Seorang pengamat politik keagamaan, (alm)
Moeslim Abdurrahman pernah menulis sebuah buku bagus. Berjudul “Islam yang
Memihak”. Dalam buku tersebut, terdapat sebuah kolom menarik tentang
Islam dan perubahan sosial. Menyoroti tentang bagaimana gerak perubahan
sosial yang masih timpang, di mana masih terjadi proses alienasi yang
mengingkirkan banyak orang secara sosial ekonomi. Agama mesti membaca
kemungkaran sosial semacam ini dengan menumbuhkan kesadaran yang lebih memihak
kepada yang lemah. Menumbuhkan gejolak iman yang risau terhadap penderitaan
orang-orang yang lapar, tergusur atau tertindas.
Rasa-rasanya, apa yang dikatakan dalam buku
tersebut masih relevan sampai sekarang ini. Kita masih menyaksikan
bagaimana kemiskinan masih menggerogoti umat Islam, umat terbesar di
negeri bernama Indonesia ini. Umat yang seharusnya mendapatkan perlakuan yang
sewajarnya, kesejahteraan yang memadai. Namun sayangnya, masih banyak umat yang
terbaikan. Berjuang sendirian tanpa adanya campur tangan negara (pemerintah).
Sungguh, yang demikian adalah fenomena dan fakta yang mesti mendapatkan
perenungan bersama.
Kita perlu merenungi kembali semangat
keberagamaan kita. Barangkali, kita sebagai pribadi (individu) begitu
bersemangat dalam mempraktekkan kesalehan secara spiritual. Menjalankan beragam
ibadah-ibadah, ritual keagamaan yang secara khusus berusaha mendekatkan diri
pada Yang Di Atas, Allah Swt. Tentu saja, semangat kesalehan semacam ini tak
perlu dicela. Justru, perlu mendapat apresiasi sebagai bentuk semangat
keberagamaan yang berdimensi vertikal.
Tapi, apa yang demikian itu cukup? Apakah
dengan hanya beribadah kepada Allah Swt mempunyai efek yang dahsyat bagi
perubahan sosial umat? Rasa-rasanya, yang demikian hanyalah modal, bekal
untuk menuju pada spirit selanjutnya, yaitu spirit kepada kesalehan yang lebih
berdimensi sosial, tak hanya terbatas pada dimensi spiritual semata. Kita
perlu lebih menawarkan sebuah keberagamaan yang berdimensi sosial ketimbang
“sekedar” asyik menggapai ketenangan pribadi dengan ibadah-ibadah yang bernilai
spiritual. Memang, lebih tepatnya, tentu saja tidak meniadakan salah
satunya, tapi mengkombinasikan keduanya.
Kita perlu melibatkan diri dalam keberagamaan
yang lebih substantif. Mengasah kepekaan untuk lebih peduli terhadap
sesama. Sebab, seperti yang sering disampaikan oleh tokoh-tokoh pemikir
Islam, diperlukan semangat keberagamaan yang bercorak kepada perjuangan
menciptakan sejarah yang lebih adil bagi harkat dan harga diri kemanusiaan.
Semua ini demi menghindari semangat keberagamaan “semu” yang masih sering
kita temukan dalam kehidupan sosial kita.
Inilah semangat keberagamaan
yang perlu terus dan terus kita tumbuhkan, spirit keberagamaan yang peduli
terhadap sesama, spirit keberagamaan yang bisa menyentuh akar, mengurangi
jurang ketimpangan, mengurangi nasib umat yang masih banyak berada dalam kubang
kemiskinan. Kita sedih melihat umat di era pemerintahan Jokowi-JK ada
yang harus meninggal ketika mengantri, berdesak-desakan demi mendapatkan
bantuan yang tak seberapa. Cerita semacam ini tak boleh terulang lagi.[]