Thursday, January 8, 2015

Lulus versus Hampir Lulus

Sebagai pemuda dengan idealisme, tentu kita setuju bahwa kemampuan (skill) lebih utama dari sekedar ijazah. Alasan utamanya adalah menilai seseorang hanya dari ijazah saja menimbulkan beberapa masalah. Misalnya, tidak semua kemampuan ada ijazahnya. Kemudian, mana kelihatan perbedaan level masing-masing orang dari ijazah saja, apalagi ijazahnya beberapa tahun lalu.
Alasan terburuknya adalah mentalitas keinstanan rakyat kita. Karena kita masih mendewakan ijazah, banyak jasa-jasa pembuatan ijasah secara mudah. Asal punya modal, dapat ijazah PT ternama gampang. Kerja pun tidak jadi masalah. Caranya? Situsnya? Gampang dicari kok. Tinggal googling “ijazah” atau “buat ijazah” atau “ijazah palsu” pasti banyak tuh di halaman pertama.
 
Jika hal di atas dilakukan oleh masyarakat kebanyakan yang memang masih lugu, saya sih masih memaklumi. Akan tetapi, jika hal senada (meskipun jauh berbeda) terpercik dari kolega sendiri atau teman dekat sendiri kok rasanya sedih saya.

Saya terkadang kesal ketika teman saya sendiri membanding-bandingkan antara orang yang belum lulus (misalnya saya) dan yang sudah lulus. Saat bercerita, mulailah dia “mengeluh” seakan keadaan saya jauh lebih baik darinya.

Enak kamu masih kuliah. Belum ada beban

Saya tidak mengerti. Pada saat mendengarnya, saya menimbulkan kesan seakan semua keberuntungan ada pada saya yang belum lulus juga ini. Sebaliknya, dia yang sudah lulus punya tanggung jawab yang tidak main-main. Dengan kata lain, saya masih bisa main-main.

Beberapa kali diskusi itu muncul, lama-lama saya jadi kesal juga dan terpikir untuk menulis artikel ini (rencana itu muncul lebih dari satu cawu yang lalu). Saya seolah ingin berteriak:

We didn’t choose this path, for god sake! On the contrary, YOU chose that path.