Sunday, December 21, 2014

Refleksi Hari Ibu: Era Post-Modern-Kapitalistik dan Dilema Ibu

Ibu adalah orang yang mengandung dan melahirkan kita sebagai anak-anaknya. Dengan penuh kasih sayang kita dibesarkan. Sentuhan-sentuhan lembut seorang ibu dalam membesarkan anaknya mempengaruhi jiwa anaknya. Segarang apapun seorang anak, pasti ada sisi yang lembut penuh kasih sayang seperti ibunya.

Apa yang dilakukan ibu terhadap kita tidak terlepas karena rasa suka cita, kasih sayang dan perasaan bangganya. Tak pernah seorang ibu menyesal karena memiliki anak yang tiap hari mulai dari kecil hingga dewasa selalu merepotkan hidupnya. Tetapi sebaliknya, semua itu dilakukannya dengan penuh ketulusan dan bahkan dengan perasaan bangga yang mungkin tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Sebab, pada hakekatnya, semua itu adalah sebuah kemenangan bagi seorang ibu dalam hidupnya.

Dalam situasi tarik-menarik antara dunia luar keluarga dengan tuntutan primer kehidupan keluarga, tidak sedikit menjadikan kaum ibu berada dalam kebimbangan. Di satu sisi, tarikan dari luar begitu kuat “memaksa” kaum ibu untuk berkiprah guna mengejawantahkan tuntutan emansipasinya. Sementara di sisi lain, tuntutan dasariah kehidupan keluarga yang meniscayakan kehadiran ibu secara intens dalam setiap nafas kehidupan keluarga, menjadi sesuatu yang dirasa menghambat tuntutan emansipasinya.

Ketika tarikan luar begitu kuat seiring dengan gerakan Women’s Lib dan gerakan emansipasi wanita di tahun 1960-an, pilihan kaum ibu banyak yang jatuh pada mainstream tuntutan luar itu dengan konsekuensi kualitas dan kuantitas kehadiran dan sebagai rujukan moral-spiritual dalam keluarga semakin berkurang. Berbagai problem kehidupan keluarga pun mulai bermunculan. Tak pelak lagi, dalam situasi seperti itu, muncul jeritan dan ratapan fenomenal dari kelompok musik The Beatles di tahun 60-an dengan lagu masyhurnya, Mother You Hate Me:

Mother … you hate me! But I never hate you…. I  wanted you!
But you didn’t hate me…. Mama don’t go! Daddy come home!

Sebagai ratap fenomenal, lantunan The Beatles mencoba mengungkap fakta kegelisahan anak-anak di Amerika pada era 60-an, di mana saat itu terjadi perubahan mendasar dalam pola hubungan dan keintiman antara anak dengan orang tuanya, khususnya dengan ibunya.

Seperti diketahui, awal 1960-an, di Barat, telah terjadi semacam revolusi keluarga kontemporer akibat tekanan kapitalisme dan industrialisme, termasuk di dalamnya tekanan ideologi gender; kesamaan wanita dan pria dalam kesempatan kerja dalam rangka menopang tegaknya pilar-pilar kapitalisme. Tekanan ini berimplikasi pada keniscayaan keluarga berkarier rangkap; ayah dan ibu sama-sama keluar rumah dari pagi hingga petang, untuk ikut menyokong tumbuh dan berkembangnya suatu korporasi dalam bingkai kapitalisme.

Menurut Christopher Lasch, dalam Haven in a Heartless World: The Family Besieged (1977), akibat dari tekanan itu muncul ketegangan dalam keluarga, di mana keluarga tak lagi mampu memenuhi peran dan fungsinya sebagai surga dan tempat perlindungan, bahkan keluarga telah menjadi titik start pelarian dari keintiman dan kekerabatan. Makna tempat kediaman pun tak lagi ”home” tetapi ”house”. Hubungan antara anak dan orangtua pun semakin rentan secara psiko-spiritual.

Dalam gambaran Christopher Lasch, yang senada dengan Kahlil Gibran, bahwa ibu yang semestinya menjadi penyejuk dan menjadi sehelai jiwa suci yang senantiasa hadir merestui dan memberkati seisi rumah (baca, home), berubah memunculkan ketegangan dalam keluarga ketika sosok ibu lebih tertarik pada subkultur di luar rumah. Di sini, Kahlil Gibran menandaskan, “Siapa pun yang kehilangan dan ketakhadiran ibunya, ia akan kehilangan sehelai jiwa suci…”

Menurut Edward Shorter, dalam The Making of the Modern Family (1975), andaikan keluarga berkarier rangkap itu telah menjadi suatu modus kehidupan keluarga modern yang bersifat penting dan niscaya, maka adalah sulit bagi orangtua mana pun untuk memperoleh waktu sebagaimana dahulu –sebelum perubahan terjadi– untuk melakukan sosialisasi, pengasuhan, dan pendidikan nilai-nilai yang intensif bagi anak-anak mereka. Keeratan hubungan antara para orangtua dan anak-anak mereka yang khas pada masa lalu, sekarang ini semakin menghilang, dan hal itu membuat tarikan subkultur di luar keluarga semakin menggoda dan merusak sendi-sendi kehidupan keluarga.

Shorter juga menandaskan, anak-anak sekarang ini terperangkap di dalam suatu subkultur di luar keluarga, yang selanjutnya (paling tidak) akan berperan membentuk nilai-nilai dasar bagi perkembangan jiwa sang anak, yang bobotnya bisa lebih besar dari nilai-nilai yang diajarkan di dalam keluarga. Dalam hal ini, ketika keluarga kontemporer menyibukkan diri di luar rumah, agaknya orangtua (khususnya ibu) semakin kehilangan relevansinya sebagai pemelihara, pengasuh, dan pendidik anak-anaknya. Para orangtua dalam keluarga kontemporer, dalam pandangan anak­anak dianggap sedikit sekali mewariskan nilai-nilai. Apalagi ketika sang ibu, sebagai ”punjer” keluarga tak lagi secara intens berada di rumah. Anak-anak kemudian memandang orangtua tak lebih sebagai ”teman” (suatu hubungan sosio-mekanik; tanpa adanya sentuhan batin), dan bukan sebagai wakil atau wali keturunan, yakni suatu hubungan fungsional yang menurunkan nilai-nilai emosional dan spiritual.

Oleh Shorter, revolusi keluarga di awal tahun 60-an itu disebutnya sebagai ”perusakan sarang” (destruction of the nest) oleh peradaban kapitalistik yang maju pesat, yang berimplikasi besar pada ketiadaan atau tereliminasinya jaminan kesejahteraan psikologis-spiritual (psycho-spiritual welfare) anak-anak di era modern, di mana ayah dan ibu bersama-sama tercerabut dari irama dan ruh kehidupan keluarga.

Perubahan revolusioner keluarga kontemporer itu, penghadapannya semakin kuat terutama pada wanita (kaum ibu), di mana sebelumnya posisi dan peran ibu di rumah digambarkan sebagai tumpuan yang memberikan layanan bagi kesejahteraan psikologis anak-anaknya, tiba-tiba harus tercerabut, ditarik keluar oleh tekanan-tekanan kapitalistik dari luar keluarga. Akibatnya, ada kehampaan psikologis ketika ibu tak lagi berada di rumah, yang semestinya secara intens menumpahkan kerahimannya kepada anak-anaknya. Rumah (home) tak lagi memiliki hati, tak lagi memiliki ”ruh”. Rumah kemudian hanya bermakna sebagai house, hanya tempat persinggahan layaknya losmen atau hotel. Maka tidaklah terlalu salah jika The Beatles melantunkan lagu rintihan, sebagai representasi keluhan dan jeritan primordial anak­anak di jamannya dalam meratapi tercerabutnya ibu dari keluarga. Luapan emosi dalam lagu itu: Mamma don’t go! (Mama jangan pergi keluar rumah meninggalkan aku), dan Daddy come home! (Ayah, segeralah pulang selepas bekerja), begitulah kira-kira tekanan maknanya.

Tekanan berat pada ibu dalam lagu The Beatles tersebut merupakan gambaran, betapa seorang anak tidak menginginkan ibunya ”membenci” dirinya, dengan meninggalkannya di rumah bersama baby sitter; enggan menyusui dengan menu minuman ASI, tapi ASPI (air susu sapi); dengan membiarkan anak belajar bahasa pembantu, bukan bahasa ibu. Lantunan The Beatles itu agaknya masih relevan dikontekskan dengan fenomena pengasuhan dan pendidikan anak dalam keluarga, di saat para orangtua (ibu khususnya) tak lagi menyadari makna home, yang di dalamnya terjaminnya pemenuhan kesejahteraan psikologis-spiritual bagi anak-anak. Badai liberasi moral dan korporasi kapitalisme-materialisme yang merenggangkan ikatan-ikatan spiritual dan kekerabatan, tidak jarang menyeret peran ibu dan keluarga keluar dari ruh rumah (home, atau sakan dalam bahasa Qur’an).

Di saat peringatan hari ibu, layak pula kiranya lagu The Beatles itu diwacanakan kembali, sebagai pengingatan bagi kita semua, betapa bahayanya korporasi kapitalisme yang merenggut kehadiran ibu dalam pemenuhan kebutuhan spiritual dan psikologis anak-anak di rumah secara utuh.[]