oleh: Akmal Bashori
I. PENDAHULUAN
Mengkaji tentang Islam alangkah lebih
baiknya kita kaji dulu arab sebelum Islam, karena Islam lahir di tengah-tengah
masyarakat arab yang sudah mempunyai adat istiadat yang diwariskan dari
generasi ke generasi. Apalagi Islam muncul di jalur yang penting sebagai
lalulintas perdagangan di kala itu. dan dibawa oleh Muhammad (570-632 M) yang
merupakan salah satu keturunan suku terhormat dan memiliki kedudukan terpandang
di antara mereka secara turun-temurun dalam beberapa generasi, Quraysh. Quraysh
adalah suku penguasa di atas suku-suku lainnya di Mekah, sebuah kota yang di
dalamnya terdapat bangunan suci tua yang memiliki daya tarik yang melebihi
tempat-tempat pemujaan lainnya di daerah Arab. (http//Islamic Tougt. wordpress)
Jazirah Arab adalah sebuah tanah
semenanjung terletak di bagian barat daya benua asia tanah ini terkenal dengan
nama jazirah Arab atau pulau Arab, walaupun masih bertali dengan daratan benua Asia,
karena ia di lingkungi oleh tiga lautan seginya; yaitu: laut merah laut Hindia
dan laut Oman dan selat Persia. Sebenarnya lebih tepat dinamakan semenanjung Arab.
Bukan jazirah atau pulau arab (H. Rus’an 1981: 9).
Secara geografis, Jazirah Arab dibagi
menjadi dua bagian. Pertama, jantung Arab. Ia adalah wilayah yang berada di
pedalaman. Tempat paling utama adalah Najd. Kedua, sekitar Jazirah. Penduduknya
adalah orang-orang kota. Wilayah yang paling penting adalah Yaman di bagian
selatan, Ghassan di sebelah utara, Ihsa` dan Bahrain di sebelah timur, dan
Hijaz di sebelah Barat. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa sebenarnya apa
yang dimaksud dengan Arab di sini bukanlah daerah di mana penduduknya berbahasa
Arab seperti Mesir, Sudan, Maroko, dan lain-lain tetapi hanya mencakup dua
bagian daerah di atas. Sebelum Islam, Jazirah Arab dikelilingi oleh dua
kekuatan besar dan berpengaruh yang selalu terlibat peperangan dan berebut
pengaruh ke daerah sekitarnya, yaitu imperium Bizantium pewaris Rumawi sebagai
representasi agama Nasrani dan kekaisaran Persia sebagai representasi agama
Majusi. Oleh karena itu dalam makalah ini akan di bahas asal usul orang Arab,
kondiosi sosial, ekonomi, politik serta Agama Arab pra-Islam serta puisi Arab
Pra-Islam.
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Asal Usul Jahiliyah (Arab
pra-Islam)
Setiap kajian yang membahas masalah
Islam biasanya dimulai dengan pembahasan mengenai masa jahiliah pra-Islam. Ini
adalah wajar dan logis. Pertama memang harus dipelajari lingkungan tempat Islam
itu tumbuh. Karena itu kita harus mengenal jahiliyah agar kita bisa mengenal
hakikat Islam dan apa peranannya dalam kehidupan manusia. Penelitian ilmah yang
murni mewajibkan kepada semua peneliti walaupun non-muslim agar teliti dalam
membuat kesimpulan dan definisi. Kata al- jahl (jahil)
terdapat dua pengertian. Pertama, al-Jahl lawan dari kata al-ilm yang
artinya mengetahui. Ini menyangkut kaedaan akal. Dan lawan dari kata al-hilm
yang artinya sopan santun, ini menyangkut kejiwaan dan perilaku. (Quhtb, 1995: 53)
Jadi, esensi jahiliah disini adalah keadaan
akal yang tidak mengetahui yang hak dan mengikuti kurafat juga keadaan jiwa
yang menolak mengikuti petunjuk Allah dan perilaku yang menolak mengikuti konsep
Allah. Fenomena ini akan melanda setiap manusia kapanpun dan di manapun berada,
selama Islam belum di jadikan pedoman hidup (Quhtb, 1995: 58).
Adapun yang menyangkut penampilan luar dari
jahiliah di jazirah Arab tidak hanya menguburkan anak perempuan hidup-hidup,
menyembah berhala, minum tuak, berjudi dan merampok saja. Hal itu memang cukup
menonjol di kawasan Arab, tetapi bukanlah satu-satunya, masih banyak lagi
bentuk penyembahan yang dipraktikkan oleh orang Arab di zaman jahiliah diantara
mereka mempersembahkan korban untuk para dewa, mengikuti petunjuk para
tukang-tukang tenung. Dengan demikian mereka telah melakukan praktik syirik
dengan segala bentuknya. (Quhtb, 1995: 61)
Bangsa Arab adalah anak-anak Ismail as, karena itu mereka mewarisi millah
dan minhaj yang telah di bawa oleh bapak mereka. Setelah beberapa waktu bapak
mereka meninggal, mereka mulai mencampur adukan dengan kebatilan umat telah
dikuasai oleh kebatilan maka masuklah kemusrikan kepada mereka mereka kembali
menyembah berhala. Tradisi buruk dan kebejatan moral pun tersebar luas,
akhirnya mereka jauh dari tauhid. Selama beberapa abad mereka hidup dalam
kehidupan jahiliah. (al-Buthy 1977: 28)
Untuk melacak asal-usul orang Arab, mereka merunut
jauh ke belakang yaitu pada sosok Ibrahim dan
keturunannya yang merupakan keturunan Sam bin Nuh, nenek moyang orang Arab. Segenap
ahli riwayat hampir sepakat, bahwa kelahiran keturunan sam yang pertama kali
ialah pelembahan sungai furat atau tanah datar yang terletak diantara sungai
Tigris dan sungai furat. Setelah keturunan ini berkembang biak sehinnga tempat
kediaman mereka yang pertama tidak mencukupi lagi maka sebagian terpaksa
berpisah dan pergi mengembara mencari kediaman tempat terbaru. Dari mereka
konon lahir bangsa-bangsa babylone dan Assyie di Irak, Aram di Syam, ‘Ibri di
Palestina, Funikian di Pantai Syum yang menghadapi Libanan, habsyi di Abisinia
dan bangsa Arab di Kepulauan yang dinakan menurut nama mereka, yaitu Jazirah
Arab (Rus’an 19881: 12).
Ahmad al-‘Usairy (2003: 58) mengatakan Secara
geneaologis, orang Arab terbagi menjadi dua golongan
besar yaitu; Arab Baidah dan Arab Baqiyah. Berbeda dengan Rus’an
(1981: 12) yang mengatakan bahwa perjalanan orang Arab dapat di bagi menjadi
tiga bagian besar yaitu;
Pertama Arab
Baidah; riwayat golongan ini sebenarnya sudah tersimpan dalam lipatan alam
ghaib, yakni tidak banyak di ketahui orang lagi kecuali sedikit, yang terdiri
dari kabillah-kabilah besar di zamannya diantaranya; kabilah ‘Aad yang berdiam
di Ahqaf, Tsamud yang berdiam di Hijr dan Wadil Qura’ kabilah Thams dan Jadis
yang berdiam di Yamamah, kerajaan Hamorabia di Irak dan Syam dan Kerajaan
‘Amaliqah di Mesir (Rus’an 19881: 12-13). Nabi-nabi Allah yang diutus kepada
Arab Baidah adalah Nabi Hud as, kepada kaum ‘aad, Nabi Saleh as,
di utus kepada kaum Tsamud yang berdian diantara Madinah dan Tabuk. Nabi
Syu’ai as diutus kepada penduduk Madyan mereka tinggal di wilayah barat
laut Jazirah Arab (di wilayah Tabuk dan selatan Yordania). (al’Usairy 2003:
59-61)
Kedua
Arab ‘Aribah; juga dinamakan bani Qahtan atau anak cucu Qahtan. Menurut ahli
penyiasat mereka itu berasal dari bangsa atau penduduk di tepi sungai, disana
mereka mendirikan kerajaan berganti-ganti diantaranya yang sangat terkenal
adalah kerajaan saba’ yang berdiri kira-kira pada abad ke VIII SM. Dan sebagai
pengganti kerajaan saba’ yaitu kerajaan Himyar berdiri Abad ke II Sebelum
Almasih, dan berakhir kira-kira abad ke VI M. Kedua kerajaan ini juga pernah
mencapai kemajuan yang tinggi (golden age) mereka konon sudah pandai
bercocok tanam, pandai membuat dam dan pengairan dan sudah mengetahui tentang
ilmu arsitektur yang bangunannya terdapat sampai sekarang.
Ketiga Arab
Musta’ribah; disebut juga Isma’iliyah, diambil dari nama datuk mereka, Ismail
bin Ibrahim as dan dinamakan juga Adnaniyah menurut nama cucu Ismail Adnan.
Mereka ini berdiam di Tihamah, najd dan Hijaz. Sebagian yang terbesar dari pada
mereka itu menjadi bangsa pengembara
atau bangsa Badwi yang senantiasa hidup berpindah-pindah menurutkan
tempat yang berair dan yang di tumbuhi
rumput untuk ternaknya. (Rus’an 19881:13)
B. Peradaban Pada Masa Arab Jahiliyah
(Pra-Islam)
1. Kondisi Sosial Budaya
Di
kalangan Bangsa Arab terdapat beberapa kelas masyarakat, yang kondisinya
berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Hubungan seseorang dengan
keluarga di kalangan bangsawan sangat diunggulkan dan di prioritaskan dihormati
serta dijaga sekalipun dengan pedang. Jika seorang ingin dipuji dan dipandang
dimata Bangsa Arab karena kemuliaan dan keberaniaanya maka dia harus banyak di
bicarakan oleh kaum wanita. Jika seorang wanita menghendaki mereka bisa
mengumpulkan beberapa kabilah untuk suatu perdamaian dan jika dia menghendaki
bisa menyalakan api peperangan dan pertempuran diantara mereka. Sekalipun
begitu seorang laki-laki dianggap sebagai pemimpin ditengah keluarga yang tidak
boleh dibantah dan setiap perkataannya harus dituruti, seorang wanita tidak bisa
menentukan pilihannya sendiri. (Rahman,
1997: 59)
Sebagian
besar daerah Arab adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman yang
terkenal subur. Wajar saja bila dunia tidak tertarik,
negara yang akan bersahabat pun tidak merasa akan mendapat keuntungan dan pihak
penjajah juga tidak punya kepentingan. Sebagai imbasnya, mereka yang hidup di
daerah itu menjalani hidup dengan cara pindah dari suatu tempat ke tempat lain.
Mereka tidak betah tinggal menetap di suatu tempat. Yang mereka kenal hanyalah
hidup mengembara selalu, berpindah-pindah mencari padang rumput dan menuruti
keinginan hatinya. Mereka tidak mengenal hidup cara lain selain pengembaraan
itu. Seperti juga di tempat-tempat lain, di sini pun (Tihama, Hijaz, Najd, dan
sepanjang dataran luas yang meliputi negeri-negeri Arab) dasar hidup
pengembaraan itu ialah kabilah. Kabilah-kabilah yang selalu pindah dan
pengembara itu tidak mengenal suatu peraturan atau tata-cara seperti yang kita
kenal. Mereka hanya mengenal kebebasan pribadi, kebebasan keluarga, dan
kebebasan kabilah yang penuh.
Keadaan
itu menjadikan loyalitas mereka terhadap kabilah di atas segalanya. Seperti
halnya sebagian penduduk di pelosok desa di Indonesia yang lebih menjunjung
tinggi harga diri, keberanian, tekun, kasar, minim pendidikan dan wawasan,
sulit diatur, menjamu tamu dan tolong-menolong dibanding penduduk kota. orang
Arab juga begitu sehingga wajar saja bila ikatan sosial dengan kabilah lain dan
kebudayaan mereka lebih rendah. Ciri-ciri ini merupakan fenomena universal yang
berlaku di setiap tempat dan waktu. Bila sesama kabilah mereka loyal karena
masih kerabat sendiri, maka berbeda dengan antar kabilah. Interaksi antar kabilah
tidak menganut konsep kesetaraan; yang kuat di atas dan yang lemah di bawah.
Ini tercermin, misalnya, dari tatanan rumah di Mekah kala itu. Rumah-rumah
Quraysh sebagai suku penguasa dan terhormat paling dekat dengan Ka’bah lalu di
belakang mereka menyusul pula rumah-rumah kabilah yang agak kurang penting
kedudukannya dan diikuti oleh yang lebih rendah lagi, sampai
kepada tempat-tempat tinggal kaum budak dan sebangsa kaum gelandangan.
(http//Islamic Tougt. wordpress)
2. Kondisi Ekonomi dan Politik
Sumber
utama ekonomi yang menjadi penghasilan orang arab adalah perdagangan dan bisnis. Orang-orang
dimasa Arab dan Jahiliyah terkenal dengan bisnis dan perdagangannya.
Perdagangan menjadi darah daging orang Quraisy. Dalam al-qur’an “karena kebiasaan orang-orang Quraisy,
yaitu kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas (QS. Quraisy: 1-2). Mereka
melakukan perjalan ke Yaman pada musim dingin dan perjalanan ke syam pada musim
panas (Usairy 2003: 72).
Kondisi
ekonomi mengikuti kondisi sosial, yang bisa di lihat jalan kehidupan bangsa
Arab. Oleh karenanya perdagangan merupakan sarana yang paling dominan untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Jalur-jalur perdagangan tidak bisa dikuasai begitu
saja kecuali jika sanggup memegang kendali keamanan dan perdamaian. Kondisi
semacam ini tidak bisa terwujud di jazirah Arab kecuali di bulan suci. Pada
saat itu dibuka pasar-pasar Arab yang sangat terkenal, seperti Ukazh, Dzil
Majaz, majinnah dan lain-lain. Tentang perindustrian atau kerajinan, mereka
adalah bangsa yang paling tidak mengenalnya. Kebanyakan kerajinan yang berada
di Arab, seperti jahit menjahit, menyamak kulit dan lainnya berasal dari Yaman,
Hirah dan peinggiran Syam. Sekalipun begitu di tengah jazirah Arab ada
pertanian dan pengembalaan hewan ternak. Sedangkan wanita-wanita Arab cukup
menangani pemintalan. Tetapi kekayaan yang dimiliki bisa mengundah pecahnya
peperangan, kemiskinan, kelaparan dan orang-orang yang telanjang merupakan
pemandangan yang biasa ditengah masyarakat (al-Mubarrakfury 2006: 62-63).
Disamping
kondisi ekonomi Arab pra-Islam sudah sangat berkembang, pada zaman itu juga situasi
perpolitikan juga sudah menunjukkan adanya pendewasaan dalam bidang politik,
terbukti sudah terdapat jabatan-jabatan penting, seperti di pegang oleh Qussyah
bin Qilab pada pertengahan Abad ke V M. Dalam rangka memelihara ka’bah
dibentuklah jabatan-jabatan sebagai berikut; hijaba (penjaga pintu
ka’bah atau juru kunci), Siqaya (pejabat yang menyediakan air minum para
tamu yang berkunjung ke ka’bah serta menyiapkan minuman keras yang terbuat dari
kurma), Rifadla (petugas yang mempersiapkan makanan yang berkunjung ke
ka’bah), Nadwa (petugas yang harus memimpin rapat pada setiap tahun) liwa
(pemegang panji yang di pancangkan di tombak yang di tancapkan sebagai
lambang sedang menghadapi musuh) Qiyada (pemimpin pasukan apabila hendak
perang). (Hakim et al, 2002: 39)
Dalam
bidang hukum bangsa Arab pra-Islam menjadikan adat sebagai hukum dalam segala
bentuknya. Dalam perkawinan mereka mengenal berbagai macam perkawinan, diantaranya;
istibdla, poliandri, maqthu’, baidah dan zighar. Dalam bidang
muamalat di bolehkannya transaksi mubadalah (barter) jual beli,
kerjasama pertanian (muzaraah) dan riba’. (Hakim et al, 2002: 40)
Diantara
hukum keluarga arab pra-Islam adalah di bolehkannya berpoligami dengan
perempuan dengan jumlah tanpa batas; serta anak kecil dan perempuan tidak
berhak menerima harta pusaka atau harta peninggalan. (Mahmasani, 1961: 31)
Nur
kholis Majid mengatakan bahwa tatanan masyarakat Arab pra-Islam lebih cenderung
merendahkan wanita itu dapat dilihat dari dua kasus. Pertama pereempuan
dapat di wariskan. Misalnya ibu tiri harus rela menjadi istri anak tirinya
ketika suaminya meninggal; ibu tiri tidak mempunyai hak pilih baik untuk
menerima maupun menolaknya. Kedua, perempuan tidak boleh menerima harta
pusaka. Pembagian harta pusaka telah dilakukan bangsa arab pra-Islam. Dalam
tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang mereka terdapat ketentuan bahwa anak
yang belum dewasa dan anak perempuan tidak boleh menerima harta pusaka. Karena
syarat untuk mendapatkan harta pusaka pada zaman Arab Jahiliyah adalah (1)
pertalian kerabat (qarabah) (2)
janji setia (Mukhallafah) (3) adopsi (tabanni). (Hakim et al,
2002: 40)
3.
Perkembangan Sastra Arab Pra-Islam
Secara
sosiologis sastra merupakan refleksi lingkungan budaya dan merupakan satu teks
dialektis antara pengarang dan situasi sosial yang membentuknya atau merupakan
penjelasan suatu sejarah dialektik yang dikembangkan dalam karya sastra.
Sehubungan dengan ini sering dikatakan bahwa syair merupakan antologi kehidupan
masyarakat Arab (Diwan al-`Arab) (Khafajy, 1973:195). Artinya, semua aspek
kehidupan yang berkembang pada masa tertentu tercatat dan terekam dalam sebuah
karya sastra (syair).
Kalangan
penyair bukanlah satu-satunya komunitas yang amat peduli kepada pendidikan syair.
Secara umum anggota masyarakat (kabilah) juga memiliki kepedulian yang sama.
Untaian kata-kata dalam syair bagi masyarakat Arab bukanlah semata-mata bunyi
yang disuarakan lisan yang tanpa makna (absurd), melainkan sarana yang ampuh
(sakral) untuk membakar semangat, menarik perhatian, dan meredam emosi yang
bergejolak di tengah kehidupan masyarakat. Bisa dipahami kalau masyarakat
meyakini bahwa para penyair memiliki pengetahuan magis (Amin, 1975:55) yang
terekspresikan dalam syair dan keberadaan syair ini sangat diperhatikan dan
dipatuhi substansinya karena ia merupakan realitas kehidupan kabilah. Nampaknya
inilah alasan yang diyakini masyarakat ketika mereka menempatkan para penyair
pada posisinya yang terhormat (Khafajy, 1973:195). Mereka menjadi simbol
kejayaan suatu kabilah dan penyambung lidah yang mampu melukiskan kebaikan dan
kemenangan kabilah sebagaimana mereka mampu mendeskripsikan kejelekan dan
kekalahan perang yang diderita kabilah lain. Itulah di antara beberapa sebab
mengapa syair pada periode jahili didominasi oleh jenis madah (pujian/ode) dan
hija’ (ejekan/satire) (Al-Iskandary, 1952:65).
Ada
dua cara, dalam mempelajari syair Arab di masa Jahilia, kedua-duanya itu amat
besar faedahnya. Pertama mempelajari syair itu sebagai suatu kesenian,
yang oleh bangsa Arab amat dihargai. Kedua mempelajari syair itu dengan
maksud, supaya kita dapat mengetahui adat istiadat dan budi pekerti bangsa
Arab.
Dibawah
ini akan kita adakan tinjauan ringkas mengenai syair Arab di masa Jahiliah,
menurut keduanya segi yang disebutkan itu. Syair adalah salah satu seni yang
paling indah yang amat dihargai dan dimuliakan oleh bangsa Arab. Mereka amat
gemar berkumpul mengelilingi penyair-penyair, untuk mendengarkan syair-syair
mereka, sebagai orang zaman sekarang beramai-ramai mengelilingi penyair atau
pemain musik yang mahir, untuk mendengarkan permainannya.
Ada
beberapa pasar tempat penyair berkumpul, yaitu: pasar ‘Ukas, Majinnah, Zul
Majaz. Dipasar-pasar itu para penyair memperdengarkan syairnya yang sudah
dipersiapkannya untuk maksud itu, dengan dikelilingi oleh warga sukunya; yang
memuji dan merasa bangga dengan penyair-penyair mereka. Kemudian dipilihlah di
antara syair-syair itu yang terbagus, lalu digantungkan di Ka’bah tidak jauh
dari patung dewa-dewa pujaan mereka. Seorang penyair mempunyai kedudukan yang
amat tinggi dalam masyarakat bangsa Arab. Bila pada suatu kabilah muncul
seorang penyair maka berdatanganlah utusan dari kabilah-kabilah lain, untuk
mengucapkan selamat kepada kabilah itu. Untuk ini kabilah itu mengadakan
perhelatan-perhelatan dan jamuan besar-besaran, dengan menyembelih
binatang-binatang ternak. Wanita-wanita kabilah ke luar untuk menari, menyanyi
dan bermain musik.
Semua
ini diadakan untuk menghormati penyair. Karena penyair membela dan mempertahankan
kabilah dengan syair-syairnya, ia melebihi seorang pahlawan yang membela
kabilahnya dengan ujung tombaknya. Disamping itu penyair dapat juga
mengabadikan peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian dengan syairnya. Dan
bilamana ada penyair-penyair kabilah lain mencela kabilahnya, maka dialah yang
akan membalas dan menolak celaan-celaan itu dengan syair-syairnya pula.
Salah
satu dari pengaruh syair pada bangsa Arab ialah : Bahwa syair itu dapat
meninggikan derajat yang tadinya hina,atau sebaliknya, dapat menghina-hinakan
seseorang yang tadinya mulia. Bilamana seorang penyair memuji seorang yang
tadinya dipandang hina, maka dengan mendadak sontak orang itu menjadi mulia;
dan bilamana seorang penyair mencela atau memaki seorang yang tadinya dimuliakan,
maka dengan serta merta orang itu menjadi hina.
Tabel
para penyair Pra-Islam Terkemuka (lontar.ui.ac.id)
No
|
Nama
|
Tema
syair
|
Suku
|
Hidup
|
1
|
Imru’ al-Qays
|
Ghazal, nasib, wasfu
|
Adnan
|
w. 545 M
|
2
|
Amru’ ibnu kultsum
|
Hamasat, khamriat
|
Taglib
|
w. 551 M
|
3
|
Tarafah ibn al-‘Abd
|
Madah, hija, nasib
|
Taglib
|
w. 564 M
|
4
|
Al-Harits ibn
hilliyah
|
I’tidzar
|
Taglib
|
w. 692 M
|
5
|
‘Abid Ibn Abras
|
Madah
|
Asad
|
w. 608 M
|
6
|
Antarah al-Habsyi
|
Hamasat al-Fahr
|
Habasah
|
w. 622 M
|
7
|
Zuhayr Abi Sulma
|
Madah, Hija’
|
Tamim
|
w. 522 M
|
8
|
Lubaid Ibn Rabi’ah
|
Hamasat, Ritsa
|
Qays
|
w. 625 M
|
9
|
Al-A’sya
|
Madah, Khamriyat
|
Taqlib
|
w. 629 M
|
10
|
Nabighah Dzibyani
|
Madah, Hija’
|
Qays
|
w. 644 M
|
Eksistensi
Sastra Arab Jahiliyah
Seorang
pemikir Islam dan juga seorang sastrawan, adalah Thaha Husein dengan sejumlah
argumen untuk membangun teorinya -melalui pendekatan sosiologis/ekstrinsik
merasa keberatan (menolak) akan keberadaan sastra Arab jahili. Dari hasil
penelitiannya ia mengajukan tiga tesis yang amat tajam. Tesis pertama, sebagian
besar dari apa yang disebut syair Arab jahili bukan lahir pada masa jahiliyah,
melainkan diciptakan pada zaman Islam (Husein, tt:65). Tesis kedua, adanya
kesenjangan antara gaya intelektual yang ada pada sastra (syair) jahili dan
kondisi intelektual masyarakat Arab jahiliyah (Husein, tt:67). Tesis ketiga,
keberadaan syair lebih awal dari pada prosa, karena prosa membutuhkan bahasa
rasional yang amat perlu kepada ketrampilan dan kepandaian menulis. Dimaklumi,
pada saat itu masyarakat jahiliyah adalah masyarakat ummi (tidak bisa membaca
dan menulis) (Husein, tt:326-329).
Munculnya
statemen di atas, membuat ulama konservatif Mesir marah, ia harus dikeluarkan
dari lingkungan akademik Universitas al-Azhar dan bahkan ia dituduh “kafir”.
Baik dalam bentuk buku maupun tulisan lepas, kritik arus balik bermunculan guna
mengkritisi pikiran-pikiran dan teori-teori yang dibangun Thaha Husein. Mereka
khawatir metode kritik yang ditransformasi dari “Barat” itu akan menggugurkan
dasar-dasar struktur tradisional penafsiran al-Qur`an dan pengajaran sastra
Arab.
Menurut
sebagian sastrawan, sastra Arab telah ada beberapa abad sebelum Masehi. Akan
tetapi karya sastra (syair) tersebut yang ada sampai sekarang adalah karya
sastra yang lahir dua abad sebelum Islam. Hal ini bukan berarti bahwa sebelum
itu orang Arab tidak mengenal sastra, tetapi yang dapat direkam hanya sampai
pada zaman Muhalhil saja. Oleh sebab itu ia dianggap sebagai perintis pertama
sastra Arab jahiliyah.
Masyarakat
Arab jahiliyah dikenal sebagai masyarakat yang tidak bisa membaca dan menulis
(ummi). Maka satu-satunya yang dapat diandalkan ketika mereka menerima
informasi adalah kekuatan hafalan. Di samping itu, juga adanya faktor eksternal
yang sangat dominan, yaitu mereka terdorong untuk menghafal al-Ayyam (peristiwa penting) dan al-Ansab (genealogi) yang menjadi
kebanggaan. Dua jenis pengetahuan ini banyak tersimpan dalam karya sastra baik
berupa syair maupun berupa prosa (Yatim, 1997:29-39). Maka amat wajar kalau
pada masa jahiliyah karya sastra disosialisasikan melalui sarana tradisi oral.
Dengan kata lain, seorang penyair meriwayatkan gubahan syair kepada generasi
penyair lainnya, kemudian penyair tersebut meriwayatkannya kepada penyair
berikutnya. Pada akhirnya proses penyampaian semacam ini mengenal istilah
riwayah yang sekaligus terkait dengan sanad (transmisi), matan (materi/isi),
dan al-`ardh wa al-ada’
(penyampaian).
Karakteristik
Sastra Arab Jahily
Seperti
yang dikemukakan Syauqi Dhaif, ada beberapa persyaratan dalam penyampaian (al-‘ardh wa al-ada’) sebuah karya
sastra. Pertama, al-tamatstsul yaitu memberikan contoh pengungkapan karya
sastra dengan susunan yang baik. Kedua, al-diqqah yaitu sifat ketelitian dalam
penyampaian karya sastra. Ketiga, al-ada` al-sadid, yaitu penyampaian yang
benar dengan memberikan penjelasan beberapa kata asing dan penggunaan gaya
bahasa dalam karya sastra (Dhaif, tt:7).
Adapun
sanad dalam sastra terdiri dari orang-orang yang tsiqah (kapasitas
intelektualnya dapat dipercaya), dan orang-orang yang semasa (syahadah
al-zaman). Hal ini dilakukan supaya informan dan yang menerima –rawi- bisa
bertemu langsung (liqa’), dan harus disampaikan secara lisan/oral (musyafahah)
yang diikuti dengan ungkapan haddatsana atau akhbarana (Dhaif, tt:163). Bahkan
lebih dari itu, kepekaan pendengaran dan ketajaman pandangan menjadi
persyaratan bagi seorang perawi (Hasan, 1990:175).
Apabila
terjadi perselisihan di antara dua riwayat, maka solusi yang ditawarkan adalah
tarjih, yaitu memilih di antara keduanya yang lebih kuat dan yang dapat
dipercaya. Maka tidak mengherankan kalau Abu al-Farj melakukan hal yang sama
seperti yang dilakukan Muhadditsin yaitu al-Ta`dil
wa al-Tarjih (mengkritisi para perawi yang dianggap jujur dan dusta)
(Al-Rafi’i, 1974:287). Dengan demikian, maka informasi yang diterima menjadi
valid (shahih) dan dapat dipertanggungjawabkan.
C. Perkembangan Agama
Jahiliyah Arab
(Pra-Islam)
Ada
beberapa agama yang dianut oleh bangsa arab sebelum Islam. Bangsa Arab bani
Qahthan (kaum saba’) di Yaman menganut agama ash shabiah, yaitu kepercayaan
menyembah matahari dan bintang-bintang. Tetapi sesudah rubuhnya saddu magrib
kaum saba’ menjadi bercerai berai dan berpindah dan berpindah ke pojok
Jaziratul Arab, maka terjadi pula perubahan dalam keagamaan. Orang-orang yang masih tinngal di
yaman tetap dalam agama Ash Shabiah kemudian karena mereka dapat seruan dari
rahib-rahib yahudi maka Dzu Nuwas yang pertama kali masuk agama yahudi.
Yahudi
dianut oleh para imigran yang bermukim di Yathrib dan Yaman. Tidak banyak data
sejarah tentang pemeluk dan kejadian penting agama ini di Jazirah Arab, kecuali
di Yaman. Dzu Nuwas adalah seorang penguasa Yaman yang condong ke Yahudi dan
menjadikan agama yahudi sebagai agama negara, berkat pengaruh ibunya ia
membersihkan negaranya dan membunuh penganut kristen. Fuad Hashem (2005: 82) Dia
tidak menyukai penyembahan berhala yang telah menimpa bangsanya. Dia meminta
penduduk Najran agar masuk agama Yahudi, kalau tidak akan dibunuh. Karena
mereka menolak, maka digalilah sebuah parit dan dipasang api di dalamnya.
Mereka dimasukkan ke dalam parit itu dan yang tidak mati karena api, dibunuh
dengan pedang atau dibuat cacat. Korban pembunuhan itu mencapai dua puluh ribu
orang. (http// Islamic Tougt. wordpress)
Orang-orang
yang berpindah ke arabia utara lalu menganut agama masehi, karena mereka berdekatan
dengan bangsa romawi yang beragama masehi. Diantara penduduk najran juga ada
yang beragama masehi karena negeri itu telah di datangi oleh perutusan masehi
yang di utus oleh kaisar Romawi (Yahya 1985: 242).
Berhadapan
dengan agama Masehi yang tersebar dibawah panji dan pengaruh romawi. Berdiri
pula kekuasaan agama majusi di persia yang mendapat dukungan moril di timur
jauh dan di India. Paham masehi di barat dan majusi di timur sekarang sudah
berhadap-hadapan muka. Selama beberapa abad berturut-turut, baik barat maupun
timur dengan hendak menghormati agamanya masing-masing, yang sedianya
berhadapan dengan rintangan alam, kini telah berhadapat dengan rintangan moril,
masing-masing merasa perlu dan sekuat tenaga berusaha mempertahankan kepercayaannya.
Sekalipun peperangan diantara mereka terus menerus setelah beberapa lama
berkecamuk, akhirnya persia dapat menaklukan Rumawi akan tetapi wilayah rumawi
diberi kebebasan untuk menjalankan ritual keagaamaannya masing-masing (Haikal
2001: 3-4).
Paganisme,
Yahudi, dan Kristen adalah agama orang Arab pra-Islam.
Pagan adalah agama mayoritas mereka. Ratusan berhala dengan bermacam-macam
bentuk ada di sekitar Ka’bah. Mereka bahwa berhala-berhala itu dapat
mendekatkan mereka pada Tuhan sebagaimana yang tertera dalam al-Quran. Agama
pagan sudah ada sejak masa sebelum Ibrahim. Setidaknya ada empat sebutan bagi
berhala-hala itu: Sanam, Wathan, Nusub, dan Hubal. Sanam berbentuk manusia
dibuat dari logam atau kayu. Wathan juga dibuat dari batu. Nusub adalah batu karang
tanpa suatu bentuk tertentu. Hubal berbentuk manusia yang dibuat dari batu
akik. Dialah dewa orang Arab yang paling
besar dan diletakkan dalam Ka’bah di Mekah. Orang-orang dari semua penjuru
jazirah datang berziarah ke tempat itu
(Haekal, 2001: 19). Beberapa kabilah melakukan cara-cara ibadahnya
sendiri-sendiri. Ini membuktikan bahwa paganisme sudah berumur ribuan tahun.
Sejak berabad-abad penyembahan patung berhala tetap tidak terusik, baik pada
masa kehadiran permukiman Yahudi maupun upaya-upaya kristenisasi yang muncul di
Syiria dan Mesir.
Namun
gagasan Tuhan yang unggul tetap diserukan tetapi pengaruhnya hanya terbatas
kepada lingkungan yang amat kecil yang melepaskan diri dari perbudakan
menyembah berhala dan berpegang pada skeptisme falsafi, yang sedikit banyak
diwarnai oleh tanggapan-tanggapan dongeng keagamaan dan keduniawian, dari
tetangga-tetangga mereka orang saba, yahudi dan kristen. Diantara mereka ini
ada yang mengakui dengan jelas mengakui adanya Tuhan yang unggul karena muak
denagan kecabulan dan matrialisme kasar di zamannya. (Ameer Ali, tth: 83)
Salah
satu corak beragama yang ada sebelum Islam datang selain tiga agama di atas
adalah hanifiyah, yaitu sekelompok orang yang mencari agama Ibrahim yang murni
yang tidak terkontaminasi oleh nafsu penyembahan berhala-berhalam, juga tidak
menganut agama Yahudi ataupun Kristen, tetapi mengakui keesaan Allah. Mereka
berpandangan bahwa agama yang benar di sisi Allah adalah hanifiyah, sebagai
aktualisasi dari millah Ibrahim. Tradisi-tradisi warisan mereka yang kemudian
diadopsi Islam seperti memuliakan ka’bah, thawaf, haji Umrah, wukuh di
arafah dan berkurban. (buthy, 1977: 31)
III.
KESIMPULAN
Penjelasan
di atas mengisyaratkan bahwa cara hidup orang Arab pra-Islam terbagi menjadi
dua. Pertama, masyarakat yang bertani dan berdagang. Kedua,
bersatu dalam kebiasaan-kebiasaan kabilah-kabilah pengembara yang banyak
bertumpu pada peraturan-peraturan yang telah ada. Corak yang pertama dianut
masyarakat perkotaan atau mereka yang telah mencapai peradaban lebih tinggi
terutama Yaman, sementara corak kedua dianut oleh masyarakat badui yang
diwakili oleh daerah Hijaz dan sekitarnya. Pada zaman arab pra-Islam juga sudah banyak berkembang dalam duni seni,
khususnya syair, terbut banyak tokoh, tokoh penyair yang sudah ada sejak tahun
545 atau sekitar 2 abad sebelum tahun hijriyah.
Sebagian
orang terlalu berlebihan dalam menyikapi tradisi-tradisi Arab sebelum Islam.
Seakan-akan semua tradisi mereka jelek. Padahal sebagian tradisi mereka
diadapsi oleh Islam dan tetap dipertahankan hingga sekarang, seperti
pengagungan Ka’bah dan tanah suci, haji dan umrah, sakralisasi bulan ramadhan,
mengagungkan bulan-bulan haram, penghormatan terhadap Ibrahim dan Isma’il,
pertemuan umum hari jum’at. Islam tidak arogan dalam menyikapi tradisi-tradisi
yang sudah ada, tetapi ia mengadopsi sebagian tradisi tersebut dan mengadapsi
sebagian yang lain sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Islam.
IV.
PENUTUP
Demikian
makalah yang dapat penulis sajikan, kritik dan saran yang
konstruktif sangatlah penulis harapkan demi tercapainya suatu makalah yang
baik. Semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua dan dapat memperkaya
khazanah Intelektual kita.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad,
Amin. 1975. Fajr al-Islam.
Ttp, Tth.
Al-Iskandary, Ahmad dan Musthofa Inany, Al-Wasith fii
al-Adab al-‘Araby wa Tarikhuhu, Kairo:
Dar al-Ma’arif, 1952.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahannya, Diterjemahkan oleh
yayasan Penerjemah Al Qur’an, ed. Revisi, (Semarang: Toha Putra, 1995).
Dhaif, Syauqy, Al-Bahts al-Adaby Thabi’atuhu Manahijuhu
Ushuluhu Mashadiruhu, Kairo: Dar al-Ma’arif, Tanpa tahun.
Hakim Abd, Atang
at al, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya Offset,
cet 5, thn. 2002.
http//Islamic Tougt. Wordpress.
Diakses 08/09/2012
Hasan, Husein
al-Hajj, Adab al-’Arab fii Ashr
al-Jahiliyyah, Bairut: Tanpa Penerbit. 1990.
Hashem, Fuad, Sirah
Muhammad Rasulullah, Kurun makkah, suatu penafsiran baru, Jakarta: Tama
Publisher, thn. 2005.
Husein, Thaha, Fii al-Adab al-Jahily, Kairo: Dar
al-Ma’arif. Tanpa tahun.
Jassin, B, Ameer
Ali, Api Islam Sejarah evolusi dan cita-cita Islam dengan Riwayat hidup Nabi
Muhammad SAW, Jakarta: Bulan Bintang, tth.
Khafajy,
Muhammad Abdul Mun’im, Al-Syi’r
al-Jahily, Bairut: Dar al-Kitab. 1973.
Laila, Abu
et.al, Muhammad Al-Ghazaly, Fiqhus Sirah, terj. Fiqhus Sirah (Menghayati
nilai-nilai Riwayat hidup Muhammad SAW), Bandung: PT. Al-Ma’arif, tth.
Muhammad Husain
Haikal, Ahmad, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta: PT. Mitra Kerjaya. Cet
25. Thn 2001.
Rus’an, Lintasan Sejarah Islam di Zaman Rasulullah
SAW, Semarang: Wicaksana, thn 1981.
Rahman, Samson,
Ahmad al-‘Usairy, At Tarikhul Islamy,
terj. Sejarah Islam, Jakarta: Akbar Media. Thn 2003.
Sutopo, Anam,
et al, Neal Robinson, Islam, a Conscis Introduktion, terj. Pengantar
Islam Komprenhenshif, Yohyakarta: Fajar Pustaka Baru, thn. 2001.
Suhardi, Kathur,
Syafiur Rahman Al-Mubarrakfury, Ar-Rahikul
Maktum Bahtsun fis- Sirah Nabawiyah Ala Shahibiha Afdhalish-Wassalam, terj.
Sirah Nabawiyah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cet-21. Thn 2006.
Said Ramadhan
Al-buthy, Ahmad, Fiqhus sirah, dirasat manhajiah ‘Ilmiah Li sirati’l Mustafa
‘alaihi wassalam, Daru’l Fikr: cet ke-6. Thn. 1977.
Yahya, Mukhtar,
Perpindahan-perpindahan Kekuasaan Di Timur Tengah, Jakarta: PT. Bulan
Bintang. Cet-I. thn 1985.
Yatim,
Badri, Historiografi Islam, Jakarta:
Logos, thn 1997.