Perselingkuhan Birokrat “Biyang” Stagnasi Ekonomi Indonesia
Indonesia adalah Negara besar
bagai miniature surga. Negeri itu, mempunyai area hutan paling luas di dunia,
tanahnya subur alamnya indah, potensi kekayaan laut luar biasa (6,2 juta ikan, mutiara,
minyak dan mineral lain). Di darat terkandung barang tambang emas, nikel,
timah, tembaga, batu bara, uranium dsb. Di bawah perut bumi tersimpan gas dan
minya yang cukup besar. Setelah 69 tahun usia kemerdekaannya, negeri itu hanya
menjadi sarang tikus!
Negeri tikus menangis, negeri
tikus menjadi Negara miskin, beban utang luar negeri tikus lebih dari rp. 1800
Trilyun rupiah, 100 juta orang dalam kemiskinan, 116 juta orang kehilangan
pekerjaan, 4,5 juta anak putus sekolah, jutaan orang mengalami malnutrisi,
kriminalitas meningkat 1000 %, perceraian meningkat 400%, penghuni rumah sakit
jiwa mening 300%. Sementara pemerintah sebagai last landing institute
hanya memikirkan diri sendiri dan kelompok partainya. Mereka menjerat rakyat
dengan kenaikan harga, mencabut subsidi, penegakan hokum yang amburadul, dsb.
Akibatnya adalah Indonesia
dengan sejumlah kekayaannya menjadi negeri yang teruruk. Perekonomian satgnan,
bahkan cenderung impor “utang” luar negeri. Indonesia harus mewaspadai
terjadinya stagnasi perekonomian akibat jebakan pendapatan menengah (middle
income trap). Sejumlah langkah harus disiapkan, antara lain dengan menekan
ketimpangan pendapatan dan mendorong produktivitas tenaga kerja. Demikian
dikatakan Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan
Bambang Soemantri Brodjonegoro dalam diskusi panel yang diadakan Asosiasi
Profesor Indonesia.
Menurut Bambang, jebakan
pendapatan menengah terjadi ketika suatu negara dengan perekonomian menengah
mengalami stagnasi sehingga sulit bertransformasi menjadi negara maju. Inti
dari middle income trap adalah ketika negara berkembang tidak bisa
berubah menjadi negara maju atau perubahan menjadi negara maju itu membutuhkan
waktu yang sangat lama. Ia menambahkan, negara yang rawan terjebak dalam
stagnasi itu memiliki beberapa ciri. Pertama, pendapatan dari ekspor rendah
karena tidak mampu bersaing dengan negara yang lebih maju. Kedua, tidak mampu
mengendalikan sumber daya alam sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dari waktu ke
waktu.
Ketiga, produktivitas usaha yang
rendah sehingga tak berefek besar pada pertumbuhan ekonomi. Untuk menghindari
jebakan itu, menurut Bambang, Indonesia harus berupaya mengurangi kesenjangan
pendapatan dan meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Pertumbuhan ekonomi Indonesia
juga harus dijaga dan ditingkatkan kualitasnya. ”Yang juga diperlukan adalah
kebijakan fiskal yang berpihak pada pengentasan kemiskinan dan penciptaan
lapangan kerja,” katanya.
Pola Ekonomi Indonesia
Catatan sejarah perekonomian Indonesia menunjukkan bahwa
baik sistem liberal maupun sosialis telah gagal menciptakan kesejahteraan
rakyat dan pondasi ekonomi bangsa yang kuat. Disamping itu, dalam konteks
geoekonomi, dimana wilayah Indonesia adalah merupakan negara bahari yang
terdiri atas pulau-pulau besar dan kecil, juga menimbulkan ketimpangan
pembangunan ekonomi antara bagian timur dan bagian barat Indonesia, Menyadari
kegagalan tersebut beberapa ekonomi mencoba merumuskan dan menawarkan konsep
ekonomi Pancasila yang diyakini lebih sesuai dengan karakter dan watak
masyarakat Indonesia.
Sehubungan dengan dengan hal tersebut di atas, penulis
menawarkan pola pembangunan ekonomi yang berkarakter ke-Indonesiaan (Ekonomi
Pancasila-Bhineka Tunggal Ika). Dalam bidang ekonomi, implementasi Pancasila,
Bhineka Tunggal Ika dan UUD adalah perlunya dibangun disparitas industri dan
geo-ekonomi nusantara. Perlu ada perpaduan antara kebijakan ketahanan nasional
dan pembangunan ekonomi nasional melalui politik anggaran dan pembangunan
wilayah perbatasan.
Pancasila memandang Indonesia sebagai suatu kesatuan secara
komprehensif, mensyaratkan keadilan sosial dan ekonomi bagi seluruh rakyat
Indonesia tanpa kelas. Semboyan atau prinsip Bhineka Tunggal Ika memahami
adanya keragaman, tetapi tetap satu kelas masyarakat, satu tujuan, yakni
kebahagiaan dan kesejateraan.
Dengan demikian maka sistem ekonomi Indonesia adalah sistem
ekonomi yang berorientasi kepada Ketuhanan Yang Maha Esa (berlakunya etik dan
moral agama, bukan materialisme); Kemanusiaan yang adil dan beradab (tidak
mengenal pemerasan atau eksploitasi); Persatuan Indonesia (berlakunya
kebersamaan, asas kekeluargaan, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi dalam
ekonomi); Kerakyatan (mengutamakan kehidupan ekonomi rakyuat dan hajat hidup
orang banyak); serta Keadilan Sosial (persamaan/emansipasi, kemakmuran
masyarakat yang utama bukan kemakmuran orang-seorang).
Dari butir-butir di atas, keadilan menjadi sangat utama di
dalam sistem ekonomi Indonesia. Keadilan merupakan titik-tolak, proses dan
tujuan sekaligus. Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal utama bertumpunya sistem
ekonomi Indonesia yang berdasar Pancasila, dengan kelengkapannya, yaitu
Pasal-pasal 18, 23, 27 (ayat 2) dan 34. Berdasarkan TAP MPRS XXIII/1966,
ditetapkanlah butir-butir Demokrasi Ekonomi (kemudian menjadi ketentuan dalam
GBHN 1973, 1978, 1983, 1988), yang meliputi penegasan berlakunya Pasal-Pasal
33, 34, 27 (ayat 2), 23 dan butir-butir yang berasal dari Pasal-Pasal UUDS
tentang hak milik yuang berfungsi sosial dan kebebasan memilih jenis pekerjaan.
Dalam GBHN 1993 butir-butir Demokrasi Ekonomi ditambah dengan unsur Pasal 18
UUD 1945. Dalam GBHN 1998 dan GBHN 1999, butir-butir Demokrasi Ekonomi tidak
disebut lagi dan diperkirakan dikembalikan ke dalam Pasal-Pasal asli UUD 1945.
Landasan normatif-imperatif ini mengandung tuntunan etika
dan moral luhur, yang menempatkan rakyat pada posisi mulianya, rakyat sebagai
pemegang kedaulatan, rakyat sebagai ummat yang dimuliakan Tuhan, yang hidup
dalam persaudaraan satu sama lain, saling tolong-menolong dan bergotong-royong.
Ekonomi
Utang dan “Krisis Ekonomi”
Kata krisis ekonomi diberi tanda petik karena sesungguhnya
kita pernah menyebutnya sebagai krisis moneter (krismon) atau
krisis keuangan, yaitu anjlognya kurs mata uang rupiah terhadap dolar dan
valuta asing lain. Tetapi setelah krismon berjalan beberapa tahun dan kurs
dolar tidak pernah lagi kembali ke kurs lama ($1=Rp2500), maka semua orang
rupanya setuju mengganti krisis moneter menjadi krisis
ekonomi, meskipun tetap saja harus tidak semua orang Indonesia terutama
rakyat menganggap krisis ini mencelakakan atau merugikan. Banyak pelaku ekonomi
rakyat tidak pernah terkena dampak negatif krismon dan bahkan sangat banyak
yang justru menikmatinya.
Yang menarik, RPJP 2005-2025 sejak sangat awal menggunakan
istilah “krisis ekonomi yang melumpuhkan perekonomian nasional pada tahun 1997”
(hlm-2), yang berarti ada asumsi kuat dalam RPJP bahwa seluruh warga bangsa dan
seluruh rakyat telah benar-benar dirugikan oleh peristiwa krisis ekonomi 1997
itu. Bahkan lebih lanjut dijadikan titik tolak untuk membuktikan bahwa “krisis
ekonomi juga menunjukkan pembangunan ekonomi selama ini tidak disertai dengan
peningkatan efisiensi kelembagaan ekonomi”, dan “… perekonomian masih rentan,
tidak saja terhadap gejolak eksternal tetapi juga terhadap gejolak di dalam
negeri”.
Kesimpulan yang keliru mengakibatkan kekeliruan dalam
kebijakan untuk mengatasi masalah awal. Karena krisis keuangan yang terutama
hanya menyangkut manajemen perbankan (dan industri yang berbisnis dengan
perbankan), maka pemerintah sudah mengambil kebijakan yang diperlukan untuk
menutup 16 bank tanggal 1 Nopember 1997 dan mengeluarkan kebijakan BLBI, dan
kemudian menerbitkan obligasi Rekap perbankan.
Kebijakan demikian tidak keliru kalau pemerintah Indonesia
saat itu sangat kaya dengan cadangan devisa yang sangat kuat. Kebijakan ini
menjadi keliru dan berakibat fatal karena pemerintah yang miskin devisa
terpaksa menambah pinjaman luar negeri dan kemudian juga pinjaman dalam negeri
untuk menyelamatkan bank-bank yang kehabisan likuiditas, sehingga berakibat fatal
karena bagian besar dari APBN terpaksa untuk “menalangi” industri perbankan
yang milik orang-orang kaya Indonesia. Krisis ekonomi yang berakibat pemerintah
Indonesia lebih berpihak pada orang-orang kaya dengan mengorbankan orang-orang
miskin inilah hakekat masalah ekonomi Indonesia yang berkepanjangan sejak
krisis moneter 1997.
Selama sifat masalah ekonomi yang melanggar keadilan ini
tidak diakui maka kebijakan dan strategi pembangunan ekonomi apapun tidak akan
menyelesaikan masalah yang sifatnya mendasar yaitu keberpihakan berlebihan pada
“ekonomi konglomerasi”.
Pada tahun 1994, awal Repelita VI, Indonesia merasa sangat
percaya diri telah memasuki tahap tinggal landas (take off)
pembangunan nasional yaitu, laksana sebuah pesawat terbang, telah mampu melanjutkan
pembangunan “dengan kekuatan sendiri”. Konsep tinggal landas atau lepas
landas ini dipinjam dari Rostow pakar ekonomi Amerika dalam buku The
Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto (Cambridge UP, 1960).
Mengapa kita telah menganggap diri siap tinggal landas? Jawabnya terlalu naif,
yaitu “karena menurut Ali Murtopo setelah terjadi akselerasi pembangunan 25
tahun (1969-1994) masak Indonesia belum siap memasuki tahap II yaitu take-off”.
Jadi karena “teori” Ali Murtopo itu dianggap pasti benar, maka segala alasan
dan keterangan dikumpulkan untuk membenarkannya.
Ternyata satu alasan yang sangat mengganggu dengan sengaja
diabaikan yaitu makin besarnya utang luar negeri yang justru meningkatkan ketergantungan
kita pada negara-negara maju kreditor kita. Itulah salah satu alasan yang sulit
dibantah mengapa terjadi krisis moneter (krismon) 1997, jatuhnya nilai
mata uang Baht Thailand serta merta menular ke Indonesia. Maka “pesawat terbang
Indonesia” yang hendak lepas landas terjerembab dan tinggal di
landasan.
Kunci maknanya terletak pada naik mengangkasa dengan
kekuatan sendiri....oleh karena itu sewaktu tinggal landas pesawat itu harus
betul-betul sudah siap....kalau tidak, kapal terbang tersebut akan mengalami
kecelakaan. Jelaslah bahwa utang luar negeri yang luar biasa besar adalah
penyebab utama krismon 1997/1998 yang telah “menghancurkan” ekonomi Indonesia.
Apakah ekonomi seluruh bangsa kita telah hancur? Tidak. Yang hancur adalah
ekonomi pemerintah. Itupun bukan benar-benar hancur karena krismon,
tetapi karena eks- konglomerat telah merampok uang negara/uang rakyat dengan
pengeluaran BLBI dan obligasi rekapitalisasi perbankan sekitar Rp. 750 trilyun
(1998-1999), yang waktu itu berarti hampir 100% nilai PDB kita. Apakah ekonomi
rakyat kita telah hancur juga? Jawabnya adalah tidak. Tabel berikut dapat
menjelaskan.
Pertumbuhan
ekonomi tinggi berdasar pengalaman tidak menjamin teratasinya pengangguran dan
kemiskinan. Jika pertumbuhan ekonomi tidak dijadikan sasaran, maka
sasaran-sasaran investasi juga perlu dikaji ulang karena selama ini dipakai
asumsi hanya pengusaha besar yang dapat melakukan investasi. Yang benar ekonomi
rakyat kita sudah dan selalu berinvestasi tanpa memperoleh kredit bank.
Lembaga-lembaga Keuangan Mikro (LKM) bukan bank dalam kenyataan sudah sangat
berkembang, yang akan lebih berkembang lagi jika bank bersedia memberikan
bantuan. Selama ini bank-bank kita jauh lebih bersahabat dengan orang-orang
kaya dan tidak cukup akrab dengan orang-orang miskin. Bahkan sangat aneh Menko Kesra
dan BI dalam program penanggulanan kemiskinan merekrut dan melatih KKMB
(Konsultan Keuangan Mitra Bank) bukan KKMER (Konsultan Keuangan Mitra Ekonomi
Rakyat).
Kiranya jelas harus ada revolusi cara berpikir dalam
penyusunan RPJP dari sekedar pembangunan ekonomi (dengan sasaran-sasaran
pertumbuhan ekonomi tinggi) menjadi pembangunan manusia Indonesia. Karena musuh
utama kita sekarang adalah kemiskinan, kedunguan, dan keserakahan, maka
filsafat, strategi, program, dan kebijakan pembangunan harus difokuskan pada
ke-3 sasaran ini.
Jika Pembukaan UUD 1945 kita jadikan pegangan maka kita
harus merasa bebas dan merdeka untuk menyusun program-program pembangunan kita
sendiri, dan semuanya harus diukur dengan keberhasilan mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia merupakan sila ke-5 dari Pancasila, maka tidak boleh ada
keengganan untuk menyebut sistem ekonomi yang hendak kita laksanakan adalah
Sistem Ekonomi Pancasila.
Sumber utama krisis moneter 1997 adalah utang luar negeri
yang besar dan ketimpangan serta ketidakadilan ekonomi. Hanya dengan menutup
sumber-sumber masalah ekonomi inilah krisis serupa dapat dihindari di masa
depan.
Dari momentum sejarah krisis yang dialami Indonesia 17 tahun
yang lalu, paling tidak kita harus mengambil beberapa pelajaran dari terjadinya
krisis 1997 tersebut. Namun demikian memang benar diera reformasi dan demokrasi
ekonomi Indonesia (terlihat) membaik dan sampai skarang tidak terjadi krisis.
Tapi melihat yang terjadi dilapangan hutang Indonesia luar negeri justru
semakin menghawatirkan.
Sebelumnya di periode Juli - September (2013) pertumbuhan
ekonomi Indonesia turun 0,2% dari 5,8% ke 5,6% dibanding kuartal sebelumnya.
Sementara itu disebabkan menurunnya harga komoditas dan permintaan pasar,
terjadi penekanan pada sektor ekspor Indonesia. Ditambah permintaan domestik
dipengaruhi melonjaknya harga bahan bakar minyak dan kenaikan suku bunga.
Sempat terjadi aksi demo di beberapa daerah yang disebabkan kenaikan BBM ini.
Efek dari ulah investor yang menarik dana segar mereka
menjadikan Indonesia dan sebagian besar nagara berkembang lainnya dalam kondisi
sulit. Faktor utama nya tak lain adalah banyak prediksi menyatakan bank sentral
AS akan mengurangi program stimulus dan akan menaikan suku bunga lebih cepat
dari yang diperkirakan. Dampak dari
penurunan permintaan domestik dan melemahnya ekspor pada kuartal ketiga
tahun ini pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di level terendah sejak empat
tahun terakhir.
Masih di bulan yang sama BI juga menurunkan target
pertumbuhan ekonomi dibandingkan prediksi sebelumnya dari 5,8% - 6,2% menjadi 5,5% - 5,9%.
Perselingkuhan
Antar Menteri
Terjadinya stagnasi ekonomi
Indonesia juga sedikit banyaknya dipengaruhi oleh perselingkuhan antar
pengusaha dan menteri. Reformasi struktural yang tidak berjalan membuat
pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini stagnan di kisaran 6% alias di bawah
potensi. Direktur Eksekutif Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan
Moneter Bank Indonesia Juda Agung mengatakan kapasitas produksi yang
terbatas membuat pertumbuhan permintaan di dalam negeri harus ditopang
oleh produk impor.
Ketidakseimbangan struktural ini
yang membuat ekonomi kita overheating ketika pertumbuhan dipaksa
melaju di atas 6%. Dampak selanjutnya, defisit transaksi berjalan melebar dan
inflasi. Jika masalah struktural di Tanah Air mampu ditangani, bank sentral
yakin pertumbuhan dapat melesat paling sedikit 6,5% pada 2018 dengan inflasi
3,5%±1.
Juda mengatakan pertumbuhan
Indonesia memang pernah mencapai 6,5% pada 2011, tertinggi sejak resesi ekonomi
1998. Sayangnya, akselerasi itu lebih dipacu oleh booming harga
komoditas dan likuiditas global menyusul kebijakan suku bunga rendah di Amerika
Serikat.
Selain itu, persekongkolan
pengusaha-pejabat juga masih tetap marak, bahkan di era reformasi ini.
Itulah yang membuat daya saing ekonomi Indonesia menjadi begitu lemah.
Cukup menarik menyimak beberapa kasus yang hangat dibicarakan belakangan, di
mana adanya kongkalikong antara pengusaha dan penguasa. Coba simak saja
kasus Bank Century yang paling menghebohkan itu.
Dalam kasus Century, penguasa
dengan otoritas yang dimilikinya berhasil menyalurkan dana talangan ke bank
tersebut untuk memperkuat keuangan bank tersebut. Sayangnya, dana yang disalurkan
oleh penguasa itu dialihkan ke luar negeri oleh si pengusaha bank tersebut,
dengan nilai hampir sebesar Rp 7 triliun.
Pengusaha tersebut bermain
sendiri ataukah ada orang kuat di balik perpindahan dana triliunan itu?
Entahlah, tapi sejumlah pengamat meyakini kasus Century sama dengan kasus
Bank Bali. Artinya, pasti ada persekongkolan antara pengusaha, pejabat,
dan orang dalam bank. Kasus seperti ini memang sudah sering terjadi, bahkan
selama era reformasi ini. Persekongkolan antara pengusaha dan pejabat
publik, seperti menteri, gubernur, wakil rakyat maupun tingkat staf di
tingkatan pemerintah pusat maupun pemerintahan daerah, masih begitu mudahnya
kita jumpai dalam masyarakat.
Polanya sama dan motifnya pun
masih sama, yakni adanya tetesan rejeki dari para pengusaha untuk para pejabat
atau penguasa. Sebaliknya, bagi pengusaha, seberapa pun servis sang oknum
pejabat, yang penting perusahaannya terus berjalan dan keuntungan tetap masih
bisa diraih.
Mewarisi Kroni Kapitalisme
Pada awal Orde Baru,
persekutuan bisnis-penguasa cuma dilakukan beberapa gelintir orang dekat
pemerintah yang diberi konsesi untuk menjalankan roda perekonomian. Logika ini
didukung oleh keyakinan akan teori trickle
down effect, yang menganggap bahwa kalau terjadi pertumbuhan ekonomi pasti
tetesannya akan ikut mengalir dengan sendirinya. Kondisi semakin parah karena
pengusaha bisa mengatur aparat penegak hukum dengan uang.
Karena itu, sejak awal praktik
dunia bisnis di Indonesia memang telah dirancang sangat monopolistis dan
tentunya hanya menguntungkan sedikit pihak. Pola pemikiran seperti itu
dipandang merupakan jalan paling mudah untuk menggerakkan kegiatan ekonomi
daripada harus melibatkan sekian banyak pemain dengan kemampuan yang berlainan.
Dalam literatur ekonomi politik,
perilaku semacam itu disebut dengan istilah redistributive combines, yakni
regulasi dibuat sebagai instrumen untuk bagi-bagi kue ekonomi di lingkaran
elite kekuasaan. Selebihnya, negara juga memiliki keuntungan karena terdapatnya
sifat “patron-klien” dari hubungannya dengan dunia usaha. Di sini negara
mendonasikan perlindungan terhadap proses produksi dengan menyediakan jaminan
perangkat hukum guna melicinkan aktivitas ekonomi dunia usaha.
Sebaliknya, dunia usaha
memberikan imbalan berupa pendapatan yang cukup tinggi kepada negara dalam
bentuk pajak, maupun terhadap oknum-oknum birokrasi berupa upeti. Praktik
relasi antara kekuasaan dengan dunia usaha semacam itu disebut dengan istilah
crony capitalism atau erzats capitalism.
Simbiose mutualisme itulah yang
melanggengkan hubungan antara kekuasaan dengan dunia usaha dalam menjalankan
roda perekonomian. Dinamika dua faktor itulah yang banyak memengaruhi
pembentukan struktur pasar di Indonesia, sehingga daya saing ekonomi
menjadi begitu lemah.
Selain itu, fakta lain
menegaskan bahwa era konglomerasi di Indonesia dipicu oleh munculnya
pengusaha-pengusaha muda yang umumnya adalah anak-anak dari para pejabat
birokrasi atau yang mempunyai koneksi tertentu dengan orang-orang dalam pemerintahan.
Pengusaha-pengusaha inilah yang kemudian disebut dengan istilah business client
alias pengusaha klien.
Pengusaha-pengusaha ini
beroperasi dengan dukungan dan proteksi dari berbagai jaringan kekuasaan
pemerintah. Pada umumnya mereka mempunyai patron dalam kelompok kekuasaan
birokrasi. Pengusaha jenis ini menjalankan kegiatan ekonomi dari tender-tender
proyek pemerintah dan fasilitas khusus (monopoli, tata niaga, konsesi) yang
diperoleh dari aktivitas lobi. Akibat ketergantungannya yang
amat tinggi dari sang patron, biasanya bila posisi kekuasaan sang patron sedang
melorot, maka bisnis mereka pun ikut surut.[]
*) artikel ini sudah dimuat dalam Majalah Mitra Investor