Tuesday, January 22, 2013

ARAB PRA-ISLAM; A Short Histori


oleh: Akmal Bashori

I.       PENDAHULUAN
Mengkaji tentang Islam alangkah lebih baiknya kita kaji dulu arab sebelum Islam, karena Islam lahir di tengah-tengah masyarakat arab yang sudah mempunyai adat istiadat yang diwariskan dari generasi ke generasi. Apalagi Islam muncul di jalur yang penting sebagai lalulintas perdagangan di kala itu. dan dibawa oleh Muhammad (570-632 M) yang merupakan salah satu keturunan suku terhormat dan memiliki kedudukan terpandang di antara mereka secara turun-temurun dalam beberapa generasi, Quraysh. Quraysh adalah suku penguasa di atas suku-suku lainnya di Mekah, sebuah kota yang di dalamnya terdapat bangunan suci tua yang memiliki daya tarik yang melebihi tempat-tempat pemujaan lainnya di daerah Arab. (http//Islamic Tougt. wordpress)  
Jazirah Arab adalah sebuah tanah semenanjung terletak di bagian barat daya benua asia tanah ini terkenal dengan nama jazirah Arab atau pulau Arab, walaupun masih bertali dengan daratan benua Asia, karena ia di lingkungi oleh tiga lautan seginya; yaitu: laut merah laut Hindia dan laut Oman dan selat Persia. Sebenarnya lebih tepat dinamakan semenanjung Arab. Bukan jazirah atau pulau arab (H. Rus’an 1981: 9).   
Sebagian penulis sejarah Islam biasanya membahas Arab Pra-Islam sebelum menulis sejarah Islam pada masa Muhammad (570-632 M) dan sesudahnya (Neal Robinson 2001: 30). Mereka menggambarkan runtutan sejarah yang saling terkait satu sama lain yang dapat memberikan informasi lebih komprehensif tentang Arab dan Islam tentang geografi, sosial, budaya, agama, ekonomi, dan politik Arab pra-Islam dan relasi serta pengaruhnya terhadap watak orang Arab dan doktrin Islam. Kajian semacam ini memerlukan waktu dan referensi yang tidak sedikit, bahkan hasilnya bisa menjadi sebuah buku tersendiri yang berjilid-jilid seperti al-Mufassal fi Tarikh al-‘Arab qabla al-Islsm karya Jawad ‘Ali. Oleh karena itu, kita hanya akan mencukupkan diri pada pembahasan data-data sejarah yang lebih familiar dan gampang diakses mengenai hal itu.
Secara geografis, Jazirah Arab dibagi menjadi dua bagian. Pertama, jantung Arab. Ia adalah wilayah yang berada di pedalaman. Tempat paling utama adalah Najd. Kedua, sekitar Jazirah. Penduduknya adalah orang-orang kota. Wilayah yang paling penting adalah Yaman di bagian selatan, Ghassan di sebelah utara, Ihsa` dan Bahrain di sebelah timur, dan Hijaz di sebelah Barat. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa sebenarnya apa yang dimaksud dengan Arab di sini bukanlah daerah di mana penduduknya berbahasa Arab seperti Mesir, Sudan, Maroko, dan lain-lain tetapi hanya mencakup dua bagian daerah di atas. Sebelum Islam, Jazirah Arab dikelilingi oleh dua kekuatan besar dan berpengaruh yang selalu terlibat peperangan dan berebut pengaruh ke daerah sekitarnya, yaitu imperium Bizantium pewaris Rumawi sebagai representasi agama Nasrani dan kekaisaran Persia sebagai representasi agama Majusi. Oleh karena itu dalam makalah ini akan di bahas asal usul orang Arab, kondiosi sosial, ekonomi, politik serta Agama Arab pra-Islam serta puisi Arab Pra-Islam.

II.    PEMBAHASAN
A.    Pengertian dan Asal Usul Jahiliyah (Arab pra-Islam)
Setiap kajian yang membahas masalah Islam biasanya dimulai dengan pembahasan mengenai masa jahiliah pra-Islam. Ini adalah wajar dan logis. Pertama memang harus dipelajari lingkungan tempat Islam itu tumbuh. Karena itu kita harus mengenal jahiliyah agar kita bisa mengenal hakikat Islam dan apa peranannya dalam kehidupan manusia. Penelitian ilmah yang murni mewajibkan kepada semua peneliti walaupun non-muslim agar teliti dalam membuat kesimpulan dan definisi. Kata al- jahl   (jahil) terdapat dua pengertian. Pertama, al-Jahl lawan dari kata al-ilm yang artinya mengetahui. Ini menyangkut kaedaan akal. Dan lawan dari kata al-hilm yang artinya sopan santun, ini menyangkut kejiwaan dan perilaku. (Quhtb, 1995: 53)
Jadi, esensi jahiliah disini adalah keadaan akal yang tidak mengetahui yang hak dan mengikuti kurafat juga keadaan jiwa yang menolak mengikuti petunjuk Allah dan perilaku yang menolak mengikuti konsep Allah. Fenomena ini akan melanda setiap manusia kapanpun dan di manapun berada, selama Islam belum di jadikan pedoman hidup (Quhtb, 1995: 58).  
Adapun yang menyangkut penampilan luar dari jahiliah di jazirah Arab tidak hanya menguburkan anak perempuan hidup-hidup, menyembah berhala, minum tuak, berjudi dan merampok saja. Hal itu memang cukup menonjol di kawasan Arab, tetapi bukanlah satu-satunya, masih banyak lagi bentuk penyembahan yang dipraktikkan oleh orang Arab di zaman jahiliah diantara mereka mempersembahkan korban untuk para dewa, mengikuti petunjuk para tukang-tukang tenung. Dengan demikian mereka telah melakukan praktik syirik dengan segala bentuknya. (Quhtb, 1995: 61)
Bangsa Arab adalah anak-anak  Ismail as, karena itu mereka mewarisi millah dan minhaj yang telah di bawa oleh bapak mereka. Setelah beberapa waktu bapak mereka meninggal, mereka mulai mencampur adukan dengan kebatilan umat telah dikuasai oleh kebatilan maka masuklah kemusrikan kepada mereka mereka kembali menyembah berhala. Tradisi buruk dan kebejatan moral pun tersebar luas, akhirnya mereka jauh dari tauhid. Selama beberapa abad mereka hidup dalam kehidupan jahiliah. (al-Buthy 1977: 28)
Untuk melacak asal-usul orang Arab, mereka merunut jauh ke belakang yaitu pada sosok Ibrahim dan keturunannya yang merupakan keturunan Sam bin Nuh, nenek moyang orang Arab. Segenap ahli riwayat hampir sepakat, bahwa kelahiran keturunan sam yang pertama kali ialah pelembahan sungai furat atau tanah datar yang terletak diantara sungai Tigris dan sungai furat. Setelah keturunan ini berkembang biak sehinnga tempat kediaman mereka yang pertama tidak mencukupi lagi maka sebagian terpaksa berpisah dan pergi mengembara mencari kediaman tempat terbaru. Dari mereka konon lahir bangsa-bangsa babylone dan Assyie di Irak, Aram di Syam, ‘Ibri di Palestina, Funikian di Pantai Syum yang menghadapi Libanan, habsyi di Abisinia dan bangsa Arab di Kepulauan yang dinakan menurut nama mereka, yaitu Jazirah Arab (Rus’an 19881: 12).
Ahmad al-‘Usairy (2003: 58) mengatakan Secara geneaologis, orang Arab terbagi menjadi dua golongan besar yaitu; Arab Baidah dan Arab Baqiyah. Berbeda dengan Rus’an (1981: 12) yang mengatakan bahwa perjalanan orang Arab dapat di bagi menjadi tiga bagian besar yaitu;
Pertama Arab Baidah; riwayat golongan ini sebenarnya sudah tersimpan dalam lipatan alam ghaib, yakni tidak banyak di ketahui orang lagi kecuali sedikit, yang terdiri dari kabillah-kabilah besar di zamannya diantaranya; kabilah ‘Aad yang berdiam di Ahqaf, Tsamud yang berdiam di Hijr dan Wadil Qura’ kabilah Thams dan Jadis yang berdiam di Yamamah, kerajaan Hamorabia di Irak dan Syam dan Kerajaan ‘Amaliqah di Mesir (Rus’an 19881: 12-13). Nabi-nabi Allah yang diutus kepada Arab Baidah adalah Nabi Hud as, kepada kaum ‘aad, Nabi Saleh as, di utus kepada kaum Tsamud yang berdian diantara Madinah dan Tabuk. Nabi Syu’ai as diutus kepada penduduk Madyan mereka tinggal di wilayah barat laut Jazirah Arab (di wilayah Tabuk dan selatan Yordania). (al’Usairy 2003: 59-61)
Kedua Arab ‘Aribah; juga dinamakan bani Qahtan atau anak cucu Qahtan. Menurut ahli penyiasat mereka itu berasal dari bangsa atau penduduk di tepi sungai, disana mereka mendirikan kerajaan berganti-ganti diantaranya yang sangat terkenal adalah kerajaan saba’ yang berdiri kira-kira pada abad ke VIII SM. Dan sebagai pengganti kerajaan saba’ yaitu kerajaan Himyar berdiri Abad ke II Sebelum Almasih, dan berakhir kira-kira abad ke VI M. Kedua kerajaan ini juga pernah mencapai kemajuan yang tinggi (golden age) mereka konon sudah pandai bercocok tanam, pandai membuat dam dan pengairan dan sudah mengetahui tentang ilmu arsitektur yang bangunannya terdapat sampai sekarang.
Ketiga Arab Musta’ribah; disebut juga Isma’iliyah, diambil dari nama datuk mereka, Ismail bin Ibrahim as dan dinamakan juga Adnaniyah menurut nama cucu Ismail Adnan. Mereka ini berdiam di Tihamah, najd dan Hijaz. Sebagian yang terbesar dari pada mereka itu menjadi bangsa pengembara  atau bangsa Badwi yang senantiasa hidup berpindah-pindah menurutkan tempat yang berair  dan yang di tumbuhi rumput untuk ternaknya. (Rus’an 19881:13)    

B.     Peradaban Pada Masa Arab Jahiliyah (Pra-Islam)   
1.      Kondisi Sosial Budaya
Di kalangan Bangsa Arab terdapat beberapa kelas masyarakat, yang kondisinya berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Hubungan seseorang dengan keluarga di kalangan bangsawan sangat diunggulkan dan di prioritaskan dihormati serta dijaga sekalipun dengan pedang. Jika seorang ingin dipuji dan dipandang dimata Bangsa Arab karena kemuliaan dan keberaniaanya maka dia harus banyak di bicarakan oleh kaum wanita. Jika seorang wanita menghendaki mereka bisa mengumpulkan beberapa kabilah untuk suatu perdamaian dan jika dia menghendaki bisa menyalakan api peperangan dan pertempuran diantara mereka. Sekalipun begitu seorang laki-laki dianggap sebagai pemimpin ditengah keluarga yang tidak boleh dibantah dan setiap perkataannya harus dituruti, seorang wanita tidak bisa menentukan pilihannya sendiri. (Rahman, 1997: 59)
Sebagian besar daerah Arab adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman yang terkenal subur. Wajar saja bila dunia tidak tertarik, negara yang akan bersahabat pun tidak merasa akan mendapat keuntungan dan pihak penjajah juga tidak punya kepentingan. Sebagai imbasnya, mereka yang hidup di daerah itu menjalani hidup dengan cara pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Mereka tidak betah tinggal menetap di suatu tempat. Yang mereka kenal hanyalah hidup mengembara selalu, berpindah-pindah mencari padang rumput dan menuruti keinginan hatinya. Mereka tidak mengenal hidup cara lain selain pengembaraan itu. Seperti juga di tempat-tempat lain, di sini pun (Tihama, Hijaz, Najd, dan sepanjang dataran luas yang meliputi negeri-negeri Arab) dasar hidup pengembaraan itu ialah kabilah. Kabilah-kabilah yang selalu pindah dan pengembara itu tidak mengenal suatu peraturan atau tata-cara seperti yang kita kenal. Mereka hanya mengenal kebebasan pribadi, kebebasan keluarga, dan kebebasan kabilah yang penuh.
Keadaan itu menjadikan loyalitas mereka terhadap kabilah di atas segalanya. Seperti halnya sebagian penduduk di pelosok desa di Indonesia yang lebih menjunjung tinggi harga diri, keberanian, tekun, kasar, minim pendidikan dan wawasan, sulit diatur, menjamu tamu dan tolong-menolong dibanding penduduk kota. orang Arab juga begitu sehingga wajar saja bila ikatan sosial dengan kabilah lain dan kebudayaan mereka lebih rendah. Ciri-ciri ini merupakan fenomena universal yang berlaku di setiap tempat dan waktu. Bila sesama kabilah mereka loyal karena masih kerabat sendiri, maka berbeda dengan antar kabilah. Interaksi antar kabilah tidak menganut konsep kesetaraan; yang kuat di atas dan yang lemah di bawah. Ini tercermin, misalnya, dari tatanan rumah di Mekah kala itu. Rumah-rumah Quraysh sebagai suku penguasa dan terhormat paling dekat dengan Ka’bah lalu di belakang mereka menyusul pula rumah-rumah kabilah yang agak kurang penting kedudukannya dan diikuti oleh yang lebih rendah lagi, sampai kepada tempat-tempat tinggal kaum budak dan sebangsa kaum gelandangan. (http//Islamic Tougt. wordpress)
      
2.      Kondisi Ekonomi dan Politik
Sumber utama ekonomi yang menjadi penghasilan orang arab  adalah perdagangan dan bisnis. Orang-orang dimasa Arab dan Jahiliyah terkenal dengan bisnis dan perdagangannya. Perdagangan menjadi darah daging orang Quraisy. Dalam al-qur’an  karena kebiasaan orang-orang Quraisy, yaitu kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin  dan musim panas (QS. Quraisy: 1-2). Mereka melakukan perjalan ke Yaman pada musim dingin dan perjalanan ke syam pada musim panas (Usairy 2003: 72).
Kondisi ekonomi mengikuti kondisi sosial, yang bisa di lihat jalan kehidupan bangsa Arab. Oleh karenanya perdagangan merupakan sarana yang paling dominan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jalur-jalur perdagangan tidak bisa dikuasai begitu saja kecuali jika sanggup memegang kendali keamanan dan perdamaian. Kondisi semacam ini tidak bisa terwujud di jazirah Arab kecuali di bulan suci. Pada saat itu dibuka pasar-pasar Arab yang sangat terkenal, seperti Ukazh, Dzil Majaz, majinnah dan lain-lain. Tentang perindustrian atau kerajinan, mereka adalah bangsa yang paling tidak mengenalnya. Kebanyakan kerajinan yang berada di Arab, seperti jahit menjahit, menyamak kulit dan lainnya berasal dari Yaman, Hirah dan peinggiran Syam. Sekalipun begitu di tengah jazirah Arab ada pertanian dan pengembalaan hewan ternak. Sedangkan wanita-wanita Arab cukup menangani pemintalan. Tetapi kekayaan yang dimiliki bisa mengundah pecahnya peperangan, kemiskinan, kelaparan dan orang-orang yang telanjang merupakan pemandangan yang biasa ditengah masyarakat (al-Mubarrakfury 2006: 62-63).
Disamping kondisi ekonomi Arab pra-Islam sudah sangat berkembang, pada zaman itu juga situasi perpolitikan juga sudah menunjukkan adanya pendewasaan dalam bidang politik, terbukti sudah terdapat jabatan-jabatan penting, seperti di pegang oleh Qussyah bin Qilab pada pertengahan Abad ke V M. Dalam rangka memelihara ka’bah dibentuklah jabatan-jabatan sebagai berikut; hijaba (penjaga pintu ka’bah atau juru kunci), Siqaya (pejabat yang menyediakan air minum para tamu yang berkunjung ke ka’bah serta menyiapkan minuman keras yang terbuat dari kurma), Rifadla (petugas yang mempersiapkan makanan yang berkunjung ke ka’bah), Nadwa (petugas yang harus memimpin rapat pada setiap tahun) liwa (pemegang panji yang di pancangkan di tombak yang di tancapkan sebagai lambang sedang menghadapi musuh) Qiyada (pemimpin pasukan apabila hendak perang). (Hakim et al, 2002: 39)
Dalam bidang hukum bangsa Arab pra-Islam menjadikan adat sebagai hukum dalam segala bentuknya. Dalam perkawinan mereka mengenal berbagai macam perkawinan, diantaranya; istibdla, poliandri, maqthu’, baidah dan zighar. Dalam bidang muamalat di bolehkannya transaksi mubadalah (barter) jual beli, kerjasama pertanian (muzaraah) dan riba’. (Hakim et al, 2002: 40)
Diantara hukum keluarga arab pra-Islam adalah di bolehkannya berpoligami dengan perempuan dengan jumlah tanpa batas; serta anak kecil dan perempuan tidak berhak menerima harta pusaka atau harta peninggalan. (Mahmasani, 1961: 31)
Nur kholis Majid mengatakan bahwa tatanan masyarakat Arab pra-Islam lebih cenderung merendahkan wanita itu dapat dilihat dari dua kasus. Pertama pereempuan dapat di wariskan. Misalnya ibu tiri harus rela menjadi istri anak tirinya ketika suaminya meninggal; ibu tiri tidak mempunyai hak pilih baik untuk menerima maupun menolaknya. Kedua, perempuan tidak boleh menerima harta pusaka. Pembagian harta pusaka telah dilakukan bangsa arab pra-Islam. Dalam tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang mereka terdapat ketentuan bahwa anak yang belum dewasa dan anak perempuan tidak boleh menerima harta pusaka. Karena syarat untuk mendapatkan harta pusaka pada zaman Arab Jahiliyah adalah (1) pertalian kerabat  (qarabah) (2) janji setia (Mukhallafah) (3) adopsi (tabanni). (Hakim et al, 2002: 40)       


3.      Perkembangan Sastra Arab Pra-Islam
Secara sosiologis sastra merupakan refleksi lingkungan budaya dan merupakan satu teks dialektis antara pengarang dan situasi sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektik yang dikembangkan dalam karya sastra. Sehubungan dengan ini sering dikatakan bahwa syair merupakan antologi kehidupan masyarakat Arab (Diwan al-`Arab) (Khafajy, 1973:195). Artinya, semua aspek kehidupan yang berkembang pada masa tertentu tercatat dan terekam dalam sebuah karya sastra (syair).
Kalangan penyair bukanlah satu-satunya komunitas yang amat peduli kepada pendidikan syair. Secara umum anggota masyarakat (kabilah) juga memiliki kepedulian yang sama. Untaian kata-kata dalam syair bagi masyarakat Arab bukanlah semata-mata bunyi yang disuarakan lisan yang tanpa makna (absurd), melainkan sarana yang ampuh (sakral) untuk membakar semangat, menarik perhatian, dan meredam emosi yang bergejolak di tengah kehidupan masyarakat. Bisa dipahami kalau masyarakat meyakini bahwa para penyair memiliki pengetahuan magis (Amin, 1975:55) yang terekspresikan dalam syair dan keberadaan syair ini sangat diperhatikan dan dipatuhi substansinya karena ia merupakan realitas kehidupan kabilah. Nampaknya inilah alasan yang diyakini masyarakat ketika mereka menempatkan para penyair pada posisinya yang terhormat (Khafajy, 1973:195). Mereka menjadi simbol kejayaan suatu kabilah dan penyambung lidah yang mampu melukiskan kebaikan dan kemenangan kabilah sebagaimana mereka mampu mendeskripsikan kejelekan dan kekalahan perang yang diderita kabilah lain. Itulah di antara beberapa sebab mengapa syair pada periode jahili didominasi oleh jenis madah (pujian/ode) dan hija’ (ejekan/satire) (Al-Iskandary, 1952:65).
Ada dua cara, dalam mempelajari syair Arab di masa Jahilia, kedua-duanya itu amat besar faedahnya. Pertama mempelajari syair itu sebagai suatu kesenian, yang oleh bangsa Arab amat dihargai. Kedua mempelajari syair itu dengan maksud, supaya kita dapat mengetahui adat istiadat dan budi pekerti bangsa Arab.
Dibawah ini akan kita adakan tinjauan ringkas mengenai syair Arab di masa Jahiliah, menurut keduanya segi yang disebutkan itu. Syair adalah salah satu seni yang paling indah yang amat dihargai dan dimuliakan oleh bangsa Arab. Mereka amat gemar berkumpul mengelilingi penyair-penyair, untuk mendengarkan syair-syair mereka, sebagai orang zaman sekarang beramai-ramai mengelilingi penyair atau pemain musik yang mahir, untuk mendengarkan permainannya.
Ada beberapa pasar tempat penyair berkumpul, yaitu: pasar ‘Ukas, Majinnah, Zul Majaz. Dipasar-pasar itu para penyair memperdengarkan syairnya yang sudah dipersiapkannya untuk maksud itu, dengan dikelilingi oleh warga sukunya; yang memuji dan merasa bangga dengan penyair-penyair mereka. Kemudian dipilihlah di antara syair-syair itu yang terbagus, lalu digantungkan di Ka’bah tidak jauh dari patung dewa-dewa pujaan mereka. Seorang penyair mempunyai kedudukan yang amat tinggi dalam masyarakat bangsa Arab. Bila pada suatu kabilah muncul seorang penyair maka berdatanganlah utusan dari kabilah-kabilah lain, untuk mengucapkan selamat kepada kabilah itu. Untuk ini kabilah itu mengadakan perhelatan-perhelatan dan jamuan besar-besaran, dengan menyembelih binatang-binatang ternak. Wanita-wanita kabilah ke luar untuk menari, menyanyi dan bermain musik.
Semua ini diadakan untuk menghormati penyair. Karena penyair membela dan mempertahankan kabilah dengan syair-syairnya, ia melebihi seorang pahlawan yang membela kabilahnya dengan ujung tombaknya. Disamping itu penyair dapat juga mengabadikan peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian dengan syairnya. Dan bilamana ada penyair-penyair kabilah lain mencela kabilahnya, maka dialah yang akan membalas dan menolak celaan-celaan itu dengan syair-syairnya pula.
Salah satu dari pengaruh syair pada bangsa Arab ialah : Bahwa syair itu dapat meninggikan derajat yang tadinya hina,atau sebaliknya, dapat menghina-hinakan seseorang yang tadinya mulia. Bilamana seorang penyair memuji seorang yang tadinya dipandang hina, maka dengan mendadak sontak orang itu menjadi mulia; dan bilamana seorang penyair mencela atau memaki seorang yang tadinya dimuliakan, maka dengan serta merta orang itu menjadi hina.

Tabel para penyair Pra-Islam Terkemuka (lontar.ui.ac.id)
No
Nama
Tema syair
Suku
Hidup
1
Imru’ al-Qays
Ghazal, nasib, wasfu
Adnan
w. 545 M
2
Amru’ ibnu kultsum
Hamasat, khamriat
Taglib
w. 551 M
3
Tarafah ibn al-‘Abd
Madah, hija, nasib
Taglib
w. 564 M
4
Al-Harits ibn hilliyah
I’tidzar
Taglib
w. 692 M
5
‘Abid Ibn Abras
Madah
Asad
w. 608 M
6
Antarah al-Habsyi
Hamasat al-Fahr
Habasah
w. 622 M
7
Zuhayr Abi Sulma
Madah, Hija’
Tamim
w. 522 M
8
Lubaid Ibn Rabi’ah
Hamasat, Ritsa
Qays
w. 625 M
9
Al-A’sya
Madah, Khamriyat
Taqlib
w. 629 M
10
Nabighah Dzibyani
Madah, Hija’
Qays
w. 644 M
Eksistensi Sastra Arab Jahiliyah
Seorang pemikir Islam dan juga seorang sastrawan, adalah Thaha ­Husein dengan sejumlah argumen untuk membangun teorinya -melalui pendekatan sosiologis/ekstrinsik merasa keberatan (menolak) akan keberadaan sastra Arab jahili. Dari hasil penelitiannya ia mengajukan tiga tesis yang amat tajam. Tesis pertama, sebagian besar dari apa yang disebut syair Arab jahili bukan lahir pada masa jahiliyah, melainkan diciptakan pada zaman Islam (Husein, tt:65). Tesis kedua, adanya kesenjangan antara gaya intelektual yang ada pada sastra (syair) jahili dan kondisi intelektual masyarakat Arab jahiliyah (Husein, tt:67). Tesis ketiga, keberadaan syair lebih awal dari pada prosa, karena prosa membutuhkan bahasa rasional yang amat perlu kepada ketrampilan dan kepandaian menulis. Dimaklumi, pada saat itu masyarakat jahiliyah adalah masyarakat ummi (tidak bisa membaca dan menulis) (Husein, tt:326-329).
Munculnya statemen di atas, membuat ulama konservatif Mesir marah, ia harus dikeluarkan dari lingkungan akademik Universitas al-Azhar dan bahkan ia dituduh “kafir”. Baik dalam bentuk buku maupun tulisan lepas, kritik arus balik bermunculan guna mengkritisi pikiran-pikiran dan teori-teori yang dibangun Thaha Husein. Mereka khawatir metode kritik yang ditransformasi dari “Barat” itu akan menggugurkan dasar-dasar struktur tradisional penafsiran al-Qur`an dan pengajaran sastra Arab.
Menurut sebagian sastrawan, sastra Arab telah ada beberapa abad sebelum Masehi. Akan tetapi karya sastra (syair) tersebut yang ada sampai sekarang adalah karya sastra yang lahir dua abad sebelum Islam. Hal ini bukan berarti bahwa sebelum itu orang Arab tidak mengenal sastra, tetapi yang dapat direkam hanya sampai pada zaman Muhalhil saja. Oleh sebab itu ia dianggap sebagai perintis pertama sastra Arab jahiliyah.
Masyarakat Arab jahiliyah dikenal sebagai masyarakat yang tidak bisa membaca dan menulis (ummi). Maka satu-satunya yang dapat diandalkan ketika mereka menerima informasi adalah kekuatan hafalan. Di samping itu, juga adanya faktor eksternal yang sangat dominan, yaitu mereka terdorong untuk menghafal al-Ayyam (peristiwa penting) dan al-Ansab (genealogi) yang menjadi kebanggaan. Dua jenis pengetahuan ini banyak tersimpan dalam karya sastra baik berupa syair maupun berupa prosa (Yatim, 1997:29-39). Maka amat wajar kalau pada masa jahiliyah karya sastra disosialisasikan melalui sarana tradisi oral. Dengan kata lain, seorang penyair meriwayatkan gubahan syair kepada generasi penyair lainnya, kemudian penyair tersebut meriwayatkannya kepada penyair berikutnya. Pada akhirnya proses penyampaian semacam ini mengenal istilah riwayah yang sekaligus terkait dengan sanad (transmisi), matan (materi/isi), dan al-`ardh wa al-ada’ (penyampaian).
Karakteristik Sastra Arab Jahily
Seperti yang dikemukakan Syauqi Dhaif, ada beberapa persyaratan dalam penyampaian (al-‘ardh wa al-ada’) sebuah karya sastra. Pertama, al-tamatstsul yaitu memberikan contoh pengungkapan karya sastra dengan susunan yang baik. Kedua, al-diqqah yaitu sifat ketelitian dalam penyampaian karya sastra. Ketiga, al-ada` al-sadid, yaitu penyampaian yang benar dengan memberikan penjelasan beberapa kata asing dan penggunaan gaya bahasa dalam karya sastra (Dhaif, tt:7).
Adapun sanad dalam sastra terdiri dari orang-orang yang tsiqah (kapasitas intelektualnya dapat dipercaya), dan orang-orang yang semasa (syahadah al-zaman). Hal ini dilakukan supaya informan dan yang menerima –rawi- bisa bertemu langsung (liqa’), dan harus disampaikan secara lisan/oral (musyafahah) yang diikuti dengan ungkapan haddatsana atau akhbarana (Dhaif, tt:163). Bahkan lebih dari itu, kepekaan pendengaran dan ketajaman pandangan menjadi persyaratan bagi seorang perawi (Hasan, 1990:175).
Apabila terjadi perselisihan di antara dua riwayat, maka solusi yang ditawarkan adalah tarjih, yaitu memilih di antara keduanya yang lebih kuat dan yang dapat dipercaya. Maka tidak mengherankan kalau Abu al-Farj melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Muhadditsin yaitu al-Ta`dil wa al-Tarjih (mengkritisi para perawi yang dianggap jujur dan dusta) (Al-Rafi’i, 1974:287). Dengan demikian, maka informasi yang diterima menjadi valid (shahih) dan dapat dipertanggungjawabkan.



C.    Perkembangan Agama Jahiliyah Arab (Pra-Islam)
Ada beberapa agama yang dianut oleh bangsa arab sebelum Islam. Bangsa Arab bani Qahthan (kaum saba’) di Yaman menganut agama ash shabiah, yaitu kepercayaan menyembah matahari dan bintang-bintang. Tetapi sesudah rubuhnya saddu magrib kaum saba’ menjadi bercerai berai dan berpindah dan berpindah ke pojok Jaziratul Arab, maka terjadi pula perubahan dalam  keagamaan. Orang-orang yang masih tinngal di yaman tetap dalam agama Ash Shabiah kemudian karena mereka dapat seruan dari rahib-rahib yahudi maka Dzu Nuwas yang pertama kali masuk agama yahudi.
Yahudi dianut oleh para imigran yang bermukim di Yathrib dan Yaman. Tidak banyak data sejarah tentang pemeluk dan kejadian penting agama ini di Jazirah Arab, kecuali di Yaman. Dzu Nuwas adalah seorang penguasa Yaman yang condong ke Yahudi dan menjadikan agama yahudi sebagai agama negara, berkat pengaruh ibunya ia membersihkan negaranya dan membunuh penganut kristen. Fuad Hashem (2005: 82) Dia tidak menyukai penyembahan berhala yang telah menimpa bangsanya. Dia meminta penduduk Najran agar masuk agama Yahudi, kalau tidak akan dibunuh. Karena mereka menolak, maka digalilah sebuah parit dan dipasang api di dalamnya. Mereka dimasukkan ke dalam parit itu dan yang tidak mati karena api, dibunuh dengan pedang atau dibuat cacat. Korban pembunuhan itu mencapai dua puluh ribu orang. (http// Islamic Tougt. wordpress)
Orang-orang yang berpindah ke arabia utara lalu menganut agama masehi, karena mereka berdekatan dengan bangsa romawi yang beragama masehi. Diantara penduduk najran juga ada yang beragama masehi karena negeri itu telah di datangi oleh perutusan masehi yang di utus oleh kaisar Romawi (Yahya 1985: 242).     
Berhadapan dengan agama Masehi yang tersebar dibawah panji dan pengaruh romawi. Berdiri pula kekuasaan agama majusi di persia yang mendapat dukungan moril di timur jauh dan di India. Paham masehi di barat dan majusi di timur sekarang sudah berhadap-hadapan muka. Selama beberapa abad berturut-turut, baik barat maupun timur dengan hendak menghormati agamanya masing-masing, yang sedianya berhadapan dengan rintangan alam, kini telah berhadapat dengan rintangan moril, masing-masing merasa perlu dan sekuat tenaga berusaha mempertahankan kepercayaannya. Sekalipun peperangan diantara mereka terus menerus setelah beberapa lama berkecamuk, akhirnya persia dapat menaklukan Rumawi akan tetapi wilayah rumawi diberi kebebasan untuk menjalankan ritual keagaamaannya masing-masing (Haikal 2001: 3-4).
Paganisme, Yahudi, dan Kristen adalah agama orang Arab pra-Islam. Pagan adalah agama mayoritas mereka. Ratusan berhala dengan bermacam-macam bentuk ada di sekitar Ka’bah. Mereka bahwa berhala-berhala itu dapat mendekatkan mereka pada Tuhan sebagaimana yang tertera dalam al-Quran. Agama pagan sudah ada sejak masa sebelum Ibrahim. Setidaknya ada empat sebutan bagi berhala-hala itu: Sanam, Wathan, Nusub, dan Hubal. Sanam berbentuk manusia dibuat dari logam atau kayu. Wathan juga dibuat dari batu. Nusub adalah batu karang tanpa suatu bentuk tertentu. Hubal berbentuk manusia yang dibuat dari batu akik. Dialah dewa orang  Arab yang paling besar dan diletakkan dalam Ka’bah di Mekah. Orang-orang dari semua penjuru jazirah datang  berziarah ke tempat itu (Haekal, 2001: 19). Beberapa kabilah melakukan cara-cara ibadahnya sendiri-sendiri. Ini membuktikan bahwa paganisme sudah berumur ribuan tahun. Sejak berabad-abad penyembahan patung berhala tetap tidak terusik, baik pada masa kehadiran permukiman Yahudi maupun upaya-upaya kristenisasi yang muncul di Syiria dan Mesir.
Namun gagasan Tuhan yang unggul tetap diserukan tetapi pengaruhnya hanya terbatas kepada lingkungan yang amat kecil yang melepaskan diri dari perbudakan menyembah berhala dan berpegang pada skeptisme falsafi, yang sedikit banyak diwarnai oleh tanggapan-tanggapan dongeng keagamaan dan keduniawian, dari tetangga-tetangga mereka orang saba, yahudi dan kristen. Diantara mereka ini ada yang mengakui dengan jelas mengakui adanya Tuhan yang unggul karena muak denagan kecabulan dan matrialisme kasar di zamannya. (Ameer Ali, tth: 83)
Salah satu corak beragama yang ada sebelum Islam datang selain tiga agama di atas adalah hanifiyah, yaitu sekelompok orang yang mencari agama Ibrahim yang murni yang tidak terkontaminasi oleh nafsu penyembahan berhala-berhalam, juga tidak menganut agama Yahudi ataupun Kristen, tetapi mengakui keesaan Allah. Mereka berpandangan bahwa agama yang benar di sisi Allah adalah hanifiyah, sebagai aktualisasi dari millah Ibrahim. Tradisi-tradisi warisan mereka yang kemudian diadopsi Islam seperti memuliakan ka’bah, thawaf, haji Umrah, wukuh di arafah dan berkurban. (buthy, 1977: 31)

III.             KESIMPULAN
Penjelasan di atas mengisyaratkan bahwa cara hidup orang Arab pra-Islam terbagi menjadi dua. Pertama, masyarakat yang bertani dan berdagang. Kedua, bersatu dalam kebiasaan-kebiasaan kabilah-kabilah pengembara yang banyak bertumpu pada peraturan-peraturan yang telah ada. Corak yang pertama dianut masyarakat perkotaan atau mereka yang telah mencapai peradaban lebih tinggi terutama Yaman, sementara corak kedua dianut oleh masyarakat badui yang diwakili oleh daerah Hijaz dan sekitarnya. Pada zaman arab pra-Islam  juga sudah banyak berkembang dalam duni seni, khususnya syair, terbut banyak tokoh, tokoh penyair yang sudah ada sejak tahun 545 atau sekitar 2 abad sebelum tahun hijriyah.
Sebagian orang terlalu berlebihan dalam menyikapi tradisi-tradisi Arab sebelum Islam. Seakan-akan semua tradisi mereka jelek. Padahal sebagian tradisi mereka diadapsi oleh Islam dan tetap dipertahankan hingga sekarang, seperti pengagungan Ka’bah dan tanah suci, haji dan umrah, sakralisasi bulan ramadhan, mengagungkan bulan-bulan haram, penghormatan terhadap Ibrahim dan Isma’il, pertemuan umum hari jum’at. Islam tidak arogan dalam menyikapi tradisi-tradisi yang sudah ada, tetapi ia mengadopsi sebagian tradisi tersebut dan mengadapsi sebagian yang lain sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Islam.

IV.             PENUTUP
Demikian makalah yang dapat penulis sajikan, kritik dan saran yang konstruktif sangatlah penulis harapkan demi tercapainya suatu makalah yang baik. Semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua dan dapat memperkaya khazanah Intelektual kita.



DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Amin. 1975. Fajr al-Islam. Ttp, Tth.
Al-Iskandary, Ahmad dan Musthofa Inany, Al-Wasith fii al-Adab al-‘Araby wa Tarikhuhu,  Kairo: Dar al-Ma’arif, 1952.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahannya, Diterjemahkan oleh yayasan Penerjemah Al Qur’an, ed. Revisi, (Semarang: Toha Putra, 1995).
Dhaif, Syauqy, Al-Bahts al-Adaby Thabi’atuhu Manahijuhu Ushuluhu Mashadiruhu, Kairo: Dar al-Ma’arif, Tanpa tahun.
Hakim Abd, Atang at al, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya Offset, cet 5, thn. 2002.
http//Islamic Tougt. Wordpress. Diakses 08/09/2012   
Hasan, Husein al-Hajj, Adab al-’Arab fii Ashr al-Jahiliyyah, Bairut: Tanpa Penerbit. 1990.
Hashem, Fuad, Sirah Muhammad Rasulullah, Kurun makkah, suatu penafsiran baru, Jakarta: Tama Publisher, thn. 2005.
Husein, Thaha, Fii al-Adab al-Jahily, Kairo: Dar al-Ma’arif. Tanpa tahun.
Jassin, B, Ameer Ali, Api Islam Sejarah evolusi dan cita-cita Islam dengan Riwayat hidup Nabi Muhammad SAW, Jakarta: Bulan Bintang, tth.
Khafajy, Muhammad Abdul Mun’im, Al-Syi’r al-Jahily, Bairut: Dar al-Kitab. 1973.
Laila, Abu et.al, Muhammad Al-Ghazaly, Fiqhus Sirah, terj. Fiqhus Sirah (Menghayati nilai-nilai Riwayat hidup Muhammad SAW), Bandung: PT. Al-Ma’arif, tth.
Muhammad Husain Haikal, Ahmad, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta: PT. Mitra Kerjaya. Cet 25. Thn 2001.
Rus’an,  Lintasan Sejarah Islam di Zaman Rasulullah SAW, Semarang: Wicaksana, thn 1981.
Rahman, Samson, Ahmad al-‘Usairy, At Tarikhul Islamy, terj. Sejarah Islam, Jakarta: Akbar Media. Thn 2003.
Sutopo, Anam, et al, Neal Robinson, Islam, a Conscis Introduktion, terj. Pengantar Islam Komprenhenshif, Yohyakarta: Fajar Pustaka Baru, thn. 2001.  
Suhardi, Kathur, Syafiur Rahman Al-Mubarrakfury,  Ar-Rahikul Maktum Bahtsun fis- Sirah Nabawiyah Ala Shahibiha Afdhalish-Wassalam, terj. Sirah Nabawiyah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cet-21. Thn 2006.
Said Ramadhan Al-buthy, Ahmad, Fiqhus sirah, dirasat manhajiah ‘Ilmiah Li sirati’l Mustafa ‘alaihi wassalam, Daru’l Fikr: cet ke-6. Thn. 1977.
Yahya, Mukhtar, Perpindahan-perpindahan Kekuasaan Di Timur Tengah, Jakarta: PT. Bulan Bintang. Cet-I. thn 1985.
Yatim, Badri, Historiografi Islam, Jakarta: Logos, thn 1997.