Sebagai pemuda dengan idealisme,
tentu kita setuju bahwa kemampuan (skill) lebih utama dari sekedar
ijazah. Alasan utamanya adalah menilai seseorang hanya dari ijazah saja
menimbulkan beberapa masalah. Misalnya, tidak semua kemampuan ada ijazahnya.
Kemudian, mana kelihatan perbedaan level masing-masing orang dari ijazah saja,
apalagi ijazahnya beberapa tahun lalu.
Alasan terburuknya adalah mentalitas
keinstanan rakyat kita. Karena kita masih mendewakan ijazah, banyak jasa-jasa
pembuatan ijasah secara mudah. Asal punya modal, dapat ijazah PT ternama
gampang. Kerja pun tidak jadi masalah. Caranya? Situsnya? Gampang dicari kok.
Tinggal googling “ijazah” atau “buat ijazah” atau “ijazah palsu” pasti banyak
tuh di halaman pertama.
Jika hal di atas dilakukan oleh
masyarakat kebanyakan yang memang masih lugu, saya sih masih memaklumi. Akan
tetapi, jika hal senada (meskipun jauh berbeda) terpercik dari kolega sendiri
atau teman dekat sendiri kok rasanya sedih saya.
Saya terkadang kesal ketika teman
saya sendiri membanding-bandingkan antara orang yang belum lulus (misalnya
saya) dan yang sudah lulus. Saat bercerita, mulailah dia “mengeluh” seakan
keadaan saya jauh lebih baik darinya.
Enak kamu masih kuliah. Belum ada
beban
Saya tidak mengerti. Pada saat
mendengarnya, saya menimbulkan kesan seakan semua keberuntungan ada pada saya
yang belum lulus juga ini. Sebaliknya, dia yang sudah lulus punya tanggung
jawab yang tidak main-main. Dengan kata lain, saya masih bisa main-main.
Beberapa kali “diskusi” itu muncul, lama-lama saya jadi
kesal juga dan terpikir untuk menulis artikel ini (rencana itu muncul lebih
dari satu cawu yang lalu). Saya seolah ingin berteriak:
We didn’t choose this path, for god
sake! On the contrary, YOU chose that path.