Sunday, December 28, 2014

Keberagamaan Ditengah Kemiskinan

Seorang pengamat politik keagamaan, (alm)  Moeslim Abdurrahman pernah menulis sebuah buku bagus. Berjudul “Islam yang Memihak”.  Dalam buku tersebut, terdapat sebuah kolom menarik tentang Islam dan perubahan sosial.  Menyoroti tentang bagaimana gerak perubahan sosial yang masih timpang, di mana masih terjadi  proses alienasi yang mengingkirkan banyak orang secara sosial ekonomi. Agama mesti membaca kemungkaran sosial semacam ini dengan menumbuhkan kesadaran yang lebih memihak kepada yang lemah. Menumbuhkan gejolak iman yang risau terhadap penderitaan orang-orang yang lapar, tergusur atau tertindas. 

Rasa-rasanya, apa yang dikatakan dalam buku tersebut masih relevan sampai sekarang ini. Kita masih menyaksikan bagaimana  kemiskinan masih menggerogoti umat Islam, umat terbesar di negeri bernama Indonesia ini. Umat yang seharusnya mendapatkan perlakuan yang sewajarnya, kesejahteraan yang memadai. Namun sayangnya, masih banyak umat yang terbaikan. Berjuang sendirian tanpa adanya campur tangan negara (pemerintah). Sungguh, yang demikian adalah fenomena dan fakta yang mesti mendapatkan perenungan bersama. 

Kita perlu merenungi kembali semangat keberagamaan kita.  Barangkali, kita sebagai pribadi (individu) begitu bersemangat dalam mempraktekkan kesalehan secara spiritual. Menjalankan beragam ibadah-ibadah, ritual keagamaan yang secara khusus berusaha mendekatkan diri pada Yang Di Atas, Allah Swt. Tentu saja, semangat kesalehan semacam ini tak perlu dicela. Justru, perlu mendapat apresiasi sebagai bentuk semangat keberagamaan yang berdimensi vertikal. 

Tapi, apa yang demikian itu cukup?  Apakah dengan hanya beribadah kepada Allah Swt mempunyai efek yang dahsyat bagi perubahan sosial umat?  Rasa-rasanya, yang demikian hanyalah modal, bekal untuk menuju pada spirit selanjutnya, yaitu spirit kepada kesalehan yang lebih berdimensi sosial, tak hanya terbatas pada dimensi spiritual semata.  Kita perlu lebih menawarkan sebuah keberagamaan yang berdimensi sosial ketimbang “sekedar” asyik menggapai ketenangan pribadi dengan ibadah-ibadah yang bernilai spiritual.  Memang, lebih tepatnya, tentu saja tidak meniadakan salah satunya, tapi mengkombinasikan keduanya. 

Kita perlu melibatkan diri dalam keberagamaan yang lebih substantif.  Mengasah kepekaan untuk lebih peduli terhadap sesama.  Sebab, seperti yang sering disampaikan oleh tokoh-tokoh pemikir Islam, diperlukan  semangat keberagamaan yang bercorak kepada perjuangan menciptakan sejarah yang lebih adil bagi harkat dan harga diri kemanusiaan. Semua ini demi menghindari semangat keberagamaan “semu” yang  masih sering kita temukan dalam kehidupan sosial kita.  

Inilah semangat keberagamaan yang perlu terus dan terus kita tumbuhkan, spirit keberagamaan yang peduli terhadap sesama, spirit  keberagamaan yang bisa menyentuh akar, mengurangi jurang ketimpangan, mengurangi nasib umat yang masih banyak berada dalam kubang kemiskinan. Kita sedih melihat umat di era pemerintahan Jokowi-JK  ada yang harus meninggal ketika mengantri, berdesak-desakan demi mendapatkan bantuan yang tak seberapa. Cerita semacam ini tak boleh terulang lagi.[]