malainkan melarang menuliskan hadis dalam carikan kertas, pelepah kurma, muka tulang, kain yang telah berisikan tulisan al-Qur’an setelah Nabi wafat nantinya. Pembuktian telah dilakukan bahwa pembuktian dilakukan atas kenyataan, bahwa penulisan hadis adalah kejadian yang normal dimasa kehidupan beliau, terlebih setelah berakhirnya pemerintahan Khulafaurrasidin pada paruh abad I hijriyah.
2. Disamping pembuktian atas kepalsuan tuduhan bahwa hadis tidak terpelihara karena diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi,  Azami juga meragukan argumentasi yang diajukan baik oleh Goldziher maupun Schacht, antara lain melalui cara-cara sebagai berikut;
a. Goldziher yang menggunakan suatu kejadian individual yang bersifat khusus dan terbatas untuk menjadi bukti bagi hal-hal umum yang disinyalirnya, seperti wasiat Muawiyah kepada pengikutnya; jangan ragu-ragu untuk memaki-maki Ali dan menyumpahinya, dan perbanyaklah meminta ampunan Tuhan bagi Utsman. Wasiat itu oleh Goldziher dijadikan bukti bagi kebiasaan pembesar-pembesar bani umayah untuk memasukkan bias politik kedalam pemberitaan mereka, dan karenanya pemberitaan dari mereka tidak dapat diterima kebenarannya. Goldziher tidak membatasi pemberitaan hal-hal yang bersifat politis belaka, melainkan juga mengenai periwayatan hadist dari mereka. Hal ini sebenarnya secara ilmiah tidak boleh dilakuakan. (Khaeruman, 2004: 252-253)
b. Goldziher dan Schacht sering kali tidak melakukan penelitian (cheking) ulang yang mendalam atas bahan-bahan kesejarahan yang mereka pakai dalam pembuktian, sehingga terjadi bahwa bahan-bahan tersebut justru melemahkan argumentasi mereka sendiri. Untuk sinyalemennya ini, Azami mengemukakan beberapa puluh contoh yang diambil dari karya-karya Goldziher dan Schacht.
c. para Orientalis, tidak terkecuali schacht yang dikenal memiliki obyektivitas yang diakui, sering menutupi bahan-bahan kesejarahan yang bertentangan dengan pembuktian yang sedang mereka kemukakan dan hanya menggunakan bahan-bahan yang memperkuat teori-teori mereka belaka. Juga untuk diambil contoh-contoh cukup banyak dari karya-karya Schacht.
d. Seringnya Schacht terlebih Goldziher, salah mengartikan ucapan-ucapan atau kejadian-kejadian yang di ceritakan dari sumber kesejarahan. Contohnya adalah ucapan Amir Ibn Sha’bu: Aku tak pernah menulis dengan tinta hitam diatas permukaan kertas putih atau meminta seorang untuk mengulangi sebuah hadis sampai dua kali. Ucapan ini tidak ada hubungannya dengan larangan menuliskan hadis, malainkan hanya untuk menunjukkan kekuatan hafalan Amir saja. Walaupun demikian Schacht menggunakannya sebagai dalil pembuktian, bahwa abad pertama hijriyah kaum muslimin dilarang menuliskan hadis.            

2.      Koreksi Fazlur Rahman atas Konsepsi Sunnah dan Hadis menurut Orientalis

Menurut  Rahman dalam Islam menulis bahwa banyak usaha para orientalis yang lihai dicurahkan untuk mendiskreditkan keseluruhan batang tubuh hadis selagi ia mengambil bentuknya dalam abad III H/IX M. Goldziher dengan karyanya Muslim Studies adalah orang pertama kali yang melihat hadis dari proses evolusinya. Begitu Nabi tampil, maka semua perbuatan dan tingkah lakunya menjadi sunnah bagi masyarakat muslim. Snouck Hurgronje menyatakan bahwa umat Islam menambah sendiri sunnah. Margoliouth mengatakan bahwa (1) Nabi tidak meninggalkan sunnah/hadis kecuali al-Qur’an; (2) sunnah yang dipraktekkan umat Islam awal adalah kebiasaan bangsa Arab pra-Islam yang termodifikasikan dalam al-Qur’an; (3) untuk menjamin nilai otoritas sunnah, generasi berikutnya mengembangkan konsep sunnah Nabi dan menciptakan sendiri mekanisme hadis. Begitu pula dengan Schacht yang menyatakan bahwa sunnah Nabi baru timbul di kemudian hari. Rahman meringkas pendapat Schacht mengenai perkembangan hadis yaitu ketika pertama kali hadis beredar, hadis tersebut tidak disandarkan kepada Nabi. Tetapi disandarkan kepada para tabi’in, kemudian para sahabat, dan baru akhirnya kepada Nabi.
Terdapat dua keberatan yang dikemukan oleh Rahman terhadap konsep sunnah dari para orientalis di atas, yaitu keberatan logika dan historis (Rahman, 1994: 55-56). Pertama; Keberatan logikanya adalah berkaitan dengan pendapat Goldziher  yang menganggap sunnah di satu sisi sebagai “praktek normatif” dari masyarakat muslim awal dan pada sisi lain ia dianggap sebagai “praktek yang hidup serta aktual”. Kedua; keberatan historisnya adalah “Nabi tidak meninggalkan warisan apapun selain al-Qur’an”. Keberatan ini dijawab oleh Rahman dengan menunjukkan kesalahan mereka terhadap pemahaman konsepsi sunnah.
Rahman keberatan dengan tesis Goldziher yang mengartikan sunnah sebagai “praktek normatif” masyarakat muslim awal dan sekaligus sebagai praktek yang hidup serta aktual. Konsep tersebut menurut Rahman, tidak benar karena yang normatif dan yang aktual adalah saling bertentangan. Bahkan beberapa penulis modern dari kalangan orientalis menganggap bahwa sampai abad II H/VIII M istilah sunnah tidak berarti praktek Nabi, melainkan praktek masyarakat lokal kaum muslimin Madinah dan Iraq (Rahman, 1994:70).
Rahman mengakui bahwa istilah sunnah mungkin sekali mula-mula tidak dirumuskan sebagai suatu “konsep yang sadar” atau diprogram dari awal. Akan tetapi hal itu berarti bahwa ia baru muncul di kemudian hari (abad II H). Karena dalam kenyataannya Nabi merupakan sumber pedoman (uswah hasanah) bagi masyarakat  muslim sejak semula. Kata sunnah, menurut Rahman berarti tingkah laku yang merupakan teladan (Rahman, 1984: 2-7)
Terdapat dua arti sunnah, menurut Rahman, yang saling berhubungan erat namun harus dibedakan.
1.      Sunnah berarti perilaku Nabi dan karenanya ia mendapatkan sifat normatifnya. Namun yang perlu diingat adalah bahwa Nabi sangat berkepentingan untuk mengubah sejarah sesuai dengan pola yang dikehendaki oleh Allah, sehingga baik wahyu maupun perilaku Nabi perlu dipahami dalam kerangka situasi historis yang aktual pada masanya. Oleh karena itu, sunnah Nabi perlu dipandang sebagai sebuah teladan (pengayoman), bukan kandungan khusus yang bersifat mutlak (Fazlur Rahman, 1984:10-12).
2.      Sepanjang tradisi (perilaku Nabi) tersebut berlanjut secara “diam-diam” dan non-verbal, maka kata sunnah ini juga diterapkan pada kandungan aktual perilaku setiap generasi sesudah Nabi, sepanjang perilaku tersebut dinyatakan sebagai meneladani pola perilaku Nabi. Untuk yang terakhir ini, isi sunnah dengan sendirinya pasti mengalami perubahan dan sebagian besar berasal dari praktek aktual masyarakat muslimin (Rahman, 1994:70-72). Adapun perubahan-perubahan yang terjadi ini adalah hasil dari kesimpulan/interpretasi terhadap sunnah Nabi.
Adapun adanya fenomena perbedaan sunnah lokal Madinah dan Iraq, sehingga dianggap para orientalis tidak bersumber dari Nabi adalah bahwa sunnah bermula dari sunnah ideal Nabi dan secara progresif telah diinterpretasikan oleh ra’y dan qiyas (pemikiran yang lebih sistematis terhadap al-Qur’an dan sunnah yang sudah ada). Sedangkan ijma’ adalah interpretasi sunnah atau sunnah dalam arti praktek yang disepakati bersama dan perlahan diterima oleh umat. Sedangkan menurut imam al-Syafi’i konsep sunnah terpisah dari konsep ijma’. Yang dimaksud dengan sunnah adalah sunnah Nabi, sedangkan praktek yang disepakati sahabat masih disebut sunnah. Tetapi, jika sunnah Nabi berhenti maka ijma’ sahabatlah yang akan mengambil peranan sunnah Nabi (Rahman, 1984:15-19). Sehingga sangatlah wajar jika terjadi perbedaan klaim sunnah Nabi di beberapa daerah, baik di Madinah, Iraq dan yang lain. Namun tetap mengembalikan sumber praktek masyarakat awal kepada sunnah Nabi.
Adalah Schacht dan juga Goldziher berpendapat bahwa sunnah Nabi baru muncul di kemudian hari dan untuk pertama kalinya hadis muncul tidak dirujukkan kepada Nabi melainkan kepada tabi'in, selanjutnya kepada sahabat dan baru kemudian kepada  Nabi. Untuk membuktikan ketidak benaran pendapat para orientalis  itu, dalam buku Islam, pertama-tama Rahman membuat teori tradisi verbal (hadis) dan non-verbal (sunnah) dan kemudian membuktikan adanya teori perkembangan hadis Informal, Semi formal dan Formal.
Yang dimaksud dengan tradisi verbal (hadis) adalah sebuah narasi, biasanya sangat singkat dan bertujuan untuk memberikan informasi tentang apa yang dikatakan Nabi, dilakukan, disetujui atau tidak, juga mengenai informasi yang sama mengenai sahabat, terutama sahabat-sahabat senior. Sedangkan tradisi non-verbal (sunnah) adalah tradisi yang diam dan hidup sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Teori perkembangan hadis menurut rahman terbagi atas tiga fase yaitu:  
a.    Fase Pertama
Pada dasarnya Rahman mengakui bahwa hadis mula-mula muncul tanpa dukungan sanad pada sekitar perputaran abad I H/VII M. Namun terdapat dugaan yang kuat bahwa fenomena hadis telah ada sejak awal perkembangan Islam (pada masa Nabi sendiri), mengingat posisi Nabi sebagai sumber pedoman masyarakat muslim pada saat itu. Hanya saja perkembangan konsep hadis pada saat itu lebih bersifat informal, dalam arti pembicaraan perihal Nabi hanyalah bagian dari peristiwa yang terjadi dalam kehidupan keseharian mereka. Proses peristiwa (transmisi verbal) tentang Nabi bukanlah suatu kesengajaan demi orientasi praktis karena satu-satunya peranan hadis yang memberikan bimbingan dalam praktek aktual masyarakat muslim sudah dipenuhi oleh Nabi sendiri. (Rahman, 1984: 32-33). Pandangan Rahman tentang sunnah dan Hadis dalam kenyataanya bersumber pada kajiannya terhadap evolusi historis kedua konsep tersebut. Kajian yang dalam masalah ini merupakan respon terhadap kontroversi sunnah dan hadis oleh para Orientalis. (Amal, tth: 167)
b.   Fase Kedua
Namun setelah Nabi wafat, muncullah fase kedua perkembangan konsep hadis menjadi berubah dari kondisi informal menjadi semi-formal. Pada saat ini fenomena hadis berubah menjadi suatu kesengajaan karena tuntutan dari generasi yang baru bangkit menanyakan perihal perilaku Nabi. Hadis adalah sarana penyebaran sunnah Nabi yang mempunyai tujuan praktis, yaitu sesuatu yang dapat menciptakan dan dapat dikembangkan menjadi praktek masyarakat muslim. Oleh karenanya hadis secara bebas ditafsirkan oleh para penguasa dan hakim sesuai dengan situasi dan kondisi (lokal-temporal) yang mereka hadapi, dan akhirnya terciptalah apa yang disebut “sunnah yang hidup”.
c.    Fase Ketiga
Dampak dari perkembangan hadis secara semi-formal ini adalah munculnya perbedaan praktek yang aktual (sunnah yang hidup) di berbagai daerah dalam Imperium Islam, bahkan terkadang saling bertentangan. Sehingga muncullah  fase ketiga, yaitu perubahan kondisi hadis dari semi-formal menjadi formal yang menuntut adanya keseragaman dan standarisasi di seluruh dunia Islam. Pada fase ini hadis-hadis harus dikembangkan dan selalu diciptakan di dalam situasi-situasi yang baru untuk menghadapi problema-problema yang baru. Sesungguhnya kandungan dari keseluruhan hadis merupakan sunnah-ijtihad dari masyarakat muslim generasi pertama (sahabat) yang setelah beberapa lama dibenarkan oleh ijma' atau ditaati oleh mayoritas ulama. Atau sunnah yang hidup di masa lampau tersebut terlihat dalam cermin hadis yang disertai dengan rangkaian periwayat (Rahman, 1984: 44-45).
Terkait dengan kerancuan metodologi yang digunakan orientalis metodologi tersebut adalah sikap paradox (berpendirian ganda) dan ambivalen (menganut kebenaran ganda) yang tak terelakkan. Disatu sisi mereka meragukan dan bahkan mengingkari kebenaran. sementara sumber-sumber yang berasal dari Islam mereka gunakan sebagai referensi. (yang berarti tanpa disadari mereka mengakui kebenarannya). Sikap paradox ini merupakan konsekuensi yang tak terelakkan dari dilemma metodologis antara merujuk atau tidak merujuk, antara mempercayai dan tidak mempercayai sumber Islam.
Sikap ambivalen orientalis terungkap jelas misalnya dalam kasus Coulsen dan Motzki, mereka tampak plin-plan membenarkan dua tesis yang saling bertentangan nilainya, Coulson misalnya, sependapaty dengan mereka yang membenarkan teori Schacht maupun mereka yang menyalahkannya. Disatu tempat ia membatalkan Validitas teori Schacht namun dilain tempat ia mengatakan “The theory of Josep Schacht is Irrefutable”. Namun Schacht tidak mempunyai dasar. Dan membuktikan bahwa hadis otentik sudah beredar sejak kurun pertama hijriyah. Demikian juga dalam kasus Joynboll dalm arif (2008: 43) Boll merasa serba salah (ragu-ragu) dan mengatakan sulit untuk mempercayai kebenaran dan historisitas hadis. Namun juga menyatakan hadis cukup untuk menggambarkan situasi sejarah yang boleh di kata cukup bias dipercaya.                
Adapun secara epistemologis, secara umum dapat dikatakan bahwa sikap orientalis dari awal hingga akhir penelitiannya adalah skeptic. Mereka mulai dari keraguan dan berakhir dengan keraguan pula. Meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan. Akibatnya meski bukti-bukti yang di temukan menghasilkan hipotesisnya, tetap saja mereka akan menolaknya, karena sesungguhnya yang mereka cari bukan kebenaran, akan tetapi pembenaran. Apa yang membenarkan praduga yang dikehendaki itulah yang di cari, dan jika perlu, diada-adakan. Sebaliknya apa yang tidak sesuai dengan presupusisi dan misi yang ingin dicapainya akan di mentahkan dan dimuntahkan.
         
  
III.             KESIMPULAN
Serangan orientalis terhadap hadis dilancarkan secara bertahap, terencana. Seperti Goldziher yang menyerang matannya dan Schacht yang menyerang isnadnya. Keduanya terdapat kerancuan, kelemahan-kelemahan serta kesalahan metodologis maupun epistemologis yang terdapat dalam tulisan-tulisan orientalis. ada lima perkara; 1) sikapnya tidak berteori dalam menggunakan rujukan. 2) bertolak dari asumsi-asumsi yang keliru dan metodologi yang tidak ilmiah. 3) salah dalam menangkap dan memahami sejumlah fakta. 4) ketidak tahuannya akan kondisi politik dan geografis yang ia kaji. 5) salah paham atas istilah-istilah yang dipakai oleh ulama’ Islam.   
 Oleh karena itu pendapan keduanya mudah di patahkan oleh Rahman dan Azami. Rahman membuktikan kepada orientalis bahwa hadis dibagi menjadi 3 fase (Informal, Semi-Formal dan Formal). Meskipun tidak dapat dikupas dalam makalah ringkas ini, ada satu hal yang dapat kita simpulkan dari ulasan sekilas diatas. Bahwasanya tulisan-tulisan orientalis mengenai Islam dan segala sumber serta aspek-aspeknya harus diwaspadai dan dibaca secara kritis, tidak boleh diterima apa adanya dan ditelan begitu saja. Sebab, apa yang mereka kemukakan menyerupai virus penyakit pemikiran. Mereka yang anti bodinya kurang dan lemah, pasti akan mudah terjangkit dan terserang kanker keraguan dan kekufuran. Sebagaimana dalam firman Allah SWT. Mereka tidak akan berhenti memerangi kamu, sampai kamu murtad (keluar) dari agamamu, jika mereka sanggup. (QS. [2]: 217)

IV.             PENUTUP
Demikian makalah yang dapat penulis sajikan, semoga Allah memperlihatkan kepada kita kebenaran sebagai kebenaran dan menuntun kita kepadanya, karena sesungguhnya Dia memberi petunjuk dan membiarkan tersesat siapa saja yang dikehendaki-Nya. selanjutnya kritik dan saran yang konstruktif sangatlah penulis harapkan demi tercapainya suatu makalah yang baik. Semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua dan dapat memperkaya khazanah Intelektual kita. amin

DAFTAR PUSTAKA

Anshari, Endang Saefudin, Wawasan Islam: pokok-pokok pemikiran dan paradigma dan sistem Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2004.

Azami, M. M., Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994, cet. I.

___________, On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence, Riyad: King Saud University, tth.

Amal, Taufiq Adnan, Islam dan tantangan Modernitas; Studu atas Pemikiran Hukum fazlur Rahman, ttp, tth.

Akhmad Minhaji, Kontroversi Pembentukan Hukum Islam; Kontribusi Joseph Schacht, Yogyakarta: UII Press, 2001.

Arif, Syamsudin, Orientalis dan Diabolisme pemikiran, Jakarta: Gema Insani, 2008.

Brown, Daniel. W, Rethingking Tradition in Modern Islamic Thought, Cambridge University Press, 1996.

Goldziher, Ignaz, Muslim Studies, translated by C. R. Barber & S. M. Stern London : George Allen & Unwim, 1971, vol. II.

Ismail, M. Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis : Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah ,Jakarta : Bulan Bintang, 1995, cet. II.

Khaeruman, Badri, Otentisitas Hadis; Studi Kritis atas Kajian Hadis Kontemporer,Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2004.

Rahman, Fazlur, Islamic Methodology in History, Islamabad: Islamic Research Institute, 1984.

_____________, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 1994, cet. II.

Sou’yb, Joesoef, Orientalisme dan Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1990, Cet II.

Sutopo, anam et al, Neal Robinson, Islam, a Conscise Introduktions terj. Pengantar Islam Komprehensif, Yogyakarta: PT. Fajar pustaka baru, 2001.