Sunday, July 13, 2014

Sistem Ekonomi Indonesia



Perselingkuhan Birokrat “Biyang” Stagnasi Ekonomi Indonesia 

Indonesia adalah Negara besar bagai miniature surga. Negeri itu, mempunyai area hutan paling luas di dunia, tanahnya subur alamnya indah, potensi kekayaan laut luar biasa (6,2 juta ikan, mutiara, minyak dan mineral lain). Di darat terkandung barang tambang emas, nikel, timah, tembaga, batu bara, uranium dsb. Di bawah perut bumi tersimpan gas dan minya yang cukup besar. Setelah 69 tahun usia kemerdekaannya, negeri itu hanya menjadi sarang tikus!

Negeri tikus menangis, negeri tikus menjadi Negara miskin, beban utang luar negeri tikus lebih dari rp. 1800 Trilyun rupiah, 100 juta orang dalam kemiskinan, 116 juta orang kehilangan pekerjaan, 4,5 juta anak putus sekolah, jutaan orang mengalami malnutrisi, kriminalitas meningkat 1000 %, perceraian meningkat 400%, penghuni rumah sakit jiwa mening 300%. Sementara pemerintah sebagai last landing institute hanya memikirkan diri sendiri dan kelompok partainya. Mereka menjerat rakyat dengan kenaikan harga, mencabut subsidi, penegakan hokum yang amburadul, dsb.

Akibatnya adalah Indonesia dengan sejumlah kekayaannya menjadi negeri yang teruruk. Perekonomian satgnan, bahkan cenderung impor “utang” luar negeri. Indonesia harus mewaspadai terjadinya stagnasi perekonomian akibat jebakan pendapatan menengah (middle income trap). Sejumlah langkah harus disiapkan, antara lain dengan menekan ketimpangan pendapatan dan mendorong produktivitas tenaga kerja. Demikian dikatakan Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang Soemantri Brodjonegoro dalam diskusi panel yang diadakan Asosiasi Profesor Indonesia.

Menurut Bambang, jebakan pendapatan menengah terjadi ketika suatu negara dengan perekonomian menengah mengalami stagnasi sehingga sulit bertransformasi menjadi negara maju. Inti dari middle income trap adalah ketika negara berkembang tidak bisa berubah menjadi negara maju atau perubahan menjadi negara maju itu membutuhkan waktu yang sangat lama. Ia menambahkan, negara yang rawan terjebak dalam stagnasi itu memiliki beberapa ciri. Pertama, pendapatan dari ekspor rendah karena tidak mampu bersaing dengan negara yang lebih maju. Kedua, tidak mampu mengendalikan sumber daya alam sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dari waktu ke waktu.

Ketiga, produktivitas usaha yang rendah sehingga tak berefek besar pada pertumbuhan ekonomi. Untuk menghindari jebakan itu, menurut Bambang, Indonesia harus berupaya mengurangi kesenjangan pendapatan dan meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga harus dijaga dan ditingkatkan kualitasnya. ”Yang juga diperlukan adalah kebijakan fiskal yang berpihak pada pengentasan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja,” katanya.

Pola Ekonomi Indonesia 

Catatan sejarah perekonomian Indonesia menunjukkan bahwa baik sistem liberal maupun sosialis telah gagal menciptakan kesejahteraan rakyat dan pondasi ekonomi bangsa yang kuat. Disamping itu, dalam konteks geoekonomi, dimana wilayah Indonesia adalah merupakan negara bahari yang terdiri atas pulau-pulau besar dan kecil, juga menimbulkan ketimpangan pembangunan ekonomi antara bagian timur dan bagian barat Indonesia, Menyadari kegagalan tersebut beberapa ekonomi mencoba merumuskan dan menawarkan konsep ekonomi Pancasila yang diyakini lebih sesuai dengan karakter dan watak masyarakat Indonesia. 

Sehubungan dengan dengan hal tersebut di atas, penulis menawarkan pola pembangunan ekonomi yang berkarakter ke-Indonesiaan (Ekonomi Pancasila-Bhineka Tunggal Ika). Dalam bidang ekonomi, implementasi Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan UUD adalah perlunya dibangun disparitas industri dan geo-ekonomi nusantara. Perlu ada perpaduan antara kebijakan ketahanan nasional dan pembangunan ekonomi nasional melalui politik anggaran dan pembangunan wilayah perbatasan.
Pancasila memandang Indonesia sebagai suatu kesatuan secara komprehensif, mensyaratkan keadilan sosial dan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa kelas. Semboyan atau prinsip Bhineka Tunggal Ika memahami adanya keragaman, tetapi tetap satu kelas masyarakat, satu tujuan, yakni kebahagiaan dan kesejateraan. 

Dengan demikian maka sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi yang berorientasi kepada Ketuhanan Yang Maha Esa (berlakunya etik dan moral agama, bukan materialisme); Kemanusiaan yang adil dan beradab (tidak mengenal pemerasan atau eksploitasi); Persatuan Indonesia (berlakunya kebersamaan, asas kekeluargaan, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi dalam ekonomi); Kerakyatan (mengutamakan kehidupan ekonomi rakyuat dan hajat hidup orang banyak); serta Keadilan Sosial (persamaan/emansipasi, kemakmuran masyarakat yang utama bukan kemakmuran orang-seorang).

Dari butir-butir di atas, keadilan menjadi sangat utama di dalam sistem ekonomi Indonesia. Keadilan merupakan titik-tolak, proses dan tujuan sekaligus.  Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal utama bertumpunya sistem ekonomi Indonesia yang berdasar Pancasila, dengan kelengkapannya, yaitu Pasal-pasal 18, 23, 27 (ayat 2) dan 34. Berdasarkan TAP MPRS XXIII/1966, ditetapkanlah butir-butir Demokrasi Ekonomi (kemudian menjadi ketentuan dalam GBHN 1973, 1978, 1983, 1988), yang meliputi penegasan berlakunya Pasal-Pasal 33, 34, 27 (ayat 2), 23 dan butir-butir yang berasal dari Pasal-Pasal UUDS tentang hak milik yuang berfungsi sosial dan kebebasan memilih jenis pekerjaan. Dalam GBHN 1993 butir-butir Demokrasi Ekonomi ditambah dengan unsur Pasal 18 UUD 1945. Dalam GBHN 1998 dan GBHN 1999, butir-butir Demokrasi Ekonomi tidak disebut lagi dan diperkirakan dikembalikan ke dalam Pasal-Pasal asli UUD 1945.

Landasan normatif-imperatif ini mengandung tuntunan etika dan moral luhur, yang menempatkan rakyat pada posisi mulianya, rakyat sebagai pemegang kedaulatan, rakyat sebagai ummat yang dimuliakan Tuhan, yang hidup dalam persaudaraan satu sama lain, saling tolong-menolong dan bergotong-royong.

Ekonomi Utang dan “Krisis Ekonomi” 

Kata krisis ekonomi diberi tanda petik karena sesungguhnya kita pernah menyebutnya sebagai krisis moneter (krismon) atau krisis keuangan, yaitu anjlognya kurs mata uang rupiah terhadap dolar dan valuta asing lain. Tetapi setelah krismon berjalan beberapa tahun dan kurs dolar tidak pernah lagi kembali ke kurs lama ($1=Rp2500), maka semua orang rupanya setuju mengganti krisis moneter menjadi krisis ekonomi, meskipun tetap saja harus tidak semua orang Indonesia terutama rakyat menganggap krisis ini mencelakakan atau merugikan. Banyak pelaku ekonomi rakyat tidak pernah terkena dampak negatif krismon dan bahkan sangat banyak yang justru menikmatinya.

Yang menarik, RPJP 2005-2025 sejak sangat awal menggunakan istilah “krisis ekonomi yang melumpuhkan perekonomian nasional pada tahun 1997” (hlm-2), yang berarti ada asumsi kuat dalam RPJP bahwa seluruh warga bangsa dan seluruh rakyat telah benar-benar dirugikan oleh peristiwa krisis ekonomi 1997 itu. Bahkan lebih lanjut dijadikan titik tolak untuk membuktikan bahwa “krisis ekonomi juga menunjukkan pembangunan ekonomi selama ini tidak disertai dengan peningkatan efisiensi kelembagaan ekonomi”, dan “… perekonomian masih rentan, tidak saja terhadap gejolak eksternal tetapi juga terhadap gejolak di dalam negeri”.

Kesimpulan yang keliru mengakibatkan kekeliruan dalam kebijakan untuk mengatasi masalah awal. Karena krisis keuangan yang terutama hanya menyangkut manajemen perbankan (dan industri yang berbisnis dengan perbankan), maka pemerintah sudah mengambil kebijakan yang diperlukan untuk menutup 16 bank tanggal 1 Nopember 1997 dan mengeluarkan kebijakan BLBI, dan kemudian menerbitkan obligasi Rekap perbankan. 

Kebijakan demikian tidak keliru kalau pemerintah Indonesia saat itu sangat kaya dengan cadangan devisa yang sangat kuat. Kebijakan ini menjadi keliru dan berakibat fatal karena pemerintah yang miskin devisa terpaksa menambah pinjaman luar negeri dan kemudian juga pinjaman dalam negeri untuk menyelamatkan bank-bank yang kehabisan likuiditas, sehingga berakibat fatal karena bagian besar dari APBN terpaksa untuk “menalangi” industri perbankan yang milik orang-orang kaya Indonesia. Krisis ekonomi yang berakibat pemerintah Indonesia lebih berpihak pada orang-orang kaya dengan mengorbankan orang-orang miskin inilah hakekat masalah ekonomi Indonesia yang berkepanjangan sejak krisis moneter 1997. 

Selama sifat masalah ekonomi yang melanggar keadilan ini tidak diakui maka kebijakan dan strategi pembangunan ekonomi apapun tidak akan menyelesaikan masalah yang sifatnya mendasar yaitu keberpihakan berlebihan pada “ekonomi konglomerasi”.

Pada tahun 1994, awal Repelita VI, Indonesia merasa sangat percaya diri telah memasuki tahap tinggal landas (take off) pembangunan nasional yaitu, laksana sebuah pesawat terbang, telah mampu melanjutkan pembangunan “dengan kekuatan sendiri”. Konsep tinggal landas atau lepas landas ini dipinjam dari Rostow pakar ekonomi Amerika dalam buku The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto (Cambridge UP, 1960). Mengapa kita telah menganggap diri siap tinggal landas? Jawabnya terlalu naif, yaitu “karena menurut Ali Murtopo setelah terjadi akselerasi pembangunan 25 tahun (1969-1994) masak Indonesia belum siap memasuki tahap II yaitu take-off”. Jadi karena “teori” Ali Murtopo itu dianggap pasti benar, maka segala alasan dan keterangan dikumpulkan untuk membenarkannya.

Ternyata satu alasan yang sangat mengganggu dengan sengaja diabaikan yaitu makin besarnya utang luar negeri yang justru meningkatkan ketergantungan kita pada negara-negara maju kreditor kita. Itulah salah satu alasan yang sulit dibantah mengapa terjadi krisis moneter (krismon) 1997, jatuhnya nilai mata uang Baht Thailand serta merta menular ke Indonesia. Maka “pesawat terbang Indonesia” yang hendak lepas landas terjerembab dan tinggal di landasan

Kunci maknanya terletak pada naik mengangkasa dengan kekuatan sendiri....oleh karena itu sewaktu tinggal landas pesawat itu harus betul-betul sudah siap....kalau tidak, kapal terbang tersebut akan mengalami kecelakaan. Jelaslah bahwa utang luar negeri yang luar biasa besar adalah penyebab utama krismon 1997/1998 yang telah “menghancurkan” ekonomi Indonesia. Apakah ekonomi seluruh bangsa kita telah hancur? Tidak. Yang hancur adalah ekonomi pemerintah. Itupun bukan benar-benar hancur karena krismon, tetapi karena eks- konglomerat telah merampok uang negara/uang rakyat dengan pengeluaran BLBI dan obligasi rekapitalisasi perbankan sekitar Rp. 750 trilyun (1998-1999), yang waktu itu berarti hampir 100% nilai PDB kita. Apakah ekonomi rakyat kita telah hancur juga? Jawabnya adalah tidak. Tabel berikut dapat menjelaskan.

Pertumbuhan ekonomi tinggi berdasar pengalaman tidak menjamin teratasinya pengangguran dan kemiskinan. Jika pertumbuhan ekonomi tidak dijadikan sasaran, maka sasaran-sasaran investasi juga perlu dikaji ulang karena selama ini dipakai asumsi hanya pengusaha besar yang dapat melakukan investasi. Yang benar ekonomi rakyat kita sudah dan selalu berinvestasi tanpa memperoleh kredit bank. Lembaga-lembaga Keuangan Mikro (LKM) bukan bank dalam kenyataan sudah sangat berkembang, yang akan lebih berkembang lagi jika bank bersedia memberikan bantuan. Selama ini bank-bank kita jauh lebih bersahabat dengan orang-orang kaya dan tidak cukup akrab dengan orang-orang miskin. Bahkan sangat aneh Menko Kesra dan BI dalam program penanggulanan kemiskinan merekrut dan melatih KKMB (Konsultan Keuangan Mitra Bank) bukan KKMER (Konsultan Keuangan Mitra Ekonomi Rakyat).

Kiranya jelas harus ada revolusi cara berpikir dalam penyusunan RPJP dari sekedar pembangunan ekonomi (dengan sasaran-sasaran pertumbuhan ekonomi tinggi) menjadi pembangunan manusia Indonesia. Karena musuh utama kita sekarang adalah kemiskinan, kedunguan, dan keserakahan, maka filsafat, strategi, program, dan kebijakan pembangunan harus difokuskan pada ke-3 sasaran ini.
Jika Pembukaan UUD 1945 kita jadikan pegangan maka kita harus merasa bebas dan merdeka untuk menyusun program-program pembangunan kita sendiri, dan semuanya harus diukur dengan keberhasilan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan sila ke-5 dari Pancasila, maka tidak boleh ada keengganan untuk menyebut sistem ekonomi yang hendak kita laksanakan adalah Sistem Ekonomi Pancasila.

Sumber utama krisis moneter 1997 adalah utang luar negeri yang besar dan ketimpangan serta ketidakadilan ekonomi. Hanya dengan menutup sumber-sumber masalah ekonomi inilah krisis serupa dapat dihindari di masa depan.

Dari momentum sejarah krisis yang dialami Indonesia 17 tahun yang lalu, paling tidak kita harus mengambil beberapa pelajaran dari terjadinya krisis 1997 tersebut. Namun demikian memang benar diera reformasi dan demokrasi ekonomi Indonesia (terlihat) membaik dan sampai skarang tidak terjadi krisis. Tapi melihat yang terjadi dilapangan hutang Indonesia luar negeri justru semakin menghawatirkan.

Sebelumnya di periode Juli - September (2013) pertumbuhan ekonomi Indonesia turun 0,2% dari 5,8% ke 5,6% dibanding kuartal sebelumnya. Sementara itu disebabkan menurunnya harga komoditas dan permintaan pasar, terjadi penekanan pada sektor ekspor Indonesia. Ditambah permintaan domestik dipengaruhi melonjaknya harga bahan bakar minyak dan kenaikan suku bunga. Sempat terjadi aksi demo di beberapa daerah yang disebabkan kenaikan BBM ini.

Efek dari ulah investor yang menarik dana segar mereka menjadikan Indonesia dan sebagian besar nagara berkembang lainnya dalam kondisi sulit. Faktor utama nya tak lain adalah banyak prediksi menyatakan bank sentral AS akan mengurangi program stimulus dan akan menaikan suku bunga lebih cepat dari yang diperkirakan. Dampak dari  penurunan permintaan domestik dan melemahnya ekspor pada kuartal ketiga tahun ini pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di level terendah sejak empat tahun terakhir.

Masih di bulan yang sama BI juga menurunkan target pertumbuhan ekonomi dibandingkan prediksi sebelumnya dari 5,8% - 6,2%  menjadi 5,5% - 5,9%.

Perselingkuhan Antar Menteri

Terjadinya stagnasi ekonomi Indonesia juga sedikit banyaknya dipengaruhi oleh perselingkuhan antar pengusaha dan menteri. Reformasi struktural yang tidak berjalan membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini stagnan di kisaran 6% alias di bawah potensi. Direktur Eksekutif Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Juda Agung mengatakan kapasitas produksi yang terbatas membuat pertumbuhan permintaan di  dalam negeri harus ditopang oleh produk impor. 

Ketidakseimbangan struktural ini yang membuat ekonomi kita overheating ketika pertumbuhan dipaksa melaju di atas 6%. Dampak selanjutnya, defisit transaksi berjalan melebar dan inflasi. Jika masalah struktural di Tanah Air mampu ditangani, bank sentral yakin pertumbuhan dapat melesat paling sedikit 6,5% pada 2018 dengan inflasi 3,5%±1.

Juda mengatakan pertumbuhan Indonesia memang pernah mencapai 6,5% pada 2011, tertinggi sejak resesi ekonomi 1998. Sayangnya, akselerasi itu lebih dipacu oleh booming harga komoditas dan likuiditas global menyusul kebijakan suku bunga rendah di Amerika Serikat.

Selain itu, persekongkolan pengusaha-pejabat juga masih tetap marak, bahkan  di era reformasi ini. Itulah yang membuat daya saing ekonomi  Indonesia menjadi begitu lemah. Cukup menarik menyimak beberapa kasus yang hangat dibicarakan belakangan, di mana adanya kongkalikong antara pengusaha dan  penguasa. Coba simak saja kasus Bank Century yang paling menghebohkan itu.

Dalam kasus Century, penguasa dengan otoritas yang dimilikinya berhasil menyalurkan dana talangan ke bank tersebut untuk memperkuat keuangan bank tersebut. Sayangnya, dana yang disalurkan oleh penguasa itu dialihkan ke luar negeri oleh si pengusaha bank tersebut, dengan nilai hampir sebesar Rp 7 triliun.

Pengusaha tersebut bermain sendiri ataukah ada orang kuat di balik perpindahan dana triliunan itu? Entahlah, tapi sejumlah pengamat meyakini  kasus Century sama dengan kasus  Bank Bali. Artinya, pasti ada persekongkolan antara pengusaha, pejabat, dan orang dalam bank. Kasus seperti ini memang sudah sering terjadi, bahkan selama era reformasi ini.  Persekongkolan antara pengusaha dan pejabat publik, seperti menteri, gubernur, wakil rakyat maupun tingkat staf di tingkatan pemerintah pusat maupun pemerintahan daerah, masih begitu mudahnya kita jumpai dalam masyarakat.

Polanya sama dan motifnya pun masih sama, yakni adanya tetesan rejeki dari para pengusaha untuk para pejabat atau penguasa. Sebaliknya, bagi pengusaha, seberapa pun servis sang oknum pejabat, yang penting perusahaannya terus berjalan dan keuntungan tetap masih bisa diraih.

Mewarisi Kroni Kapitalisme

Pada awal Orde Baru,  persekutuan bisnis-penguasa cuma dilakukan beberapa gelintir orang dekat pemerintah yang diberi konsesi untuk menjalankan roda perekonomian. Logika ini didukung oleh keyakinan akan teori trickle down effect, yang menganggap bahwa kalau terjadi pertumbuhan ekonomi pasti tetesannya akan ikut mengalir dengan sendirinya. Kondisi semakin parah karena pengusaha bisa mengatur aparat penegak hukum dengan uang.

Karena itu, sejak awal praktik dunia bisnis di Indonesia memang telah dirancang sangat monopolistis dan tentunya hanya menguntungkan sedikit pihak. Pola pemikiran seperti itu dipandang merupakan jalan paling mudah untuk menggerakkan kegiatan ekonomi daripada harus melibatkan sekian banyak pemain dengan kemampuan yang berlainan.

Dalam literatur ekonomi politik, perilaku semacam itu disebut dengan istilah redistributive combines, yakni regulasi dibuat sebagai instrumen untuk bagi-bagi kue ekonomi di lingkaran elite kekuasaan. Selebihnya, negara juga memiliki keuntungan karena terdapatnya sifat “patron-klien” dari hubungannya dengan dunia usaha. Di sini negara mendonasikan perlindungan terhadap proses produksi dengan menyediakan jaminan perangkat hukum guna melicinkan aktivitas ekonomi dunia usaha.

Sebaliknya, dunia usaha memberikan imbalan berupa pendapatan yang cukup tinggi kepada negara dalam bentuk pajak, maupun terhadap oknum-oknum birokrasi berupa upeti. Praktik relasi antara kekuasaan dengan dunia usaha semacam itu disebut dengan istilah crony capitalism atau erzats capitalism.
 
Simbiose mutualisme itulah yang melanggengkan hubungan antara kekuasaan dengan dunia usaha dalam menjalankan roda perekonomian. Dinamika dua faktor itulah yang banyak memengaruhi pembentukan struktur pasar di Indonesia, sehingga daya saing ekonomi  menjadi begitu lemah.
Selain itu, fakta lain menegaskan bahwa era konglomerasi di Indonesia  dipicu oleh munculnya pengusaha-pengusaha muda  yang umumnya adalah anak-anak dari para pejabat birokrasi atau yang mempunyai koneksi tertentu dengan orang-orang dalam pemerintahan. Pengusaha-pengusaha inilah yang kemudian disebut dengan istilah business client alias pengusaha klien.

Pengusaha-pengusaha ini beroperasi dengan dukungan dan proteksi dari berbagai jaringan kekuasaan pemerintah. Pada umumnya mereka mempunyai patron dalam kelompok kekuasaan birokrasi. Pengusaha jenis ini menjalankan kegiatan ekonomi dari tender-tender proyek pemerintah dan fasilitas khusus (monopoli, tata niaga, konsesi) yang diperoleh dari aktivitas lobi. Akibat ketergantungannya yang amat tinggi dari sang patron, biasanya bila posisi kekuasaan sang patron sedang melorot,  maka bisnis mereka pun ikut surut.[]



*) artikel ini sudah dimuat dalam Majalah Mitra Investor