Wednesday, July 23, 2014

Islam Adalah (Babon) Komunis


(Indonesia, NU, Harus Minta Maaf)
 
"Komunis Indonesia adalah lahir dari Islam, SI (Serikat Islam) yang pecah menjadi SI merah dan Hijau, SI merah inilah yg kemudian beraviliasi jadi PKI" (Ki Ngabei Agus Sunyoto).

Pada awalnya, ketika mengemukakan gagasan mengenai paham komunis, Karl Marx tidak berbicara masalah negara. Sebab menurut Marx hancurnya Kapitalisme untuk kemudian digantikan dengan Komunisme adalah sebuah proses alamiah. Marx hanya berbicara mengenai masyarakat. Ketika gagasan Marx ini ditangkap oleh Lenin, seorang tokoh Komunis Rusia yang menggantikan posisi Marx, barulah komunisme berubah menjadi sebuah ideologi politik yang bertugas untuk mengakselerasi perubahan negara dari negara kapitalis menjadi negara komunis.


Menurut Lenin, kelas buruh hanya bisa menjadi kelas buruh yang sadar jika dipimpin oleh sebuah parta revolusioner Marxis-Leninis. Partai ini dikendalikan dengan disiplin militer dan “sentralisme-demokratis.” Keanggotaan partai dikontrol ketat dan semua anggota partai harus menjalankan disiplin partai, mereka tidak boleh menentang garis-partai secara public kecuali hanya melalui perdebatan internal di tingkat pengurus partai. Koran partai memainkan peran utama untuk membentuk opini public. Partai sendiri mempercepat gerakannya pada organisasi-organisasi front, yang bertindak seolah-olah independen tetapi pada kenyataannya dikontrol partai (As’ad Said Ali, Ideologi Gerakan Pasca Reformasi, Gerakan-gerakan Sosial-Politik Dalam Tinjauan Ideologis. Jakarta: LP3ES, 2012. hal. 6).

Gerakan ini mengalami pasang surut, meski demikian, gerakan komunis telah memberikan dampak yang cukup besar bagi jalannya perpolitikan di dunia, termasuk di Indonesia, baik sebelum kemerdekaan, sesudah kemerdekaan maupun pasca gerakan reformasi tahun 1998. Lahir dan berkembangnya gerakan komunis di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sebuah organisasi yang bernama ISDV (Indische Sociaal-democratische Vereeniging).

Organisasi kaum sosialis Belanda yang pada mulanya merupakan klub debat kecil diantara sesama anggota mereka. Klub ini didirikan oleh Hendricus Josephus Fransiscus Marie Sneevliet di Semarang pada bulan Mei 1914 (Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912 – 1926. Jakarta: Grafiti, 1997. hlm. 133). Karena anggotanya mayoritas adalah orang-orang Eropa, Sneevliet dan kawan-kawannya merasa sangat sulit untuk mengembangkan organisasi tersebut, karena orang pribumi bersifat antipati trerhadap nama yang berbau Eropa. Oleh karena itu, mereka berupaya untuk bersekutu dengan gerakan yang lebih besar dan yang dapat bertindak sebagai jembatan kepada massa rakyat Indonesia (Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid V, Jakarta: Balai Pustaka, 1993. Hlm. 198).

Hal ini dilakukan ketika pada tahun 1916, H.J.M. Sneevliet aktif dalam Vereniging Spoor en Tramweg-Personeel (VSTP) atau Sarekat Buruh Kereta Api dan Trem. Dari organisasi ini dibinalah Samaoen, seorang buruh kereta api pindahan dari Surabaya yang baru berusia 17 tahun (lahir 1899 M), sebagai kader. Selanjutnya pada tahun 1916, Darsono (lahir 1897 M), usia 19 tahun, Alimin Prawirodirdjo (1889 – 1964), usia 27 tahun, dan Tan Malaka (1897 – 1949 M), usia 19 tahun, menjadi kader ISDV dan VSTP4. Pada awalnya Samaoen, Darsono dan Alimin adalah anak buah H.O.S. Cokroaminoto, mereka terdaftar sebagai anggota Central Sarikat Islam (CSI) di Surabaya sejak 1915. Ketika H.J.M. Sneevliet ditarik ke Belanda pada tahun 1918, Samaoen menggantikannya menjadi ketua ISDV (Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah Jilid I cet. V, Bandung: Salammadani, 2012. hlm.409-410).

Apa yang dilakukan Sneevliet dengan mengkader tiga murid Cokroaminoto tersebut adalah proses menginfiltrasi Sarekat Islam yang waktu itu merupakan salah satu gerakan politik yang disegani. Tidak hanya di Sarekat Islam, Sneevliet juga menginfiltrasikan anggota ISDV Mr. Brandsteder ke dalam serdadu angkatan laut Belanda dan Ir. Baars, Van Burink ke kalangan pegawai negeri berkebangsaan Belanda (Ahmad Mansur, Idem, hlm. 410).

***

Dengan posisinya sebagai ketua ISDV, maka Samaoen merasa sederajat dengan pemimpin Centraal Sjarekat Islam (CSI), apalagi pada saat itu mulai terdengar isu-isu Revolusi Oktober 1917 di Rusia. Dengan posisi psikologis seperti itu dapat dipahami mengapa dalam National Congres Centraal Sjarikat Islam keempat, kelompok kader ISDV mulai berani menyerang pimpinan CSI: Oemar Said Cokroaminoto, Abdoel Moeis, Agoes Salimdan Soerjopranoto. Mereka berusaha mengganti ideologi Islam dengan Marxist (Pringgodigdo,Mr. A.K, Sedajarah Pergerakan Rakjat Indonesia, Djakarta : Pustaka Rakjat, 1960. hlm. 38).

Imbas sikap ini akhirnya menjadikan Centraal Sjarikat Islam terpecah menjadi dua. CSI Putih yang dipimpin Cokroaminoto, H. Agus Salim dan Abdoel Moeis, dan di sisi lain CSI Merah yang dipimpin Samaoen. Pada tanggal 23 Mei 1920 berdirilah Perserikatan Kommunist di India (PKI) (Ahmad Mansur, Idem, hlm. 410). Tujuh bulan kemudian partai ini mengubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia, dengan Samaoen sebagai ketuanya.

Partai Komunis Indonesia yang dipimpin Samaoen gerakan model kota pembelah (wig politiek), pemutus kontak politik pimpinan Central Sjarikat Islam Surabaya Jawa Timur dengan pimpinan dan massa pendukung Central Sjarikat Islam Bandung, Jawa Barat. Dampak selanjutnya, yang ditargetkan adalah terputusnya kontak politik dengan daerah luar Jawa sebagai wilayah kerja Central Sjarikat Islam, yakni Indonesia Barat, Indonesia Tengah dan Indonesia Timur. Dengan demikian, terlihat jelas, tujuan para peletak dasar ISDV seperti H.J.M. Sneevliet, J.A. Brandseder, P. Bergsma dan A. Baars, tidaklah murni. Melalui gerakan mereka, pemerintah Belanda berhasil membelah CSI dari dalam. Hal ini juga bisa dibaca dari sikap H.J.M. Sneevliet yang menentang tuntutan Sjarikat Islam, Indonesia Merdeka atau Indonesia Berpemerintahan Sendiri. Sneevliet menyatakan, apabila Indonesia Merdeka, akan berdampak buruh Belanda banyak yang menganggur (Ahmad Mansur, Idem, hlm. 412-413).

Krisis ekonomi yang melanda dunia pada tahun 1920 memberikan lahan yang subur bagi pertumbuhan PKI. Prinsip pertentangan kelas yang dianut PKI mendapatkan basisnya di tengah-tengah kemiskinan masyarakat. Dalam propaganda politiknya, ideologi komunis menempatkan kaum proletar (masyarakat miskin dan kaum buruh) serta masalah yang menimpa kelas tersebut sebagai isu utama perjuangan. Dalam kondisi krisis tersebut, PKI berhasil menggalang massa untuk melakukan tindakan-tindakan radikal dan revolusioner. Pemogokan-pemogokan pegawai pegadaian pada tahun 1922, pemogokan buruh kereta api pada tahun 1923 merupakan aksi PKI untuk menghadapi krisis tersebut. Titik kulminasi dari radikalisme ini tercapai pada pemberontakan komunis pada tahun 1926 di Jakarta, disusul dengan tindakan-tindakan kekerasan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur (Poesponegoro dkk, Idem, hlm. 208).

Sebagai jawaban terhadap aktivitas-aktivitas yang revolusioner itu, pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan-peraturan yang sangat keras. Penahanan secara besar-besaran dilakukan, ribuan orang yang dicurigai dipenjarakan, banyak diantara mereka yang dibuang atau ditawan. Hak mengadakan pertemuan dibatasi dan pers disensor dengan cermat. Pertemuan-pertemuan harus dihadiri oleh anggota-anggota polisi yang diberi kekuasaan untuk membubarkan apabila pertemuan itu dianggap membahayakan ketentraman umum (Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme, Jilid 2, Jakarta: Gramedia, 1999. hlm. 61-62).

***

saya loncak saja, 14 tahun silam Ahmad Sahal (2000) dalam Tempo mengatakan, Mengapa kalangan Islam menolak usul Gus Dur untuk mencabut Ketetapan MPRS XXV/66? Mengapa mereka menyesalkan usulan Gus Dur untuk minta maaf kepada PKI? Ketika komunisme sudah bangkrut di tingkat dunia, dan di dalam negeri PKI dan yang terkait dengannya betul-betul menjadi political outcast, mengapa kelompok Islam, baik modernis maupun tradisionalis, masih khawatir dan antikomunisme? Apakah ini mencerminkan sukses rezim Orde Baru menanamkan dan menyebarkan komunisto-fobia?

Kekhawatiran dan sikap anti yang cenderung eksesif terhadap komunisme pada umat Islam ini tidak hanya digerakkan oleh pengaruh luar semacam kampanye stigmatisasi komunisme oleh rezim Soeharto. Tentu saja itu juga ada pengaruhnya. Tapi sesungguhnya ada faktor lain yang secara genuine melekat dalam ingatan kolektif umat yang justru lebih berperan mengawetkan kekhawatiran dan antipati itu. Dua hal setidaknya bisa disebut di sini: kenangan terhadap situasi Demokrasi Terpimpin dan pandangan stereotip terhadap komunisme itu sendiri.

Kita tahu bahwa ketika PKI berkibar di era Demokrasi Terpimpin, kalangan Islam (juga Kristen, Katolik, dan nasionalis) gentar. Ini bukan saja karena PKI dibayangkan sebagai kekuatan politik yang solid dengan puluhan juta pendukung, melainkan juga karena politik saat itu memang mengarah pada pertarungan zero-sum game: "kita atau mereka". Maklum, suasana revolusioner yang ditiup kencang membikin politik benar-benar mengamalkan apa yang oleh Sukarno disebut machtsvorming dan machtsaanwending, penggalangan dan penggunaan kekuasaan, suatu politik massa.

Selain itu, kompetisi dan konfrontasi partai-partai tidak disalurkan lewat pemilu karena hampir semuanya bergantung dan memusat pada Sukarno. Akibatnya, ketidakpastian tentang bagaimana nanti kalau tidak ada Sukarno merayap ke seluruh negeri. Sementara itu, di desa-desa, adanya landreform sepihak dari PKI memicu konflik tajam, bukan dalam skema vertikal antara petani dan tuan tanah, melainkan horizontal antara petani santri yang NU dan petani abangan yang PKI. Dalam situasi semacam itulah kegentaran umat Islam melihat kejayaan PKI saat itu bisa dimaklumi.

Apalagi, di kalangan Islam, PKI mendapatkan stereotip sebagai kelompok yang berpolitik tanpa moralitas karena dasarnya adalah ateisme. Politik PKI dianggap identik dengan "tujuan menghalalkan cara": mereka bisa menyusup ke mana-mana dan memanfaatkan kemiskinan buruh dan tani untuk tujuan kekuasaan. Selagi belum berkuasa, mereka bisa saja menerima demokrasi. Tapi, begitu berkuasa, pasti akan totaliter.

Kini sejarah telah berubah. Tapi kegentaran dan stereotip tetap, malah dibekukan. Argumen kalangan Islam bahwa sikap mereka melawan PKI adalah membela diri karena situasinya ketika itu adalah "kita atau mereka" mungkin berlaku di zaman Demokrasi Terpimpin. Tapi, dalam prakteknya, pasca-G30S, intensi membela diri ini berlangsung kebablasen karena ternyata situasi" kita atau mereka" sebenarnya tidak ada lagi. Fakta bahwa PKI mudah sekali rontok menunjukkan bahwa kesolidan dan kebesaran PKI yang menggentarkan itu hanya mitos. Mereka hanya bergantung pada Sukarno dan, tidak seperti tentara, mereka tak bersenjata. Di samping itu, G30S itu sendiri masih diselimuti misteri. Kalaupun pelakunya memang PKI, apakah itu berarti semua anggota PKI boleh dihabisi?

Di sinilah letak kesalahan argumen "membela diri" dan "menghabisi sampai ke akar-akarnya" yang mendasari pembunuhan besar-besaran terhadap PKI. Kegentaran telah tergelincir menjadi kesewenang-wenangan. Keadilan ditutupi oleh kebencian. Apalagi kalau diingat bahwa saat itu Soeharto dan tentara ikut mendukung dan mengambil keuntungan dari pembunuhan tersebut.

Selain itu, melestarikan stereotip bahwa komunisme ateis dan niscaya berpolitik dengan "tujuan menghalalkan cara" adalah tindakan menyederhanakan. Dalam sejarah, kita mengenal Haji Misbach dari Surakarta dan Datuk Batuah dari Padang yang Islam sekaligus komunis. Pelajarilah marxisme, maka akan ketahuan bahwa concern utamanya bukanlah soal agama, melainkan soal pembelaan terhadap yang tertindas dalam kapitalisme. Soal "tujuan menghalalkan cara" adalah machiavelisme belaka yang tidak khas tabiat komunis, tapi juga bisa dilakukan oleh siapa pun.

Pada titik ini, permohonan maaf Gus Dur kepada PKI haruslah dilihat sebagai ikhtiar untuk keluar dari perangkap kekhawatiran yang dasarnya hanyalah masa lalu yang mandek dan stereotip yang menyederhanakan. Kesalahan masa lalu, yakni niat membela diri yang ternyata berbuah kesewenangan, harus tetap diingat dan dinyatakan agar tidak terulang lagi. Jangan dikira pengakuan salah semacam ini tanpa dibarengi rasa sakit.

Yang perlu ditegaskan di sini, permohonan maaf Gus Dur tidak dengan sendirinya menaruh PKI dalam posisi tidak salah. Menjadi korban tidak lantas menjadikannya suci. PKI juga mesti mengakui kesalahannya dalam memberi andil menciptakan situasi totalitarian era Demokrasi Terpimpin, situasi yang dalam istilah Lenin berarti "siapa yang tidak bersama kita berarti melawan kita." Dengan dalih revolusi, PKI mendukung saja ketika rezim Sukarno melarang sejumlah partai dan memenjarakan sejumlah nama. Andil semacam inilah yang menjadi bahan bakar antikomunisme.

Kalau setiap pihak mengakui kesalahan, bukan hanya rekonsiliasi yang tercapai, melainkan juga penyembuhan luka sejarah yang tertanam di bawah sadar bangsa ini. Dan setelah itu, bab baru kehidupan bangsa ini bisa dimulai dengan sikap adil, tanpa beban trauma sejarah yang ditekan atau dimanipulasi. Dalam kerangka sikap adil inilah hendaknya kita menempatkan usul penghapusan Tap MPRS XXV/66. Ada baiknya kita menyimak anjuran Surah Al-Ma'idah ayat 8: “Janganlah kebencianmu pada satu kaum menjadikan kamu bersikap tidak adil (terhadap mereka)”.[] Wallahu ‘Alam