Ibu adalah
orang yang mengandung dan melahirkan kita sebagai anak-anaknya. Dengan penuh
kasih sayang kita dibesarkan. Sentuhan-sentuhan lembut seorang ibu dalam
membesarkan anaknya mempengaruhi jiwa anaknya. Segarang apapun seorang anak,
pasti ada sisi yang lembut penuh kasih sayang seperti ibunya.
Apa yang
dilakukan ibu terhadap kita tidak terlepas karena rasa suka cita, kasih sayang
dan perasaan bangganya. Tak pernah seorang ibu menyesal karena memiliki anak
yang tiap hari mulai dari kecil hingga dewasa selalu merepotkan hidupnya.
Tetapi sebaliknya, semua itu dilakukannya dengan penuh ketulusan dan bahkan
dengan perasaan bangga yang mungkin tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Sebab, pada hakekatnya, semua itu adalah sebuah kemenangan bagi seorang ibu
dalam hidupnya.
Dalam
situasi tarik-menarik antara dunia luar keluarga dengan tuntutan primer
kehidupan keluarga, tidak sedikit menjadikan kaum ibu berada dalam kebimbangan.
Di satu sisi, tarikan dari luar begitu kuat “memaksa” kaum ibu untuk berkiprah
guna mengejawantahkan tuntutan emansipasinya. Sementara di sisi lain, tuntutan
dasariah kehidupan keluarga yang meniscayakan kehadiran ibu secara intens dalam
setiap nafas kehidupan keluarga, menjadi sesuatu yang dirasa menghambat
tuntutan emansipasinya.
Ketika
tarikan luar begitu kuat seiring dengan gerakan Women’s Lib dan gerakan
emansipasi wanita di tahun 1960-an, pilihan kaum ibu banyak yang jatuh pada
mainstream tuntutan luar itu dengan konsekuensi kualitas dan kuantitas
kehadiran dan sebagai rujukan moral-spiritual dalam keluarga semakin berkurang.
Berbagai problem kehidupan keluarga pun mulai bermunculan. Tak pelak lagi,
dalam situasi seperti itu, muncul jeritan dan ratapan fenomenal dari kelompok
musik The Beatles di tahun 60-an dengan lagu masyhurnya, Mother You Hate Me:
Mother … you
hate me! But I never hate you…. I wanted you!
But you
didn’t hate me…. Mama don’t go! Daddy come home! …
Sebagai ratap fenomenal, lantunan The Beatles mencoba mengungkap fakta
kegelisahan anak-anak di Amerika pada era 60-an, di mana saat itu terjadi
perubahan mendasar dalam pola hubungan dan keintiman antara anak dengan orang
tuanya, khususnya dengan ibunya.
Seperti
diketahui, awal 1960-an, di Barat, telah terjadi semacam revolusi keluarga
kontemporer akibat tekanan kapitalisme dan industrialisme, termasuk di dalamnya
tekanan ideologi gender; kesamaan wanita dan pria dalam kesempatan kerja dalam
rangka menopang tegaknya pilar-pilar kapitalisme. Tekanan ini berimplikasi pada
keniscayaan keluarga berkarier rangkap; ayah dan ibu sama-sama keluar rumah
dari pagi hingga petang, untuk ikut menyokong tumbuh dan berkembangnya suatu
korporasi dalam bingkai kapitalisme.
Menurut
Christopher Lasch, dalam Haven in a Heartless World: The Family Besieged
(1977), akibat dari tekanan itu muncul ketegangan dalam keluarga, di mana
keluarga tak lagi mampu memenuhi peran dan fungsinya sebagai surga dan tempat
perlindungan, bahkan keluarga telah menjadi titik start pelarian dari keintiman
dan kekerabatan. Makna tempat kediaman pun tak lagi ”home” tetapi ”house”.
Hubungan antara anak dan orangtua pun semakin rentan secara psiko-spiritual.
Dalam
gambaran Christopher Lasch, yang senada dengan Kahlil Gibran, bahwa ibu yang
semestinya menjadi penyejuk dan menjadi sehelai jiwa suci yang senantiasa hadir
merestui dan memberkati seisi rumah (baca, home), berubah memunculkan
ketegangan dalam keluarga ketika sosok ibu lebih tertarik pada subkultur di
luar rumah. Di sini, Kahlil
Gibran menandaskan, “Siapa pun yang kehilangan dan ketakhadiran ibunya, ia
akan kehilangan sehelai jiwa suci…”
Menurut Edward Shorter, dalam The Making of the Modern Family
(1975), andaikan keluarga berkarier rangkap itu telah menjadi suatu modus
kehidupan keluarga modern yang bersifat penting dan niscaya, maka adalah sulit
bagi orangtua mana pun untuk memperoleh waktu sebagaimana dahulu –sebelum
perubahan terjadi– untuk melakukan sosialisasi, pengasuhan, dan pendidikan
nilai-nilai yang intensif bagi anak-anak mereka. Keeratan hubungan antara para
orangtua dan anak-anak mereka yang khas pada masa lalu, sekarang ini semakin
menghilang, dan hal itu membuat tarikan subkultur di luar keluarga semakin
menggoda dan merusak sendi-sendi kehidupan keluarga.
Shorter juga
menandaskan, anak-anak sekarang ini terperangkap di dalam suatu subkultur di
luar keluarga, yang selanjutnya (paling tidak) akan berperan membentuk
nilai-nilai dasar bagi perkembangan jiwa sang anak, yang bobotnya bisa lebih
besar dari nilai-nilai yang diajarkan di dalam keluarga. Dalam hal ini, ketika
keluarga kontemporer menyibukkan diri di luar rumah, agaknya orangtua (khususnya ibu) semakin kehilangan relevansinya sebagai pemelihara, pengasuh,
dan pendidik anak-anaknya. Para orangtua dalam keluarga kontemporer, dalam
pandangan anakanak dianggap sedikit sekali mewariskan nilai-nilai. Apalagi
ketika sang ibu, sebagai ”punjer” keluarga tak lagi secara intens berada
di rumah. Anak-anak kemudian memandang orangtua tak lebih sebagai ”teman”
(suatu hubungan sosio-mekanik; tanpa adanya sentuhan batin), dan bukan sebagai
wakil atau wali keturunan, yakni suatu hubungan fungsional yang menurunkan
nilai-nilai emosional dan spiritual.
Oleh
Shorter, revolusi keluarga di awal tahun 60-an itu disebutnya sebagai
”perusakan sarang” (destruction of the nest) oleh peradaban kapitalistik
yang maju pesat, yang berimplikasi besar pada ketiadaan atau tereliminasinya
jaminan kesejahteraan psikologis-spiritual (psycho-spiritual welfare)
anak-anak di era modern, di mana ayah dan ibu bersama-sama tercerabut dari
irama dan ruh kehidupan keluarga.
Perubahan
revolusioner keluarga kontemporer itu, penghadapannya semakin kuat terutama
pada wanita (kaum ibu), di mana sebelumnya posisi dan peran ibu di rumah
digambarkan sebagai tumpuan yang memberikan layanan bagi kesejahteraan
psikologis anak-anaknya, tiba-tiba harus tercerabut, ditarik keluar oleh
tekanan-tekanan kapitalistik dari luar keluarga. Akibatnya, ada kehampaan
psikologis ketika ibu tak lagi berada di rumah, yang semestinya secara intens
menumpahkan kerahimannya kepada anak-anaknya. Rumah (home) tak
lagi memiliki hati, tak lagi memiliki ”ruh”. Rumah kemudian hanya bermakna
sebagai house, hanya tempat persinggahan layaknya losmen atau hotel.
Maka tidaklah terlalu salah jika The Beatles melantunkan lagu rintihan, sebagai
representasi keluhan dan jeritan primordial anakanak di jamannya dalam
meratapi tercerabutnya ibu dari keluarga. Luapan emosi dalam lagu itu: Mamma
don’t go! (Mama jangan pergi keluar rumah meninggalkan aku), dan Daddy
come home! (Ayah, segeralah pulang selepas bekerja), begitulah kira-kira
tekanan maknanya.
Tekanan
berat pada ibu dalam lagu The Beatles tersebut merupakan gambaran, betapa
seorang anak tidak menginginkan ibunya ”membenci” dirinya, dengan
meninggalkannya di rumah bersama baby sitter; enggan menyusui dengan
menu minuman ASI, tapi ASPI (air susu sapi); dengan membiarkan anak
belajar bahasa pembantu, bukan bahasa ibu. Lantunan The Beatles itu agaknya
masih relevan dikontekskan dengan fenomena pengasuhan dan pendidikan anak dalam
keluarga, di saat para orangtua (ibu khususnya) tak lagi menyadari makna home,
yang di dalamnya terjaminnya pemenuhan kesejahteraan psikologis-spiritual bagi
anak-anak. Badai liberasi moral dan korporasi kapitalisme-materialisme yang
merenggangkan ikatan-ikatan spiritual dan kekerabatan, tidak jarang menyeret
peran ibu dan keluarga keluar dari ruh rumah (home, atau sakan
dalam bahasa Qur’an).
Di saat
peringatan hari ibu, layak pula kiranya lagu The Beatles itu diwacanakan
kembali, sebagai pengingatan bagi kita semua, betapa bahayanya korporasi
kapitalisme yang merenggut kehadiran ibu dalam pemenuhan kebutuhan spiritual
dan psikologis anak-anak di rumah secara utuh.[]