PEMBELAAN ULAMA’ TERHADAP TASYKIK ORIENTALIS
(Studi Terhadap Pemikiran Fazlur-Rahman dan M. M. Azami)
oleh: Akmal Bashori
I.
PENDAHULUAN
Sejak
pertengahan abad sembilan belas, definisi autoritas Rosulullah menjadi masalah
penting bagi para pemikir keagamaan muslim. Abad ke-19 merupakan hegemoni barat yang
berkaitan dengan kelemahan politik dan agama masyarakat muslim yang telah menciptakan
dorongan kuat diadakannya reformasi kelambagaan hukum dan sosial Islam. Desakan
untuk dilakukan reformasi pada gilirannya menghasilkan tekanan untuk mengkaji kembali
fondasi esensial kewenagan agama didalam Islam. Keperhatinan mengenai hadis nabi
saw. Menjadi titik pusat dalam proses pengkajian kembali. (Brown, 1996: 37)
Hadis adalah
ucapan (qauli) dan tindakan (fi’li), serta sikap dan kesan (taqrir)
Nabi saw terhadap sesuatu. Hadist dalam risalah Islam merupakan teladan yang
wajib diikuti. Sebagian besar hadist diriwayatkan secara lisan oleh sahabat
kepada generasi penerus mereka (tabi’in) atau kepada sesama sahabat. Hanya
sebagian kecil para sahabat yang meriwayatkan hadist secara tertulis. Karena
hadist sebagai teladan, maka hadist dilestarikan dengan cara dihafalkan dan
diamalkan dengan pratik ibadah. (Khaeruman, 2004: 3)
Ada dua tipe
dasar; musnad: dimana hadist diklasifikasikan berdasarkan pada sahabat yang
menyampaikannya dan mushannaf, dimana hadist disusun berdasarkan pokok
permasalahannya. Masing-masing hadist mempunyai dua komponen. Pertama isnad
atau mata rantai/ jalan periwayatan yang dihubungan kepada sahabat, dan kedua
matan atau teks utama. (Robinson, 1999: 135)
Ketika Bukhary
dan Muslim mengumpulkan koleksi mereka, banyak hadist palsu yang bermunculan.
Beberapa hadist dibuat untuk alasan politis, misalnya untuk mendukung Umayah atau
Abassiyah; beberapa dibuat karena kebencian, oleh orang-orang yang ingin mendiskriditkan
Islam, beberapa motif dibuat karena golongan/sekte, oleh orang-orang syi’ah,
orang-orang yang percaya pada kehendak bebas (kelompok Qadiriyah) atau para
rahib yang ingin menganjurkan amal shalih. (Robinson, 1999: 136)
Hal tersebut yang dijadikan argumen para kaum
Orientalis seperti Goldziher yang menggunakan suatu kejadian individual yang
bersifat khusus dan terbatas untuk menjadi bukti bagi hal-hal umum yang
disinyalirnya, seperti wasiat Muawiyah kepada pengikutnya; jangan ragu-ragu
untuk memaki-maki Ali dan menyumpahinya, dan perbanyaklah meminta ampunan Tuhan
bagi Utsman. Wasiat itu oleh Goldziher dijadikan bukti bagi kebiasaan
pembesar-pembesar bani umayah untuk memasukkan bias politik kedalam pemberitaan
mereka, dan karenanya pemberitaan dari mereka tidak dapat diterima kebenarannya.
Goldziher tidak membatasi pemberitaan hal-hal yang bersifat politis belaka,
melainkan juga mengenai periwayatan hadist dari mereka. Hal ini sebenarnya
secara ilmiah tidak boleh dilakuakan. (Khaeruman, 2004: 252-253)
Terdapat satu
hal yang patut dicacat bahwa Ignaz Goldziher di kalangan internal Orientalis
dipandang sebagai orang yang pertama kali berhasil meletakkan dasar skeptik
terhadap hadist, bahkan hasil karyanya Muhamedanische Studien telah menjadi “kitab
suci”
bagi para orientalis sendiri. Sedangkan kehadiran Joseph Schacht lebih dikenal
sebagai leading authorithy dalam kajian hukum Islam juga telah membawa dampak
yang kuat terhadap sejumlah penelitian terhadap hadis oleh para orientalis.
Karyanya The Origins of Muhammadan Jurisprudence telah menjadi semacam “buku
suci kedua” dalam penelitian hadist di kalangan orientalis.
Berangkat dari tesis yang dipaparkan oleh para
orientalis Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, Snouck Hourgronje, dan lain-lain. maka
center of probem tentang kesahihan sanad pun bergulir. Para sarjana Islam mulai
dari M. ‘Ajjaj al-Khatib, Muhammad al-Ghazali, Yusuf Qardhawi, Fazlur Rahman serta M. M. Azami
dengan mati-matian membela keotentikan hadis. Yang dinilai paling komprehensif
adalah garis pemikiran yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman (selanjutnya disebut
Rahman). Rahman tidak saja sanggup menyanggah serangan kaum orientalis
tersebut, tetapi juga membuka cakrawala pemikiran umat Islam tentang sunnah dan
hadis itu sendiri. Dengan tanpa mengabaikan kode etik tulisan ilmiah mereka
menulis banyak karya yang menggambarkan penyanggahan terhadap serangan kaum
orientalis tadi.
Maka bergulirlah pembelaan dari para sarjana
muslim dengan memaparkan data-data yang otentik tentang bagaimana isnad hadis
Nabi itu telah berlangsung sejak zaman Nabi (M. M. Azami, 1994: 124), meskipun
belumlah secara sistematis. Embrio inilah yang menjadi patokan ulama-ulama
Islam permulaan abad II H dalam membuat rancangan syarat-syarat isnad yang
diterima (Ismail,1995:53).
Ada banyak
orientalis yang memberikan sikap skeptisisme terhadap hadis Nabi, Namun dalam makalah
ini akan lebih banyak
diuraikan pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schach serta akan sedikit
di paparkan pembelaan para sarjana Muslim terhadap sikap skeptisme tersebut
(orientalis). Dan penulis
juga hanya mengambil dua tokoh pembela dari kalangan Islam yaitu Fazlur Rahman
dan M. M. Azami.
II.
PEMBAHASAN
A.
Gambaran Umum tentang Orientalis
Sebelum lebih
jauh mengkritisi pemikiran para orientalis terlebih dahulu penulis akan sedikit
mengulas pengertian orientalis. Secara etimologi Orientalis berasal dari bahasa Prancis yakni orien, artinya “Timur”. Dan secara geografis bermakna dunia belahan timur. Kata orien itu telah memasuki berbagai
bahasa di eropa, termasuk bahasa Inggris. Oriental adalah sebuah kata
sifat yang bermakna hal-hal yang bersifat timur. Orientalis adalah kata
nama pelaku yang menunjukkan seorang yang ahli tentang hal-hal yang berkaitan
dengan timur. Kata “isme” menunjukkan pengertian suatu paham. (sou’yb,
1990: 1)
Orientalisme
adalah paham mengenai masalah-masalah timur, khususnya tentang negeri Arab dan
Islam. Kaum orientalis adalah para terpelajar yang menjadikan “agama Islam,
kebudayaan Islam, negeri dan bahasa Arab” sebagai obyek studi mereka. Lawan
orientalise adalah occidentalisme, yaitu penelitian dan pengertian mengenai
agama, kebudayaan, dan negeri Barat. (Anshari, 2004: 251)
Pror. Dr. Ali
Husni al-Kharbuthli, Guru besar di ‘ain Syams dalam Bukunya al-Mustasyiqun
wat-Tarikhul Islami kaum Orientalis dan
sejarah Islam menerangkan bahwa motif orientalisme mempelajari Islam adalah
sebagai berikut;
a.
Untuk kepentingan penyebaran agama Kristen
b.
Untuk kepentingan penjajahan
c.
Untuk kepentingan Ilmu pengetahuan semata.
Dr. Mukti Ali, membagi
orientalisme menjadi tiga periode: pertama; memandang Islam dengan segala
aspeknya dengan pangdangan jijik, permusuhan dan benci. Hal ini dapat dijumpai
dalam buku orientalis tentang Islam yang ditulis sejak perang salib (Abad
IX-XIV) hingga lahirnya Thomas Carlyle (1979-1851), dengan bukunya Heroes
and Herois Worship. Periode Kedua; dunia orientalis memandang Islam dengan
segala aspeknya, dengan pandangan yang bimbang dan confution mengenai
kebenaran-kebenaran yang terkandung didalamnya. Periode ketiga; orientalisme
menghampiri Islam dengan segala aspeknya dengan penghampiran ilmiah, tetapi
mempelajari agama. Cinta pada obyek yang diselidiki. Cinta inilah yang cukup
sukar terdapat pada kaum orientalis katolik. Dapat diketemukan disini yaitu
Prof. Duncan Black McDonald dalam ceramahnya dalam Universitas Cikago (1960)
mengatakan bahwa patologi dari nabi muhammad harus diselidiki untuk mendapat
kepastian apakah muhammad itu waras atau tidak, jiwa muhammad sakit atau tidak.
Juga Prof. H. A. R Gibb, salah seorang orientalis terbesar di benua Amerika dan
Kanada, jiwa muhammad harus diselidiki mereka menganggap perlu ada penyelidikan
terhadap jiwa dan Rasulnya umat Islam. (Anshari, 2004: 252-254)
B.
Survei Kajian Orientalis Terhadap Hadis
Banyak
cendikiawan non-muslim dan kaum muslim modernis skeptis terhadap hadist dan
menganggap sebagian besar hadist tersebut tidak otentik. Mereka mencatat pada
periode awal hadist jarang digunakan untuk menetapkan hukum dan bahwa pada
paruh kedua paruh kedelapan ketika hadist mulai diambil untuk tujuan ini,
hadist sering kali diberikan dengan isnad yang tidak lengkap. Karenannya
mereka menyatakan bahwa ahli hukum pada masa awal berstandart pada alasan
individual; yang menjadi penolong bagi putusan yang dinyatakan oleh para
sahabat yang datang kemudian; dan bahwa penekanan pada pentingnya hadis-hadis
datang kemudian. (Robinson, 1999: 138)
Dalam pendapat
mereka,
Risalah Asy-Syafi’i (w. 820) menandai titik pergantian. Sebelum karya tersebut
belum ditulis, para kaum muslim berasumsi bahwa peringatan al-Qur’an untuk
mematuhi nabi ditunjuk terutama untuk orang-orang dimasa nabi Muhammad dan
diterapkan pada situasi-situasi khusus selama hidupnya. Tetapi Asy-Syafi’i
menunjukkan hirarki sumber hukum yang teliti, dan kerenanya menyusun teks-teks
tersebut sebagai bukti bahwa al-Qur’an sendiri mengindikasikan bahwa hadist
harus dianggap sebagai yang berwenang. Setelah pendapat Asy-Syafi’i mendapat
penerimaan yang luas. Koleksi hadis-hadis tertentu dikumpulkan dan lebih banyak
perhatian diberikan kepada isnad. Karena itu para skeptis menyimpulkan bahwa,
kemungkinannya banyak hadis-hadis disusun pada abad ke delapan dan kesembilan
oleh para ahli hukum yang ingin menjastifikasi pendapat-pendapat mereka yang
mengembalikannya ke masa nabi.
Bisa dibantah
bahwa para cendikiawan yang mengembil sikap ini terlalu keras menekankan alasan
mereka. Karena satu hal mereka mengabaikan bukti bahwa para sahabat dan para
tabiin menyusun koleksi hadist untuk koleksi pribadi mereka. Dan lagi mereka
terlalu dini berpendapat bahwa kesalahan pada ahli hukum Islam terdahulu
mengutip hadist-hadist yang relevan untuk mendukung argumen yang khusus
(penting), menyatakan secara tidak langsung bahwa hadist-hadist tersebut belum ada.
Sama halnya, ketika mereka mengambil kesimpulan dari isnad yang tidak lengkap
dalam karya-karya seperti karya Imam Malik bin Annas (w. 795) dalam kitab Almuwata’
bahwa isnad tersebut diperbaiki dengan
tidak jujur oleh generasi berikutnya, mereka menyatakan tanpa bukti. Para ahli
hukum yang mengutip sumber yang diketahui secara luas sering kali
melaksanakannya secara tidak langsung tidak masuk ke detail yang tidak penting,
dan malik mungkin melakukan hal yang sama. Namun, penelitian yang lebih baru, yang
menggunakan metode yang, lebih baru dengan menggunakan metode yang berbeda, menunjukkan dengan agak tidak menyakinkan
bahwa mayoritas isnad dalam
koleksi hadis standart adalah orang yang dicurigai.
Gugatan orientalis
terhadap hadis bermula pada pertengahan abad ke-19 M, tatkala hampir seluruh
bagian Islam telah masuk dalam cengkraman orientalis kolonialisme bangsa-bangsa
eropa. (Arif, 2008: 28) adalah diantara para kaum orientalis yang terkemuka
adalah Ignaz Goldziher dan Josep Schacht, mereka dianggap mempunyai kapasitas
keilmuan Islam yang karyanya di jadikan Kitab suci bagi kaum orientalis
terhadap sikap skeptisme hadis.
Skeptisisme Ignaz Golziher dan Josep Schach
Sekembalinya
Goldziher nyatri di Universitas Al-Azhar, Kairo, setelah kurang lebih setahun (1873-1874),
ia di nobatkan menjadi menjadi orientalis yang konon paling mengerti tentang
Islam. Meskipun tulisan tulisanya tentang Islam sangat negatif dan distorsif,
mengelirukan dan menyesatkan. Pandangan Goldziher tentang hadis dapat kita
lihat dalam karya monumentalnya Mohammedanische
Studien yang terbit pada tahun 1890 dalam bahasa Jerman dan kemudian
diterjemahkan oleh C. R. Barber dan S. M. Stern
ke dalam bahasa Inggris dengan judul Muslim Studies (London :
George Allen & Unwim, 1971).
Dibandingkan
dengan pendahulunya, pendapat Goldziher mengenai hadis lebih negatif. Menurut
dia dari sekian banyak hadis, sebagian besar dikatakan tidak bisa dijamin
keasliannya alias sebagai hadis palsu. Dan karena itu tidak dapat dijadikan
sumber informasi mengenai sejarah awal Islam. Menurut Goldziher hadis merupakan
lebih kedalam refleksi interaksi dan koflik berbagai aliran dan kecenderungan
yang muncul kemudian di masyarakat muslim pada periode kematangannya, ketimbang
sebagai dokumen awal sejarahnya. Ini berarti menurut dia hadis adalah produk
bikinan orang Islam beberapa abad setelah nabi wafat. (Arif, 2008: 28-29)
Goldziher
juga mengatakan, dengan tanpa
bukti-bukti otentik tentang hadis, sungguh gegabah-lah
untuk mengemukakan pendapat yang sekedar menduga, tentang bagian hadis mana
yang merupakan bagian-bagian asli yang tertua, atau tentang manakah di
antaranya yang berasal dari Muhammad. (Goldziher, 197: 18-19)
Sementara tentang
sunnah ia mengemukakan bahwa konsep ini telah ada pada masa Arab pra-Islam
dengan makna tradisi-tradisi, adat istiadat dan kebiasaan nenek moyang bangsa
Arab yang menjadi panutan. Tetapi dengan detangnya Islam, konsep ini berubah
menjadi model perilaku nabi, dan idealitas sunah-sunah orang Arab pra-Islam
berakhir. Selain itu Golziher juga mengemukakan bahwa hadis dan sunnah nabi
eksis bersama-sama serta memiliki substansi yang sama yakni keduanya bukanlah
hal terpisah, tetapi menyatu. Perbedaan antara keduanya adalah hadis hanya
semata-mata merupakan laporan yang bersifat teoritis, sedangkan sunnah adalah
laporan senada yang telah memperoleh kualitas normatif dan menjadi prinsip
praktis bagi kaum muslimin. Ia juga mencatat bahwa dalam literatur Islam awal
terdapat perbedaan antar keduanya, yang terkadang bertabrakan antara yang satu
dengan yang lainnya. Pada titik ini Goldziher mendefinisikan sunnah sebagai
praktik hidup dan aktual masyarakat muslim awal, berdasarkan tanpa tradisi oral
nabi. (Goldziher, 1971: 24-25)
Goldziher mempertahankan
pendapat awal bahwa fenomena hadis berasal dari zaman Islam yang paling awal
dan mendukung kemungkinan adanya catatan hadis informal pada masa nabi walaupun
ia menyatakan keragu-raguaannya atas beberapa catatan yang dikatakan pada masa
itu. Dengan kedatangan Islam, kandungan konsep
sunnah bagi kaum muslimin berubah menjadi model perilaku nabi, yakni norma-norma praktis yang ditarik dan
diucapkan dan tindakan nabi yang diwartakan.
Pada tahun 1950 muncul karya baru yang melanjutkan kerangka dasar
penelitiah Goldziher yaitu Joseph Schacht (selanjutnya disebut Schacht) adalah seorang
orientalis Jerman spesialis dalam kajian fiqih/hukum Islam., lahir pada tanggal
15 Maret 1902 di kota Rottbur. Schacht memulai studi perguruan tinggi dengan
mendalami filologi klasik, teologi dan bahsa-bahasa timur di Universitas Prusla
dan Leipzig. Termasuk pakar yang cukup produktif. Selain dikenal sebagai pakar
fiqih, Schacht juga banyak menulis dalam bidang kajian lain, seperti teologi,
sejarah ilmu pengetahuan, filsafat di dunia Islam, serta kajian tentang
manuskrip-manuskrip Arab (Badawi, 2003: 270-274).
Era modern,
yakni sejak abad ke-19 merupkan periode yang di dalamnya kepercayaan
tradisional mulai mendapati dirinya dihadapkan pada berbagai tantangan serius,
melalui imperealisme, pengaruh peradaban barat terhadap timur, terutama dunia
Islam sangat kuat. Sebagai akibatnya, beberapa aspek ajaran Islam
dipertaanyakan, diantaranya adalah otentisitas Hadis dan Hukum Islam. (minhaji,
2001: 16)
Yaitu Schacht,
adalah diantara para sarjana barat yang meruntuhkan pemahaman trsdisional tentang
hukum Islam. Kajian Schacht tentang persoalan ini tidak bersifat teologis
maupun yuristik, tetapi lebih bersifat historis dan sosiologis. Sunah nabi
merupakan sunah nabi yang didalamnya Schacht mengalamatkan penelitiannya. Walaupun
diakui bahwa Goldziher adalah pelopor kajian kritis terhadap hadis, namun demikian,
perkembangan sistematis dari gagasannya (Goldziher), formasi rinci mengenai kriteria
untuk mengevaluasi hadis, dan penerapannya terhadap sejumlah besar bahan-bahan
dalam sumber-sumber Arab asli, merupakan karya Schacht. Schacht sendiri
mengakui bahwa kesimpulannya hanya menguatkan dan mengelaborasi teori besar
yang telah diajukan oleh para pendahulunya, Goldziher. (Minhaji)
Menurut Schacht
(2001: 58), konsep awal sunah adalah tradisi yang hidup dalam madzab-madzab
fiqh klasik, yang berarti kebiasaan atau “kebiasaan yang disepakati secara
umum”. Salah satu kesimpulan Schacht yang paling penting dan menyakitkan bagi
bagi seorang Muslim yang saleh, pernyataan Schacht tersebut adalah “rujukan
hadis-hadis dari para sahabat merupakan prosedur yang lebih tua, dan teori
tentang otoritas hadis dari nabi yang berkuasa adalah sebuah inovasi”. (Schacht, 30) untuk menghadirkan ini ia
menghadirkan diskusi yang relatif panjang yang di dalamnya ia menguji, diantara
yang lain, perkembangan historis istilah sunnah sebagaimana telah dipakai masa arab pra-Islam, awal Islam
aliran fiqh klasik, oleh ahli hukum yang terkenal seperti syafi’i, khususnya
bagaimana istilah itu berkembang sebagaimana konsep sunnah Nabi.
Menurutnya,
Asy-Syafi’i merupakan ahli hukum Islam pertama yang secara konsisten memberi
batasan terhadap sunah sebagai model perilaku nabi atau sunah nabi, yang
identik dengan tradisi Nabi, (Hadis atau dokumen sunah). Selanjutnya Schacht mengemukakan
bahwa bagi generasi-generasi sebelum Asy-Syafi’i, sunah mencerminkan kebiasaan
tradisional masyarakat yang membentuk “tradisi yang hidup” pada basis yang sama
dengan praktek biasa atau disepakati secara umum. (Schacht, 1959: 58)
Schacht
mencontohkan pemalsuan sanad dalam kitab “al-Muwwatta” ada hadis yang putus
sanadnya, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Malik dari Hisyam bin Urwah, dari
ayahnya bahwa umar bin Khattab ketika berada dimimbar pada waktu khutbah jum’at,
beliau membaca ayat sajdah (ayat yang dimana pembaca atau pendengarnya
disunahkan sujud). Maka lalu beliau turn dari mimbar dan sujud, kemudian orang
ikut sujud juga. Pada hari jum’at yang lain beliau juga membaca ayat seperti
itu, sehingga orang-orang pun bersiap-siap untuk sujud. Namun ketika beliau
melihat hal itu lalu berkata; tenanglah karena Allah tidak mewajibkan bersujud
dalam ayat sajdah kecuali apabila kita mau. Dan beliau pun mencegah mereka
bersujud. (al-muwwatta)
Kata Schacht;
dalam kitab al-Bukhary terdapat sanad lain yang bersambung. Dan dalam satu
naskah kuno, kitab al-Muwwatta terdapat kata-kata “dan kami bersujud bersama
Umar, dan kata-kata ini tidak pernah diucapkan Urwah, hanya dianggap bahwa hal
itu ucapannya. Dan kenyataanya teks asli kitab al-Muwwatta’. Maka hal ini
merupakan bukti yang menunjukkan bahwa pembuatan teks hadis itu sudah ada lebih
dahulu, kemudian baru dibuatkan sanadnya bersama teks tersebut secara palsu. Kenudian
sanad itu dikembangkan dan direvisi sedemikian rupa, sehingga hadis itu disebut
sebagai berasal dari masa silam. (Schacht) menyebutkan kitab tersebut tidak ada
dasarnya sama sekali. (M. M. Azami, 1978: 566-567)
Schacht
selanjutnya mengatakan bahwa tujuan Muhammad adalah;
“bukan
menciptakan hukum baru, tujuannya adalah mengajarkan kepada manusia bagaimana
bertindak, apa yang harus dikerjakan, dan apa yang harus dihindari supaya lolos
dari perhitungan dihari kiamat dan agar masuk surga. Inilah mengapa Islam pada
umumnya dan hukum Islam pada khususnya merupakan sebuah sistem kewajiban
(ritual, hukum, moral) di atas dasar yang sama dan membawa mereka semua di
bawah otoritas keagamaan yang sama. Apakah ukuran-ukuran keagamaan dan etika
telah diharapkan secara menyeluruh pada semua pada aspek semua perilaku
manusia, dan apakah mereka telah mengikuti secara konsisten dalam praktek,
tidak akan ada ruangan dan kebutuhan bagi sistem hukum dalam arti sempit makna
hukum itu. (minhaji, 2001: 20)
Sebagaimana
telah disinggung diatas, gugatan Schacht terhadap hadis berkisar pada masalah isnad
dan hampir semua hadis tidak ada yang otentik. Bahkan bukan hanya kebanyakan hadis
adalah palsu nyaris mustahil untuk diketahui, jika mengandalkan sumber-sumber sejarah Islam
itu sendiri. Meskipun sudah banyak dikritis, teori Schacht masih banyak
diadopsi dan dikembangkan diantarany oleh Junboll. Tidak hanya pendekatan kesimpulan
orientalis Belanda ini pun tidak berbeda dengan apa yang dikatakan Schacht. (Arif,
2008: 34)
Belakangan
muncul juga upaya-upaya dari kalangan orientalis untuk merevisi dan
menetralisir pandangan-pandangan Goldziher dan Schacht yang dinilai terlalu
keras dan tajam, orientalis Inggris Jhon Burton, misalnya menolak seluruh hadis
dan menganggap semuanya palsu adalah keliru. Namun kritik dan revisi yang
paling signifikan dilakukan oleh Harald Motzki. Dosen Universitas Nijmegen
(Belanda) ini tidak setuju dengan Schacht mengenai awal munculnya hadis.
Berdasarkan hasil analisanya atas isnad maupun matan hadis yang terdapat dalam
kitab al-Mushannaf oleh Abdul Razaq
an-Shan’ani (w. 211 H/826 M), motzaki menyimpulkan bahwa kecil sekali
kemungkinan adanya keberagaman data periwayatan itu merupakan hasil pemalsuan
yang terencana. Menurutnya baik matan maupun isnad dalam kitab tersebut layak
dipercaya. Kesimpulannya ini berbeda dengan skeptisisme Schacht yang menganggap
bahwa semua hadis adalah palsu. (Arif, 2008: 35-36)
C.
Kritik Metodologi dan Epistemologi Orientalis
1. Koreksi M. Mustafa al-Azami atas Konsepsi Sunnah dan Hadist menurut Orientalis.
M. M Azami
adalah seorang cendikiawan muslim kelahiran India pada tahun 1932. Beliau
adalah Guru besar Ilmu Hadist di Universitas King Saud Riyadh Saudi Arabia,
yang lebih dikenal dengan nama M. M Azami. Dalam bukunya Studies in Earli
Hadith Literature. Azami berupaya untuk melakukan counter-balik terhadap sikap
skeptisme para kaum orientalis terhadap hadis. Buku tersebut yang semula
merupakan Disertasi M. M Azami di canbridge University, Ingris, pada tahun
1965/1966. Sumbangan pemikiran M. M Azami yang terpenting di paparkan dalam
bukunya, apa yang disebut penelitian Hadis itu? Menurut M. M Azami, yang
disebut penelitian hadist adalah berbeda dengan penelitian klasik yang sudah
menemukan bentuknya yang baku, sepeti yang dipelajari di pesantren-pesantren. (Khaeruman,
2004: 244)
Sebagaimana disinggung
diatas, gugatan orientalis dan para pengikutnya terhadap hadis yang telah
dijawab dan di tolak oleh para pakar. Berikut ini akan diungkapkan kelemahan-kelemahan
dan kesalahan metodologis maupun epistemologis yang terdapat dalam
tulisan-tulisan orientalis. Ambil sebagai contoh Josep Schacht, menurut M. M.
Azami (1985: 115-153) kekeliruan dan kesesatan schacht ada lima perkara; 1)
sikapnya tidak berteori dalam menggunakan rujukan. 2) bertolak dari
asumsi-asumsi yang keliru dan metodologi yang tidak ilmiah. 3) salah dalam
menangkap dan memahami sejumlah fakta. 4) ketidak tahuannya akan kondisi
politik dan geografis yang ia kaji. 5) salah paham atas istilah-istilah yang
dipakai oleh ulama’ Islam.
Lanjut lagi M.
M. Azami Sebagaimana dikutip Khaeruman, Titik tolak pemikiran yang dikemukakan
dalam bukunya, Studies in Early Hadith Literature, membagi itu semua
kedalam dua hal penting;
1.
Penelitian semua hipotesis orientalis, seperti Goldziher dan
schacht, penelitian ini difokuskan pada sebab-sebab yang melemahkan teori
mereka masing-masing.
2.
Penelitian atas otentisitas bahan-bahan kesejarahan yang digunakan oleh
para orientalis, seperti teks-teks yang masih tersimpan dalam tulisan
tangan/prasasti.
Kedua fokus kajian penelitian yang dilakukan
M. M. Azami, secara langsung atau tidak langsung mementahkan argumentasi kaum
orientalis diatas mengenai hadis. Kritik terhadap teori schacht sesungguhnya
telah dirintis melalui penelitian yang dilakukan oleh Nashir al-Din al-asad
dari Yordania dalam bukunya; Mashadir al-Ula, yang terbit pertama kali dikairo
pada tahun 1962. Al-asad berhasil menyajikan fakta-fakta dan dokumen mengenai
perkembangan subur dari seni tulis menulis di jazirah Arab, suatu hal yang
tidak diakui oleh Goldziher. Karya al-Asad inilah yang sebenarnya menjadi perintis
dari studi yang puncak akhirnya pada karya M. M. Azami yang berhasil melemahkan
teori schacht. (Kaeruman, 2004: 249-250)
M. M. Azami
melakukan kritiknya dengan cara sebagai berikut;
1. Meneliti tuduhan
Goldziher c.s, bahwa hanya sedikit sekali hadis yang terpelihara, karena hadis
diturunkan secara lisan dari generasi umat selama abad I H. Penelitian M. M.
Azami membuktikan:
a. Hadis turun
tidak hanya dengan cara lisan belaka. Ia menunjang pembuktian ini dengan menerbitkan
tiga buah corpus hadis yang dieditnya dalam disertasinya, yaitu naskah-naskah
Suhail Ibn Abi salih, Ubaidillah Ibnu
Umar, dan Ali al-Yaman al-Hakam, yang kesemuanya berasal dari abad I H. Dengan
demikian tuduhan bahwa hadis mudah di palsukan dan tidak dapat diimbangi oleh
makna yang otentik dan buatan menjadi tidak terbukti lagi.
b. Penggunaan atas
Istilah istilah yang digunakan dalam referensi hadist menunjukkan, berita yang
menyatakan Ibn Sihab al-Zuhri adalah orang yang pertama menuliskan hadis pada
abad ke II H (Awwaluhu man Dawwana al-Ilma) mengandung arti lain dari
pada yang diduga dan diterima secara umum selama ini. Azami membuktikan bahwa
al-Zuhri adalah pengumpul dari koleksi naskah-naskah hadis yang telah dibukukan
selama tengah abad sebelumnya. Demikian pula dengan istilah-istilah yang selama
ini dianggap mempunyai istilah yang dianggap konotasi transmisi hadis secara lisan,
oleh Azami dianggap pula memiliki arti tulisan dan tertulis. Azami mendasarkan anggapannya
ini adalah dari pembuktian bahasa dan bukti-bukti tertulis sejarah atas istilah
bahasa dan bukti-bukti tertulis atas istilah seperti; haddasana, akhbarana, sami’na
dan sabagainya. Azami membuktikan kesalahan kaum muslimin selama ini, kesemuanya
istilah diatas hanya memiliki konotasi oral belaka.
c. Pembuktian tentang
kesalahan dalam memahami hadis-hadis yang melarang penulisan hadis oleh nabi
muhammad, sebagaimana secara gencar dikemukakan oleh Imam al-Qahir al-Baghdadi
dalam karyanya, taqyid al-‘ilm Azami membuktikan bahwa hanya ada satu saja
hadis yang otentik yang berhubungan dengan penulisan hadis, yang memiliki sanad
dha’if . adapun hadis yang satu-satunya tidak melarang penulisan hadis secara
umum, malainkan melarang menuliskan hadis dalam carikan kertas, pelepah kurma,
muka tulang, kain yang telah berisikan tulisan al-Qur’an setelah Nabi wafat
nantinya. Pembuktian telah dilakukan bahwa pembuktian dilakukan atas kenyataan,
bahwa penulisan hadis adalah kejadian yang normal dimasa kehidupan beliau,
terlebih setelah berakhirnya pemerintahan Khulafaurrasidin pada paruh abad I
hijriyah.
2. Disamping pembuktian
atas kepalsuan tuduhan bahwa hadis tidak terpelihara karena diturunkan secara
lisan dari generasi ke generasi, Azami
juga meragukan argumentasi yang diajukan baik oleh Goldziher maupun Schacht,
antara lain melalui cara-cara sebagai berikut;
a. Goldziher yang menggunakan suatu kejadian
individual yang bersifat khusus dan terbatas untuk menjadi bukti bagi hal-hal
umum yang disinyalirnya, seperti wasiat Muawiyah kepada pengikutnya; jangan
ragu-ragu untuk memaki-maki Ali dan menyumpahinya, dan perbanyaklah meminta
ampunan Tuhan bagi Utsman. Wasiat itu oleh Goldziher dijadikan bukti bagi
kebiasaan pembesar-pembesar bani umayah untuk memasukkan bias politik kedalam
pemberitaan mereka, dan karenanya pemberitaan dari mereka tidak dapat diterima
kebenarannya. Goldziher tidak membatasi pemberitaan hal-hal yang bersifat politis
belaka, melainkan juga mengenai periwayatan hadist dari mereka. Hal ini
sebenarnya secara ilmiah tidak boleh dilakuakan. (Khaeruman, 2004: 252-253)
b. Goldziher dan
Schacht sering kali tidak melakukan penelitian (cheking) ulang yang mendalam
atas bahan-bahan kesejarahan yang mereka pakai dalam pembuktian, sehingga
terjadi bahwa bahan-bahan tersebut justru melemahkan argumentasi mereka sendiri.
Untuk sinyalemennya ini, Azami mengemukakan beberapa puluh contoh yang diambil
dari karya-karya Goldziher dan Schacht.
c. para
Orientalis, tidak terkecuali schacht yang dikenal memiliki obyektivitas yang
diakui, sering menutupi bahan-bahan kesejarahan yang bertentangan dengan
pembuktian yang sedang mereka kemukakan dan hanya menggunakan bahan-bahan yang
memperkuat teori-teori mereka belaka. Juga untuk diambil contoh-contoh cukup
banyak dari karya-karya Schacht.
d. Seringnya
Schacht terlebih Goldziher, salah mengartikan ucapan-ucapan atau
kejadian-kejadian yang di ceritakan dari sumber kesejarahan. Contohnya adalah
ucapan Amir Ibn Sha’bu: Aku tak pernah menulis dengan tinta hitam diatas
permukaan kertas putih atau meminta seorang untuk mengulangi sebuah hadis
sampai dua kali. Ucapan ini tidak ada hubungannya dengan larangan menuliskan
hadis, malainkan hanya untuk menunjukkan kekuatan hafalan Amir saja. Walaupun
demikian Schacht menggunakannya sebagai dalil pembuktian, bahwa abad pertama
hijriyah kaum muslimin dilarang menuliskan hadis.
2. Koreksi Fazlur Rahman atas Konsepsi Sunnah dan Hadis menurut Orientalis
Menurut Rahman dalam “Islam”
menulis bahwa banyak usaha para orientalis yang lihai dicurahkan untuk
mendiskreditkan keseluruhan batang tubuh hadis selagi ia mengambil bentuknya
dalam abad III H/IX M. Goldziher dengan karyanya Muslim Studies adalah orang
pertama kali yang melihat hadis dari proses evolusinya. Begitu Nabi tampil,
maka semua perbuatan dan tingkah lakunya menjadi sunnah bagi masyarakat muslim.
Snouck Hurgronje menyatakan bahwa umat Islam menambah sendiri sunnah.
Margoliouth mengatakan bahwa (1) Nabi tidak meninggalkan sunnah/hadis kecuali
al-Qur’an; (2) sunnah yang dipraktekkan umat Islam awal adalah kebiasaan bangsa
Arab pra-Islam yang termodifikasikan dalam al-Qur’an; (3) untuk menjamin nilai
otoritas sunnah, generasi berikutnya mengembangkan konsep sunnah Nabi dan menciptakan
sendiri mekanisme hadis. Begitu pula dengan Schacht yang menyatakan bahwa
sunnah Nabi baru timbul di kemudian hari. Rahman meringkas pendapat Schacht
mengenai perkembangan hadis yaitu ketika pertama kali hadis beredar, hadis
tersebut tidak disandarkan kepada Nabi. Tetapi disandarkan kepada para tabi’in,
kemudian para sahabat, dan baru akhirnya kepada Nabi.
Terdapat dua
keberatan yang dikemukan oleh Rahman terhadap konsep sunnah dari para
orientalis di atas, yaitu keberatan logika dan historis (Rahman, 1994: 55-56).
Pertama; Keberatan logikanya adalah berkaitan dengan pendapat Goldziher yang menganggap sunnah di satu sisi sebagai
“praktek normatif” dari masyarakat muslim awal dan pada sisi lain ia dianggap
sebagai “praktek yang hidup serta aktual”. Kedua; keberatan
historisnya adalah “Nabi tidak meninggalkan warisan apapun selain al-Qur’an”.
Keberatan ini dijawab oleh Rahman dengan menunjukkan kesalahan mereka terhadap
pemahaman konsepsi sunnah.
Rahman
keberatan dengan tesis Goldziher yang mengartikan sunnah sebagai “praktek
normatif” masyarakat muslim awal dan sekaligus sebagai praktek yang hidup serta
aktual. Konsep tersebut menurut Rahman, tidak
benar karena yang normatif dan yang aktual adalah saling bertentangan. Bahkan
beberapa penulis modern dari kalangan orientalis menganggap bahwa sampai abad
II H/VIII M istilah sunnah tidak berarti praktek Nabi, melainkan praktek
masyarakat lokal kaum muslimin Madinah dan Iraq (Rahman, 1994:70).
Rahman mengakui
bahwa istilah sunnah mungkin sekali mula-mula tidak dirumuskan sebagai suatu
“konsep yang sadar” atau
diprogram dari awal. Akan tetapi hal itu berarti bahwa ia baru muncul di
kemudian hari (abad II H). Karena dalam kenyataannya Nabi merupakan sumber
pedoman (uswah hasanah) bagi masyarakat muslim sejak semula. Kata sunnah, menurut Rahman berarti tingkah
laku yang merupakan teladan (Rahman, 1984: 2-7)
Terdapat dua
arti sunnah, menurut Rahman, yang saling berhubungan erat namun harus
dibedakan.
1.
Sunnah berarti perilaku Nabi dan karenanya ia mendapatkan sifat
normatifnya. Namun yang perlu diingat adalah bahwa Nabi sangat berkepentingan
untuk mengubah sejarah sesuai dengan pola yang dikehendaki oleh Allah, sehingga
baik wahyu maupun perilaku Nabi perlu dipahami dalam kerangka situasi historis
yang aktual pada masanya. Oleh karena itu, sunnah Nabi perlu dipandang sebagai
sebuah teladan (pengayoman), bukan kandungan khusus yang bersifat mutlak
(Fazlur Rahman, 1984:10-12).
2.
Sepanjang tradisi (perilaku Nabi) tersebut berlanjut secara
“diam-diam” dan non-verbal, maka kata sunnah ini juga diterapkan pada kandungan
aktual perilaku setiap generasi sesudah Nabi, sepanjang perilaku tersebut
dinyatakan sebagai meneladani pola perilaku Nabi. Untuk yang terakhir ini, isi
sunnah dengan sendirinya pasti mengalami perubahan dan sebagian besar berasal
dari praktek aktual masyarakat muslimin (Rahman, 1994:70-72). Adapun
perubahan-perubahan yang terjadi ini adalah hasil dari kesimpulan/interpretasi
terhadap sunnah Nabi.
Adapun adanya
fenomena perbedaan sunnah lokal Madinah dan Iraq, sehingga dianggap para orientalis
tidak bersumber dari Nabi adalah bahwa sunnah bermula dari sunnah ideal Nabi
dan secara progresif telah diinterpretasikan oleh ra’y dan qiyas (pemikiran
yang lebih sistematis terhadap al-Qur’an dan sunnah yang sudah ada). Sedangkan
ijma’ adalah interpretasi sunnah atau sunnah dalam arti praktek yang disepakati
bersama dan perlahan diterima oleh umat. Sedangkan menurut imam al-Syafi’i
konsep sunnah terpisah dari konsep ijma’. Yang dimaksud dengan sunnah adalah
sunnah Nabi, sedangkan praktek yang disepakati sahabat masih disebut sunnah.
Tetapi, jika sunnah Nabi berhenti maka ijma’ sahabatlah yang akan mengambil
peranan sunnah Nabi (Rahman, 1984:15-19). Sehingga sangatlah wajar jika terjadi
perbedaan klaim sunnah Nabi di beberapa daerah, baik di Madinah, Iraq dan yang
lain. Namun tetap mengembalikan sumber praktek masyarakat awal kepada sunnah
Nabi.
Adalah Schacht
dan juga Goldziher berpendapat bahwa sunnah Nabi baru muncul di kemudian hari
dan untuk pertama kalinya hadis muncul tidak dirujukkan kepada Nabi melainkan
kepada tabi'in, selanjutnya kepada sahabat dan baru kemudian kepada Nabi. Untuk membuktikan ketidak benaran
pendapat para orientalis itu, dalam buku
Islam, pertama-tama Rahman membuat teori tradisi verbal (hadis) dan non-verbal
(sunnah) dan kemudian membuktikan adanya teori perkembangan hadis “Informal, Semi formal dan Formal”.
Yang dimaksud
dengan tradisi verbal (hadis) adalah sebuah narasi, biasanya sangat singkat dan
bertujuan untuk memberikan informasi tentang apa yang dikatakan Nabi,
dilakukan, disetujui atau tidak, juga mengenai informasi yang sama mengenai
sahabat, terutama sahabat-sahabat senior. Sedangkan tradisi non-verbal (sunnah)
adalah tradisi yang diam dan hidup sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Teori
perkembangan hadis menurut rahman terbagi atas tiga fase yaitu:
a. Fase Pertama
Pada dasarnya
Rahman mengakui bahwa hadis mula-mula muncul tanpa dukungan sanad pada sekitar
perputaran abad I H/VII M. Namun terdapat dugaan yang kuat bahwa fenomena hadis
telah ada sejak awal perkembangan Islam (pada masa Nabi sendiri), mengingat
posisi Nabi sebagai sumber pedoman masyarakat muslim pada saat itu. Hanya saja
perkembangan konsep hadis pada saat itu lebih bersifat informal, dalam arti
pembicaraan perihal Nabi hanyalah bagian dari peristiwa yang terjadi dalam
kehidupan keseharian mereka. Proses peristiwa (transmisi verbal) tentang Nabi
bukanlah suatu kesengajaan demi orientasi praktis karena satu-satunya peranan
hadis yang memberikan bimbingan dalam praktek aktual masyarakat muslim sudah
dipenuhi oleh Nabi sendiri. (Rahman, 1984: 32-33). Pandangan
Rahman tentang sunnah dan Hadis dalam kenyataanya bersumber pada kajiannya terhadap
evolusi historis kedua konsep tersebut. Kajian yang dalam masalah ini merupakan
respon terhadap kontroversi sunnah dan hadis oleh para Orientalis. (Amal, tth:
167)
b. Fase Kedua
Namun setelah
Nabi wafat, muncullah fase kedua perkembangan konsep hadis menjadi
berubah dari kondisi informal menjadi semi-formal. Pada saat ini fenomena hadis
berubah menjadi suatu kesengajaan karena tuntutan dari generasi yang baru
bangkit menanyakan perihal perilaku Nabi. Hadis adalah sarana penyebaran sunnah
Nabi yang mempunyai tujuan praktis, yaitu sesuatu yang dapat menciptakan dan
dapat dikembangkan menjadi praktek masyarakat muslim. Oleh karenanya hadis
secara bebas ditafsirkan oleh para penguasa dan hakim sesuai dengan situasi dan
kondisi (lokal-temporal) yang mereka hadapi, dan akhirnya terciptalah apa yang
disebut “sunnah yang hidup”.
c. Fase Ketiga
Dampak dari
perkembangan hadis secara semi-formal ini adalah munculnya perbedaan “praktek
yang aktual” (sunnah yang hidup) di berbagai daerah dalam Imperium Islam,
bahkan terkadang saling bertentangan. Sehingga muncullah fase ketiga, yaitu perubahan kondisi hadis
dari semi-formal menjadi formal yang menuntut adanya keseragaman dan
standarisasi di seluruh dunia Islam. Pada fase ini hadis-hadis harus dikembangkan
dan selalu diciptakan di dalam situasi-situasi yang baru untuk menghadapi
problema-problema yang baru. Sesungguhnya kandungan dari keseluruhan hadis
merupakan sunnah-ijtihad dari masyarakat muslim generasi pertama (sahabat) yang
setelah beberapa lama dibenarkan oleh ijma' atau ditaati oleh mayoritas ulama.
Atau sunnah yang hidup di masa lampau tersebut terlihat dalam cermin hadis yang
disertai dengan rangkaian periwayat (Rahman, 1984: 44-45).
Terkait dengan kerancuan
metodologi yang digunakan orientalis metodologi tersebut adalah sikap paradox
(berpendirian ganda) dan ambivalen (menganut kebenaran ganda) yang tak
terelakkan. Disatu sisi mereka meragukan dan bahkan mengingkari kebenaran.
sementara sumber-sumber yang berasal dari Islam mereka gunakan sebagai
referensi. (yang berarti tanpa disadari mereka mengakui kebenarannya). Sikap
paradox ini merupakan konsekuensi yang tak terelakkan dari dilemma metodologis
antara merujuk atau tidak merujuk, antara mempercayai dan tidak mempercayai
sumber Islam.
Sikap ambivalen
orientalis terungkap jelas misalnya dalam kasus Coulsen dan Motzki, mereka
tampak plin-plan membenarkan dua tesis yang saling bertentangan nilainya,
Coulson misalnya, sependapaty dengan mereka yang membenarkan teori Schacht maupun
mereka yang menyalahkannya. Disatu tempat ia membatalkan Validitas teori
Schacht namun dilain tempat ia mengatakan “The theory of Josep Schacht is
Irrefutable”. Namun Schacht tidak mempunyai dasar. Dan membuktikan bahwa
hadis otentik sudah beredar sejak kurun pertama hijriyah. Demikian juga dalam
kasus Joynboll dalm arif (2008: 43) Boll merasa serba salah (ragu-ragu) dan
mengatakan sulit untuk mempercayai kebenaran dan historisitas hadis. Namun juga
menyatakan hadis cukup untuk menggambarkan situasi sejarah yang boleh di kata
cukup bias dipercaya.
Adapun secara
epistemologis, secara umum dapat dikatakan bahwa sikap orientalis dari awal
hingga akhir penelitiannya adalah skeptic. Mereka mulai dari keraguan dan
berakhir dengan keraguan pula. Meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan.
Akibatnya meski bukti-bukti yang di temukan menghasilkan hipotesisnya, tetap
saja mereka akan menolaknya, karena sesungguhnya yang mereka cari bukan
kebenaran, akan tetapi pembenaran. Apa yang membenarkan praduga yang
dikehendaki itulah yang di cari, dan jika perlu, diada-adakan. Sebaliknya apa
yang tidak sesuai dengan presupusisi dan misi yang ingin dicapainya akan di
mentahkan dan
dimuntahkan.
III.
KESIMPULAN
Serangan
orientalis terhadap hadis dilancarkan secara bertahap, terencana. Seperti
Goldziher yang menyerang matannya dan Schacht yang menyerang isnadnya. Keduanya
terdapat kerancuan, kelemahan-kelemahan
serta
kesalahan metodologis maupun epistemologis yang terdapat dalam tulisan-tulisan
orientalis. ada lima perkara; 1) sikapnya tidak berteori dalam menggunakan
rujukan. 2) bertolak dari asumsi-asumsi yang keliru dan metodologi yang tidak
ilmiah. 3) salah dalam menangkap dan memahami sejumlah fakta. 4) ketidak
tahuannya akan kondisi politik dan geografis yang ia kaji. 5) salah paham atas
istilah-istilah yang dipakai oleh ulama’ Islam.
Oleh karena itu pendapan keduanya
mudah di patahkan oleh Rahman dan Azami. Rahman membuktikan kepada orientalis
bahwa hadis dibagi menjadi 3 fase (Informal, Semi-Formal dan Formal). Meskipun tidak
dapat dikupas dalam makalah ringkas ini, ada satu hal yang dapat kita simpulkan
dari ulasan sekilas diatas. Bahwasanya tulisan-tulisan orientalis mengenai
Islam dan segala sumber serta aspek-aspeknya harus diwaspadai dan dibaca secara
kritis, tidak boleh diterima apa adanya dan ditelan begitu saja. Sebab, apa
yang mereka kemukakan menyerupai virus penyakit pemikiran. Mereka yang anti
bodinya kurang dan lemah, pasti akan mudah terjangkit dan terserang kanker
keraguan dan kekufuran. Sebagaimana dalam firman Allah SWT. Mereka tidak
akan berhenti memerangi kamu, sampai kamu murtad (keluar) dari agamamu, jika
mereka sanggup. (QS. [2]: 217)
IV.
PENUTUP
Demikian makalah yang dapat penulis sajikan, semoga Allah memperlihatkan
kepada kita kebenaran sebagai kebenaran dan menuntun kita kepadanya, karena
sesungguhnya Dia memberi petunjuk dan membiarkan tersesat siapa saja yang
dikehendaki-Nya. selanjutnya kritik dan saran yang konstruktif sangatlah penulis
harapkan demi tercapainya suatu makalah yang baik. Semoga makalah ini dapat
berguna bagi kita semua dan dapat memperkaya khazanah Intelektual kita. amin
DAFTAR PUSTAKA
Anshari, Endang Saefudin, Wawasan
Islam: pokok-pokok pemikiran dan paradigma dan sistem Islam, Jakarta: Gema
Insani Press, 2004.
Azami, M. M., Hadis
Nabi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994, cet. I.
___________, On
Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence, Riyad: King Saud University,
tth.
Amal, Taufiq Adnan, Islam
dan tantangan Modernitas; Studu atas Pemikiran Hukum fazlur Rahman, ttp,
tth.
Akhmad Minhaji, Kontroversi
Pembentukan Hukum Islam; Kontribusi Joseph Schacht, Yogyakarta: UII Press,
2001.
Arif, Syamsudin, Orientalis
dan Diabolisme pemikiran, Jakarta: Gema Insani, 2008.
Brown, Daniel. W, Rethingking
Tradition in Modern Islamic Thought, Cambridge University Press, 1996.
Goldziher, Ignaz, Muslim Studies, translated by
C. R. Barber & S. M. Stern London : George Allen & Unwim, 1971, vol.
II.
Ismail, M. Syuhudi, Kaedah
Kesahihan Sanad Hadis : Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu
Sejarah ,Jakarta : Bulan Bintang, 1995, cet. II.
Khaeruman, Badri, Otentisitas
Hadis; Studi Kritis atas Kajian Hadis Kontemporer,Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 2004.
Rahman, Fazlur, Islamic
Methodology in History, Islamabad: Islamic Research Institute, 1984.
_____________, Islam,
terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 1994, cet. II.
Sou’yb, Joesoef, Orientalisme
dan Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1990, Cet II.
Sutopo, anam et al, Neal Robinson, Islam, a Conscise
Introduktions terj. Pengantar Islam Komprehensif, Yogyakarta: PT. Fajar
pustaka baru, 2001.