Akibat fenomena penyempitan pemikiran Islam menyebabkan para
ulama besar dan hebat kerap dijatuhkan otoritasnya dan dicela. Padahal, para
pencelanya justru tidak memiliki ilmu sekelas ulama besar.
Demikian
disampaikan Dr. Ugi Suharto, salah satu pendiri Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) yang kini menjadi
dosen di di University College of
Bahrain.
Monday, March 10, 2014
Menggagas Fikih Tarbawi
oleh: Akmal Bashori[2]
A. Prolog
Dalam dunia
pendidikan, hadis memiliki dua manfaat pokok. Manfaat pertama, hadits mampu
menjelaskan konsep dan kesempurnaan pendidikan Islam sesuai dengan konsep
al-quran. Kedua, hadis dapat menjadi contoh yang tepat dalam penentuan metode
pendidikan. Misalnya, menjadikan kehidupan kehidupan Rasulullah saw. dengan
para sahabat ataupun anak-anak sebagai sarana penanaman keimanan. Rasulullah
saw adalah sosok pendidik yang agung dan pemilik metode pendidikan yang unik.
Beliau sangat memperhatikan manusia sesuai dengan kebutuhan, karakteristik, dan
kemampuan akalnya, terutama jika beliau berbicara dengan anak-anak[3].
Kepada wanita,
beliau memahami fitrahnya sebagai wanita, kepada laki-laki, beliau memahami
tugas dan tanggung jawabnya sebagai laki-laki; kepada orang dewasa, beliau
memahami identitasnya sebagai manusia dewasa; dan kepada anak-anak, beliau
memahami karakternya sebagai anak-anak. Beliau sangat memahami kondisi naluriah
setiap orang sehingga beliau mampu menjadikan mereka suka cita, baik material
maupun spritual.
Beliau
senantiasa mengajak setiap orang untuk mendekati Allah dan syariat-Nya sehingga
terpeliharalah fitrah manusia melalui pembinaan diri setahap demi setahap,
penyatuan kecenderungan hati, dan pengarahan potensi menuju derajat yang lebih
tinggi. Lewat cara seperti itulah beliau membawa masyarakat pada kebangkitan
dan ketinggian derajat. Dengan demikian, jelaslah bahwa pendidikan Islam dalam perspektif
hadis senantiasa sejalan dengan al-Qur'an, sehingga dapat dikatakan bahwa pada
dasarnya pendidikan Islam dalam perspektif hadis merupakan cerminan dari konsep
pendidikan dalam al-Qur'an.
Kendatipun
konsep pendidikan telah terdapat dalam al-Qur'an dan hadis, namun demikian
tetap terbuka untuk menafsirkan konsep-konsep pendidikan, sehingga dapat
diterjemahkan dalam semua zaman dan kondisi sesuai dengan tuntutan perubahan.
Dalam artian bahwa konsep-konsep pendidikan yang tertuang dalam al-Qur’an dan hadis
tidak dimaknai secara sempit, akan tetapi hendaknya dimaknai sebagai konsep
universal yang tidak terbatas dalam suatu ruang waktu tertentu.
Dalam makalah
ini akan dijelaskan bagaimana konsepsi metode pendidikan dalam hadis, kemudian
setelah mendeskripsikan bagaimana metode pengajaran tersebut baru kemudian
melakukan rekonstruksi terhadap pemaknaan metode pengajaran yang akan diakhiri
dengan Formulasi Fikih Tarbawi.
B. Konsep
Pendidikan Dalam Perspektif Hadis
1. Metode
Pendidikan
Pendidikan merupakan bagian penting dalam kehidupan
manusia. Pendidikan (terutama Islam) dengan berbagai coraknya, berorientasi
memberikan bekal kepada manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Oleh karena itu, semestinya pendidikan Islam selalu diperbaharui konsepnya
dalam rangka merespon perkembangan zaman yang selalu dinamis, agar peserta
didik dalam pendidikan Islam tidak hanya berorientasi pada kebahagiaan hidup
setelah mati, tetapi kebahagiaan hidup di dunia juga bisa diraih.
Dalam kenyataannya, di kalangan dunia Islam telah muncul
berbagai isu mengenai krisis pendidikan dan problem lain yang amat mendesak
untuk dipecahkan Inilah yang menuntut agar selalu dilakukan pembaharuan
(modernisasi) dalam hal pendidikan dan segala hal yang terkait dengan kehidupan
umat Islam. Dewasa ini, pendidikan Islam di
seluruh dunia sedang menghadapi tantangan yang sangat berat
seiring dengan datangnya era globalisasi dan informasi.
Sejak mulai lahir kita (umat Islam) sudah diberikan
sinyal bahwa betapa pentingnya belajar dan mengajar, sebuah ilustrasi hadis
yang disampaikan oleh Abdillah bin Abi rabi melihat Rasulullah—meng-adzani
seorang bayi yang baru lahir yang sampai detik ini masih di praktikkan sebagian
besar umat Islam—tiada lain yakni proses penyampaian pendikan (transfer Knowledge).
عَنْ عُبَيْدِاللَّهِ بْنِ أَبِيْ رَافِعٍ عَنْ اَبِيْهِ قَالَ رَاَيْتُ
رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَذَّنَ فِى أُذُنِ الْحَسَنِ
بْنِ عَلِىِّ حِيْنَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِا لصَّلاَةِز( روه ابو داود )
Abdullah bin abi Rafi’ berkata : Aku
melihat rosulullah adzan ditelinganya
hasan bin ali seperti adzan ketika sholat ketika fatimah melahirkannya.(HR. Abu
Daud).
Ibnu Qayyim berkata bahwa hikmah azan dan iqamah di
telinga bayi yang baru lahir adalah agar suara pertama yang didegar adalah
seruan yang mengandung makna keagungan Allah serta syahadat.
Rasul
Saw mengajarkan agar senantiasa memelihara aturan-aturan yang sudah ditetapkan
oleh Allah Swt, tidak melanggar batasan-batasanNya. Kalau ini dilakukan,
niscaya Allah akan memeliharanya juga. Dan jika Allah dijaga dalam arti
hukum-hukumNya ditaati, maka pada saat manusia membutuhkan bantuan Allah, maka
Allah senantiasa di hadapanNya, menolong kesusahannya, meringankan bebannya.
Pelajaran inilah yang perlu ditanamkan kepada setiap
manusia, khususnya anak didik yang masih muda agar ia siap menghadapi kehidupan
yang penuh dengan ujian kesabaran dan keadaan yang serba sulit.
عَنْ عَمْرِو
بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ
أَبْنَاءُ سَبْعَ سِنَيْنَ وَاضْرِبُهُمْ
عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُعَشْرٍ وَفَرِّقُوابَيْنَهُمْ فِيْ المَضَاجِعِ ( روه
ابو داود )[4]
Dari Umar bin syu’aib berkata,
Rasulullah Saw bersabda : “Perintahkanlah kepada anak-anak kalian untuk sholat
ketika berumur 7 tahun, dan pukullah
mereka ketika mereka berumur 10 tahun bila mereka enggan menunaikannya, dan
pisahkanlah mereka dari ranjang-ranjangnya”. (Abu Daud)
Adapun hadis yang membolehkan memukul anak dalam rangka mendidik shalat
ini mereka adalah hadis riwayat Abu
Dawud dari Amr bin Syu’ab dari ayahya, dari kakeknya. Oleh beberapa ulama
hadis, hadis ini dinyatakan shahih, misalnya oleh al-Albani dalam kitab Shahih
Sunan Abu Dawud-nya. Sementara menurut al-Utsaimin, hadis ini memiliki
satus hasan.
Sementara Syekh Ibn Baz rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa-nya berkata:
“Perhatikanlah keluarga
dan jangan lalai
dari mereka wahai hamba
Allah. Anda harus bersungguh-sungguh
untuk kebaikan mereka. Perintahkan putera
puteri Anda untuk melakukan shalat saat berusia tujuh tahun, pukullah
mereka saat berusia sepuluh tahun dengan
pukulan yang ringan yang dapat mendorong mereka untuk taat kepada Allah dan
membiasakan mereka menunaikan
shalat pada waktunya agar mereka
istiqomah di jalan Allah dan mengenal yang haq sebagaimana hal itu dijelaskan
dari riwayat shahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.” [5]
Dari keterangan-keterangan di atas timbul asumsi dikalangan orang tua Muslim bahwa mereka dibolehkan
memukul anaknya yang usia 10
tahun bila tidak shalat. Dasar
yang mereka pakai adalah hadis Nabi diatas yang meminta kalangan orang
tua agar menyuruh anak-anak shalat sata usia 7 tahun untuk shalat dan memukul
bila sudah usia 10 tahun. Meski redaksi hadis
itu hanya berbicara tentang shalat,
tetapi beberapa ulama bahkan
mengalisanya untuk masalah
pendidikan secara umum.
Dikatakan bahwa seorang ustadz boleh memukul santrinya, seorang guru
dapat saja memukul muridnya, orang tua
boleh saja memukul
anaknya, dan lain sebagainya.
Dalam contoh kasus ini. Memukul anak jika meninggalkan shalat di dalam
Islam sudah dianggap hal yang harus dilakukan dan dianggap wajar berdasarkan
hadis yang telah disebutkan bahwa kata ‘’Dharaba’’ dimaknai ‘’memukul’’
dan disitu kedudukannya sebagai perintah (fi’il amr).Banyak sekali ulama
yang menyatakan hal tersebut, seperti Syekh Fauzan dalam Ighatsatul Mustafid Bi Syarh Kitab Tauhid berkata:
“Memukul merupakan
salah satu sarana
pendidikan. Sorang guru
boleh memukul, seorang pendidik
boleh memukul, orang tua
juga boleh memukul sebagai bentuk
pengajaran dan hukuman. Seorang suami juga boleh memukul isterinya apabila dia
membangkang. Akan tetapi ada batasnya. Misalnya tidak boleh memukul yang
melukai yang dapat membuat kulit lecet atau mematahkan tulang. Cukup pukulan
seperlunya.”[6]
2. Rekontruksi Makna Dharaba
Berangkat dari
permasalahan ini, kita kalangan muslim seringkali dianggap tertinggal oleh
kalangan-kalangan yang telah menggunakan sistem pendidikan modern yang
dikembangkan berdasarkan dari penelitian-penelitian para ahli-ahlinya, sehingga
dalam masalah pendidikan mereka mempunyai metode-metode yang lebih variatif,
dan tentunya fungsinya lebih efektif.
Anggapan-anggapan
yang disematkan terhadap kalangan islam dengan sistem pendidikannya yang
dianggap terlalu keras, bahkan dianggap “kolot”, tidak dapat kita asumsikan sebagai bentuk meremehkan
atau merendahkan. Justru hal itu dapat kita jadikan sebagai bahan tolah ukur
untuk membuka kesadaran berpikir kita dalam merefleksi, meninjau dan menggali
kembali atas makna-makna dan pesan-pesan yang terkandung didalam sumber-sumber
keilmuan Islam. karena bisa saja terdapat kemungkinan bahwasanya pemahaman kita
lah yang barangkali belum, atau kurang tepat terhadap nash-nash hadis yang kita
tafsirkan.
Dalam permasalahan
hadis memukul anak jika meninggalkan shalat diatas, sebenarnya terdapat
kemungkinan-kemungkinan lain dalam segi pemaknaan kata maupun kalimatnya. Tidak
serta-merta menggunakan makna sesuai
dengan lafal yang tertera secara tekstual-nya. Harus ada kajian yang mendalam lagi terhadap
kata maupun kalimat yang dimaksud. Apalagi dikalangan bangsa arab yang terkenal
mempunyai keahlian dalam sastra, dan ketertarikan serta kemahiran mereka dalam
mengolah bahasa. Hal itu tidak menutup kemungkinan akan kata atau kalimat yang
ada didalam nash-nash hadis maupun Al-Kitab mengandung makna-makna lain yang
tersirat.
Didalam lisan
al-‘Arabi sendiri misalnya kata ‘’Dharaba’’. Mempunyai banyak sekali
makna, yang diantaranya adalah:
Dharaba dimaknai sama seperti kata Khoroja (keluar) seperti dalam kalimat خرج فيها تا جرا. Dharaba dimaknai sama seperti kata dzahaba
(pergi) Seperti dalam kalimat ذهب فيهاDharaba dimaknai sama seperti kata saro
(berlalu/lewat/berjalan) Seperti dalam kalimat سا ر في ابتغاء الرزق
Dharaba dimaknai sama seperti kata nahadlo,
nahadlo sendiri mempunyai banyakmakna yang diantaranya adalah;
menaikkan, melaksanakan, mengatur, mengangkat,menyiapkan, mengerjakan dan
sebagainya.
Didalam Al-Qur’an juga terdapat beberapa ayat-ayat yang menggunakan kata
Dharaba tetapi dengan makna yang berbeda, seperti di dalam surat
Al-Baqarah ayat 273. Yang berbunyi:
للفقراء الذين احصروا في سبيل الله لا يستطيعون
ضربا في الارض
(Apa yang kamu infakkan) adalah untuk orang-orang fakir yang terhalang
(usahanya karena jihad) di jalan Allah, sehingga dia yang tidak dapat berusaha
di bumi’’.[7]
Pada ayat diatas terdapat
penggunaan kata Dhoroba, tetapi sama sekali tidak bermakna
memukul sesuai pada makna lafal aslinya, kata dharaba di dalam ayat
tersebut mempunyai makna lain yaitu bermakna ‘’berusaha’’.
Didalam ayat yang lainnya juga dijelaskan bahwa dharaba tidak
bermakna ‘’memukul’’ seperti yang terdapat pada surat ‘Ali ‘Imran ayat
112. Yang berbunyi:
ضربت عليهم الذلة اين ما ثقفوا
Mereka diliputi kehinaan dimana
saja mereka berada
Pada ayat ini juga terdapat makna lain yang terkandung dalam kata Dharaba.
Kata dharaba pada ayat ini mempunyai makna meliputi, yang kemudian di-majhulkan
sehingga menjadi diliputi.
Kemudian dalam Surat Al-Rum
ayat 28. Yang berbunyi:
ضرب لكم مثلا من انفسكم
‘’Dia membuat perumpamaan bagimu dari dirimu
sendiri’’
Pada ayat ini juga menunjukkan bahwa kata dharaba mengandung
makna sebagai bentuk mengumpamakan (perumpamaan).
Kemudian juga dalam Surat An-Nisa ayat 120 juga disebutkan kata Dharaba.
Yang bunyinya:
واذا ضربتم في الارض فليس عليكم جناح ان تقصروا من الصلاة
“Dan apabila
kalian beerpergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kalian mengqasar shalat’’
Jika melihat makna-makna yang terkandung dalam kata dharaba. Maka
terdapat kemungkinan yang sangat besar bahwasanya kata Dharaba yang
menjadi fi’il amr dalam hadis riwayat Abu Dawud diatas mengandung
kemungkinan atau bahkan memang mempunyai makna lain selain makna memukul, yang
didalam fi’il amr-nya menjadi perintah untuk memukul. Apalagi jika kita
tinjau dengan menggunakan pendekatan dan aspek-aspek yang lainnya. bukan hanya
dari dhahir-nya saja.
Disini salah satu
upaya untuk yang dilakukan adalah reinterpretasi terhadap nash tersebut
khususnya pada kata ‘’dharaba’’. reinterpretasi ini dilakukan bukan semata-mata
untuk membuat capaian-capaian baru sehingga dapat mengimbangi terhadap capaian
modernitas. lebih dari itu, reinterpretasi dilakukan sebenarnya adalah untuk
menghidupkan kembali kaidah-kaidah Islam agar lebih hidup, sesuai dan lebih
cocok dengan keadaan zaman.
Pemaknaan ulang
terhadap kata ‘’memukul’’ dengan makna lain yag lebih sesuai dan lebih
tepat dengan kondisi sebenarnya ini barangkali bisa menjadi jawaban yang tepat.
Jika kita melihat riwayat-riwayat lain seperti dalam riwayat mauquf, Abdullah
bin Abbas.[8] “Perhatikanlah anak-anak
kalian dalam masalah
shalat, lalu biasakanlah dengan kebaikan, karena sesungguhnya kebaikan
itu dengan pembiasaan”
Dan di Dalam Musnad Ahmad disebutkan:
Dalam riwayat
diatas tersimpan pesan, bahwa disitu terlihat upaya Nabi untuk melakukan
pendidikan terhadap anak-anak dan cucunya dengan memberikan contoh dan praktik
langsung. Dengan kata lain kata “dharaba” bersifat “levelitas” dan dapat kita artikan sebagai bentuk usaha yang terus
menerus, kesungguhan dan keseriusan dalam mendidik anak untuk melakukan shalat.
Dan pendidikan shalat terhadap anak tentunya penanamannya juga melalui proses
yang sangat panjang dan dimulai sejak dini. Yang didalam proses tersebut
terdapat tahapan-tahapan cara maupun metode agar anak mampu menyerap dan mampu
memahami pesan yang disampaiakan. Yaitu dengan emperkenalkan anak terlebih
dahulu tentang tata cara shalat, juga apa arti dan manfaat shalat itu. Kemudian
baru ke tahap pembiasaan dengan memberikan contoh langsung.
3. Peace Education
Sekarang sudah semakin banyak sekali metode-metode pengajaran terhadap
anak yang disajikan dari hasil penelitian oleh para ahli. Di dalam al-Qur’an terdapat ayat yang berbunyi:
ادع إلى سبيل ربّك بالحكمة و الموعظة الحسنة ( النحل : ١٢۵ )
Artinya: Serulah (manusia)
kepada jalan Tuhanmu dengan Hikmah dan pengajaran yang baik. (an-Nahl: 125)
Dalam Ayat ini tentu banyak sekali pesan-pesan yang terandung. Pada ayat diatas terdapat kata hikmah menurut Ibnu
Mandur, hikmah adalah ibarat mengetahui keutamaan sesuatu dengan keutamaan ilmu.
Disitu bisa berupa mengedepankan maslahat dan menolak madlarat. Pada
ayat diatas juga tedapat perintah untuk berdakwah dijalan Allah dengan
menggunakan pengajaran yang baik. pengajaran yang baik tersebut bisa berupa
sikap maupun perkataan. Apalagi bila pengajaran itu kita berikan kepada
anak-anak yang masih berusia dini. Yang dimana Cinta dan kasih sayng bagi
mereka merupakan santapan psikologis yang mensuplai pribadinya sehingga
nantinya mereka dapat berkembang dengan baik dan matang berkat suplai dari
cinta dan kasih sayang itu.
Jika dalam mendidik
anak disertai dengan sikap yang lembut, penuh makna dan penuh hikmah, juga
disertai dengan kehangatan perasaan kita, kasih sayang dan perhatian kita
kepada mereka. Justru nantinya mereka juga akan membeikan sikap timbal balik,
sehingga sang anak akan percaya penuh dan merasa tenang kepada kita. Sehingga
kepercayaan dirinya akan tumbuh. Dan yang lebih penting lagi, semua ajaran,
perintah dan bekal yang akan kita
berikan kepada anak akan mudah diterima olehnya. Dengan hati mereka yang lebih
terbuka.
memperlakukan anak
dengan baik merupakan pendekatan yang sifatnya lebih sesuai dengan apa yang
diajarkan oleh Islam. Dijelaskan dalam surat Ali Imran: 159 yang artinya: “Maka
disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu”
Dari penjelasan
ayat diatas jelas kiranya, mendidik anak dengan sikap yang lemah lembut
merupakan metode yang tepat. Dan mampu membuka hati anak agar mau menerima apa
yang hendak diajarkan kepada mereka.
C. Formulasi
Fikih Tarbawi sebuah ancangan
Memukul anak atau guru
memberikan hukuman fisik terhadap muridnya, dianalogikan kepada memukul istri,
karena kata-kata memukul anak tidak terdapat di dalam ayat, sedangkan kata
memukul istri, ada teksnya di dalam al-Quran. Syaikh Abdurrazaq
Al-Abbad menjelaskan bahwa sebagian suami yang masih awam menyangka bahwa kata
“memukul” itu ditafasirkan, “menampakkan kekuatannya,” kepada sang istri
sehingga menjadikannya takut adalah metode yang terbaik untuk mendidik sang
istri. Oleh karenanya, ada sebagian orang Arab masa lalu, tatkala malam pertama
langsung memukul istrinya agar istrinya tahu kekuatannya dan takut kepadanya di
kemudian hari. Sebagian lagi ada yang di malam pertama mendatangkan ayam jantan
dan dinampakkan di hadapan istrinya lalu dengan sekali genggaman maka iapun
mematahkan leher ayam jantan tersebut. Hal ini tidak lain adalah untuk
menakut-nakuti istrinya.
Apakah anak boleh ditakut-takuti dengan hukuman fisik
seperti itu? Sebagaimana yang beliau sampaikan dalam syarah kitab “Al-Kabaair”
karya Al-Dzhabi. Sebagian suami langsung memukul istrinya jika melakukan
kesalahan. Memang benar bahwasanya Islam membolehkan untuk memukul istri.
Terkadang guru dan orang tua, dihadapkan pada
kondisi di mana anak-anak melakukan kenakalan yang membuat marah, kecewa dan
jengkel. Perasaan-perasaan itu kemudian mendorong untuk melakukan pemukulan
kepada mereka, mulai dari pukulan yang ringan sampai pukulan yang keras.
Memang Rasulullah SAW. pun membolehkan orang tua (guru) mendidik dengan memukul anak (didik) sebagaimana
hadits (artinya): Perintahkan anak-anakmu untuk melakukan sholat ketika berusia
7 tahun dan pukullah mereka jika meninggalkannya ketika berusia 10 tahun[9].
Bagaimana Islam menuntun para orang tua untuk mengamalkan hadits di atas?
Ayah dan Ibu serta guru-guru.
a. Ketentuan dan
aturan dalam memukul anak-anak
1. Hendaknya
meyakini bahwa memukul adalah peritah Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian
perasaan, emosi dan rasa kesal yang berlebihan yang biasanya mendomiasi sikap orang
tua akan hilang ketika menerapkan metode ini.[10] Maksud dari memukul adalah
tarbiyah/pendidikan untuk memperbaiki anak, bukan melampiaskan amarah,
menakut-nakuti, mengancam atau yag semisalnya. Pukulan harus dilakukan dengan
rasa cinta kasih dan sayang disertai doa yang baik untuknya.
2.
Usia anak sudah 10 tahun dan sebab
memukulnya adalah karena dia meninggalkan sholat. Adapun penyebab selainnya,
maka dilakukan orang tua bila melihat ada maslahatnya (sisi positifnya),
misalnya anak tidak berhenti dari penyelewengan kecuali dengan dipukul.
3.
Tidak menyiksa dan tidak menyakitkan,
serta jangan memukul wajah.
4.
Hindari riya’ dan sum’ah (pamer) karena
sebagian orang tua berkeliling dengan tongkat mencari anaknya dalam keadaan
marah dan memukulnya sepanjang jalan untuk memperlihatkan kepada manusia bahwa
ia amat sungguh-sungguh, tegas dan sangat peduli dalam mentarbiyah dan
menghukum anak. Ini salah dan merupakan amal yang sia-sia.
5.
Berhubung pemukulan ini maksudnya
adalah sebagai obat,[11] maka harus disesuaikan kadarnya dan
tidak boleh melampaui batas. Artinya, memukul sekali dan tidak boleh
berkali-kali sehingga akan menyiksa. Pemukulan dengan pelan sehingga tidak
menyakitkan, dengan tangan biasa tanpa alat dan bukan dengan kaki, bukan pula
meninju atau bukan menempeleng kepala.
b. Pendidikan memukul
dalam Maqashid al-Syari’ah
Setiap yang
diperintahkan Allah dan Rasul-Nya pasti memiliki maqashid[12],
atau hikmah dan tujuan. Dalam hal perintah dan larangan Allah, secara umum
manusia terbagi menjadi dua golongan, yaitu (1) orang yang cukup menerima
nasihat dengan dalil kitab dan sunnah dan (2) orang yang membangkang. Golongan
yang kedua inilah yang perlu diterapkan hukuman padanya. Firman Allah ta’ala
(artinya):…Dan kami menurunkan besi yang memiliki kekuatan yang sangat keras
dan bermanfaat bagi manusia…”[13]
Maqshid itu di
antaranya bermakna manfaat, misalnya manfaat besi adalah untuk memerangi
orang-orang kafir dan untuk menegakkan qishash. Ini adalah manfaat yang
sangat nampak, sebab manusia akan takut pada pedang sehingga mereka pasrah pada
agama Allah. Maka maqashid atau manfaat memukul anak karena meninggalkan
sholat, bertujuan untuk antara lain:
1.
Memberi pelajaran kepada anak bahwa hak
Allah adalah sangat lebih besar, sehingga segala sesuatu akan menjadi hina di hadapan-Nya.
Tubuh yag seharusnya dipelihara dan tidak boleh (haram) disakiti menjadi halal
dan harus merasakan sakit lantaran meremehkan hak Penciptanya.
2.
Menampakkan kepada anak bahwa orang tua
memiliki kekuasaan dalam melazimkan hukum-hukum Allah kepada mereka, sehingga
tidak ada pilihan baginya kecuali pasrah dan menyerah kepada Rabbnya.
3.
Memberi pelajaran kepada anak bahwa
manusia setinggi apapun kedudukannya, status sosialnya dan nasab keturunannya,
tidak memiliki kebebasan mutlak dalam mengikuti kehendaknya yang bertentangan
dengan kehendak Allah.
c. Memukul anak
yang sesuai dengan maqashid al-syari’ah
Ada perbedaan
antara memukul biasa, dengan memukul yang diatur oleh syari’at.[14] Memukul menurut kebiasaan sebagian orang
tua atau pendidik yang gampang emosi dan suka memukul. Suka memukul adalah
akhlaq tercela. Perhatikan nasehat Rasulullah SAW., kepada Fatimah binti Qois
tatkala mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya dilamar oleh dua orang sahabat,
salah satunya adalah Abu Jahm.
Maka Rasulullah
bersabda,”Adapun Abu Jahl, maka ia suka memukul wanita (maksudnya
akhlaqnya tidak baik).” Dan ketahuilah bahwa maksud dari memukul adalah agar
anak takut, sehingga tunduk kepada perintah Allah bukan agar si anak takut
kepada bapaknya semata, sehingga makin berwibawa. Maksud memukul adalah agar
anak mengamalkan perintah Allah dengan ikhlas karena-Nya. Sesungguhnya tidak
ada manfaatnya bila seorang anak nampak taat kepada Allah di hadapan orang
tuanya sementara di balik itu ia tidak bertaqwa kepada-Nya.
d. Punishment; Limitasi
Bawah
Orang-orang
yang memukul anak-anak hendaknya takut kepada Allah. Jangan sampai
termasuk golongan orang-orang yang tidak masuk surga atau bahkan tidak mencium
baunya. Di antaranya sekelompok manusia yang memiliki cambuk seperti ekor
sapi untuk memukul manusia.[15] Ada ulama fiqih yang menyatakan bahwa
yang dimaksud ”orang yang boleh memukul,” bisa saja guru, para polisi, satpam,
mandor-mandor pada jaman sekarang ini.[16] Mereka berkeliling dengan tongkat lalu
memukul dan menendang siapa saja, hanya karena mengatur dan megamankan. Lalu
bagaimana caranya agar guru, polisi, satpam dan para mandor mengamankan dan
mengatur tanpa berbuat aniaya? Jawabnya, dengan anjuran taqwa kepada Allah,
nasihat dan pengarahan dengan lisan, dengan cara yang baik atau dengan tangan
tanpa menyakiti karena kezhaliman adalah kegelapan di akhirat!
Aturan yang
paling populer selama ini ialah anak-anak harus berhati-hati dengan
‘kekeramatan’ orang tua. Tapi patut diingat,
secara religi ada lima, kejahatan orangtua yang wajib dihindarkan. Pertama,
apabila suka memaki. Kedua menghina anak sendiri. Ketiga melebihkan anak dari
yang lain. Keempat mendoakan keburukan anak. Kelima tidak memberi pendidikan
anak. Merupakan kemuliaan bangsa, jika
orang tua dan guru, mampu menjadikan generasi muda, cerdas lahir batin,
bermoral mulia dan berbhakti kepada orangtua, sesama, bangsa dan semesta.
Hukuman itu
untuk menyadarkan bukan untuk melakukan pembalasan. Hukuman itu agar anak-anak
menyadari kekeliruan mereka dan agar tidak mengulangi perbuatan jeleknya, bukan
untuk melakukan balas dendam. Hukuman dalam pendidikan jangan dikelirukan
dengan balas dendam. Jean Soto menulis, “Semua penderitaan manusia,
ketidakadilan, dan sebagainya berakar dari hukuman-hukuman dan kekerasan-kekerasan
yang diterima oleh anak-anak dari orangtua mereka. Karena itu hukuman-hukuman
itu harus dihapus sama sekali agar penderitaan umat manusia ini bisa sirna.”
Tetapi
argumentasi beliau ini bisa dijawab dengan; pertama-tama , itu hanyalah klaim
dan belum tentu bisa dibuktikan secara ilmiah. Yang kedua , seandainya kita
terima pernyataan seperti itu bahwa penderitaan manusia itu berakar dari
hukuman-hukuman keras yang diterima dari orangtuanya, maka akarnya adalah
terlalu kerasnya hukuman tersebut dan bukan hukuman biasa. Hukuman ekstrim
itulah yang menjadi sumber penderitaan umat manusia.[17]
Russel
menambahkan, “Hukuman fisik yang ringan memang tidak begitu berbahaya, tapi
tetap saja tidak ada gunanya dalam pendidikan. Hukuman seperti itu baru efektif
kalau bisa menyadarkan si anak. Sementara hukuman fisik seperti itu biasanya
tidak bisa membuat jera. Hukuman fisik itu membuat si anak merasa terpaksa
memperbaiki diri dan bukan atas niatnya sendiri.” Jawabannya bahwa anak-anak
akan menyadari kekeliruannya melalui hukuman itu, dan kemudian dia akan lebih
mengerti bahwa perbuatannya tidak disenangi orang lain dan karena ia ingin
diterima oleh orang lain, ia akan berusaha menyesuaikan keinginannya dengan
keinginan orang lain, supaya bisa mendapatkan bantuan atau memperoleh apa yang
diinginkannya dari orang lain. Dengan demikian, hukuman fisik yang ringan pun
masih ada gunanya jika diberikan dengan kadar dan waktu yang tepat.[18]
D. Penutup
Tulisan ini hanya baru mengkaji
sebagian kecil dari permasalahn tersebut. Oleh karena itu masih bersifat
embriotik dan pioner. Namun demikian upaya embriotik dan pionir ini merupakan
kunci pembuka pintu gerbang bagi para ilmuan dalam permasahan fikih pendidikan
yang cukup prospektif. Kajian lebih lanjut lebih lempang dan leluasa dengan di
bukanya pintu gerbang kajian fikih tarbawi atau pendidikan ini.
Pada akhirnya semua itu, penulis
kembalikan kepada Allah yang telah memberikan petunjuknya sehingga makalah ini
dapat di tulis., terima kasih penulis sampaikan kepada para jajaran pengurus
MPP (masyarakat pemantau Pendidikan) Kab. Pemalang yang telah memberikan
kesempata bagi penulis utuk mempresentasikan makalah sederhana ini.
Permohonan maaf juga patut penulis
sampaikan karena tidak menafi’kan banyak kekurangan dalam makalah ini. Kesempurnaan
memang bukanlah tujuan, karena kesempurnaan tidak melekat pada diri (pemikiran)
seorang. Ilmu (pendidikan) dan kecerdasan juga bukanlah sebuah jaminan
keberhasilan atau menyelesaikan problematika yang ada. Ilmu hanya merupakan
sebuah sarana (wasilah) untuk menuju keberhasilan, namun keberhasilan tentunya
hanya ada pada hak priogatif Allah.
Rabby zidny ‘ilma wa al-arzukny fahman.
[1] Disampaikan dalam acara,
lokakarya pengawasan dan pemantauan pendidikan Kab. Pemalang. 13/04/2013.,
[2] Alumni fakultas syari’ah IAIN
Walisongo Semarang tahun 2012. Aktif di Masayarakat Pemantau Pendidikan (MPP)
devisi Research dan Pengembangan SDM.
Kab. Pemalang-Jawa Tengah, juga aktif di departemen pengembangan wacana di Investor Partner berpusat di kota
Semarang dan bekerja sama dengan Rusian
Indoinstafx.,
[3] Dasar-dasar Pendidikan dalam Hadits dalam http://sdnngrompak1.blogspot.com/2012/12/dasar-dasar-pendidikan-dalam.html. diakses 11/03/2013.
[5] Abdullah bin Baz, 2012, Majmu’ Fatawa, Beirut: dar al-fikr. Hal. 46,
[6] Syeikh al-Fauzan Ighatsatul Mustafid Bi Syarh Kitab
Tauhid, diakses dari
http://islamqa.info, (2012, 282)
[7] Al-Qur’an
dan terjemahannya, Depag RI
[8] Al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-Kubra jilid. 3, Heiderabad: Majlis Dairah
al-Ma’arif al-Nizhamiyah, 1344 H. hal 84. Lihat juga Ahmad bin Hambal, Musnad
Ahmad bin Hanbal (tk: Mu’assasah al-Risalah, 1999,. Hal. 279) “…Sesungguhnya
Nabi pernah shalat dan Umamah binti Zainab binti Nabi dari pernikahannya dengan Abi Ash bin
al-Rabi’ bin Abdul Uzza bergelayut di leher beliau. Apabila ruku, beliau
menurunkannya dan bila sudah bangun dari sujud, anak itu dikembalikan
bergelayut dileher beliau.” .
[9] Lihat: Shohih Abu Dawud…Op. cit. hal. 494
[10] Usia anak
sudah 10 tahun dan sebab memukulnya adalah karena dia meninggalkan sholat.
Adapun penyebab selainnya, maka dilakukan orang tua bila melihat ada
maslahatnya (sisi positifnya), misalnya anak tidak berhenti dari penyelewengan
kecuali dengan dipukul. Ini ketetpan Allah, bukan ketetapan guru atau mufti.
Imam Ibnu Qayyim berkata “Seorang mufti dan seorang hakim (penguasa, qadhi) tidak
akan bisa berfatwa dan memutuskan perkara dengan kebenaran, kecuali bila
memadukan dua pemahaman (fiqih). Pertama : memahami
dan mengerti betul waqi’
(realita), serta menyimpulkan ilmu tentang hakekat realita yang ada dengan qarinah, amarah dan alamat
(bukti-bukti dan data-data) sehingga ilmunya meliputi realita. Kedua :
memahami apa yang wajib (kewajiban syariat) atas realita, yaitu memahami hukum
Allah yang ditetap kan dalam kitab-Nya atau melalui lesan Rasul-Nya atas
realita tersebut. Baru kemudian menerapkan yang satu (hukum syariat, pent) atas
yang lain (realita)
[11] Arti
penting teori maqashid al-syari’ah yang
pertama tersebut dianggap dapat memberi napas bagi produk-produk fiqih para
ulama yang terlalu terpaku pada teks dan tanpa mengindahkan konteks. Misalnya
hukuman fisik bagi anak yang tidak shalat, merupakan obat bagi kemalasannya.
Lebih dari itu juga dapat menepis anggapan sementara orang bahwa hukum Islam
adalah hukum yang mati, ambigu, bahkan terkadang, menurut mereka, kurang
manusiawi (al-Turabi, 2000: 18). Oleh karena itulah, teori ushul fiqih
dan maqashid al-syari’ah harus
dikawinkan untuk mengatasinya. Selanjutnya, dengan metodologi Imam al-Syathibi
dalam al-Muwafaqat-nya
yang mencoba menggabungkan teori-teori ushul fiqih dengan maqashid al-syari’ah akan
menjadi penghubung sekaligus jembatan untuk meng-“ishlahkan” kedua kecenderungan di atas. Memisahkan maqashid al-syari’ah dari
teori-teori ushul fiqh merupakan kesalahan karena tidak semua persoalan dapat
diselesaikan dengan maqashid al-syari’ah an.sich,. Apa yang dikemukakan Thahir bin Asyur dalam bukunyaMaqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah yang
secara yakin menjadikan maqashid
al-syari’ah ini sebagai ilmu mustaqil yang terlepas dari ilmu
ushul fiqh (Asyur, 1999: 180), kata Darusmanwiati, adalah tidak benar,
karena teori-teori dan kerangka yang dikemukakan Asyur sendiri, disadari atau
tidak, adalah teori-teori ushul fiqh itu sendiri hanya dengan format yang
berbeda (Darusmanwiati, Islamlib: 309). Sebenarnya, maqashid al-syari’ah telah
dikembangkan oleh para mujtahid sebelum al-Syathibi dan bahkan dikembangkan dan
disempurnakan juga oleh para pemikiran kontemporer zaman ini. Kata al-maqashid sendiri
menurut Ahmad Raisuni, pertama kali digunakan oleh al-Turmudzi al-Hakim, ulama
yang hidup pada abad ke-3. Dialah, menurut Raisuni, yang pertama kali
menyuarakan maqashid al-syari’ah melalui
buku-bukunya, al-Shalah
wa Maqashiduhu, al-Haj wa Asraruh, al-‘Illah, ‘Ilal al-Syari’ah, ‘Ilal
al-‘Ubudiyyah dan juga bukunya al-Furuq yang kemudian diadopsi
oleh Imam al-Qarafi menjadi judul buku karangannya (al-Raisani, 1995: 32).
[12] Sudah tidak
asing di kalangan para ulama yang berkecimpung dalam juresprudensi Islam (ushul al-fiqh) mengenai
teori maqashid al-Syari’ah yang
disistematisasi dan dikembangkan oleh al-Syathibi. Bahkan Musthafa Said al-Khin
dalam bukunya al-Kafi
al-Wafi fi Ushul al-Fiqh al-Islamy membuat kategorisasi baru
dalam aliran Ilmu Ushul Fiqh. Bila sebelumnya hanya dikenal dua aliran saja,
yaitu Mutakallimin dan fuqahaatau Syafi’iyyah dan Hanafiyyah, maka
al-Khin membaginya menjadi lima bagian:Mutakallimin, Hanafiyyah, al-Jam’i, Takhrij al-Furu’ ‘alal Ushul dan
Sya-thibiyyah (al-Khin,
2000: 8). Dengan demikian, pembagian tersebut telah menempatkan pemikiran Imam
al-Syathibi dalam al-Muwafaqat menjadi
salah satu bagiatn corak aliran yang terpisah dari aliran ushul fiqih lainnya.
Hal ini karena dalam coraknya, al-Syathibi mencoba menggabungkan teori-teori (nadhariyyat) ushul fiqh
dengan konsep maqashid
al-syari’ah sehingga produk hukum yang dihasilkan lebih hidup
dan lebih kontekstual. Menurut Darusmanwiati, Ada dua nilai penting apabila
model al-Syathibi ini dikembangkan para ulama sekarang dalam menggali hukum: Pertama, dapat
men-jembatani antara “aliran kanan” dan “aliran kiri”. “Aliran kanan” yang
dimaksud adalah mereka yang tetap teguh berpegang pada konsep-konsep ilmu ushul
fiqh sedangkan “aliran kiri” adalah mereka yang terakhir ini vokal dengan
idenyatajdid ushul al-fiqh dalam
pengertian perlu adanya dekonstruksi ushul fiqih demi menghasilkan produk fiqih
yang lebih kapabel …. Kedua,
model al-Syathibi ini akan lebih menghasilkan produk hukum yang dalam istilah
Ibnu al-Qayyim, al
fiqh al-hayy, fiqih yang hidup. Karena itu, fiqih yang terlalu teksbook yang
penulis istilahkan dengan Fiqh
Ushuly akan berubah menjadi Fiqh Maqashidy Darusmanwiati,
Islamlib: 309.
[13] Lihat: QS. Al Hadid (57) : 25
[14] Suruhlah
anak-anakmu untuk melaksanakan shalat pada usia tujuh tahun, dan pukullah
mereka jika tidak mau melaksanakannya pada usia sepuluh tahun, serta
pisahkanlah tempat tidur mereka.”[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ahmad
(II/ 180, 187), Abu Dawud (no. 495), Al-Hakim (I/197), Al-Baihaqi (III/84),
Ibnu Abi Syaibah (no. 3482), Ad-Daruquthni (I/230), Al-Khathib (II/278), dan
Al-‘Uqaili (II/167), dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma.
Lihat juga Shahihul Jami’ (no. 5868)] Ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi berkaitan dengan pukulan kepada anak ini, yaitu: a. Anak
mengerti atas alasan apa dia dipukul. b. Orang yang memukulnya adalah walinya,
misalkan ayahnya. c. Tidak boleh memukul anak secara berlebihan. d. Kesalahan
yang dilakukan oleh sang anak memang patut untuk mendapatkan hukuman. e.
Pukulan dimaksudkan untuk mendidik anak, bukan untuk melampiaskan kemarahan.
Lihat: Al-Qaulul Mufid (II/473-474) dan Bekal Menanti Si Buah Hati
, 55-56
[15] HR. Muslim
: 2128
[16] Lihat
Jurnal al Mawaddah Edisi 4 tahun ke-3, November 2009
[17] Adapun
pukulan yang dimaksud adalah: a. Pukulan yang dapat diterima oleh si anak,
yakni pukulan yang ringan, b. Pukulan yang tidak menimbulkan bekas atau luka
pada tubuh si anak, c. Pukulan di bagian tubuh, kecuali wajah. [Lihat Menanti
Buah Hati, hal. 347-348). Bersikap adil kepada semua anak dan bersabar
dalam menghadapi mereka. Orang tua terkadang memiliki kecenderungan pada salah
satu atau sebagian anak dibandingkan dengan anak-anak lainnya, baik dalam hal
materi maupun imateri. Padahal, sikap orang tua yang demikian itu tidak akan
memberikan dampak yang baik bagi kejiwaan anak-anaknya. Sebab akan ada anak
yang merasa tidak disayangi dan tersisihkan, sementara dia melihat saudaranya
mendapatkan perlakuan berbeda dari orang tuanya. Hal seperti ini akan sangat
mungkin untuk memicu perselisihan bahkan permusuhan antar sesama saudara. Dan
sikap seperti ini juga berarti menzhalimi mereka. [Lihat Ensiklopedi Adab
Islam (I/201)] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda, “Aku tidak mau menjadi saksi atas perbuatan zhalim, bertakwalah
kalian kepada Allah dan bersikap adillah kepada anak-anak kalian.” [Hadits
shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 2586, 2587) dan Muslim (no. 1623), dari
Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhu] Selain itu, orang tua juga harus
menyadari bahwa anak adalah fitnah (ujian) bagi orang tua maka hendaknya orang
tua dapat bersabar dalam menghadapi gangguan dari anak-anaknya. Allah ‘Azza
wa Jalla berfirman, Artinya: “Dan ketahuilah! Sesungguhnya
harta-hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah (ujian/cobaan bagimu). Dan
sesungguhnya Allah (yang) disisi-Nyalah terdapat ganjaran yang besar.”
(Qs. Al-Anfal: 28) Artinya: “Hanya saja harta-hartamu dan anak-anakmu
adalah fitnah (ujian/cobaan bagimu). Dan sesungguhnya Allah (yang)
disisi-Nyalah terdapat ganjaran yang besar.” (Qs. Ath-Taghabun:
15).Terutama bagi pasangan orang tua yang memiliki anak perempuan, hendaknya
mereka bersabar dalam mengasuh dan mendidiknya, karena anak perempuan yang
diasuh dengan baik oleh orang tuanya dapat menjadi penghalang bagi kedua orang
tuanya dari api Neraka. Dan hal ini telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sabdanya berikut ini,. Artinya: “Barang
siapa diuji dengan anak-anak perempuan lalu dia memberi asuhan yang baik kepada
mereka, maka anak-anak perempuan itu akan menjadi penghalang antara dirinya
dari Neraka.”[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 1418, 5998)
dan Muslim (no. 2629)]
[18] Apabila
manusia telah meninggal, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga perkara:
sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang
mendo’akan kebaikan baginya.” [Hadits shahih,
diriwayatkan oleh Muslim (no. 1631), Ahmad (II/372), Bukhari dalam Al-Adabul
Mufrad (no. 38), Abu Dawud (no. 2880), An-Nasa’i (VI/251), Tirmidzi (no.
1376), dan Al-Baihaqi (VI/278) dari Abu Hurairah.
Subscribe to:
Posts (Atom)